FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF KONSUMEN
95
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat kesejahteraan subjektif konsumen di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, sehingga dapat
menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan agar dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen. Penelitian ini juga dapat berkontribusi terhadap
pengayaan bidang ilmu konsumen maupun penyuluhan pembangunan.
METODE
Jenis data penelitian meliputi: 1 karakteristik demografi usia, besar keluarga, status pekerjaan, lama pendidikan, pendapatan, 2 kekosmopolitan, 3
faktor lingkungan keterjangkauan harga, kelompok rujukan, dan ketersediaan produk, 3 intensitas pendidikan konsumen frekuensi pendidikan konsumen,
media pendidikan konsumen, dan materi pendidikan konsumen, 4 keberdayaan konsumen mencakup tiga dimensi, yakni keterampilan konsumen, pengalaman
praktik tidak adil dan pemenuhan hak konsumen, dan ketegasan konsumen, dan 5 kesejahteraan subjektif konsumen pemenuhan kebutuhan, konsumsi,
pendidikan konsumen, hak konsumen, dan perlindungan konsumen.
Data yang diperoleh diolah dengan Microsoft Excel versi 2007 dan SPSS 18.0 for Windows. Skor setiap variabel dikompositkan, lalu ditransformasi
menjadi skala 0 sampai 100. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah independent sample t-test, korelasi Pearson, dan regresi linier berganda.
Ada dua hipotesis yang dijawab melalui penelitian ini, yakni : tingkat kesejahteraan subjektif konsumen berbeda nyata antara kelompok responden di
Kabupaten dan Kota Bogor H1 dan karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, intensitas pendidikan konsumen, dan keberdayaan konsumen
berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan subjektif konsumen H2.
HASIL
Analisis Faktor Instrumen Kesejahteraan Subjektif Konsumen
Hasil analisis instrumen kesejahteraan subjektif konsumen menggunakan komponen utama dan faktor konfirmatori disajikan pada Lampiran 12. Instrumen
kesejahteraan subjektif konsumen terdiri dari 14 butir pernyataan dengan kisaran skor 0 sampai 3 dan total skor berkisar antara 0 sampai 42. Awalnya jumlah butir
pernyataan adalah 26 butir, namun 12 butir dikeluarkan untuk mencapai instrumen yang reliabel melalui analisis faktor. Hasil analisis cronbach alpha
menunjukkan kisaran nilai antara 0.596 hingga 0.935. Hasil Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy adalah 0.756 dengan Bartletts Test of Sphericity
2660.392, Approx. Chi-Square df= 105; Sig= 0.000. Artinya, hasil pengujian KMO adalah nyata dan nilai sebesar 0.756 mengindikasikan pola korelasi diantara
butir relatif erat dan baik, karena diatas nilai yang disarankan oleh Field 2003, yakni 0.500.
96 Pengelompokan lima komponen yang dihasilkan ke dalam komponen
pendidikan konsumen 4 butir, hak konsumen 4 butir, konsumsi 2 butir, pemenuhan kebutuhan 3 butir dan perlindungan konsumen 2 butir. Rentang
nilai faktor muatan pada setiap dimensi tergolong baik, yakni dimensi pendidikan konsumen antara 0.79 hingga 0.98, dimensi hak konsumen antara 0.70 hingga
0.98, dimensi konsumsi antara 0.90 hingga 0.94, dimensi pemenuhan kebutuhan antara 0.61 hingga 0.73 dan dimensi perlindungan konsumen antara 0.57 hingga
0.74.
Dengan demikian, dapat dikatakan semua indikator memiliki kontribusi dalam menjelaskan konstrak latennya.
Kesejahteraan Subjektif Konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor
Rata-rata skor komposit kesejahteraan subjektif konsumen di kota 56.47 lebih tinggi dibandingkan kabupaten 54.87, meskipun hasil uji beda
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata skor kesejahteraan subjektif konsumen antara responden di kabupaten dan kota. Berdasarkan dimensinya,
perbedaan yang nyata ditemukan pada dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi, dan pendidikan konsumen. Skor terendah responden untuk kedua wilayah adalah
pada dimensi perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen Tabel 23.
Tabel 23 Rata-rata skor 0-100 dan uji beda kesejahteraan subjektif konsumen
dan dimensinya antara kabupaten dan kota
Kesejahteraan Subjektif Konsumen Kabupaten
Kota Uji Beda Wilayah p
1.
Pemenuhan Kebutuhan 66.00
68.70 0.041
2.
Konsumsi 62.84
56.47 0.000
3.
