PEMBAHASAN UMUM Tingkat Keberdayaan dan Strategi Pemberdayaan Konsumen
106 berguna dalam kemasan dan makanan kemasan rusaktercemar; dan 2
Pemenuhan hak konsumen masih lemah pada hak didengar pendapat dan keluhannya atas ketidakpuasan terhadap makanan kemasan yang dibeli dan
mendapat pembinaan dan edukasi kepada konsumen. Pada dimensi ketegasan konsumen sebagai dimensi yang paling rendah skornya, fakta penelitian yang
diperoleh adalah : 1 Kurangnya konsumen melakukan perbandingan produk sebelum melakukan pembelian makanan kemasan; 2 Sangat rendahnya
pemahaman terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak advokasi atau perlindungan hukum, serta hak-hak konsumen, UUPK, dan lembaga
perlindungan konsumen; dan 3 Masih kurangnya kemauan konsumen dalam mengajukan komplain dan ganti rugi.
Alasan rendahnya keberdayaan konsumen yang terlihat dari fakta-fakta di atas, dapat pula disebabkan karena fokus penelitian adalah pada makanan
kemasan yang merupakan kebutuhan sehari-hari daily consumption, sehingga pembeliannya sudah biasa dilakukan dan harga tidak terlalu tinggi, menyebabkan
keterlibatan responden menjadi rendah dan cenderung tidak mau mengajukan komplain apabila menemukan ketidakpuasan. Jika produk yang dibeli oleh
konsumen berharga mahal seperti mobil atau rumah, maka konsumen akan lebih sadar dan memperjuangkan haknya. Sebagian besar konsumen tidak tahu hak-
haknya, dan bahkan di antara mereka yang tahu, ada keengganan umum untuk mengambil tindakan terhadap praktik-praktik pemasaran yang tidak sehat Bello
et al. 2012. Dengan demikian, hasil penelitian ini semakin menguatkan perlunya peran untuk mengedukasi, memasyarakatkan dan mensosialisasikan perlindungan
konsumen dengan bersinergi antara tri pilar, yakni unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha fokus untuk memproduksi dan berdagang dengan
benar, serta LPKSM bekerja sama dengan pemerintah untuk mengedukasi konsumen dan mengontrol pelaku usaha. Konsumen yang berdaya akan lebih
percaya diri memperjuangkan haknya ketika merasakan kerugian atau situasi yang kurang menyenangkan. Konsumen dapat dikatakan berdaya ketika mampu
mengelola pengetahuan yang dimilikinya yang diseimbangkan dengan ketegasan dalam menanggapi perubahan. Perasaan berdaya juga ditunjukkan oleh konsumen
yang yakin akan potensi dirinya untuk memanfatkan kesempatan yang kelak bermanfaat bagi diri dan lingkungan sekitarnya Thøgersen 2005.
Masih rendahnya keberdayaan konsumen dalam penelitian ini dapat juga dikaitkan dengan pendapat Payne yang mengutip Rose 1990 bahwa prinsip-
prinsip pemberdayaan itu terdiri atas tiga yakni kontekstualisme, empowerment dan collectivity. Kontekstualisme, yakni kegiatan pemberdayaan harus difokuskan
pada pemahaman individukelompok sendiri terhadap kesejahteraan dirinya. Mengacu pada pendapat Rose tersebut, maka ibu rumah tangga sebagai konsumen
belum merasakan kontekstualisme dari pemberdayaan konsumen. Manfaat program pemberdayaan konsumen belum dirasakan oleh konsumen karena belum
pernah bermasalah dalam dengan pelaku usaha sehingga tidak menjadi kebutuhan, tidak sadar adanya praktik tidak adil pelaku usaha atau tidak perdulicenderung
menerima.
