GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KONSUMEN

29 instan. Dari kelima kelompok makanan kemasan, ada tiga kelompok makanan kemasan yang paling banyak dikonsumsi keluarga responden secara berturut-turut dari yang terbanyak, yakni produk mie instan, makanan ringan, serta produk susu dan olahannya. Produk mie instan serta produk susu dan olahannya lebih banyak dikonsumsi oleh keluarga responden di kabupaten, sedangkan makanan ringan lebih banyak dikonsumsi oleh keluarga responden di kota Tabel 3. Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan makanan kemasan yang pernah dibeli dalam 3 bulan terakhir No Jenis Makanan Kemasan Kabupaten Kota 1. Produk Susu dan olahannya 88.1 87.5 2. Makanan ringan 88.1 92.5 3. Makanan kaleng 41.9 41.3 4. Makanan bayi 20.0 13.8 5. Produk Mie Instan 99.4 97.5 Karakteristik Demografi Rata-rata usia responden yang tinggal di kota 38.33 tahun lebih tua dibandingkan dengan responden yang tinggal di kabupaten 37.17 tahun walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hasil uji beda nyata variabel usia dan variabel penelitian lainnya disajikan pada Lampiran 4. Persentase tertinggi dari usia responden di kabupaten dan kota berada pada kategori dewasa awal 18-40 tahun Tabel 4. Menurut Sumarwan 2011, kebutuhan akan berbeda sesuai dengan usia konsumen sejalan dengan peningkatan usia dan pengalaman hidup yang dimiliki, kebutuhan yang dirasakan dan kepentingan yang diharapkan konsumen tentu akan berevolusi. Berdasarkan data yang diperoleh, lebih dari separuh keluarga di kabupaten dan kota memiliki besar keluarga maksimum empat orang. Bila diklasifikasikan menurut BKKBN, keluarga responden di kedua wilayah didominasi keluarga kecil. Perbedaan yang nyata tidak ditemukan pada besar keluarga responden di wilayah kabupaten dengan kota. Konsumen melakukan interaksi dengan sekelilingnya termasuk keluarga Sumarwan 2011. Status dari mayoritas responden baik di kabupaten maupun kota adalah tidak bekerja. Jenis pekerjaan yang paling banyak digeluti responden di kabupaten adalah buruh dan pedagangwiraswasta dengan persentase yang hampir berimbang, sedangkan responden di kota paling banyak bekerja sebagai pedagangwiraswasta. Konsumen yang memiliki pendidikan yang lebih baik akan sangat responsif terhadap informasi sehingga dapat memengaruhi konsumen dalam memilih produk maupun merek. Tingkat pendidikan responden di kabupaten paling banyak adalah tamatan SDsederajat, sedangkan tingkat pendidikan responden di kota adalah tamat SMAsederajat Tabel 4. Hal ini menunjukkan, tingkat pendidikan responden di kota cenderung lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Berdasarkan hasil uji beda, lama pendidikan responden di kabupaten dan kota terbukti memiliki perbedaan yang nyata. Perbedaan tingkat pendidikan akan menyebabkan selera konsumen berbeda Sumarwan 2011. 30 Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan karakteristik demografi Karakteristik Demografi Kabupaten Kota Uji Beda Wilayah dan Rata-Rata Kategori Usia Hurlock 2001 tahun p=0.339, rata-rata 37.17 tahun di kabupaten dan

38.33 tahun di kota

Dewasa awal 18-40 66.3 58.1 Dewasa madya 41-59 31.3 37.5 Dewasa lanjut  60 2.4 4.4 Kategori Besar Keluarga orang p=0.080, rata-rata 4.01 di kabupaten dan