Pendidikan Konsumen 45.17
51.74 0.031
4.
Hak Konsumen 60.92
59.80 0.508
5.
Perlindungan Konsumen 40.63
42.71 0.463
Kesejahteraan subjektif konsumen
54.87 56.47
0.178
Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01
Hubungan Pendidikan Konsumen dan Keberdayaan Konsumen dengan
Tingkat Kesejahteraan Subjektif Konsumen
Untuk menggali hubungan antara pendidikan konsumen, serta keberdayaan konsumen dan dimensinya dengan kesejahteraan subjektif konsumen dan
dimensinya, masing-masing untuk wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, dilakukan analisis korelasi Pearson Tabel 24. Untuk wilayah kabupaten, peningkatan
intensitas pendidikan konsumen akan meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen pada dimensi pendidikan konsumen, hak konsumen, dan indeks
kesejahteraan subjektif konsumen. Praktik tidak adil yang semakin rendah dan pemenuhan hak konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan
pemenuhan kebutuhan, pendidikan konsumen, hak konsumen dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Ketegasan konsumen yang semakin baik akan
meningkatkan kesejahteraan subjektif pendidikan konsumen, dan perlindungan
97 konsumen. Keberdayaan konsumen yang semakin tinggi akan menurunkan
kesejahteraan konsumsi, namun meningkatkan kesejahteraan pendidikan konsumen, hak konsumen, perlindungan konsumen dan indeks kesejahteraan
subjektif konsumen.
Tabel 24 Korelasi Pearson intensitas pendidikan konsumen, dan keberdayaan
konsumen dan dimensinya dengan kesejahteraan subjektif konsumen dan dimensinya di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor
WilayahVariabel Pemenuhan
kebutuhan Konsumsi
Pendidikan konsumen
Hak konsumen
Perlindungan konsumen
Indeks Kesejahteraan
Subjektif Konsumen
Kabupaten
- Intensitas pendidikan
konsumen -0.063
-0.065 0.412
0.171 0.078
0.377
- Ketrampilan konsumen
-0.105 -0.115
0.213 -0.018
0.082 0.154
- Praktik Tidak Adil dan
Pemenuhan Hak Konsumen
0.216 -0.147
0.313 0.251
0.110 0.366
- Ketegasan konsumen
-0.078 -0.129
0.157 -0.009
0.189 0.152
- Indeks Keberdayaan
Konsumen 0.118
-0.170 0.319
0.181 0.158
0.347
Kota
- Intensitas pendidikan
konsumen -0.007
-0.075 0.233
0.056 0.075
0.178 -
Ketrampilan konsumen 0.019
-0.057 0.220
-0.062 -0.019
0.111 -
Praktik Tidak Adil dan Pemenuhan Hak
Konsumen 0.384
0.004 0.254
0.362 0.147
0.447 -
Ketegasan konsumen -0.205
-0.248 0.072
-0.204 0.255
-0.049 -
Indeks Keberdayaan Konsumen
0.279 -0.095
0.289 0.247
0.224 0.406
Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01
Untuk wilayah kota, intensitas pendidikan konsumen yang semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan pendidikan konsumen dan indeks kesejahteraan
subjektif konsumen. Keterampilan konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pendidikan konsumen. Praktik tidak adil
yang semakin rendah dan pemenuhan hak konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pemenuhan kebutuhan, pendidikan
konsumen, hak konsumen, dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Ketegasan konsumen yang semakin baik akan menurunkan kesejahteraan
subjektif pemenuhan kebutuhan, konsumsi, hak konsumen, dan menaikkan kesejahteraan subjektif perlindungan konsumen. Keberdayaan konsumen yang
semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pemenuhan kebutuhan, pendidikan konsumen, hak konsumen, perlindungan konsumen, dan indeks
kesejahteraan subjektif konsumen. Hasil analisis hubungan yang diperoleh baik di kabupaten maupun kota, secara umum menunjukkan konsistensi antara
kesejahteraan subjektif dengan intensitas pendidikan konsumen dan dimensi keberdayaan konsumen.
98
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Subjektif Konsumen
Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, pendidikan
konsumen dan keberdayaan konsumen terhadap kesejahteraan subjektif konsumen. Berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov terkait kenormalan data, hasil
yang diperoleh menunjukkan data berdistribusi normal baik untuk kabupaten maupun kota, karena nilai signifikansi lebih besar dari 0.05, artinya asumsi
normalitas terpenuhi, sedangkan nilai Durbin Watson yang mendekati 2 dua menunjukkan bahwa model bebas autokorelasi Tabel 25.