Temuan penelitian mengindikasikan bahwa untuk wilayah kabupaten, keberdayaan konsumen akan meningkat secara langsung dan tidak langsung
dengan karakteristik demografi responden yang semakin muda, pendapatan yang semakin besar dan pendidikan formal yang semakin tinggi. Secara langsung,
107 keberdayaan konsumen akan meningkat dengan faktor lingkungan, responden
yang semakin kosmopolit, dan intensitas pendidikan konsumen yang semakin baik. Untuk wilayah kota, keberdayaan konsumen meningkat secara langsung
maupun tidak langsung dengan karakteristik demografi responden yang semakin muda, pendapatan yang semakin besar dan pendidikan formal yang semakin
tinggi. Secara langsung, keberdayaan konsumen meningkat dengan faktor lingkungan yang semakin baik dan responden yang semakin kosmopolit.
Keberdayaan konsumen di kota tidak dipengaruhi oleh intensitas pendidikan konsumen.
Secara umum, pendidikan formal yang tinggi dapat meningkatkan keberdayaan konsumen. Hal ini karena pendidikan yang tinggi berpeluang
memberikan keterampilan yang lebih baik, membentuk pribadi lebih dewasa, dan pemahaman yang lebih kritis, sehingga dapat lebih produktif dan berdaya Raquib
et al. 2010. Selanjutnya, pengaruh nyata faktor lingkungan dalam hal ketersediaan dan harga produk mengindikasikan bahwa pemberdayaan
membutuhkan kondisi pasar sesuai keinginan konsumen. Semakin luas pilihan konsumen, maka konsumen akan semakin berdaya Nardo et al.2011. Namun,
menurut Gabel et al. Newholm et al. 2006, jika konsumen tidak perduli terhadap kategori produk, tidak didorong oleh kebutuhan atau dalam situasi rentan hanya
sedikit dorongan untuk meningkatkan literasi konsumen. Akibatnya, meskipun produsen menyediakan banyak pilihan, namun tidak selalu mengarah pada
keberdayaan konsumen Wathieu et al. 2002. Tersedianya berbagai produk di pasar tentunya harus diikuti dengan kualitas yang baik, aman, sehat dan selamat
ketika dikonsumsi. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden, masih banyak produk yang beredar di pasar tidak layak dikonsumsi, bahkan
cenderung
membahayakan. Responden
menganggap pemerintah
harus memberikan perhatian terhadap produk-produk yang beredar, karena tidak jarang
pemerintah menarik produk yang sudah beredar dan dinyatakan tidak layak di jual, yang tentunya akan meresahkan konsumen. Apalagi dengan semakin banyak
produk impor yang masuk ke pasar Indonesia, maka pengawasan harus lebih diperketat.
Berdasarkan hasil temuan penelitian, pendidikan konsumen dapat meningkatkan keberdayaan konsumen di Kabupaten Bogor. Pendidikan konsumen
merupakan suatu pendidikan kesadaran consciousness education Sharp 1995 agar konsumen mengetahui hak dan kewajibannya sebagai konsumen dalam
rangka meningkatkan keberdayaan konsumen. Pendidikan konsumen merupakan upaya untuk pencegahan yang jika dibandingkan dengan enforcement akan lebih
low cost. Seharusnya dengan mendidik konsumen, maka upaya perlindungan konsumen akan lebih mudah dilakukan. Tindakan pencegahan dengan pendidikan
konsumen akan mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan konsumen. Untuk langkah yang lebih implementatif, maka pendidikan konsumen
perlu diberikan pada semua tahap kehidupan untuk memberdayakan konsumen dari usia muda hingga tua agar menjadi lebih percaya diri, sehat, dan hidup
mandiri Department of Trade and Industry UK 2003. Hal tersebut menjadi penting untuk dilakukan di Indonesia, apalagi piramida penduduk indonesia saat
ini termasuk tipe expansive, yakni sebagian besar penduduk berada pada kelompok umur muda. Dengan demikian, meskipun ibu rumah tangga sebagai
108 gatekeeper konsumen keluarga, namun edukasi harus juga diproyeksikan kepada
konsumen berusia muda baik secara informal maupun formal.
Temuan penelitian ini konsisten dengan McGregor 2005 yang mengemukakan bahwa pendidikan konsumen mampu memenuhi tujuan
pemberdayaan dalam perannya sebagai konsumen. Keberhasilan pemberdayaan konsumen perlu didukung dengan kesuksesan pelaksanaan pendidikan konsumen.
Situasi konsumen tidak akan berhenti berubah, bahkan berhubungan erat dengan perubahan lain dalam sistem dunia, sehingga pendidikan konsumen harus diakui
sebagai pendidikan yang dibutuhkan seumur hidup Jarva 2011. Indikator kesuksesan pendidikan konsumen dapat dilihat dari intensitas penyampaian materi
yang rutin, kejelasan sumber informasi dan materi yang disampaikan, serta ketepatan metode yang digunakan. Keefektifan pendidikan konsumen bergantung
dari metode yang digunakan Knights 2000.
Pendidikan konsumen yang menjadi input bagi ibu rumah tangga digunakan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki keluarga dan pengambilan keputusan
konsumsi. Jika dikaitkan dengan teori sistem, maka ibu rumah tangga sebagai bagian dari keluarga yang merupakan sebuah sistem terbuka yang secara terus
menerus melakukan pertukaran informasi dengan lingkungannya. Keluarga dapat dianggap sebagai sistem terbuka atau sistem morfogenik karena pada
kenyataannya keluarga membutuhkan input dari lingkungannya dan memberikan sesuatu kepada lingkungannya Deacon dan Firebaugh 1988. Pendidikan
konsumen adalah salah satu langkah pertama menuju pemberdayaan konsumen. Jika pengetahuan adalah kekuatan, maka konsumen yang berpendidikan pasti
memiliki keuntungan di pasar. Meskipun informasi yang sempurna jarang menjadi kenyataan, diduga semakin banyak dan akurat akses konsumen terhadap
informasi, semakin efisien informasi tersebut digunakan Greenwald dan Stigitz 1986.
Keharmonisan peranan dari konsumen dan pelaku usaha yang didukung dengan keberfungsian kebijakan pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen, akan semakin memungkinkan terwujudnya konsumen yang berdaya. Konsumen yang semakin terpapar informasi akan semakin kaya pemahamannya
tentang isu konsumen. Peranan pelaku usaha yang bertanggung jawab menyampaikan informasi secara jelas dan jujur turut menjadi bagian dari
penjaminan terpenuhinya hak konsumen. Hasil yang nyata pada pengaruh pendidikan konsumen terhadap keberdayaan mengindikasikan perlunya dilakukan
gerakan pendidikan konsumen yang lebih intensif. Hal ini penting dilakukan karena pembinaan dan pendidikan konsumen baik di kabupaten maupun kota
masih sangat kurang, dengan penekanan di wilayah kabupaten lebih intensif. Selanjutnya strategi paling efektif untuk pendidikan konsumen memiliki
karakteristik: 1 Direncanakan berdasarkan kebutuhan konsumen dengan strategi pendidikan yang membantu konsumen terlibat untuk menghadapi permasalahan
yang dihadapi; dan 2 Tujuan, isi dan metodologi strategi dikembangkan dengan partisipasi aktif konsumen yang relevan Gordon 2000.
Terkait dengan hasil yang signifikan dari pendidikan konsumen terhadap pembentukan konsumen yang berdaya, perlu dikembangkan satu strategi
komunikasi untuk mempromosikan perlindungan konsumen kepada masyarakat konsumen dengan target utama para ibu rumah tangga yang menjadi pengambil
keputusan utama konsumsi keluarga. Model komunikasi pendidikan konsumen
109 yang dapat diaplikasikan ada dua model, yakni model transmisional dan model
interaksional Herbert 1994. Kampanye dengan strategi terpadu lebih efektif dibandingkan strategi tunggal. Kampanye sosial bekerja dengan baik ketika media
massa berorientasi komunikasi dilengkapi dengan komunikasi tatap muka. Pemasaran sosial yang responsif dan partisipatif dibandingkan didaktik akan lebih
efektif dalam mencapai perubahan.
Jika dikaitkan dengan pendidikan konsumen sebagai sebuah pembelajaran, salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pendidikan
konsumen adalah teori pembelajaran sosial social learning theory yang merupakan pembelajaran yang mengakomodasi tiga arah, interaksi yang sedang
berlangsung antara orang, lingkungan dan perilakunya McGregor 2009. Sebuah pedagogi otentik menyatakan bahwa orang belajar dalam hubungan ini harus
memiliki nilai di luar kelas Queensland Department of Education 2001; Reynolds 2003; McGregor 2006. Teori pembelajaran sosial mengasumsikan
belajar di luar kelas dapat melalui pemodelan perilaku, menghormati kapasitas perilaku dan determinisme timbal balik akomodatif. Dalam perspektif teori
pembelajaran sosial tujuan pendidikan konsumen adalah membuat konsumen mengubah perilakunya melalui pembelajaran dengan melakukan bukan semata-
mata memperhatikan.
Data penelitian menunjukkan bahwa intensitas pendidikan konsumen sangat rendah baik di kabupaten maupun kota. Meskipun sebetulnya berdasarkan
informasi Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan RI, pendidikan konsumen telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang
hak dan kewajiban konsumen serta persyaratan produk-produk yang benar dan aman bagi konsumen. Kegiatan pendidikan konsumen dapat diterapkan melalui
sosialisasi atau kerjasama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM, lembaga pendidikan, serta melatih komunitas konsumen
untuk menjadi motivator perlindungan konsumen.
Seorang penyuluh atau edukator pendidikan konsumen harus memiliki kompetensi dalam melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat sasaran.
Kompetensi sebagai segala bentuk motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting untuk melaksanakan
pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior Spencer dan Signe 1993. Menurut Rusmono 2008, terdapat beberapa
komponen kompetensi penyuluh, yakni: 1 Kompetensi kepribadian, yakni kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi sasaran penyuluhan dan berakhlak mulia, 2 Kompetensi andragogik, meliputi pemahaman terhadap
sasaran penyuluhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan laporan penyuluhan, serta pengembangan sasaran untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang
dimiliki, 3 Kompetensi profesional, merupakan penguasaan materi sumber bahan ajar penyuluhan secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan
materi yang dibutuhkan sasaran dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan struktur dan metodologi keilmuannya, dan 4
Kompetensi sosial, merupakan kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sasaran, sesama penyuluh, peneliti, dan pemangku
kepentingan lainnya.
110 Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia yang semakin muda berkontribusi
terhadap semakin berdayanya konsumen. Hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam memberdayakan konsumen sejak dini, bahkan dapat dilakukan dengan
memanfaatkan pendidikan formal, karena pendidikan konsumen tidak terbatas hanya dalam bentuk pendidikan non formal saja, namun juga pendidikan formal.
Pendidikan konsumen untuk anak usia sekolah mengajarkan cara menjadi konsumen yang efektif sejak dini dalam hal melakukan tindakan yang diinginkan,
memiliki pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab konsumen, mengajarkan pengelolaan sumberdaya ekonomi, dan berpikir rasional membuat keputusan yang
tepat Purutcuoglu dan Bayraktar 2005.
Dalam memasyarakatkan pendidikan konsumen secara formal, beberapa perguruan tinggi di Indonesia bahkan telah memasukkan mata kuliah pendidikan
konsumen, diantaranya adalah : 1 Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen di IPB mata kuliah Pendidikan dan Perlindungan Konsumen yang sudah ada sejak
tahun 1974-1975 dijurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga Petani IKKP; 2 Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, Progran Studi Teknik Busana;
3 Universitas Pendidikan Indonesia Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Jurusan Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga; dan 4 Fakultas Teknik, Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Universitas Negeri Surabaya. Di beberapa negara seperti
Inggris, pendidikan konsumen telah diberikan di sekolah, sehingga tinggal menempatkannya dalam konteks sosial untuk memudahkan penerjemahannya
dalam kehidupan siswa Coppack dan Brennan 2005. Hasil studi di Botswana menunjukkan bahwa pendidikan konsumen pada siswa efektif menciptakan
kesadaran di kalangan remaja sebagai upaya membentuk konsumen yang berdaya Makela dan Peters 2004. Di Turki, program pendidikan konsumen
diperkenalkan di sekolah-sekolah oleh Sistem Pendidikan Nasional. Tidak ada mata pelajaran yang spesifik terkait pendidikan konsumen, namun disisipkan
dalam mata pelajaran seperti ekonomi rumah tangga, budaya agama dan pendidikan moral, serta pengetahuan hidup Purutcuoglu dan Bayraktar 2005.