4.23 di kota

4 72.5 59.4 5-7 26.9 40.0 7 0.6 0.6 Jenis Pekerjaan Tidak bekerja 74.4 83.1 PedagangWiraswasta 10.0 8.8 Swasta 3.1 3.7 PNSTNI POLRI 0.0 0.6 Buruh 10.6 1.3 Petani 0.6 0.0 Guru non PNS 1.3 1.9 Pensiunan 0.0 0.6 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah 2.5 0.6 p=0.000, rata-rata 7.53 tahun di kabupaten dan 9.94 tahun di kota Tidak tamat SD 11.3 3.8 SDsederajat 44.4 20.6 SMPsederajat 16.3 27.5 SMAsederajat 25.0 35.6 Akademidiploma 0.5 5.6 S1S2S3 0.0 6.3 Kategori Lama Pendidikan tahun  9 76.9 55.0 9 23.1 45.0 Rata-rata jumlah pendapatan keluarga responden di kota adalah Rp460 800.47kapitabulan yang lebih tinggi dibandingkan di kabupaten, yakni Rp334 948.66kapitabulan. Bila diamati, pengeluaran untuk makanan kemasan yang dibeli responden per bulan, justru lebih besar pada responden di kota, yakni mencapai Rp269 041.28, sehingga memiliki perbedaan nyata dengan responden di kabupaten Tabel 5. Tabel 5 Analisis deskriptif dan uji beda pendapatan, pengeluaran dan sebaran kategori kemiskinan keluarga responden Pendapatan dan Pengeluaran Rpkapbulan Kabupaten Kota Uji Beda p Rataan SD Rataan SD  Pendapatan 334 948.66 228 676.00 460 800.47 387 935.00 0.001  Pengeluaran untuk makanan kemasan terhadap total pengeluaran pangan 198 370.00 22.28 205 137.00 18.96 269 041.28 26.24 239 168.00 19.92 0.005  Kategori Kemiskinan -  Rp252 496 46.3 53.7 36.9 63.1 - Rp252 496 Ket : nyata pada p0.01; Berdasarkan Garis Kemiskinan Jawa Barat Maret 2013 31 Responden yang tinggal di kabupaten maupun kota lebih banyak yang tergolong memperoleh pendapatan diatas garis kemiskinan Jawa Barat Maret 2013. Persentase responden di kabupaten 46.3 yang terkategori miskin berdasarkan BPS 2013 lebih tinggi dibandingkan di kota 36.9. Jumlah pendapatan akan berkaitan dengan daya beli konsumen. Daya beli menggambarkan banyaknya produk dan jasa yang dapat dibeli dan dikonsumsi oleh seorang konsumen dan seluruh anggota keluarga Sumarwan 2011. Keadaan ekonomi seseorang sangat memengaruhi pilihan produk Kotler 2000. Konsumen yang akan mengeluarkan biaya yang lebih mahal cenderung akan melakukan observasi yang lebih mendalam terhadap produk yang akan dibelinya. Bila konsumen masih kurang keterampilannya atau konsumsinya berlebihan, dapat memicu tumbuhnya masalah yang berkaitan dengan pendapatan yang dimiliki Collard et al. 2006. Kekosmopolitan Kekosmopolitan adalah keterbukaan seseorang pada informasi melalui kunjungan lainnya untuk mendapatkan berbagai sumber informasi. Hasil analisis instrumen kekosmopolitan menggunakan faktor konfirmatori disajikan pada Lampiran 5. Kekosmopolitan terdiri dari enam butir pernyataan dengan kisaran skor 0 sampai 3 dan total skor berkisar antara 0 sampai 18. Hasil analisis faktor konfirmatori selanjutnya menunjukkan bahwa tidak semua indikator butir yang diteliti memperlihatkan tingkat penerimaan diatas 0.40 sebagai syarat suatu indikator yang dapat menjelaskan variabel latennya. Rentang nilai faktor muatan antara 0.28 sampai 0.93, yang menunjukkan bahwa butir indikator memiliki kontribusi untuk menjelaskan konstrak latennya. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya responden yang sering menggunakan internet di kota hampir empat kali lipat dibandingkan responden di kabupaten. Responden di kota cenderung lebih baik dibandingkan di kabupaten dengan hasil uji beda mengindikasikan perbedaan yang nyata antara kedua wilayah Tabel 6. Tabel 6 Sebaran butir kekosmopolitan responden selama 3 bulan terakhir No Butir Kekosmopolitan Kabupaten Kota Modus Skala 0-3 Uji Beda Wilayah p P TP P TP Desa Kota 1 Melakukan perjalanan ke luar kota 25.0 75.0 31.9 68.1 0.130 2 Mendapatkan ide-ide baru dari berbagai media massa 41.9 58.1 69.4 30.6 3 0.000 3 Menggunakan sumber informasi dari luar lingkungan 41.9 58.1 68.2 31.8 3 0.000 4 Membangun hubunganrelasi dengan orang lain untuk mencari suatu informasi 40.0 60.0 66.3 33.7 3 0.000 5 Informasi-informasi baru dapat membawa perubahan pada diri sendiri 38.2 61.8 54.4 45.6 0.001 6 Menggunakan internet 6.3 93.7 22.5 77.5 0.000 Ket : nyata pada p0.01; P=Pernah minimal 1 kali sebulan; TP= Tidak pernah Terdapat perbedaan yang nyata p=0.000 pada tingkat kekosmopolitan antara responden di kabupaten dan kota. Persentase responden yang tinggal di kabupaten 67.5 tergolong tidak kosmopolit hampir dua kali lipat dibandingkan responden di kota 37.5. Hal ini berarti responden yang tinggal di kabupaten 32 masih memiliki keterbatasan untuk melakukan perjalanan ke luar daerah, mendapatkan ide-ide baru dari berbagai media massa, membangun hubungan relasi, memanfaatkan informasi untuk perubahan diri, ataupun belum optimal dalam menggunakan internet Tabel 7. Rogers dan Shoemaker 1971 mengemukakan bahwa orang yang memiliki sifat kekosmopolitan yang tinggi, biasanya mencari informasi dari sumber di luar lingkungannya. Dengan begitu, seseorang yang mempunyai pergaulan luas dan mempunyai kecepatan pencarian informasi yang diperlukan, berarti ia adalah seorang yang kosmopolit. Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan kategori tingkat kekosmopolitan Kekosmopolitan Kabupaten Kota Tidak Kosmopolit skor 25 67.5 37.5 Kurang Kosmopolit skor 25-50 21.9 26.9 Cukup Kosmopolit skor 51-75 10.0 28.1 Kosmopolit skor 75 0.6 7.5 Rata-Rata±SD 19.13±22.06 38.20±28.24 Min-Maks 0.00-88.90 0.00-100.00 Uji Beda Wilayah p 0.000 Ket : nyata pada p0.01 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang memberikan pengaruh terhadap konsumsi makanan kemasan. Faktor lingkungan mencakup tiga dimensi, yakni ketersediaan makanan kemasan, kelompok rujukan, dan keterjangkauan harga makanan kemasan. Analisis instrumen faktor lingkungan menggunakan faktor konfirmatori disajikan pada Lampiran 6. Hasil analisis faktor konfirmatori menunjukkan bahwa tidak semua butir indikator yang diteliti memperlihatkan tingkat penerimaan diatas 0.40 sebagai syarat suatu indikator yang dapat menjelaskan variabel latennya. Keterjangkauan harga terbukti memiliki nilai faktor muatan yang paling tinggi 0.99, sehingga indikator tersebut memiliki kontribusi yang paling tinggi untuk menjelaskan faktor lingkungan. Indikator kelompok rujukan kurang memiliki kontribusi untuk menjelaskan faktor lingkungan, sehingga dalam analisis SEM tidak dimasukkan sebagai indikator faktor lingkungan. Ketersediaan Makanan Kemasan Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan konsumen Kotler dan Amstrong 2008. Produk makanan kemasan dapat didistribusikan ke hampir seluruh pelosok Indonesia. Perkembangan teknologi dan transportasi semakin mendukung distribusi dan ketersediaan makanan kemasan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden menyatakan makanan kemasan di wilayah kabupaten 99.4 dan kota 98.8 tersedia dengan baik. Jika dilihat nilai rata-rata, ketersediaan makanan kemasan di kota lebih baik dibandingkan kabupaten kabupaten 71.24±13.97 dan kota 76.12±15.06, 33 meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata p=0.884 antara kedua wilayah. Artinya, saat ini jangkauan pemasar makanan kemasan sudah sampai ke kabupaten. Ketersediaan makanan kemasan didukung adanya warung, minimarket, supermarket, ataupun pasar di wilayah tertentu. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan responden di kabupaten : “Sekarang ini sudah tidak ada perbedaan lagi antara kota dan desa terkait keterjangkauan produk makanan kemasan karena di desa pun sekarang sudah banyak berdiri minimarket maupun supermarket sehingga memudahkan masyarakat desa untuk membeli produk makanan kemasan.” Namun demikian, ada juga responden yang menyatakan sebaliknya : “Jika di kota serba mudah untuk menemukan berbagai makanan kemasan, sedangkan di desa agak susah karena keterbatasan jumlah minimarket dan supermarket.” Lebih dari dua pertiga responden di kabupaten dan kota menyatakan makanan kemasan yang tersedia di pasaran sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Sebagian besar responden sepakat menyatakan mudah membeli makanan kemasan di berbagai tempat, akan tetapi mengalami sedikit kesulitan untuk memperoleh produk susu dan olahannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan makanan kemasan yang dibutuhkan oleh responden baik di kabupaten maupun kota sudah relatif baik. Kelompok Rujukan Kelompok rujukan diartikan sebagai referensi dalam membentuk respon terhadap sesuatu, yang dapat memengaruhi keputusan pembelian konsumen Sumarwan 2011, serta dapat bersifat tangible maupun intangible dan simbolis. Peter dan Olson 2010. Kelompok rujukan dapat berasal dari kelas sosial, budaya, bahkan subbudaya yang sama ataupun berbeda. Dari beberapa kelompok rujukan, keluarga luas menduduki persentase terbanyak yang dijadikan sebagai sumber rujukan bagi responden di kabupaten dan kota. Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan kelompok rujukan Kelompok rujukan Sumber Rujukan Rujukan Paling Dipercaya Kabupaten Kota Kabupaten Kota a. Keluarga Luas

