Sel Target Perjalanan Infeksi HIV

HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen vpx, sedangkan sebaliknya HIV- 2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai gen vpu. Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Karena HIV-1 lebih sering ditemukan, maka penelitian-penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-1 Merati dan Jauzi, 2007. Gambar 2.1. Ilustrasi Skematik Untuk Struktur HIV-1 Robbins, 2007

2.2.3. Sel Target

Menurut Pringgoutomo, Himawan, dan Tjarta 2006, yang tergolong organ sistem imun antara lain adalah kelenjar timus, sumsum tulang, limpa, Universitas Sumatera Utara kelenjar getah bening serta organ limfoid di saluran-saluran napas dan cerna. Organ-organ tersebut merupakan tempat perkembangan sel-sel imunokompeten. Distribusi struktur limfoid yang luas dan sirkulasi sel limfoid yang konstan di dalam darah, limf, dan jaringan ikat. Hal ini membuat tubuh memiliki sistem pertahanan yang rumit dan efisien Junqueira dan Carneiro, 2007. Sel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ sel T helper atau Th dan monositmakrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro adalah megakariosit, epidermal langerhans, periferal dendritik, folikuler dendritik, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina, dan epitel ginjal. Beberapa sel yang pada mulanya dianggap CD4 negatif, ternyata juga dapat terinfeksi HIV namun kemudian diketahui bahwa sel-sel tersebut mempunyai CD4 kadar rendah. Sel tersebut antara lain adalah sel mieloid progenitor CD34+ dan sel timosit tripel negatif Merati dan Jauzi, 2007.

2.2.4. Perjalanan Infeksi HIV

Perjalanan infeksi HIV melalui tiga fase : Fase pertama adalah fase infeksi akut. Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru virion. Viremia dari begitu banyak virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Diperkirakan bahwa sekitar 50 sampai 70 orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, dan penurunan berat badan. Selain itu HIV juga dapat mengakibatkan gejala pada sistem saraf yaitu meningitis, ensefalitis, neuropati perifer, dan mielopati. Fase kedua adalah fase infeksi laten. Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler SDF di pusat germinativum kelenjar limfa sehingga virion dapat dikendalikan, gejala hilang, Universitas Sumatera Utara dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa. Pada fase ini, jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 selmm 3 . Fase ketiga adalah fase infeksi kronis. Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfa sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus masuk ke dalam darah. Respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga di bawah 200 selmm 3 . Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Selain tiga fase tersebut ada periode jendela yaitu periode dimana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya masih belum memadai. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain Nasronudin, 2007.

2.2.5. Epidemiologi