1
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumen saat ini berada dalam pasar yang semakin kompleks dan dihadapkan pada jumlah informasi yang semakin banyak dengan pilihan produk
dan jasa yang semakin beragam. Konsumen lebih mudah terpapar pada penipuan sehingga membutuhkan keahlian dan pengetahuan yang lebih dibandingkan
dengan sebelumnya. Oleh karena itu, kebutuhan terhadap pendidikan konsumen semakin meningkat sepanjang waktu. Pendidikan dapat membekali konsumen
dengan informasi dan keterampilan untuk memenuhi tantangan tersebut dan meningkatkan
ikatan dengan
pemasar, sehingga
dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Dengan demikian, pemerintah dan produsen semakin penting untuk memberdayakan dan menyadarkan konsumen dengan sebaik-baiknya
Organization for Economic Co-operation and Development 2009.
Hingga saat ini, masalah perlindungan konsumen di Indonesia masih belum mendapat banyak perhatian. Penegakan perlindungan konsumen dikatakan
berhasil jika setiap konsumen telah sanggup melindungi diri sendiri dari segala macam hal yang merugikannya. Hal ini baru dapat terjadi kalau konsumen telah
sadar, mengerti dan dapat menggunakan hak-haknya sebagai konsumen. Pada prinsipnya, konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis kurang
diuntungkan. Konsumen semata-mata tergantung pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha Barata 2003.
Dalam penjelasan Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah
rendahnya tingkat kesadaran konsumen terhadap haknya. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-
Undang Perlindungan Konsumen UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah
mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang prinsipnya adalah mendapat keuntungan secara maksimal Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia 2001.
Pemerintah Indonesia belum menyelenggarakan pendidikan konsumen secara terstruktur sebagaimana di negara maju seperti Jepang, Korea, Mexico, Spanyol,
Swedia, dan Thailand. Pemerintah baru membuat produk undang-undang, yaitu UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut
memang telah menyediakan payung hukum, tetapi kemandirian dan pemberdayaan konsumen belum optimal hanya dengan produk kebijakan
perlindungan konsumen Riksana 2012.
Keberdayaan konsumen adalah keadaan subyektif positif yang ditimbulkan oleh peningkatan kontrol Wathieu et al. 2002. Konsumen dapat diberdayakan
melalui sumber yang berbeda, baik melalui regulasi pemerintah maupun pendidikan konsumen Hunter dan Garnefeld 2008. Program pendidikan
konsumen berdampak terhadap perilaku konsumen siswa, seperti memeriksa tanggal kadaluarsa dan melakukan perbandingan harga sebelum membeli Makela
dan Peters 2004. Pendidikan merupakan prasyarat untuk pemberdayaan dan
1
2 sumber pemberdayaan itu sendiri. Pendidikan adalah dimensi pemberdayaan
konsumen, sehingga penting untuk memahami dan menggunakan informasi yang tersedia Hunter et al. 2006; Cutler dan Nye 2000. Studi Killackey-Jones et al.
2004 juga menunjukkan bahwa intervensi pendidikan secara nyata dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku responden. Meskipun demikian,
menurut Burghelea dan Aceleanu 2014 situasi konsumen tidak semata-mata tergantung kepada pendidikan konsumen, namun faktor lain seperti kelembagaan
perlindungan konsumen, penerapan hukum, akuisisi pengetahuan melalui cara- cara informal, atau kebutuhan konsumen yang berbeda. Jika dikaitkan dengan
kesejahteraan konsumen, hasil studi Hunter dan Garnefeld 2008 menyimpulkan keberdayaan konsumen berhubungan positif dengan kepuasan, serta keterlibatan
konsumen menjadi variabel antara hubungan keberdayaan konsumen dan kepuasan konsumen.
