6 dilakukan adalah penelitian tentang pola sebaran spatial dan habitat
preferensialnya untuk dijadikan sebagai dasar didalam mengatur pemanfaatan atau pemanenannya yang tepat.
Kualitas produk ranggah muda rusa baik di alam maupun di penangkaran diketahui berhubungan dengan banyak faktor baik internal maupun eksternal rusa,
sehingga perlu dikaji agar dapat dijadikan acuan didalam mengatur faktor-faktor pengelolaan rusa yang dapat menghasilkan produk ranggah muda yang memenuhi
standar kualitas ranggah muda rusa sebagai bahan racikan obat Nutraceutical. Salah satu faktor yang cukup dominan sebagai penentu kualitas produk ranggah
muda adalah pakan. Oleh karena itu perlu diuji seberapa besar hubungan jenis dan kualitas pakan khususnya pakan-pakan preferensial dengan kualitas produk
ranggah muda. Secara umum telah juga diketahui bahwa pemanenan ranggah muda dapat dilakukan pada umur ranggah muda sekitar dua bulan atau + 60 hari.
Berkenaan dengan umur tersebut, timbul pertanyaan seberapa besar toleransi umur panen ranggah yang masih dapat menghasilkan produk ranggah muda yang
memenuhi standar kualitasnya sebagai bahan obat, sehingga perlu diuji hubungan antara umur panen ranggah muda dan kualitas produknya.
Implikasi dari rangkaian penelitian ini adalah suatu analisis dan sintesis pemikiran tentang strategi pengelolaan habitat rusa timor yang didasarkan atas
kualitas pakan dan kuantitas untuk menopang mutu produk berupa ranggah muda disamping kebutuhan pakan untuk memenuhi daya dukungkecukupan pakan bagi
rusa. Pemanfaatan ranggah muda rusa secara tepat dapat menjamin kelestarian populasinya dengan kualitas produk yang baik atau memenuhi standar
Internasional, baik untuk pemanfaatan rusa di habitat alami in situ maupun di penangkaran ex situ seperti disebutkan di atas. Secara keseluruhan kerangka
pemikiran penelitian tersebut di atas dapat digambarkan dalam yang disajikan pada Gambar 1. Secara teknis penelitian ini dilakukan di Pulau Peucang dan Pulau
Handeulum Taman Nasional Ujung Kulon sebagai habitat alami in situ rusa timor, dan di penangkaran rusa di Pusat Konservasi dan Rehabilitasi rusa
Dramaga sebagai salah satu lokasi yang mewakili kondisi ex situ penangkaran.
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian tentang faktor penentu produk ranggah muda antler Rusa timorensis de Blainville 1822.
7
2. BENTUK SEBARAN SPASIAL, KOMPOSISI VEGETASI DAN
PREFERENSI HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG PENDAHULUAN
Rusa termasuk satwa generalis dalam penggunaan habitat Nagarkoti Thapa 2007, namun beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa
jenis rusa memiliki kekhasan dalam pemilihan habitatnya. Bello et al. 2001 menyatakan rusa ekor putih Odocoileus virginianus jantan lebih memilih habitat
tertutup sementara betina cenderung memilih daerah terbuka. Borkowski 2004 dan Borkowski Ukalska 2008 menyatakan bahwa rusa Roe kurang bergantung
pada tutupan dibanding dengan rusa merah karena ukurannya yang lebih kecil, sehingga lebih mudah mendapatkan tempat berlindung dibanding rusa merah yang
memiliki ukuran lebih besar. Pada rusa merah cenderung lebih menyukai atau memilih habitat dengan kondisi tutupan yang lebih rapat.
Lawrence 1995 melaporkan bahwa rusa mule Odocoileus hemionus crooki juga menunjukkan kecenderungan dalam pemilihan habitatnya. Rusa
jantan cenderung menyukai habitat dengan ketinggian dan kelerengan yang rendah serta jauh dari sumber air, sedang rusa betina lebih menyukai daerah yang
lebih rendah dan lebih dekat dengan sumber air. Purnomo 2010 melaporkan bahwa di hutan Wanagama kehadiran rusa timor di suatu habitat dipengaruhi oleh
variabel jumlah spesies pohon, kelerengan dan jarak dari sumber air. Sementara itu Spaggiari Garin-Wichatitsky 2006 melaporkan bahwa rusa timor di New
Zealand lebih menyukai dataran banjir dan hutan sclerophyll. Kencana 2000 melaporkan bahwa rusa timor di Pulau Rumberpon Papua menyukai habitat
berupa padang rumput yang sekitarnya terdapat hutan untuk tempat berlindung.
Gambaran hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan secara umum ada perbedaan pola sebaran spatial dan habitat preferensial jenis-jenis rusa termasuk
rusa timor di suatu kawasan hutan. Salah satu daerah sebaran rusa timor di Indonesia adalah kawasan Pulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon TNUK.
Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan adanya pola atau bentuk sebaran spatial dan habitat yang disukai rusa timor di Pulau Peucang, sehingga timbul
pertanyaan penelitiannya bagaimana pola sebaran spatial, kondisi vegetasi dan gambaran habitat preferensial rusa timor di Pulau Peucang TNUK ?
Berkaitan dengan kepentingan pengembangan pemanfaatan rusa secara langsung dari dalam kawasan hutan, terutama di kawasan konservasi, maka
informasi yang berhubungan dengan bentuk sebaran spatial dan habitat preferensialnya menjadi penting, karena informasi tersebut akan dijadikan sebagai
dasar didalam menetapkan manajamen habitat dan pengaturan pemanfaatan populasi secara tepat sesuai pola sebarannya. Nolan dan Walsh 2005
menyatakan bahwa salah satu manajemen efektif pada rusa adalah pendataan kesehatan populasi rusa sesuai daya dukung habitatnya agar tetap terjamin
keseimbangan antara kebutuhan pakan dengan jumlah populasi satwa, sehingga tidak terjadi peningkatan tingkat kerusakan lingkungan habitat.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang sebaran spatial, kondisi vegetasi dan habitat preferensial rusa timor di Pulau Peucang TNUK penting
dilakukan. Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah : 1 mempelajari bentuk sebaran spatial rusa timor, 2 mengidentifikasi gambaran kondisi vegetasi habitat
8 rusa timor, dan 3 mengidentifikasi habitat yang disukai habitat preferensial
rusa timor di Pulau Peucang TNUK.
BAHAN DAN METODE Diskripsi Tempat dan Waktu Penelitian
Pulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon TNUK memiliki luas 450 ha terletak pada 6
44’23” S dan 105 15’30” E. Panjang areal utara ke selatan 3 km,
dan lebar arah timur barat sekitar 2 km Susanto 1977, memiliki iklim basah dengan tipe hujan C menurut Scmidt Ferguson 1951. Rata-rata curah hujan
tahunan sekitar 3000 mmth, bulan kering terjadi pada Juni – September dan
bulan basah terjadi pada Desember – Januari, dengan suhu rata-rata 26
C Soerianegara 1968.
Sebagian besar kawasan Pulau Peucang memiliki topografi berupa dataran rendah sampai landai, dan di bagian tengahnya terdapat bukit yang membentang
dari barat daya ke arah tenggara dengan puncak tertinggi 71 m Goegle Earth image 2012 Digital globe, TerraMetrics. Bagian barat daya dan utara pantai
curam dipenuhi batu karang, bagian selatan dan timur menghadap Pulau Jawa memiliki permukaan yang landai dan berpasir putih. Sepanjang arah barat daya ke
tenggara 600 m terdapat tiga tipe utama tanah yakni regosol berpasir, regosol berpasir dengan bahan dasar tuf, dan grumosol Soerianegara 1968. Penelitian
dilakukan pada bulan September 2011 - bulan Juli 2012.
Metode Pengumpulan Data
Bentuk Sebaran Spasial Pengambilan data sebaran spasial dilakukan melalui dua tahap. Tahap
Pertama, dilakukan observasi sebaran rusa di seluruh wilayah Pulau Peucang 11 wilayah patroli. Observasi dilakukan setiap hari pada jam 07.00-19.00 WIB
selama tujuh hari, masing-masing pada musim kemarau dan musim penghujan. Observasi dilakukan untuk mengamati dan mencatat kebiasaan rusa berkativitas
mencari makan, istirahat, pergerakan, dan frekuensi keberadaan rusa di suatu tempat. Tahap Kedua, menentukan tempat-tempat yang sering dikunjungi rusa
timor, menetapkan waktu pengamatan dan metode inventarisasi rusa. Berdasarkan observasi pendahuluan ditetapkan lima wilayah pengamatan yakni: 1 daerah
padang rumput Pasanggrahan PSG, 2 dataran rendah Kiara KIA, 3 Calingcing CLC, 4 Karang Copong KCP, dan 5 dataran tinggi Gunung
calling GNC. Pengamatan dilakukan pada jam 14.00
– 21.00, dibagi ke dalam 11 termin, masing-masing waktu pengamatan selama 30 menit. Pengamatan
sebaran populasi rusa dilakukan dengan metode sensus concentration count.
Vegetasi
Data vegetasi tingkat semai, pancang, tiang, dan tingkat pohon diambil di lokasi yang paling sering dikunjungikebiasaan rusa berada. Gambaran kondisi
vegetasi dikumpulkan dengan melakukan analisis vegetasi mengikuti metode Soerianegara Indrawan 1998 dengan panjang jalur 400 m berselang-seling
Gambar 2.1, sebagai berikut: