FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF KONSUMEN

95 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat kesejahteraan subjektif konsumen di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, sehingga dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan agar dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen. Penelitian ini juga dapat berkontribusi terhadap pengayaan bidang ilmu konsumen maupun penyuluhan pembangunan. METODE Jenis data penelitian meliputi: 1 karakteristik demografi usia, besar keluarga, status pekerjaan, lama pendidikan, pendapatan, 2 kekosmopolitan, 3 faktor lingkungan keterjangkauan harga, kelompok rujukan, dan ketersediaan produk, 3 intensitas pendidikan konsumen frekuensi pendidikan konsumen, media pendidikan konsumen, dan materi pendidikan konsumen, 4 keberdayaan konsumen mencakup tiga dimensi, yakni keterampilan konsumen, pengalaman praktik tidak adil dan pemenuhan hak konsumen, dan ketegasan konsumen, dan 5 kesejahteraan subjektif konsumen pemenuhan kebutuhan, konsumsi, pendidikan konsumen, hak konsumen, dan perlindungan konsumen. Data yang diperoleh diolah dengan Microsoft Excel versi 2007 dan SPSS 18.0 for Windows. Skor setiap variabel dikompositkan, lalu ditransformasi menjadi skala 0 sampai 100. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah independent sample t-test, korelasi Pearson, dan regresi linier berganda. Ada dua hipotesis yang dijawab melalui penelitian ini, yakni : tingkat kesejahteraan subjektif konsumen berbeda nyata antara kelompok responden di Kabupaten dan Kota Bogor H1 dan karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, intensitas pendidikan konsumen, dan keberdayaan konsumen berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan subjektif konsumen H2. HASIL Analisis Faktor Instrumen Kesejahteraan Subjektif Konsumen Hasil analisis instrumen kesejahteraan subjektif konsumen menggunakan komponen utama dan faktor konfirmatori disajikan pada Lampiran 12. Instrumen kesejahteraan subjektif konsumen terdiri dari 14 butir pernyataan dengan kisaran skor 0 sampai 3 dan total skor berkisar antara 0 sampai 42. Awalnya jumlah butir pernyataan adalah 26 butir, namun 12 butir dikeluarkan untuk mencapai instrumen yang reliabel melalui analisis faktor. Hasil analisis cronbach alpha menunjukkan kisaran nilai antara 0.596 hingga 0.935. Hasil Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy adalah 0.756 dengan Bartletts Test of Sphericity 2660.392, Approx. Chi-Square df= 105; Sig= 0.000. Artinya, hasil pengujian KMO adalah nyata dan nilai sebesar 0.756 mengindikasikan pola korelasi diantara butir relatif erat dan baik, karena diatas nilai yang disarankan oleh Field 2003, yakni 0.500. 96 Pengelompokan lima komponen yang dihasilkan ke dalam komponen pendidikan konsumen 4 butir, hak konsumen 4 butir, konsumsi 2 butir, pemenuhan kebutuhan 3 butir dan perlindungan konsumen 2 butir. Rentang nilai faktor muatan pada setiap dimensi tergolong baik, yakni dimensi pendidikan konsumen antara 0.79 hingga 0.98, dimensi hak konsumen antara 0.70 hingga 0.98, dimensi konsumsi antara 0.90 hingga 0.94, dimensi pemenuhan kebutuhan antara 0.61 hingga 0.73 dan dimensi perlindungan konsumen antara 0.57 hingga 0.74. Dengan demikian, dapat dikatakan semua indikator memiliki kontribusi dalam menjelaskan konstrak latennya. Kesejahteraan Subjektif Konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor Rata-rata skor komposit kesejahteraan subjektif konsumen di kota 56.47 lebih tinggi dibandingkan kabupaten 54.87, meskipun hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata skor kesejahteraan subjektif konsumen antara responden di kabupaten dan kota. Berdasarkan dimensinya, perbedaan yang nyata ditemukan pada dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi, dan pendidikan konsumen. Skor terendah responden untuk kedua wilayah adalah pada dimensi perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen Tabel 23. Tabel 23 Rata-rata skor 0-100 dan uji beda kesejahteraan subjektif konsumen dan dimensinya antara kabupaten dan kota Kesejahteraan Subjektif Konsumen Kabupaten Kota Uji Beda Wilayah p 1. Pemenuhan Kebutuhan 66.00 68.70 0.041 2. Konsumsi 62.84 56.47 0.000 3. Pendidikan Konsumen 45.17 51.74 0.031 4. Hak Konsumen 60.92 59.80 0.508 5. Perlindungan Konsumen 40.63 42.71 0.463 Kesejahteraan subjektif konsumen 54.87 56.47 0.178 Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01 Hubungan Pendidikan Konsumen dan Keberdayaan Konsumen dengan Tingkat Kesejahteraan Subjektif Konsumen Untuk menggali hubungan antara pendidikan konsumen, serta keberdayaan konsumen dan dimensinya dengan kesejahteraan subjektif konsumen dan dimensinya, masing-masing untuk wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, dilakukan analisis korelasi Pearson Tabel 24. Untuk wilayah kabupaten, peningkatan intensitas pendidikan konsumen akan meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen pada dimensi pendidikan konsumen, hak konsumen, dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Praktik tidak adil yang semakin rendah dan pemenuhan hak konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan pemenuhan kebutuhan, pendidikan konsumen, hak konsumen dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Ketegasan konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pendidikan konsumen, dan perlindungan 97 konsumen. Keberdayaan konsumen yang semakin tinggi akan menurunkan kesejahteraan konsumsi, namun meningkatkan kesejahteraan pendidikan konsumen, hak konsumen, perlindungan konsumen dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Tabel 24 Korelasi Pearson intensitas pendidikan konsumen, dan keberdayaan konsumen dan dimensinya dengan kesejahteraan subjektif konsumen dan dimensinya di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor WilayahVariabel Pemenuhan kebutuhan Konsumsi Pendidikan konsumen Hak konsumen Perlindungan konsumen Indeks Kesejahteraan Subjektif Konsumen Kabupaten - Intensitas pendidikan konsumen -0.063 -0.065 0.412 0.171 0.078 0.377 - Ketrampilan konsumen -0.105 -0.115 0.213 -0.018 0.082 0.154 - Praktik Tidak Adil dan Pemenuhan Hak Konsumen 0.216 -0.147 0.313 0.251 0.110 0.366 - Ketegasan konsumen -0.078 -0.129 0.157 -0.009 0.189 0.152 - Indeks Keberdayaan Konsumen 0.118 -0.170 0.319 0.181 0.158 0.347 Kota - Intensitas pendidikan konsumen -0.007 -0.075 0.233 0.056 0.075 0.178 - Ketrampilan konsumen 0.019 -0.057 0.220 -0.062 -0.019 0.111 - Praktik Tidak Adil dan Pemenuhan Hak Konsumen 0.384 0.004 0.254 0.362 0.147 0.447 - Ketegasan konsumen -0.205 -0.248 0.072 -0.204 0.255 -0.049 - Indeks Keberdayaan Konsumen 0.279 -0.095 0.289 0.247 0.224 0.406 Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01 Untuk wilayah kota, intensitas pendidikan konsumen yang semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan pendidikan konsumen dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Keterampilan konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pendidikan konsumen. Praktik tidak adil yang semakin rendah dan pemenuhan hak konsumen yang semakin baik akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pemenuhan kebutuhan, pendidikan konsumen, hak konsumen, dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Ketegasan konsumen yang semakin baik akan menurunkan kesejahteraan subjektif pemenuhan kebutuhan, konsumsi, hak konsumen, dan menaikkan kesejahteraan subjektif perlindungan konsumen. Keberdayaan konsumen yang semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pemenuhan kebutuhan, pendidikan konsumen, hak konsumen, perlindungan konsumen, dan indeks kesejahteraan subjektif konsumen. Hasil analisis hubungan yang diperoleh baik di kabupaten maupun kota, secara umum menunjukkan konsistensi antara kesejahteraan subjektif dengan intensitas pendidikan konsumen dan dimensi keberdayaan konsumen. 98 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Subjektif Konsumen Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui pengaruh karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, pendidikan konsumen dan keberdayaan konsumen terhadap kesejahteraan subjektif konsumen. Berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov terkait kenormalan data, hasil yang diperoleh menunjukkan data berdistribusi normal baik untuk kabupaten maupun kota, karena nilai signifikansi lebih besar dari 0.05, artinya asumsi normalitas terpenuhi, sedangkan nilai Durbin Watson yang mendekati 2 dua menunjukkan bahwa model bebas autokorelasi Tabel 25. Tabel 25 Koefisien regresi faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor Variabel Tidak Bebas Kabupaten Kota Beta Sig. Beta Sig. Usia tahun -0.140 0.054 -0.099 0.107 Besar keluarga orang 