Schuh dan Kitson 2003 menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan formal di sebagian besar negara, pendidikan konsumen bukan disiplin tunggal, tetapi lintas-
kurikuler yang melibatkan banyak bidang kurikulum sekolah. Pendidikan konsumen diidentifikasi dalam bentuk modul manajemen sumber daya dan
pendidikan konsumen, melengkapi mata pelajaran lain seperti makanan dan nutrisi, serta pakaian dan kain dalam kurikulum ekonomi rumah tangga di
Botswana Curriculum Development Division 2002.
Simon 1990 dalam jurnal Rethinking Empowerment menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan aktivitas refleksif, suatu proses yang mampu
diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri self-determination. Proses lainnya hanya
dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan
merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Artinya pemberdayaan harus melibatkan masyarakat secara partisipatif dan tidak
dipaksakan, serta didukung oleh perangkat proses. Jack Rothman dalam Hikmat 2004 menyatakan bahwa perubahan perilaku masyarakat dapat dilakukan secara
optimal bila melibatkan partisipasi aktif yang luas di semua spektrum masyarakat.
111 Jika dikaitkan dengan level, proses dan outcome pemberdayaan yang
diadaptasi dari Perkins dan Zimmerman 1995, maka pemberdayaan konsuemn dapat dilakukan pada beberapa tingkat, yakni individu, kelompok dan organisasi,
dan seluruh masyarakat. Pada level individu, setiap konsumen harus secara aktif dan mandiri melindungi dirinya dan keluarganya dari praktik-praktik tidak adil
pelaku usaha, mencari informasi tentang haknya dan menegaskan haknya jika dilanggar. Pada level kelompok dan organisasi, pemberdayaan konsumen dapat
dilakukan pada organisasi-organisasi yang berkembang dalam masyarakat seperti karang taruna, pengajian-pengajian, PKK dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Dengan memanfaatkan level kelompok dan organisasi ini, konsumen akan lebih memiliki kekuatan ketika bermasalah dengan pelaku usaha. Pada level terakhir,
masyarakat dan jaringan orang-orang dan organisasi juga terlibat dalam aksi kolektif sebagai upaya mencapai keberdayaan konsumen. Level ini lebih
menghasilkan dampak politik lebih besar untuk kepentingan konsumen dan memungkinkan melakukan gugatan publik apabila ditemukan tindakan pelaku
usaha yang merugikan banyak konsumen Schulz et al. 1995.
Terkait dengan pengaruh yang nyata kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen dan keberdayaan konsumen, yang salah satu butirnya
adalah akses internet, berikut adalah fakta-fakta dari data sekunder yang mendukung peluang pemanfaatan internet sebagai media pendidikan konsumen
dan pemberdayaan konsumen. Hasil survei Indonesia Netizen Survey 2013 oleh MarkPlus Insight, Marketeers Magazine November 2013 mengindikasikan
pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tumbuh signifikan hingga 22 persen dari 62 juta di tahun 2012 menjadi 74.57 juta di tahun 2013. Menurut lembaga
riset MarkPlus Insight, angka jumlah pengguna internet di Indonesia akan mencapai 100 juta jiwa di tahun 2015. Hampir separuh dari netizen di Indonesia
merupakan pengguna internet muda berusia di bawah 30 tahun, sedangkan 16 persen adalah para netizen berusia di atas 45 tahun. Bahkan, hampir 95 persen
dari netizen tersebut adalah pengguna internet melalui perangkat mobile smartphone www.the-marketeers.com. Pemerintah dan lembaga-lembaga yang
memberikan perhatian pada perlindungan konsumen dapat memanfaatkan internet sebagai salah satu media pendidikan konsumen. Kepemilikan telepon genggam
semakin mempermudah akses masyarakat terhadap internet hingga ke wilayah kabupaten terpencil. Selain itu, program-program seperti cyber extension juga
dapat dimanfaatkan pemerintah dengan kerjasama lintas kementerian, sehingga daya jangkau pendidikan konsumen akan semakin luas ke seluruh wilayah
Indonesia.