Beranjak dari kondisi yang telah disampaikan sebelumnya, peneliti tertarik mengkaji tingkat keberdayaan konsumen di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor,
dengan kekhususan pada kelas makanan kemasan. Pentingnya makanan kemasan diteliti adalah karena masih banyak produk makanan maupun minuman yang
diproduksi oleh industri tidak sesuai dengan peraturan tentang Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan, “makanan dan minuman kemasan adalah makanan dan minuman hasil produksi perusahaan yang tergolong
industri berskala besar dan tidak termasuk industri berskala kecil dan industri rumah tangga
.” Permasalahan terkait makanan kemasan salah satunya terlihat pada temuan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan BPOM tahun 2013, yakni sebanyak 171.887 kemasan pangan Tidak Memenuhi Ketentuan TMK yang terdiri dari
3.037 item, dengan rincian 3.907 kemasan pangan rusak, 26.505 kemasan pangan kadaluarsa, 130.374 kemasan pangan tanpa izin edar, dan 11.068 kemasan TMK
label. Pada tahun sebelumnya, pangan yang ditemukan TMK sebanyak 82.666 kemasan. BPOM juga menemukan 1.844 produk kadaluarsa dengan nilai ekonomi
mencapai Rp 1 miliar Anonim 2013. Faktor lain yang menjadi pertimbangan pemilihan makanan kemasan adalah persentase pengeluaran rumah tangga untuk
makanan tergolong tinggi, yakni 50.66 persen pada bulan Maret 2013. Selain itu, persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan untuk makanan jadi adalah
yang tertinggi dibandingkan kelompok makanan lainnya, yakni 12.46 persen pada bulan September 2013 BPS 2013.
Pendidikan konsumen menjadi penting untuk dilaksanakan dan sejauhmana UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dipahami dan
diimplementasikan oleh konsumen menjadi satu kajian menarik, karena berdaya atau tidaknya konsumen salah satunya ditentukan oleh kesadaran terhadap
undang-undang tersebut. Menurut Brennan dan Coppack 2008, pemberdayaan merupakan konsep kunci dalam hubungannya dengan pendidikan konsumen.
Thogersen 2005 membuktikan perlunya keberdayaan konsumen dan menyatakan bahwa kebijakan konsumen membantu memberdayakan konsumen.
Tujuan penting kebijakan konsumen adalah memberdayakan konsumen dalam membuat pilihan informasi melalui pendidikan dan pelabelan, dan mengakui
bahwa informasi konsumen dan pendidikan adalah alat kunci untuk kebijakan
3 konsumen. Williams 2006 menyatakan bahwa pendidikan konsumen yang
dilaksanakan di Inggris dan Kanada mampu memberdayakan konsumen. Perbedaan lokasi geografis dalam penelitian ini adalah Kabupaten dan Kota
Bogor yang secara karakteristik mendekati ciri perdesaan dan perkotaan, dianggap dapat memengaruhi keberdayaan konsumen berdasarkan studi Nardo et al. 2011.
Lokasi di perdesaan memungkinkan akses komunikasi masih terhambat daripada di perkotaan, sehingga peran iklan atau media terkadang kurang berfungsi
semestinya. Hasil studi Chandrasekhar 2012 di India, konsumen perdesaan cenderung memiliki masalah komunikasi dan melek huruf yang rendah, sehingga
belum mengenal dan memahami iklan sepenuhnya. Selain itu, konsumen di perdesaan lebih suka membeli produk yang lebih murah dan mudah terpengaruh
penjual dibandingkan konsumen perkotaan. Berdasarkan studi Agriculture and Agri-Food Canada 2010, ketersediaan produk di perkotaan lebih beragam dan
konsumen lebih mudah mengakses informasi, sehingga memungkinkan konsumen mengonsumsi makanan yang lebih bervariasi baik dari dalam maupun luar negeri.
Lebih banyak pilihan konsumen dalam proses pembelian, konsumen semakin berkuasa melalui pilihan konsumsi Shaw et al. 2006. Konsumen di perkotaan
juga lebih terbiasa membeli makanan dengan kualitas yang lebih baik. Wiklander 2010 menyatakan bahwa perbedaan lokasi geografis dapat memengaruhi
mobilitas dan keberdayaan perempuan.