0.091 0.212 0.050 0.414 Status Pekerjaan 0=Tidak Bekerja; 1=Bekerja 0.006 0.931 -0.097 0.102 Lama Pendidikan Formal tahun -0.044 0.629 -0.166 0.031 Pendapatan Rpkapitabulan -0.138 0.083 0.046 0.532 Kekosmopolitan skor 0.150 0.085 0.086 0.230 Ketersediaan makanan kemasan skor 0.124 0.093 0.282 0.000 Kelompok rujukan skor -0.237 0.007 -0.074 0.288 Harga makanan kemasan skor 0.243 0.001 0.433 0.000 Intensitas pendidikan konsumen skor 0.451 0.000 0.214 0.002 Keberdayaan Konsumen skor 0.078 0.466 0.150 0.037 Kolmogorov-Smirnov Z Sig 0.448 0.988 0.562 0.910 Durbin-Watson 1.990 1.863 F sig 7.163 0.000 14.526 0.000 Adjusted R Square 0.299 0.483 Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01 Untuk wilayah kabupaten, hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara nyata oleh intensitas pendidikan konsumen =0.451; p=0.000, kelompok rujukan = - 0.237; p=0.007, dan harga makanan kemasan =0.243; p=0.001. Artinya, konsumen akan semakin sejahtera dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi oleh pendidikan formal = -0.166; p=0.031, intensitas pendidikan konsumen =0.214; p=0.002, ketersediaan makanan kemasan =0.282; p=0.000, harga makanan kemasan =0.433; p=0.000, dan keberdayaan konsumen =0.150; p=0.037. Artinya, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen. 99 Secara keseluruhan, variabel-variabel yang diteliti berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan subjektif konsumen, untuk kabupaten adalah 0.299 dan untuk kota adalah 0.483. Artinya, variabel-variabel yang diteliti baik pendidikan konsumen, faktor lingkungan dan karakteristik demografi memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen sebesar 29.9 persen untuk kabupaten dan 48.3 persen untuk kota, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Variabel lain yang tidak diteliti, namun memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen diantaranya adalah kepribadian traits, kesehatan, dan jaringan antarpribadi Headey 1991. Kohesi sosial misalnya kepercayaan politik dan inklusi sosial misalnya, keterlibatan dengan organisasi sosial dan budaya dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif. Sejauh mana orang dapat mengekspresikan dirinya secara bebas berhubungan langsung dengan tingkat kesejahateraannya Yuan dan Golpelwar 2012. PEMBAHASAN Ada dua hipotesis yang dijawab melalui penelitian ini, yakni : tingkat kesejahteraan subjektif konsumen berbeda nyata antara kelompok responden di Kabupaten dan Kota Bogor H1 dan karakteristik demografi, kekosmopolitan, faktor lingkungan, intensitas pendidikan konsumen, dan keberdayaan konsumen berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan subjektif konsumen H2. Hipotesis 1 terjawab dengan hasil analisis tingkat kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata skor kesejahteraan subjektif konsumen antara kedua lokasi. Jika dilihat per dimensi, perbedaan yang nyata ditemukan pada dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi, dan pendidikan konsumen, sedangkan pada dimensi hak konsumen dan perlindungan konsumen tidak berbeda nyata antara Kabupaten dan Kota Bogor. Kesejahteraan terendah responden untuk kedua wilayah adalah terhadap perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen. Hal ini sejalan dengan temuan Paim et al. 2012 yang menyimpulkan bahwa responden paling tidak puas dengan program pendidikan konsumen dan penegakan hukum dan kebijakan konsumen. Jika dicermati berdasarkan butir pernyataan kesejahteraan subjektif konsumen, pada dimensi pemenuhan konsumen, hanya kepuasan dalam hal keterjangkauan tempat pembelian makanan kemasan yang berbeda nyata antara responden di kabupaten dan kota. Responden yang tinggal di kota cenderung lebih mudah untuk mengakses lokasi pembelian produk makanan kemasan, sehingga merasa lebih puas dibandingkan responden di kabupaten. Pada dimensi mengonsumsi makanan kemasan, ada perbedaan kesejahteraan yang nyata antara responden di kabupaten dan kota dalam hal pencantuman label halal dan kadaluwarsa pada berbagai makanan kemasan. Responden yang tinggal di kabupaten cenderung lebih merasa puas dengan tercantumnya label halal dan kadaluwarsa yang ada di produk makanan kemasan. Responden di kota lebih selektif dalam mencermati label halal yang asli dikeluarkan MUI ataupun tulisan halal biasa tanpa perizinan MUI dan mencermati pencantuman tanggal kadaluwarsa. 