71.9 78.8

70.6 75.6

b. Selebritis 11.9 9.4 0.0 0.0 c. Kelompok Arisan 13.8 11.9 1.3 0.0 d. Tetangga 32.5 32.5 1.3 1.3 e. Teman 21.9 24.4 1.9 3.1 Ket : jawaban dapat lebih dari satu Jika hendak membeli makanan kemasan, responden dapat melibatkan kelompok rujukan sebagai sumber informasi yang sebenarnya tidak harus satu 34 kelompok, tetapi dapat lebih dari satu kelompok. Jumlah kelompok rujukan di kabupaten maupun kota berkisar antara 0 hingga 4 kelompok rujukan. Lebih dari separuh responden baik di kota maupun di kabupaten hanya memiliki satu kelompok rujukan. Tidak terdapat perbedaan yang nyata jumlah kelompok rujukan di wilayah kabupaten dan kota Tabel 8. Dalam penelitian ini, peran keluarga luas paling banyak memengaruhi responden dalam menentukan pilihan produk yang dibelinya dibandingkan dengan kelompok rujukan lainnya selebritis, kelompok arisan, tetangga, dan teman. Sebanyak 63.9 persen responden di kabupaten merasakan pengaruh keluarga luas dalam menentukan pilihan produk yang dibelinya lebih tinggi dibandingkan persentase responden di kota dengan persentase 58.1 persen Tabel 9. Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan peran kelompok rujukan jawaban dapat lebih dari satu No Pengaruh Kelompok Rujukan Kabupaten Kota A B C D E A B C D E 1 Memengaruhi pilihan produk yang dibeli

63.9 10.0

10.6 26.3 15.6 58.1 7.4 7.5 17.5 11.2 2 Memengaruhi pemilihan tempat belanja 16.3 1.2 4.4 10.0 8.2 15.0 2.5 4.4 12.6 10.6 3 Memengaruhi keputusan pembelian 21.4 1.3 0.0 1.3 1.2 19.4 1.8 0.6 3.1 1.2 4 Label makanan kemasan 1.8 0.0 1.2