Pemberdayaan konsumen banyak diteliti dari perspektif pemasar, namun dari perspektif konsumen belum banyak diteliti. Dari perspektif pemasar, Wright
et al. 2006 menyatakan banyak literatur tentang pemberdayaan konsumen fokus
pada upaya konsumen untuk mendapatkan kembali kontrol proses konsumsinya dari pelaku usaha. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa banyak pelaku
usaha berhasil dengan berusaha keras memberdayakan konsumen. Aspek pemberdayaan dalam literatur pemasaran berfokus terutama pada konsep bahwa
konsumen dapat menegakkan kekuasaannya melalui ekonomi pasar Shaw et al. 2006; Wathieu et al. 2002. Penelitian pemberdayaan konsumen yang
menggunakan perspektif pemasaran diantaranya studi Cannoy 2008 yang mengkaji pemberdayaan konsumen dalam pertukaran informasi layanan kesehatan
dan Shin 2008 yang meneliti keberdayaan konsumen restoran. Penelitian keberdayaan konsumen yang telah dilakukan juga lebih memfokuskan pada
keberdayaan konsumen saja Nardo et al. 2011 atau pendidikan konsumen saja berbagai penelitian yang dilakukan McGregor 2005, Williams 2006, Purutcuoglu
dan Bayraktar 2005.
Penelitian ini difokuskan pada ibu rumah tangga dengan pertimbangan rumah tangga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting
dalam masyarakat dan ia telah menjadi obyek penelitian yang luas. Selain itu, ibu rumah tangga menjadi responden dalam penelitian ini, karena memberdayakan
perempuan tidak hanya bermanfaat untuk perempuan itu sendiri, namun juga untuk seluruh keluarganya Chant 1989. Menurut Engel et al. 1995, ibu rumah
tangga menentukan konsumsi makanan dalam keluarga yang bertanggung jawab dalam pemilihan dan persiapan makanan bagi seluruh keluarga, sehingga
responden yang dipilih adalah ibu rumah tangga. Anggota rumah tangga merupakan kelompok rujukan primer yang paling berpengaruh. Rumah tangga
sangat penting di dalam studi perilaku konsumen karena dua alasan. Pertama, rumah tangga adalah unit pemakaian dan pembelian untuk banyak produk
4 konsumen. Kedua, keluarga adalah memberi pengaruh utama pada sikap dan
perilaku anggota keluarga Kotler 2000. Berdasarkan uraian sebelumnya, pada Gambar 1 disajikan skema permasa-
lahan yang melatarbelakangi perlunya penelitian ini untuk dilaksanakan. Pengelompokan permasalahan terkait konsumen dapat dibagi dua, yakni per-
masalahan internal dan eksternal konsumen. Kedua kelompok permasalahan ini bermuara pada perlunya konsumen diberdayakan sebagai solusi menye-
lesaikan berbagai masalah yang dihadapi konsumen.
Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian Mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dirumuskan pertanyaan yang
dijawab melalui penelitian ini, yakni: 1 Bagaimana pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di
Kabupaten dan Kota Bogor?; 2 Bagaimana tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor ?; 3 Bagaimana profil dan hubungan karakteristik
demografi dan kekosmopolitan dalam meningkatkan keberdayaan konsumen?; 4 Faktor-faktor apa yang memengaruhi keberdayaan konsumen di Kabupaten dan
Kota Bogor?; 5 Faktor-faktor apa yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor?; dan 6 Strategi apa yang dapat
dilakukan untuk memberdayakan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor?.
Konsumen berdaya : - Mengetahui kewajibannya sebagai konsumen
- Mengetahui dan menegaskan hak-haknya - Dapat membuat keputusan yang optimal
- Dapat mengidentifikasi harga dan kualitas terbaik - Memahami preferensinya sendiri dan pilihan-
pilihan yang tersedia - Mengenali kapan haknya dilanggarmengenali
praktik tidak adil pelaku usaha - Mengeluh dan mencari ganti rugi bila diperlukan
Faktor Eksternal Kompleksitas peredaran barang dan
jasa Pilihan produk dan jasa semakin luas
Produk berkualitas rendah semakin marak dan beragam
Informasi yang berlebihan makin meningkat
Pendidikan konsumen oleh swasta, pemerintah maupun LSM belum
memadai Faktor Konsumen
Tuntutan pada konsumen dalam membuat pilihan terbaik di pasar bebas
Konsumen lebih terpapar pada penipuan
Konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan
Konsumen kurang tahu dan paham UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Kesadaran akan hak dan tanggung
jawab umumnya rendah Keahlian dan pengetahuan konsumen
masih rendah
Konsumen perlu diberdayakan
5
Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intensitas pendidikan, keberdayaan konsumen, dan kesejahteraan
subjektif konsumen, serta memformulasikan strategi pemberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor. Secara khusus, penelitian ini bertujuan:
1 Menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap
intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor 2
Menganalisis tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor 3
Menganalisis profil keberdayaan konsumen berdasarkan perspektif demografi dan kekosmopolitan di Kabupaten dan Kota Bogor
4 Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen di
Kabupaten dan Kota Bogor 5
Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor
6 Memformulasikan strategi pemberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota
Bogor.