100 Pada dimensi pendidikan konsumen, terdapat perbedaan yang nyata antara kesejahteraan subjektif responden di kabupaten dan kota dalam hal ketersediaan informasi tentang makanan kemasan yang diperoleh dari media cetak, kepuasan terhadap metode penyampaian pendidikan konsumen, dan kepuasan terhadap intensitas pendidikan konsumen. Rata-rata skor indeks kesejahteraan subjektif dimensi pendidikan konsumen di kota lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Mengacu dari hasil penelitian Siwach dan Dahiya 2009, wanita perkotaan memiliki pengetahuan yang tergolong baik, karena lebih menyediakan waktunya untuk mengembangkan pengetahuannya melalui pendidikan konsumen. Secara keseluruhan yang dilihat dari rata-rata skor kesejahteraan subjektif pendidikan konsumen, responden di kota cenderung lebih merasa puas dengan pelaksanaan pendidikan konsumen dibandingkan responden di kabupaten. Jika dicermati dimensi pemenuhan hak atas perlindungan konsumen, responden di kabupaten lebih merasa puas akan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan produk makanan kemasan. Sebaliknya, responden di kota menganggap masih banyak pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, sehingga belum mencapai kesejahteraan. Hipotesis 2 terjawab dengan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa untuk wilayah kabupaten, hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara nyata oleh intensitas pendidikan konsumen, kelompok rujukan, dan harga makanan kemasan. Artinya, konsumen akan semakin puas dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi oleh pendidikan formal, intensitas pendidikan konsumen, ketersediaan makanan kemasan, harga makanan kemasan, dan keberdayaan konsumen. Artinya, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen. Intensitas pendidikan yang semakin tinggi akan meningkatkan kesejahteraan subjektif konsumen, baik untuk kabupaten maupun kota. Hal ini tercermin pula dari hasil analisis korelasi Pearson yang mengindikasikan peningkatan intensitas pendidikan konsumen akan meningkatkan kepuasan pendidikan konsumen untuk kedua wilayah. Menurut Jarva 2011, pendidikan konsumen merupakan pendidikan yang dibutuhkan seumur hidup karena situasi konsumen yang tidak akan berhenti berubah dan berkaitan erat dengan perubahan lainnya dalam sistem dunia. Konsumen yang semakin rutin mengakses pendidikan konsumen akan menjadi semakin berdaya dalam memperjuangkan haknya, sehingga berpeluang besar mencapai kepuasan sebagai konsumen. Menurut Bannister dan Monsma Sandlin 2004, pendidikan konsumen adalah proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sumber daya pribadi dan untuk berpartisipasi dalam keputusan sosial, politik, dan ekonomi yang memengaruhi kesejahteraan individu dan kepentingan publik Untuk wilayah kabupaten, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara nyata dan negatif oleh kelompok rujukan, artinya semakin banyak jumlah kelompok rujukan, maka kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin rendah. Semakin beragam kelompok rujukan sebagai sumber informasi responden, akan 101 menaikkan harapan responden terhadap pemenuhan kebutuhan, konsumsi, pendidikan konsumen, hak konsumen maupun perlindungan konsumen. Padahal menurut Setiadi 2010, kelompok rujukan sebagai bagian dari faktor sosial yang mampu memengaruhi perilaku pembelian konsumen. Mengacu pada Kotler dan Amstrong 2008, konsumen yang merasakan kepuasan terhadap produk tertentu akan memberitahu kepada tiga orang mengenai pengalaman positifnya dengan suatu produk tersebut, sedangkan kalau merasakan ketidakpuasan akan memberitahu kepada sebelas orang. Jika responden merasa tidak puas mengonsumsi makanan kemasan yang telah dibelinya, cenderung melaporkan kepada orang lain yang ada di sekitarnya, mulai dari anggota keluarga hingga tetangga dan teman seprofesi. Tindakan lain yang dapat dilakukan bila tidak puas setelah membeli atau mengonsumsi suatu produk menurut Bensley dan Fisher 2003 akan menuntut ganti rugi, mengajukan keluhan, memutuskan berhenti membeli produk atau merek tertentu, dan memperingatkan orang lain untuk tidak membeli produk yang telah menyebabkan ketidakpuasan. Untuk kabupaten dan kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi harga makanan kemasan, artinya semakin terjangkau harga makanan kemasan, konsumen akan cenderung