12.5 1.8

6.9 0.0 1.2 20.0 4.3 5 Memperingatkan 1.8 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.0 0.0 0.6 1.2 6 Memberitahukan diskon 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.6 0.0 0.6 1.3 0.0 Ket : A= Keluarga Luas; B= Selebritis; C= Kelompok Arisan; D= Tetangga; E= Teman Konsumen melibatkan orang lain sebagai sumber infomasi untuk mengevaluasi produk sambil disesuaikan dengan identitas dirinya Escalas dan Bettman 2005. Kelompok rujukan dapat memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Menurut Setiadi 2010, kelompok rujukan sebagai bagian dari faktor sosial yang mampu memengaruhi perilaku pembelian konsumen. Keterjangkauan Harga Makanan Kemasan Harga merupakan sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa yang ditukar oleh konsumen untuk mendapatkan manfaat dari produk atau jasa tersebut Kotler dan Amstrong 2008. Indikator penilaian harga dapat dilihat dari kesesuaian antara suatu pengorbanan dari konsumen terhadap nilai yang diterimanya setelah melakukan pembelian Kartajaya 2002. Dalam pasar yang kompetitif sempurna, harga ditentukan oleh kompetisi kuat yang didasarkan pada permintaan dan penawaran jasa Meier et al. 2003. Sebagian besar kabupaten 83.1 dan kota 81.3 responden masih dapat menjangkau harga berbagai makanan kemasan karena sesuai dengan pendapatan keluarga. Produk makanan kemasan yang paling dianggap tidak terjangkau harganya oleh responden di kabupaten dan kota adalah produk susu dan olahannya. Persentase responden di kota 13.1 yang memilih produk susu dan 35 olahannya sebagai produk yang tidak terjangkau harganya, lebih tinggi dibandingkan responden di kabupaten 10.6. Ketika membeli makanan kemasan, sebagian besar kabupaten 85.6 dan kota 90.6 responden pun mengungkapkan akan mempertimbangkan harga dari produk makanan kemasan yang hendak dibelinya, serta lebih memilih makanan kemasan dalam negeri yang cenderung lebih murah dibandingkan makanan kemasan buatan luar negeri. Apabila nilai yang dirasakan konsumen semakin tinggi, maka akan menciptakan kepuasan yang maksimal Tjiptono 2001. Pendidikan Konsumen Hasil analisis instrumen pendidikan konsumen menggunakan faktor konfirmatori disajikan pada Lampiran 7. Hasil evaluasi validitas indikator menunjukkan ketiga indikator sudah memenuhi syarat faktor muatan, yakni diatas 0.50. Media pendidikan konsumen dengan nilai faktor muatan 0.97 memiliki kontribusi yang paling tinggi untuk menjelaskan konstrak latennya intensitas pendidikan konsumen. Konstrak laten pendidikan konsumen dapat juga dijelaskan oleh frekuensi pendidikan konsumen dengan faktor muatan 0.95 dan materi pendidikan konsumen dengan faktor muatan 0.51. Frekuensi Pendidikan Konsumen Frekuensi pendidikan konsumen adalah seberapa sering informasi pendidikan konsumen diakses oleh responden. Frekuensi mengikuti pendidikan konsumen diukur mulai dari tidak pernah, jarang 1x 3 bulan, kadang-kadang 1x sebulan, dan sering 1x seminggu. Sebagian besar responden di kabupaten 91.9 dan kota 89.4 terkategori kurang dalam frekuensi mengikuti pendidikan konsumen. Rata-rata frekuensi responden di kota lebih tinggi dibandingkan responden di kabupaten rata-rata kabupaten 25.81±16.06 dan kota 33.91±15.62. Hasil uji beda membuktikan terdapat perbedaan yang nyata p=0.000 frekuensi mengikuti pendidikan konsumen antara responden di kabupaten dan kota. Media Pendidikan Konsumen Media pendidikan konsumen adalah variasi media yang digunakan untuk mengakses pendidikan konsumen. Responden yang tinggal di kabupaten dan kota cenderung masih belum terpapar informasi mengenai isu-isu konsumen, seperti terlihat pada rata-rata frekuensi konsumen yang relatif rendah. Informasi mengenai hak-hak konsumen pun belum sepenuhnya diketahui oleh responden, ditambah responden tidak berinisiatif untuk mencari informasi mengenai hak-hak yang sepatutnya diperoleh ketika melakukan pembelian makanan kemasan. Sebaran responden berdasarkan media yang digunakan dalam penyampaian pendidikan konsumen kabupaten 73.8 dan kota 63.8 mengungkapkan televisi sebagai salah satu media atau cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pendidikan konsumen. Pada Tabel 10 disajikan sebaran responden berdasarkan media memperoleh pendidikan konsumen dalam 12 bulan terakhir. 36 Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan media yang pernah digunakan untuk memperoleh pendidikan konsumen dalam 12 bulan terakhir jawaban dapat lebih dari satu Media pendidikan konsumen Kabupaten Kota Modus frekuensi skala 0-3 Uji Beda Wilayah p Kabupaten Kota 1. Media cetak seperti koran, majalah 18.1 24.4 0.218 2. Media elektronik seperti televisi, radio