Tabel 25 Koefisien regresi faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan
subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor
Variabel Tidak Bebas Kabupaten
Kota Beta
Sig. Beta
Sig. Usia tahun
-0.140 0.054
-0.099 0.107
Besar keluarga orang 0.091
0.212 0.050
0.414 Status Pekerjaan 0=Tidak Bekerja; 1=Bekerja
0.006 0.931
-0.097 0.102
Lama Pendidikan Formal tahun -0.044
0.629
-0.166 0.031
Pendapatan Rpkapitabulan -0.138
0.083 0.046
0.532 Kekosmopolitan skor
0.150 0.085
0.086 0.230
Ketersediaan makanan kemasan skor 0.124
0.093 0.282 0.000
Kelompok rujukan skor
-0.237 0.007
-0.074 0.288
Harga makanan kemasan skor 0.243
0.001 0.433 0.000
Intensitas pendidikan konsumen skor
0.451 0.000
0.214 0.002
Keberdayaan Konsumen skor 0.078
0.466 0.150
0.037
Kolmogorov-Smirnov Z Sig 0.448
0.988 0.562
0.910 Durbin-Watson
1.990 1.863
F sig 7.163
0.000 14.526
0.000 Adjusted R Square
0.299 0.483
Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01
Untuk wilayah kabupaten, hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara nyata oleh
intensitas pendidikan konsumen =0.451; p=0.000, kelompok rujukan = -
0.237; p=0.007, dan harga makanan kemasan =0.243; p=0.001. Artinya,
konsumen akan semakin sejahtera dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga
makanan kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi oleh pendidikan formal
= -0.166; p=0.031, intensitas pendidikan konsumen
=0.214; p=0.002, ketersediaan makanan kemasan =0.282; p=0.000, harga makanan kemasan
=0.433; p=0.000, dan keberdayaan konsumen
=0.150; p=0.037. Artinya, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah,
semakin intensifnya
pendidikan konsumen,
semakin tersedianya
dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen.
99 Secara keseluruhan, variabel-variabel yang diteliti berpengaruh nyata
terhadap kesejahteraan subjektif konsumen, untuk kabupaten adalah 0.299 dan untuk kota adalah 0.483. Artinya, variabel-variabel yang diteliti baik pendidikan
konsumen, faktor lingkungan dan karakteristik demografi memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen sebesar 29.9 persen untuk kabupaten dan 48.3
persen untuk kota, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Variabel lain yang tidak diteliti, namun memengaruhi kesejahteraan
subjektif konsumen diantaranya adalah kepribadian traits, kesehatan, dan jaringan antarpribadi Headey 1991. Kohesi sosial misalnya kepercayaan
politik dan inklusi sosial misalnya, keterlibatan dengan organisasi sosial dan budaya dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif. Sejauh mana orang dapat
mengekspresikan dirinya secara bebas berhubungan langsung dengan tingkat kesejahateraannya Yuan dan Golpelwar 2012.
PEMBAHASAN
Ada dua hipotesis yang dijawab melalui penelitian ini, yakni : tingkat kesejahteraan subjektif konsumen berbeda nyata antara kelompok responden di
Kabupaten dan Kota Bogor H1 dan karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, intensitas pendidikan konsumen, dan keberdayaan konsumen
berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan subjektif konsumen H2.
Hipotesis 1 terjawab dengan hasil analisis tingkat kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor yang menyimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata skor kesejahteraan subjektif konsumen antara kedua lokasi. Jika dilihat per dimensi, perbedaan yang nyata ditemukan pada
dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi, dan pendidikan konsumen, sedangkan pada dimensi hak konsumen dan perlindungan konsumen tidak berbeda nyata
antara Kabupaten dan Kota Bogor. Kesejahteraan terendah responden untuk kedua wilayah adalah terhadap perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen. Hal
ini sejalan dengan temuan Paim et al. 2012 yang menyimpulkan bahwa responden paling tidak puas dengan program pendidikan konsumen dan
penegakan hukum dan kebijakan konsumen.
Jika dicermati berdasarkan butir pernyataan kesejahteraan subjektif konsumen, pada dimensi pemenuhan konsumen, hanya kepuasan dalam hal
keterjangkauan tempat pembelian makanan kemasan yang berbeda nyata antara responden di kabupaten dan kota. Responden yang tinggal di kota cenderung lebih
mudah untuk mengakses lokasi pembelian produk makanan kemasan, sehingga merasa lebih puas dibandingkan responden di kabupaten.