puas. Ketika membeli makanan kemasan, sebagian besar responden pun mengungkapkan akan mempertimbangkan harga dari produk makanan kemasan yang hendak dibelinya, serta lebih memilih makanan kemasan dalam negeri yang cenderung lebih murah dibandingkan makanan kemasan buatan luar negeri. Apabila nilai yang dirasakan konsumen semakin tinggi, maka akan menciptakan kepuasan yang maksimal Tjiptono 2001. Hasil penelitian Jarva 2011 menunjukkan bahwa konsumen sangat memperhatikan aspek harga produk. Hasil penelitian Hanif et al. 2010, Ng 2001, Sahari et al. 2012, dan Resano et al. 2011 menunjukkan bahwa harga berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Jika harga yang ditetapkan oleh sebuah perusahaan tidak sesuai dengan manfaat produk, maka hal itu dapat menurunkan tingkat kepuasan pelanggan, dan sebaliknya jika harga yang ditetapkan oleh sebuah perusahaan sesuai dengan manfaat yang diterima, maka akan meningkatkan kepuasan pelanggan Kertajaya 2002. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen dipengaruhi secara negatif oleh pendidikan formal, artinya semakin tinggi pendidikan formal responden maka kepuasannya akan semakin rendah. Hal ini diakibatkan responden yang tinggi pendidikannya akan semakin tinggi pula harapannya, sehingga cenderung tidak puas dibandingkan responden yang pendidikannya rendah. Kaynak dan Wikstrom 1985 menyatakan bahwa peningkatan pendidikan menyebabkan semakin tingginya level harapan, yang kemudian menciptakan lebih banyak kecemasan dan ketidakpuasan di kalangan konsumen. Untuk kota, ketersediaan makanan kemasan memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen. Lebih dari dua pertiga responden di kota menyatakan makanan kemasan yang tersedia di pasaran sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan makanan kemasan yang dibutuhkan oleh responden sudah relatif baik sehingga konsumen sudah puas. Ketersediaan produk yang diperdagangkan tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi dapat pula berasal dari luar negeri. Seiring dengan rencana pembentukan pasar bebas ASEAN, semakin memperbesar peluang beragamnya produk luar negeri yang masuk ke Indonesia. Menurut Sumarwan 2011, orang 102 yang tinggal di desa akan memiliki akses terbatas kepada berbagai produk dan jasa. Sebaliknya, konsumen yang tinggal di kota-kota besar lebih mudah memperoleh semua barang dan jasa yang dibutuhkannya. Konsumen di kota dihadapkan pada pola konsumsi modern yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen Wang dan VanderWeele 2011. Untuk kota, keberdayaan konsumen memengaruhi secara nyata dan positif kesejahteraan subjektif konsumen, artinya semakin berdaya konsumen maka kepuasannya juga akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan Wathieu et al. 2002, bahwa dampak dari pemberdayaan konsumen akan membuat konsumen mampu mengevaluasi berbagai pilihan dan menghasilkan keputusan yang lebih baik, sehingga semakin berpeluang memaksimalkan kepuasan yang akan diperolehnya. Hunter dan Garnefeld 2008 juga menyatakan bahwa pemberdayaan konsumen berdampak besar terhadap kesejahteraan subjektif konsumen. Temuan Iyengar dan Mark 2000 juga menyebutkan bahwa pemberdayaan konsumen akan menyebabkan konsumen semakin mudah membuat pilihan dari berbagai alternatif dan lebih merasa puas terhadap keputusan yang telah dibuatnya. SIMPULAN Tingkat kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor tidak berbeda nyata. Kesejahteraan subjektif terendah responden untuk kedua wilayah adalah terhadap perlindungan konsumen dan pendidikan konsumen. Perbedaan yang nyata ditemukan pada dimensi pemenuhan kebutuhan, konsumsi, dan pendidikan konsumen, sedangkan pada dimensi hak konsumen dan perlindungan konsumen tidak berbeda nyata antara Kabupaten dan Kota Bogor. Untuk wilayah kabupaten, konsumen akan semakin tinggi kesejahteraannya dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen. 103

IX. PEMBAHASAN UMUM