90.6 86.9

3 3 0.038 3. Internet 3.7 11.2 0.011 4. LeafletBuletin 71.2 38.7 0.000 5. Penyuluhan secara langsung oleh LSM swasta pemerintah 6.9 9.4 0.328 6. Iklan produk yang sifatnya mendidik konsumen 24.4 32.5 0.077 Ket : nyata pada p0.05; nyata pada p0.01 Lebih dari separuh responden di kabupaten 51.9 dan kota 55.6 menilai media yang digunakan untuk pelaksanaan pendidikan konsumen masih cenderung kurang. Rata-rata skor media yang digunakan untuk pendidikan konsumen di kota 41.62+19.63 lebih banyak dibandingkan kabupaten 32.87+19.00 dengan perbedaan yang nyata p=0.000 antara kedua wilayah. Responden di wilayah kabupaten cenderung tidak pernah memperoleh informasi dari penjual, media cetak, internet, leaflet, penyuluhan langsung oleh LSM atau swasta, dan iklan produk yang mendidik mengenai produk makanan kemasan. Responden yang tinggal di kabupaten tergolong sering memperoleh informasi produk makanan kemasan dari media elektronik, seperti televisi dan radio, sedangkan responden ibu di kota sering memperoleh informasi tentang produk makanan kemasan dari internet, dan acara investigasi Tabel 10. Media pendidikan konsumen adalah variasi media yang digunakan untuk mengakses pendidikan konsumen. Responden yang tinggal di kabupaten dan kota cenderung masih belum terpapar informasi mengenai isu-isu konsumen. Informasi mengenai hak-hak konsumen pun belum sepenuhnya diketahui oleh responden, ditambah responden tidak berinisiatif untuk mencari informasi mengenai hak-hak yang sepatutnya diperoleh ketika melakukan pembelian makanan kemasan. Sebaran responden berdasarkan media yang digunakan dalam penyampaian pendidikan konsumen kabupaten 73.8 dan kota 63.8 mengungkapkan televisi sebagai salah satu media atau cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pendidikan konsumen. Mengacu dari Sugarda et al. 2001, informasi yang disampaikan melalui televisi dapat menarik banyak perhatian bila ditangani secara tepat sehingga memungkinkan memperoleh peningkatan wawasan dan pengetahuan terkait isu konsumen. Banyak konsumen menggunakan televisi dan majalah sebagai sumber informasi dan stimulus intelektual Organisation for Economic Operation and Development 2000. Cara lain yang dapat dilakukan untuk penyampaian pendidikan diantaranya adalah simulasi, diskusi, ceramah, dan internet. Menurut Leeuwis 2009, penggunaan televisi sebagai media pendidikan menstimulir debat dalam konteks penerimaan dan mudah menarik perhatianmemobilisasi minat, sedangkan leafletbrosur 37 berpotensi untuk berfungsi sebagai pengingat dan mudah menyimpan pesan. Media hibrida atau internet dapat mencapai banyak orang di banyak lokasi berbeda, tetapi pada saat bersamaan mendukung tingkat antar-aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan media massa kovensional. Materi Pendidikan Konsumen Materi pendidikan konsumen adalah kejelasan materi tentang label produk, undang-undang yang relevan, organisasi perlindungan konsumen, dan lain-lain yang diperoleh responden dalam proses pendidikan konsumen. Materi pendidikan konsumen yang diperoleh responden adalah beragam, meskipun dengan persentase yang masih relatif kecil untuk kedua wilayah. Materi yang diperoleh diantaranya adalah tanggung jawab konsumen, cara mengkomuni- kasikan kepuasanketidakpuasan, iklan dan pengemasan, gizi, dan berbagai materi lainnya. Materi pendidikan konsumen mengenai gizi, pemalsuan makanan, dan produk makanan berbahaya lebih sering diperoleh responden di kota yang secara rata-rata skornya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan responden di kabupaten. Tiga materi pendidikan yang sering diperoleh responden baik di kabupaten maupun kota adalah pemalsuan makanan kabupaten 73.1 dan kota 80.6, produk berbahaya kabupaten 67.5 dan kota 80.6 dan gizi kabupaten 60.6 dan kota 75.6 Tabel 11. Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan jenis materi pendidikan yang diperoleh dalam 12 bulan terakhir jawaban dapat lebih dari satu Materi Pendidikan Konsumen Kabupaten Kota Modus kejelasan materi skor 0-3 Uji Beda Wilayah p Kabupaten Kota a. Tanggung jawab konsumen 7.5 10.0 0.441 b. Cara mengkomunikasikan kepuasan ketidakpuasan 5.0 6.3 0.635 c. Hak konsumen 6.9 8.7 0.544 d. Iklan dan pengemasan 6.2 6.9 0.809