Konsumen yang berdaya akan berdampak pada kesejahteraan subjektif konsumen. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kesejahteraan subjektif
konsumen memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan skor keberdayaan konsumen, artinya meskipun konsumen tidak berdaya namun
cenderung puas terhadap pemenuhan kebutuhan, konsumsi, hak konsumen, pendidikan konsumen dan perlindungan konsumen. Hal ini terjadi karena
ketidaktahuan responden, sehingga harapannya relatif rendah dan cenderung puas dengan kondisi yang ada. Kaynak dan Wikstrom 1985 menyatakan bahwa
peningkatan pendapatan dan pendidikan menyebabkan semakin tingginya harapan, kemudian menciptakan banyak ketidakpuasan di kalangan konsumen.
112 Kesejahteraan subjektif konsumen pada dimensi perlindungan konsumen
dan pendidikan konsumen adalah yang paling rendah baik di wilayah Kabupaten maupun Kota Bogor. Untuk wilayah kabupaten, konsumen akan semakin
sejahtera dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk
wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya
pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen. Intensitas pendidikan yang semakin
tinggi akan meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen, baik untuk kabupaten maupun kota. Menurut Bannister dan Monsma Sandlin 2004,
pendidikan konsumen adalah proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sumber daya pribadi dan untuk berpartisipasi dalam keputusan
sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi kesejahteraan individu dan kepentingan publik. Artinya muara dari pendidikan konsumen adalah untuk
mensejahterakan konsumen, yang tercermin dalam hasil penelitian. Semakin banyak jumlah kelompok rujukan, maka kesejahteraan subjektif konsumen akan
semakin rendah. Semakin beragam kelompok rujukan sebagai sumber informasi responden, akan menaikkan harapan responden terhadap pemenuhan kebutuhan,
konsumsi, pendidikan konsumen, hak konsumen maupun perlindungan konsumen. Temuan menarik penelitian adalah kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi
secara negatif oleh pendidikan formal, artinya semakin tinggi pendidikan formal responden maka kepuasannya akan semakin rendah. Hal ini diakibatkan
responden yang tinggi pendidikannya akan semakin tinggi pula harapannya, sehingga cenderung tidak puas dibandingkan responden yang pendidikannya
rendah. Kaynak dan Wikstrom 1985 menyatakan bahwa peningkatan pendidikan menyebabkan semakin tingginya level harapan, yang kemudian menciptakan lebih
banyak kecemasan dan ketidakpuasan di kalangan konsumen.
Dari aspek ketersediaan makanan kemasan yang saat ini sangat berlimpah di pasar, ternyata mamu mensejahterakan konsumen. Ketersediaan produk yang
diperdagangkan tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi dapat pula berasal dari luar negeri. Seiring dengan rencana pembentukan pasar bebas ASEAN,
semakin memperbesar peluang beragamnya produk luar negeri yang masuk ke Indonesia. Selanjutnya, harga menjadi salah satu penentu kesejahteraan konsumen
karena berbagai hasil penelitian termasuk Jarva 2011 menunjukkan bahwa konsumen sangat memperhatikan aspek harga produk. Keberdayaan konsumen
akan meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen, karena dampak dari pemberdayaan konsumen akan membuat konsumen mampu mengevaluasi
berbagai pilihan dan menghasilkan keputusan lebih baik, sehingga semakin berpeluang memaksimalkan kepuasan konsumen Wathieu et al. 2002.