Berdasarkan bukti-bukti empiris yang telah ditemukan dalam penelitian ini, dapat dibuat rangkuman hasil secara singkat yang menjadi dasar dalam penyusunan strategi pemberdayaan konsumen. Secara umum, konsumen di kota lebih berdaya dibandingkan di kabupaten, namun demikian tingkat keberdayaannya masih relatif rendah. Kelompok konsumen paling tidak berdaya adalah usia dewasa lanjut  60 tahun, secara ekonomi miskin, pendidikan formal hanya sampai SMP, dan tidak kosmopolit atau sulit terpapar dengan informasi dari luar, dengan kelompok paling tidak berdaya tinggal di wilayah kabupaten. Dengan demikian, peningkatan keberdayaan harus diberikan penekanan khusus di wilayah kabupaten, meskipun untuk wilayah kota juga harus tetap ditingkatkan. Intensitas pendidikan konsumen juga masih sangat kurang diakses oleh konsumen, baik di kabupaten maupun kota. Konsumen di kabupaten dengan karakteristik berpendidikan tinggi dan kosmopolit, serta konsumen di kota yang lebih kosmopolit akan lebih terdorong mengakses pendidikan konsumen. Keberdayaan konsumen meningkat dengan faktor lingkungan yang baik produk tersedia dan harga terjangkau, responden kosmopolit, dan intensitas pendidikan konsumen yang semakin baik, meskipun untuk konsumen di kota, tidak dipengaruhi oleh intensitas pendidikan konsumen. Selanjutnya, sebagai outcome proses pemberdayaan adalah kesejahteraan subjektif konsumen. Untuk wilayah kabupaten, konsumen akan semakin tinggi kesejahteraannya dengan semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin sedikit kelompok rujukan, dan semakin terjangkau harga makanan kemasan. Untuk wilayah kota, kesejahteraan subjektif konsumen akan semakin tinggi pada konsumen dengan pendidikan formal yang lebih rendah, semakin intensifnya pendidikan konsumen, semakin tersedianya dan terjangkaunya harga makanan kemasan, dan semakin berdayanya konsumen. Perspektif pemberdayaan dalam penelitian ini adalah menekankan bahwa seseorang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk memengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya Parsons et al. 1994. Dalam hal ini ibu rumah tangga yang menjadi responden penelitian tidak hanya berdaya untuk dirinya sendiri, namun juga untuk keluarganya. Selain itu, ibu rumah tangga sebagai konsumen memiliki kekuatan, kemampuan dan kekuasaan yang memungkinkan orang tersebut mampu menentukan pilihan-pilihan hidupnya Pranarka dan Vidhyandika 1996, khususnya dalam melakukan proses pembelian. Konsumen berada dalam posisi lemah, sehingga harus diberdayakan, inilah yang disebutkan oleh Ife 2002 bahwa tujuan pemberdayaan adalah “to increase the power of the disadvantaged.” Artinya, pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan power atau kemampuan atau kekuatan orang yang kurang mampu, sehingga menjadi mampu dalam menentukan pilihan-pilihannya. Mampu yang dimaksud dalam konsep ini adalah kemampuan berpikir, yang diikuti dengan tindakan untuk melakukan. Hasil temuan penelitian mengindikasikan masih rendahnya akses responden terhadap pendidikan konsumen, baik di Kabupaten maupun Kota Bogor. Menilik pendapat Fitzsimmons Renouf 2002, salah satu penyebabnya adalah orang hanya termotivasi untuk belajar ketika kebutuhan yang lebih mendesak terpenuhi 103 104 dan ketika ingin mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang ditawarkan karena percaya hal itu berguna atau menarik baginya. Salah satu momen yang membuat konsumen termotivasi belajar adalah saat mencari nasihat terkait masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, strategi pendidikan konsumen perlu mempertimbangkan untuk membuat pendidikan danatau informasi tersedia melalui “gatekeepers,” yakni orang di dalam dan di luar komunitas yang menjadi tempat konsumen bertanya ketika memiliki masalah. Intensitas pendidikan konsumen yang rendah tercermin dari data hanya sekitar satu per empat responden di kabupaten dan satu per tiga responden di kota yang terpapar informasi terkait isu-isu konsumen. Dari jumlah tersebut, ternyata media elektronik seperti televisi dan radio adalah media yang paling banyak dijadikan sumber informasi konsumen dengan persentase 90.6 persen di kabupaten dan 86.9 persen di kota. Tiga materi pendidikan konsumen yang sering diakses responden adalah pemalsuan makanan, produk berbahaya, dan gizi, meskipun kejelasan materi penyampaiannya masih dirasakan sangat kurang. Beberapa cara pembelajaran yang dilakukan konsumen dengan mengacu pada teori dan model cara konsumen belajar yang bersumber dari literatur iklan dan pemasaran adalah: 1 Konsumen belajar secara sederhana dan rasional dalam menilai informasi yang disajikan; 2 Konsumen tidak belajar dengan hanya menilai informasi. Pembelajaran ini dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya, perasaan, pengalaman, dan