e. Gizi 60.6

75.6 2

2 0.001

f. Pemalsuan makanan 73.1

80.6 2

2 0.000

g. Produk berbahaya 67.5

80.6 2

2 0.000 h. Label produk 9.4 14.4 0.216 i. Undang-undang yang relevan 5.6 4.4 0.609 j. Cara mendapatkan ganti rugi 3.7 3.1 0.759 k. Badan dan organisasi bagi perlindungan konsumen 4.4 3.7 0.777 l. Informasi tentang berat dan ukuran, harga, kualitas, dan ketersediaan produk 4.4 5.0 0.792 Ket : nyata pada p0.01 Terkait dengan kejelasan materi pendidikan konsumen yang diperoleh, kepada responden digali apakah setiap materi yang diterima dengan jelas dapat dipahami. Perbedaan yang nyata antara responden di kabupaten dan kota ditemukan dalam memperoleh materi pendidikan mengenai gizi, pemalsuan makanan, dan produk berbahaya. Berdasarkan nilai rata-rata, responden di kota menyatakan memperoleh materi yang lebih jelas dibandingkan dengan responden di kabupaten pada ketiga materi tersebut. Hal ini disebabkan adanya dukungan 38 fasilitas yang memadai dalam penyampaian materi penyuluhan sehingga lebih jelas diterima oleh responden di kota Tabel 11. Hasil komposit skor kejelasan materi pendidikan konsumen menunjukkan responden belum memahami materi yang diterima kabupaten 96.3 dan kota 97.5, dengan perbedaan yang tidak nyata p=0.116 antara kedua kelompok. Keragaman materi penyuluhan masih perlu lebih ditingkatkan agar konsumen memperoleh wawasan yang lebih luas terkait isu-isu konsumen yang marak terjadi. Dilihat dari nilai rata-rata responden di kota yang lebih tinggi, cenderung mengindikasikan responden di kota lebih jelas memahami materi pendidikan konsumen kabupaten 7.16±12.44 dan kota 9.26±11.34. Intensitas Pendidikan Konsumen Hasil pengkategorian komposit skor media, frekuensi dan materi pendidikan konsumen menjadi empat kelompok, menunjukkan bahwa pendidikan konsumen yang diperoleh responden adalah masih kurang kabupaten 83.8 dan kota 70.6. Hal ini juga terlihat dari rata-rata skor di kedua wilayah yang sangat rendah kabupaten 16.53+12.53 dan kota 21.45+11.62 dengan perbedaan yang nyata p=0.000 antara kedua wilayah Tabel 12. Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan kategori intensitas pendidikan konsumen Kategori Intensitas Pendidikan Konsumen Kabupaten Kota Rendah skor 25 83.8 70.6 Agak rendah skor 25-50 14.3 26.3 Cukup skor 51-75 1.9 2.5 Tinggi skor 75 0.0 0.6 Rata-Rata±SD skor 0-100 16.53±12.53 21.45±11.62 Min-Maks skor 0-100 0.00-68.90 0.00-75.40 Uji Beda Wilayah p 0.000 Ket : nyata pada p0.01 Hasil pengkategorian komposit skor media, frekuensi dan materi pendidikan konsumen menjadi empat kelompok menunjukkan bahwa pendidikan konsumen yang diperoleh responden adalah masih rendah. Hasil ini sebetulnya tercermin pula dari masih rendahnya frekuensi pendidikan konsumen yang diakses oleh responden, keragaman yang kurang dari media pendidikan konsumen, dan masih kurang jelasnya materi pendidikan konsumen yang diperoleh responden. Apalagi bila dikaitkan dengan kekhususan pada produk makanan kemasan, maka dapat dipahami jika pendidikan konsumen terkait produk ini relatif kurang diakses oleh responden. 39