Pada dimensi mengonsumsi makanan kemasan, ada perbedaan kesejahteraan
yang nyata antara responden di kabupaten dan kota dalam hal pencantuman label halal dan kadaluwarsa pada berbagai makanan kemasan. Responden yang tinggal
di kabupaten cenderung lebih merasa puas dengan tercantumnya label halal dan kadaluwarsa yang ada di produk makanan kemasan. Responden di kota lebih
selektif dalam mencermati label halal yang asli dikeluarkan MUI ataupun tulisan halal biasa tanpa perizinan MUI dan mencermati pencantuman tanggal
kadaluwarsa.
100 Pada dimensi pendidikan konsumen, terdapat perbedaan yang nyata antara
kesejahteraan subjektif responden di kabupaten dan kota dalam hal ketersediaan informasi tentang makanan kemasan yang diperoleh dari media cetak, kepuasan
terhadap metode penyampaian pendidikan konsumen, dan kepuasan terhadap intensitas pendidikan konsumen. Rata-rata skor indeks kesejahteraan subjektif
dimensi pendidikan konsumen di kota lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Mengacu dari hasil penelitian Siwach dan Dahiya 2009, wanita perkotaan
memiliki pengetahuan yang tergolong baik, karena lebih menyediakan waktunya untuk mengembangkan pengetahuannya melalui pendidikan konsumen. Secara
keseluruhan yang dilihat dari rata-rata skor kesejahteraan subjektif pendidikan konsumen, responden di kota cenderung lebih merasa puas dengan pelaksanaan
pendidikan konsumen dibandingkan responden di kabupaten.
Jika dicermati dimensi pemenuhan hak atas perlindungan konsumen, responden di kabupaten lebih merasa puas akan informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan produk makanan kemasan. Sebaliknya, responden di kota menganggap masih banyak pelanggaran terhadap hak-hak
konsumen, sehingga belum mencapai kesejahteraan.
Hipotesis 2 terjawab dengan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa untuk wilayah kabupaten, hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan
kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara nyata oleh intensitas pendidikan konsumen, kelompok rujukan, dan harga makanan kemasan. Artinya,
konsumen akan semakin puas dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan
kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi oleh pendidikan formal, intensitas pendidikan konsumen, ketersediaan makanan
kemasan, harga makanan kemasan, dan keberdayaan konsumen. Artinya, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan
pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin
berdayanya konsumen.
Intensitas pendidikan yang semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen, baik untuk kabupaten maupun kota. Hal ini tercermin pula
dari hasil analisis korelasi Pearson yang mengindikasikan peningkatan intensitas pendidikan konsumen akan meningkatkan kepuasan pendidikan konsumen untuk
kedua wilayah. Menurut Jarva 2011, pendidikan konsumen merupakan pendidikan yang dibutuhkan seumur hidup karena situasi konsumen yang tidak
akan berhenti berubah dan berkaitan erat dengan perubahan lainnya dalam sistem dunia. Konsumen yang semakin rutin mengakses pendidikan konsumen akan
menjadi semakin berdaya dalam memperjuangkan haknya, sehingga berpeluang besar mencapai kepuasan sebagai konsumen. Menurut Bannister dan Monsma
Sandlin 2004, pendidikan konsumen adalah proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sumber daya pribadi dan untuk berpartisipasi
dalam keputusan sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi kesejahteraan individu dan kepentingan publik
Untuk wilayah kabupaten, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara nyata dan negatif oleh kelompok rujukan, artinya semakin banyak jumlah
kelompok rujukan, maka kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin rendah. Semakin beragam kelompok rujukan sebagai sumber informasi responden, akan
101 menaikkan harapan responden terhadap pemenuhan kebutuhan, konsumsi,
pendidikan konsumen, hak konsumen maupun perlindungan konsumen. Padahal menurut Setiadi 2010, kelompok rujukan sebagai bagian dari faktor sosial yang
mampu memengaruhi perilaku pembelian konsumen. Mengacu pada Kotler dan Amstrong 2008, konsumen yang merasakan kepuasan terhadap produk tertentu
akan memberitahu kepada tiga orang mengenai pengalaman positifnya dengan suatu produk tersebut, sedangkan kalau merasakan ketidakpuasan akan
memberitahu kepada sebelas orang. Jika responden merasa tidak puas mengonsumsi makanan kemasan yang telah dibelinya, cenderung melaporkan
kepada orang lain yang ada di sekitarnya, mulai dari anggota keluarga hingga tetangga dan teman seprofesi. Tindakan lain yang dapat dilakukan bila tidak puas
setelah membeli atau mengonsumsi suatu produk menurut Bensley dan Fisher 2003 akan menuntut ganti rugi, mengajukan keluhan, memutuskan berhenti
membeli produk atau merek tertentu, dan memperingatkan orang lain untuk tidak membeli produk yang telah menyebabkan ketidakpuasan.