lain-lain; 3 Konsumen belajar dengan trial and error; dan 4 Konsumen belajar dengan analogi Kolodinsky et al. 2000. Untuk wilayah kabupaten, semakin tinggi pendidikan formal dan kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Untuk wilayah kota, semakin kosmopolit responden, akan meningkatkan frekuensi dan akses terhadap media pendidikan konsumen. Menurut Hans W. Micklitz Kristiyanti 2009, konsumen dibedakan berdasarkan haknya, yakni : 1 Konsumen yang terinformasi well-informed dengan ciri-ciri memiliki tingkat pendidikan tertentu dan mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan lancar berkomunikasi. Dengan memiliki tiga potensi ini, konsumen mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan; dan 2 Konsumen yang tidak terinformasi dengan ciri-ciri kurang berpendidikan, termasuk kategori kelas menengah kebawah, dan tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan. Dengan mengacu pada pembagian konsumen menurut Hans W. Micklitz tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil analisis juga konsisten dan mengkonfirmasi bahwa konsumen yang relatif terinformasi dengan baik adalah yang berpendidikan tinggi dan cenderung aktif berkomunikasi kosmopolit. Pendidikan yang semakin tinggi akan membuat konsumen lebih aktif mengakses pendidikan konsumen karena lebih merasakan manfaatnya. Dorongan terhadap kebutuhan pengetahuan dan wawasan terkait isu konsumen akan semakin tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan rendah. Pola pikir konsumen yang berpendidikan tinggi lebih terbuka dan lebih mudah memahami materi pendidikan konsumen dengan jelas. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi membuat konsumen lebih mudah menerima informasi tentang pendidikan konsumen Burghelea dan Cristina 2014, dikarenakan konsumen dapat menilai 105 pesan secara obyektif, membedakan dengan mudah, melihat nuansa, berorientasi pada isi, mencari informasi dari berbagai sumber, lebih bersifat provisional dan bersedia mengubah kepercayaannya, serta mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan kepercayaannya Brooks dan Emmert Rakhmat 2011. Orang yang lebih kosmopolit, kepentingan yang lebih beragam, pola penggunaan media yang kuat, dan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi memegang penilaian yang lebih kuat terhadap kualitas hidup yang tersedia di komunitasnya, serta memiliki kepentingan yang lebih luas terhadap sekitarnya akan belajar lebih banyak tentang lingkungannya dari media dan saluran interpersonal dari jaringan tersebut Jeffres et al. 2008. Orang-orang berinteraksi dengan orang lain atau beralih ke media massa, lebih cenderung untuk mencari berita, topik, isu-isu dan peristiwa yang mencerminkan kepentingan-kepentingan yang lebih luas, dan hal ini akan menghasilkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi tentang lingkungan yang lebih besar termasuk komunitasnya dan masyarakat pada umumnya Neuendorf et al. 2000. Hasil temuan penelitian selanjutnya adalah konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor masih relatif kurang berdaya, dengan kondisi keberdayaan konsumen di kota lebih baik dibandingkan di kabupaten. Rendahnya keberdayaan konsumen di Kabupaten Bogor, dapat disebabkan oleh pendidikan yang relatif rendah, sarana prasarana yang relatif minim, sumber informasi yang relatif terbatas ataupun karena tingkat kepasrahan yang tinggi sebagai konsumen. Meskipun keberdayaan konsumen di kota lebih baik, namun sebenarnya skornya juga masih rendah, sehingga program-program perberdayaan konsumen harus tetap dilakukan. Diantara tiga dimensi keberdayaan konsumen, dimensi ketegasan konsumen adalah yang paling rendah, diikuti pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen, dan keterampilan konsumen adalah yang paling baik. Masih rendahnya keberdayaan konsumen khususnya pada dimensi ketegasan konsumen menunjukkan dikarenakan masih rendahnya perilaku komplain dan ganti rugi, perbandingan produk dan pemahaman tentang undang-undang dan lembaga perlindungan konsumen komplain dan ganti rugi. Dimensi berikutnya adalah pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen, dengan skor yang rendah pada pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha, sedangkan pemenuhan hak konsumen skornya sudah relatif baik. Dimensi keterampilan konsumen paling tinggi skornya diantara ketiga dimensi