IV. PENGARUH KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN KEKOSMOPOLITAN TERHADAP INTENSITAS

PENDIDIKAN KONSUMEN The Influence of Demographics Characteristics and Cosmopoliteness on the Intensity of Consumer Education Abstrak. Pendidikan konsumen mengarahkan kepada keputusan konsumen yang lebih baik terutama terkait hak dan kewajiban selaku konsumen. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen. Penelitian ini menerapkan metode survei dengan lokasi penelitian di delapan desa dari empat kecamatan di Kabupaten dan Kota Bogor dengan responden adalah ibu rumah tangga sebanyak 320 orang. Analisis statistik yang digunakan adalah independent sample t-test dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa antara kabupaten dan kota, usia dan besar keluarga tidak berbeda nyata, sebaliknya pendapatan, pendidikan dan kekosmopolitan berbeda nyata. Variabel intensitas pendidikan konsumen, frekuensi dan media pendidikan konsumen berbeda nyata, sebaliknya kejelasan materi tidak berbeda antara kabupaten dan kota. Untuk kabupaten, semakin tinggi pendidikan formal dan kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Untuk kota, semakin kosmopolit responden, akan meningkatkan frekuensi dan akses terhadap media pendidikan konsumen. Kata-Kata Kunci : demografi, kekosmopolitan, pendidikan konsumen Abstract . Consumer education leads to better consumer decisions mainly regarding with consumers’ right and compulsory. The purpose of this study was to analyze the influence of demographics characteristics and cosmopoliteness on the intensity of consumer education. This research applied the survey method that took place in eight villages of four sub districts of district and city of Bogor. Respondents were 320 housewifes. The statistical analysis used independent sample t – test and multiple linear regression. The study concluded that between city and district areas, age and family size did not significantly differ, whereas income, education, and cosmopoliteness were significantly differ. In term of consumer education intensity, the frequency and media of consumer education were significantly different, while the clarity of the material was not significantly different. In district area, the higher the formal education and the more cosmopolite respondents, will encourage access to consumers education with more diverse media and more frequent. In city area, the more cosmopolite respondents, would increase the frequency and access to media of consumer education. Keywords: cosmopoliteness, consumer education, demographics 39 40 PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan peningkatan konsumsi dan kebebasan konsumen memilih produk, seringkali konsumen tidak berpikir mengambil keputusan untuk jangka panjang, melainkan hanya mementingkan kepuasan jangka pendek Jarva 2011. Untuk itu, diperlukan upaya pendidikan konsumen yang merupakan proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan konsumen, sehingga konsumen dapat mengelola sumber dayanya dan melakukan tindakan-tindakan untuk memengaruhi faktor-faktor yang berkaitan dengan keputusan konsumen Sudaryatmo 2004. Berdasarkan informasi dari Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan, pendidikan konsumen telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban konsumen, serta persyaratan produk-produk yang benar dan aman bagi konsumen. Kegiatan pendidikan konsumen diterapkan melalui sosialisasi atau kerjasama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM, lembaga pendidikan, serta melatih komunitas konsumen untuk menjadi motivator perlindungan konsumen. Hasil studi Yumi 2002 mengindikasikan bahwa pendekatan penyuluhan partisipatif cukup efektif dalam pemberdayaan masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendekatan penyuluhan partisipatif adalah karakteristik responden, karakteristik pendamping dan kelembagaan pendukung. Karakteristik responden yang berpengaruh adalah pendidikan informal, kekosmopolitan, status sosial, motivasi instrinsik dan pendidikan formal, sedangkan karakteristik pendamping yang berpengaruh adalah motivasi, pendapatan dan pendidikan. Menurut Kotler 2001, semakin lanjut usia konsumen, maka konsumen cenderung lebih mempertimbangkan produk yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, pekerjaan berhubungan dengan intensitas memperoleh informasi dari penyuluhan konsumen ataupun kejelasan informasi yang diperolehnya. Menurut Setiadi 2010, pekerjaan yang digeluti konsumen dapat menentukan perhatian konsumen terhadap suatu produk, yang salah satunya adalah makanan kemasan. Perbedaan wilayah dianggap dapat memengaruhi akses terhadap informasi. Konsumen yang tinggal di kota-kota besar umumnya lebih mudah memperoleh informasi produk barang atau jasa yang sesuai kebutuhan konsumen Sumarwan 2011. Lokasi di kabupaten memungkinkan akses informasi masih terhambat dibandingkan di kota, sehingga peran iklan atau media kadang-kadang kurang berfungsi sebagaimana semestinya. Rogers dan Shoemaker 1971 mengemukakan bahwa orang yang memiliki sifat kekosmopolitan yang tinggi, biasanya mencari informasi dari sumber di luar lingkungannya. Sebaliknya, orang yang kurang kosmopolit, cenderung tergantung pada tetangga atau teman-temannya dalam lingkungan yang sama yang diandalkan sebagai sumber informasi. Menurut Osei et al. 2012 dan Prinsloo et al. 2012, tingkat pemahaman atau pengetahuan berpengaruh nyata terhadap keputusan pembelian atau