Untuk kabupaten dan kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi harga makanan kemasan, artinya semakin terjangkau harga makanan kemasan,
konsumen akan cenderung puas. Ketika membeli makanan kemasan, sebagian besar responden pun mengungkapkan akan mempertimbangkan harga dari produk
makanan kemasan yang hendak dibelinya, serta lebih memilih makanan kemasan dalam negeri yang cenderung lebih murah dibandingkan makanan kemasan
buatan luar negeri. Apabila nilai yang dirasakan konsumen semakin tinggi, maka akan menciptakan kepuasan yang maksimal Tjiptono 2001. Hasil penelitian
Jarva 2011 menunjukkan bahwa konsumen sangat memperhatikan aspek harga produk. Hasil penelitian Hanif et al. 2010, Ng 2001, Sahari et al. 2012, dan
Resano et al. 2011 menunjukkan bahwa harga berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Jika harga yang ditetapkan oleh sebuah perusahaan tidak
sesuai dengan manfaat produk, maka hal itu dapat menurunkan tingkat kepuasan pelanggan, dan sebaliknya jika harga yang ditetapkan oleh sebuah perusahaan
sesuai dengan manfaat yang diterima, maka akan meningkatkan kepuasan pelanggan Kertajaya 2002.
Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara negatif oleh pendidikan formal, artinya semakin tinggi pendidikan formal
responden maka kepuasannya akan semakin rendah. Hal ini diakibatkan responden yang tinggi pendidikannya akan semakin tinggi pula harapannya,
sehingga cenderung tidak puas dibandingkan responden yang pendidikannya rendah. Kaynak dan Wikstrom 1985 menyatakan bahwa peningkatan pendidikan
menyebabkan semakin tingginya level harapan, yang kemudian menciptakan lebih banyak kecemasan dan ketidakpuasan di kalangan konsumen.
Untuk kota, ketersediaan makanan kemasan memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen. Lebih dari dua pertiga responden di kota menyatakan
makanan kemasan yang tersedia di pasaran sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan makanan
kemasan yang dibutuhkan oleh responden sudah relatif baik sehingga konsumen sudah puas. Ketersediaan produk yang diperdagangkan tidak hanya berasal dari
dalam negeri, tetapi dapat pula berasal dari luar negeri. Seiring dengan rencana pembentukan pasar bebas ASEAN, semakin memperbesar peluang beragamnya
produk luar negeri yang masuk ke Indonesia. Menurut Sumarwan 2011, orang
102 yang tinggal di desa akan memiliki akses terbatas kepada berbagai produk dan
jasa. Sebaliknya, konsumen yang tinggal di kota-kota besar lebih mudah memperoleh semua barang dan jasa yang dibutuhkannya. Konsumen di kota
dihadapkan pada pola konsumsi modern yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen Wang dan VanderWeele 2011.
Untuk kota, keberdayaan konsumen memengaruhi secara nyata dan positif kesejahteraan subjektif konsumen, artinya semakin berdaya konsumen maka
kepuasannya juga akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan Wathieu et al. 2002, bahwa dampak dari pemberdayaan konsumen akan membuat konsumen
mampu mengevaluasi berbagai pilihan dan menghasilkan keputusan yang lebih baik, sehingga semakin berpeluang memaksimalkan kepuasan yang akan
diperolehnya. Hunter dan Garnefeld 2008 juga menyatakan bahwa pemberdayaan konsumen berdampak besar terhadap kesejahteraan subjektif
konsumen. Temuan Iyengar dan Mark 2000 juga menyebutkan bahwa pemberdayaan konsumen akan menyebabkan konsumen semakin mudah membuat
pilihan dari berbagai alternatif dan lebih merasa puas terhadap keputusan yang telah dibuatnya.
SIMPULAN
Tingkat kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor tidak berbeda nyata. Kesejahteraan subjektif terendah responden untuk kedua
wilayah adalah terhadap perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen. Perbedaan yang nyata ditemukan pada dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi,
dan pendidikan konsumen, sedangkan pada dimensi hak konsumen dan perlindungan konsumen tidak berbeda nyata antara Kabupaten dan Kota Bogor.
Untuk wilayah kabupaten, konsumen akan semakin tinggi kesejahteraannya dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok
rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan
pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin
berdayanya konsumen.
103