keberdayaan konsumen dikarenakan kontribusi skor dari keterampilan dasar dan keterampilan membaca label yang lebih tinggi dibanding sub dimensi lainnya. Beberapa fakta ketidakberdayaan konsumen pada dimensi keterampilan konsumen adalah: 1 Rendahnya keterampilan dasar membedakan harga produk, pemahaman tentang layanan pelanggan dan membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pada makanan kemasan; 2 Pemahaman tentang label khususnya tentang pemahaman tentang kode produk dalam negeri MD atau luar negeri ML masih sangat lemah; dan 3 Keterampilan membaca label paling lemah pada nama dan alamat pihak yang memproduksi, tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa, serta keterangan kandungan gizi. Selanjutnya pada dimensi pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen, yang paling banyak dialami konsumen adalah : 1 makanan kemasan yang dibeli seolah-olah terisi penuh, padahal kenyataannya tidak penuh, terdapat ruang tidak 106 berguna dalam kemasan dan makanan kemasan rusaktercemar; dan 2 Pemenuhan hak konsumen masih lemah pada hak didengar pendapat dan keluhannya atas ketidakpuasan terhadap makanan kemasan yang dibeli dan mendapat pembinaan dan edukasi kepada konsumen. Pada dimensi ketegasan konsumen sebagai dimensi yang paling rendah skornya, fakta penelitian yang diperoleh adalah : 1 Kurangnya konsumen melakukan perbandingan produk sebelum melakukan pembelian makanan kemasan; 2 Sangat rendahnya pemahaman terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak advokasi atau perlindungan hukum, serta hak-hak konsumen, UUPK, dan lembaga perlindungan konsumen; dan 3 Masih kurangnya kemauan konsumen dalam mengajukan komplain dan ganti rugi. Alasan rendahnya keberdayaan konsumen yang terlihat dari fakta-fakta di atas, dapat pula disebabkan karena fokus penelitian adalah pada makanan kemasan yang merupakan kebutuhan sehari-hari daily consumption, sehingga pembeliannya sudah biasa dilakukan dan harga tidak terlalu tinggi, menyebabkan keterlibatan responden menjadi rendah dan cenderung tidak mau mengajukan komplain apabila menemukan ketidakpuasan. Jika produk yang dibeli oleh konsumen berharga mahal seperti mobil atau rumah, maka konsumen akan lebih sadar dan memperjuangkan haknya. Sebagian besar konsumen tidak tahu hak- haknya, dan bahkan di antara mereka yang tahu, ada keengganan umum untuk mengambil tindakan terhadap praktik-praktik pemasaran yang tidak sehat Bello et al. 2012. Dengan demikian, hasil penelitian ini semakin menguatkan perlunya peran untuk mengedukasi, memasyarakatkan dan mensosialisasikan perlindungan konsumen dengan bersinergi antara tri pilar, yakni unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha fokus untuk memproduksi dan berdagang dengan benar, serta LPKSM bekerja sama dengan pemerintah untuk mengedukasi konsumen dan mengontrol pelaku usaha. Konsumen yang berdaya akan lebih percaya diri memperjuangkan haknya ketika merasakan kerugian atau situasi yang kurang menyenangkan. Konsumen dapat dikatakan berdaya ketika mampu mengelola pengetahuan yang dimilikinya yang diseimbangkan dengan ketegasan dalam menanggapi perubahan. Perasaan berdaya juga ditunjukkan oleh konsumen yang yakin akan potensi dirinya untuk memanfatkan kesempatan yang kelak bermanfaat bagi diri dan lingkungan sekitarnya Thøgersen 2005. Masih rendahnya keberdayaan konsumen dalam penelitian ini dapat juga dikaitkan dengan pendapat Payne yang mengutip Rose 1990 bahwa prinsip- prinsip pemberdayaan itu terdiri atas tiga yakni kontekstualisme, empowerment dan collectivity. Kontekstualisme, yakni kegiatan pemberdayaan harus difokuskan pada pemahaman individukelompok sendiri terhadap kesejahteraan dirinya. Mengacu pada pendapat Rose tersebut, maka ibu rumah tangga sebagai konsumen belum merasakan kontekstualisme dari pemberdayaan konsumen. Manfaat program pemberdayaan konsumen belum dirasakan oleh konsumen karena belum pernah bermasalah dalam dengan pelaku usaha sehingga tidak menjadi kebutuhan, tidak sadar adanya praktik tidak adil pelaku usaha atau tidak perdulicenderung menerima. Temuan penelitian mengindikasikan bahwa untuk wilayah kabupaten, keberdayaan konsumen akan meningkat secara langsung dan tidak langsung dengan karakteristik demografi responden yang semakin muda, pendapatan yang semakin besar dan pendidikan formal yang semakin tinggi. Secara langsung,