Manfaat Penelitian
1 Manfaat penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan adalah memberikan
bahan informasi dan referensi bagi ilmuwan atau peneliti ilmustudi konsumen dan penyuluhan pembangunan yang ingin mengembangkan penelitian sejenis
terutama yang memfokuskan pada pendidikan dan perlindungan konsumen, serta keberdayaan konsumen.
2 Manfaat bagi pemerintah, khususnya Direktorat Pemberdayaan Konsumen,
Kementerian Perdagangan RI, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Disperindag melalui adanya Sie Perlindungan Konsumen, dan BPOM,
adalah dapat diketahui seberapa jauh pendidikan konsumen telah menjangkau masyarakat baik di wilayah Kabupaten maupun Kota Bogor, sehingga dapat
ditentukan langkah strategis untuk lebih memperluas jangkauan pendidikan konsumen khususnya dengan sasaran rumah tangga. Hasil penelitian ini juga
dapat menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam menerapkan strategi alternatif peningkatan keberdayaan konsumen yang
nantinya akan dihasilkan. Bagi YLKI, BPKN Badan Perlindungan Konsumen Nasional, BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maupun
LPKSM Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam perlindungan konsumen, penelitian ini juga dapat menjadi
masukan dan evaluasi dalam upaya mengoptimalkan berbagai aktivitas perlindungan konsumen yang selama ini telah dilaksanakan.
3 Manfaat bagi masyarakat adalah memberikan wawasan kepada masyarakat
agar dapat menjadi konsumen yang bijaksana, kritis, dan bertanggung jawab serta mengetahui hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian, masyarakat
dapat menjadi konsumen yang berdaya yang dapat membuat keputusan yang optimal, serta paham hak dan kewajibannya sebagai konsumen.
6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini secara khusus berfokus kepada kajian pengaruh karakteristik demografi, faktor lingkungan, dan intensitas pendidikan konsumen terhadap
keberdayaan dan tingkat kesejahteraan subjektif konsumen. Definisi operasional, pengukuran dan pengolahan data variabel-variabel penelitian, serta kontrol
kualitas data dijelaskan dalam Lampiran 1 dan 3. Lingkup teorikonsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem, konsep pemberdayaan, dan
konsep pendidikan yang akan dijelaskan dalam Bab Pendekatan Teoritis.
Ruang lingkup metode penelitian ini adalah menggunakan disain explanatory dan descriptive research dengan metode survei dan pendekatan cross
sectional yang mempelajari dinamika korelasi antar variabel, baik dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu
Notoatmodjo 2003. Penelitian hanya dibatasi wilayahnya di empat kecamatan dan delapan desa di Kabupaten dan Kota Bogor Lampiran 2. Pertimbangan
pemilihan lokasi adalah Kabupaten dan Kota Bogor merupakan ceruk pasar makanan kemasan yang cukup besar di Indonesia dengan lokasi yang berdekatan
dengan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia. Lingkup wilayah penelitian adalah Kabupaten dan Kota Bogor yang dalam penelitian ini dibedakan sejak awal
penentuan sampel. Karakteristik kabupaten sebagian besar daerahnya merupakan wilayah pedesaan, sebaliknya wilayah kota biasanya terdiri atas wilayah
perkotaan. Sektor perekonomian kabupaten umumnya berasal dari pertanian, sedangkan perekonomian kota berasal dari industri. Perbedaan karakteristik
tersebut dijadikan landasan untuk membedakan kelompok responden menjadi dua, yakni wilayah kabupaten dan kota pada semua analisis yang dilakukan dalam
penelitian ini.