Jika dicermati, masih rendahnya motivasi konsumen untuk mengakses pendidikan konsumen dan kurangnya keinginan konsumen untuk menegaskan
haknya, maka perlindungan konsumen masih berada pada tataran kebijakan, belum menyentuh ke lapisan terbawah masyarakat. Diperlukan kerja keras
pemerintah untuk mengedukasi masyarakat konsumen Indonesia yang jumlahnya nomor empat terbesar di dunia. Pemberdayaan konsumen harus dilakukan secara
terstruktur dan terus menerus, mulai lapisan makro, meso, hingga mikro. Masyarakat konsumen Indonesia yang cenderung menerima perlakuan pelaku
113 usaha karena tidak ingin direpotkan oleh urusan birokrasi harus disadarkan karena
pemasar di era ini bukan hanya lokal, namun juga dari luar negeri. Jika konsumen tidak memiliki posisi tawar yang kuat, maka pelaku usaha akan memproduksi
produk-produk dengan kualitas rendah, bahkan membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Sebaliknya, dengan meningkatkan keberdayaan konsumen,
diharapkan tidak menimbulkan kontra prestasi terhadap dunia usaha. Semangat yang dibangun dari pemberdayaan konsumen adalah dengan menciptakan
konsumen yang cerdas, kritis dan berdaya akan menjadi daya ungkit dan motivasi bagi produsen untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan pelayanan
yang maksimal, sehingga secara alami pelaku usaha yang tidak berpihak kepada konsumen jika tidak melakukan perubahan usaha ke arah yang lebih baik akan
ditinggalkan oleh konsumen dan tidak dapat bertahan. Kontribusi Penelitian
Kontribusi penelitian ini secara metodologis adalah dihasilkannya instrumen keberdayaan konsumen yang lebih komprehensif dan lengkap dibandingkan
instrumen sebelumnya oleh Nardo et al. 2011. Pengembangan instrumen keberdayaan konsumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan
instrumen keberdayaan konsumen dari studi Nardo et al. 2011, UUPK Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Berdasarkan hasil pencarian referensi yang dilakukan peneliti, pengembangan instrumen keberdayaan konsumen di Indonesia belum dilakukan.
Kontribusi penelitian terhadap bidang ilmu konsumen adalah dihasilkannya indeks keberdayaan konsumen, meskipun masih memerlukan kajian yang lebih
banyak dengan sasaran responden dan produk yang beragam. Dari perspektif ilmu penyuluhan pembangunan, penelitian ini memberikan paradigma baru
penyuluhan dengan konsumen sebagai stakeholder utama, bukan produsen atau pelaku usaha yang selama ini banyak dilakukan.
Kontribusi praktis adalah pengembangan kebijakan tentang strategi pemberdayaan konsumen dengan mengacu pada data-data penelitian yang
dihasilkan dapat menjadi baseline data untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Kontribusi lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebuah model
pemberdayaan konsumen yang dapat menjadi acuan bagi pengembangan kajian pemberdayaan konsumen Gambar 9 yang dibuat berdasarkan hasil penelitian.
Pada bagian input terdapat sumberdaya internal berupa pendidikan formal konsumen, tingkat pendapatan dan kekosmopolitan, sedangkan sumberdaya
eksternal mencakup faktor lingkungan ketersediaan produk, keterjangkauan harga, kelompok rujukan. Proses tercermin dari implementasi berbagai program
pemberdayaan konsumen yang telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan RI, YLKI, LPKSM, BPSK, BPOM, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi KabupatenKota, maupun pihak swasta. Salah satu program pemberdayaan konsumen yang dilakukan adalah pendidikan konsumen mencakup
frekuensi pendidikan konsumen, jenis media yang digunakan, dan materi pendidikan konsumen yang diberikan. Ouput pemberdayaan konsumen yang
dihasilkan adalah keberdayaan konsumen yang meliputi tiga dimensi, yakni keterampilan konsumen dengan sub dimensi keterampilan dasar, pemahaman
tentang label, dan keterampilan membaca label. Dimensi kedua adalah
114 pengalaman praktik tidak adil dan pemenuhan hak konsumen dengan sub dimensi
pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen. Dimensi ketiga adalah ketegasan konsumen dengan sub dimensi perbandingan
produk, pemahaman tentang Undang-Undang dan Lembaga Perlindungan Konsumen, kecenderungan konsumen untuk bicara, serta komplain dan ganti rugi.