Penentuan jumlah sampel sebanyak 320 rumah tangga dihitung menggunakan rumus Slovin. Jumlah sampel untuk setiap desa telah ditentukan
sebanyak 40 keluarga, sehingga total masing-masing 160 responden dari kabupaten dan kota, dengan asumsi telah memenuhi syarat untuk analisis statistik
Agresti dan Finlay 1999. Unit analisis penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang berasal dari keluarga lengkap ada ayah, ada ibu dan anak
dengan pertimbangan variasi konsumsi makanan kemasan akan terlihat dan beragam. Sampel penelitian ditentukan secara multistage sampling Black dan
Champion 1992; Agresti dan Finlay 1999 dengan masing-masing wilayah Kabupaten dan Kota Bogor sebagai lapis yang didalamnya dilakukan pengacakan.
Pengacakan dilakukan dengan menggunakan fungsi random pada program Microsoft Excel. Penelitian lapang dilakukan mulai April hingga Agustus 2013
Screening untuk dapat menjadi responden dilakukan jika keluarga mengonsumsi salah satu atau lebih produk berikut : produk susu dan olahannya,
snack ringan, makanan kaleng, makanan bayi atau produk mie instan. Sebelum wawancara dilakukan, kepada responden dijelaskan apa yang dimaksud dengan
makanan kemasan dan jenis-jenisnya agar tidak terjadi salah paham terhadap produk yang dimaksud. Makanan kemasan yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan telah memiliki nomor registrasi seperti tercantum dalam kemasannya.
Pengumpulan data menggunakan instrumen kuesioner terstruktur dibantu showcard untuk mempermudah pengambilan data. Sebelum wawancara,
7 responden menandatangani informed consent yang merupakan bentuk persetujuan
untuk berpartisipasi dalam penelitian. Pengujian instrumen dilakukan kepada 32 ibu rumah tangga 10 dari total contoh yang tidak masuk dalam contoh
penelitian. Review instrumen dilakukan dengan meminta masukan dari dua akademisi dan satu praktisi bidang konsumen sesuai dengan Guba dan Lincoln
Radhakrishna et al. 2012.
Kebaruan penelitian ini adalah pengembangan instrumen keberdayaan konsumen dengan menggabungkan instrumen keberdayaan konsumen dari studi
“The Consumer Empowerment Index : A measure of skills, awareness and engagement of European consumers” Nardo et al. 2011, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Berdasarkan hasil pencarian referensi yang dilakukan
peneliti, pengembangan instrumen keberdayaan konsumen di Indonesia belum dilakukan.
Kebaruan penelitian ini juga dapat ditinjau dari sudut ilmu penyuluhan pembangunan yang menjadi kompetensi utama peneliti, yang memberikan insight
baru dengan penggabungan dua bidang ilmu, yakni ilmu penyuluhan pembangunan dan ilmu konsumen. Umumnya, perspektif ilmu penyuluhan lebih
membidik produsen sebagai stakeholder utama, namun penelitian ini memberikan paradigma baru dengan mengkaji konsumen sebagai pengguna akhir.
Disertasi ini ditulis dalam pola rangkaian yang terdiri atas lima penelitian, yakni intensitas pendidikan konsumen, tingkat keberdayaan konsumen, profil
keberdayaan konsumen berdasarkan perspektif demografi dan kekosmopolitan, faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen, dan faktor-faktor yang
memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen. Analisis yang digunakan pada topik intensitas pendidikan konsumen adalah independent sample t-test dan
regresi linier berganda, pada topik tingkat keberdayaan konsumen digunakan uji Mann-Whitney dan independent sample t-test, pada topik profil keberdayaan
konsumen berdasarkan perspektif demografi dan kekosmopolitan digunakan independent sample t-test, one way anova dengan uji lanjut uji beda nyata terkecil
dan regresi linier berganda, pada topik faktor-faktor yang memengaruhi keberdayaan konsumen digunakan Structural Equation Modeling SEM, dan
pada topik faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif konsumen digunakan independent sample t-test, korelasi Pearson, dan regresi linier
berganda.
8
II. PENDEKATAN TEORITIS