Outcome yang dihasilkan dari pemberdayaan konsumen adalah kesejahteraan subjektif konsumen yang meliputi dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi,
pendidikan konsumen, hak konsumen, dan perlindungan konsumen.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah fokus yang hanya pada kelas produk makanan kemasan membuat penelitian tidak dapat menangkap keberdayaan
konsumen secara umum. Padahal di sisi lain tidak semua variabel penelitian dapat diarahkan secara spesifik kepada makanan kemasan. Produk makanan kemasan
juga tergolong dalam keterlibatan yang rendah terkait pencarian informasi, karena telah menjadi kebiasaan mengkonsumsi daily consumption, sehingga konsumen
cenderung tidak memberikan perhatian, seperti contohnya dalam membaca label ataupun mengajukan komplain ketika dirugikan oleh pelaku usaha.
Ada beberapa variabel yang butir pertanyaannya adalah merecall, sehingga memungkinkan informasi yang diberikan kurang valid karena mengandalkan
ingatan responden. Kelemahan lainnya adalah instrumen penelitian yang masih baru, sehingga dirasakan masih harus dilakukan pengembangan dan pengujian
lebih dalam, agar menjadi instrumen baku yang mampu mengukur keberdayaan konsumen.
Konsep keberdayaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberdayaan secara umum, bukan secara spesifik kepada keberdayaan konsumen,
dikarenakan masih terbatasnya studi empiris tentang keberdayaan konsumen. Berbagai referensi tentang keberdayaan konsumen lebih banyak ke arah aktifitas
pelaku usaha dalam memberdayakan konsumen, demikian pula dengan referensi tentang kesejahteraan subjektif konsumen, yang lebih banyak mengacu pada
kepuasan terhadap pemasaran produk. Hal tersebut membuat ada kebingungan dalam mengaitkannya dengan kondisi subjektif konsumen yang diteliti dalam
studi ini. Selain itu, dalam penelitian ini tidak semua teori perilaku konsumen dapat diterapkan dalam menjelaskan keberdayaan konsumen.
Kelemahan lainnya adalah pembedaan wilayah yang awalnya diharapkan menggambarkan wilayah perdesaan dalam UU RI Nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman kabupaten, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi dan perkotaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
didefinisikan sebagai suatu daerah yang memiliki suasana kehidupan dan penghidupan modern, ternyata tidak dapat digunakan, meskipun sebetulnya
pemilihan lokasi dilakukan secara acak. Hal ini dikarenakan untuk Kecamatan Ciomas, desa yang terpilih adalah desa yang cenderung sudah mencerminkan
karakteristik kota, sehingga diambil keputusan untuk mengubah stratifikasi berdasarkan wilayah administratif kabupaten dan kota.
115
SUMBERDAYA EKSTERNAL
- Faktor Lingkungan ketersediaan produk, keterjangkauan harga, kelompok rujukan
- Program Pemberdayaan Konsumen oleh Kementerian Perdagangan RI, YLKI, LPKSM,
BPSK, BPOM, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi KabupatenKota, maupun pihak
swasta
I N
P U
T
PROGRAM PEMBERDAYAAN KONSUMEN MELALUI
PENDIDIKAN KONSUMEN -
Media Pendidikan Konsumen -
Materi Pendidikan Konsumen -
Frekuensi Pendidikan Konsumen
KEBERDAYAAN KONSUMEN
Gambar 9 Model pemberdayaan konsumen
O U
T C
O M
E P
R O
S E
S
KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF KONSUMEN
- Pemenuhan kebutuhan
- Konsumsi
- Pendidikan konsumen
- Hak konsumen
- Perlindungan konsumen
SUMBERDAYA INTERNAL
- Pendidikan Formal
Konsumen -
Tingkat Pendapatan -
Kekosmopolitan
Keterampilan Konsumen
- Keterampilan Dasar
- Pemahaman tentang
Label -
Keterampilan Membaca Label
Pengalaman Praktik Tidak Adil dan
Pemenuhan Hak Konsumen :
- Pengalaman Praktik
Tidak Adil
- Pemenuhan Hak
Konsumen
Ketegasan Konsumen:
-
Perbandingan Produk
- Pemahaman tentang
Undang-Undang dan Lembaga Perlindungan
Konsumen
- Kecenderungan untuk
Bicara
- Komplain dan ganti
rugi O
U T
P U
T
116