PENGARUH KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DAN KEKOSMOPOLITAN TERHADAP INTENSITAS

40 PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan peningkatan konsumsi dan kebebasan konsumen memilih produk, seringkali konsumen tidak berpikir mengambil keputusan untuk jangka panjang, melainkan hanya mementingkan kepuasan jangka pendek Jarva 2011. Untuk itu, diperlukan upaya pendidikan konsumen yang merupakan proses memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan konsumen, sehingga konsumen dapat mengelola sumber dayanya dan melakukan tindakan-tindakan untuk memengaruhi faktor-faktor yang berkaitan dengan keputusan konsumen Sudaryatmo 2004. Berdasarkan informasi dari Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan, pendidikan konsumen telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban konsumen, serta persyaratan produk-produk yang benar dan aman bagi konsumen. Kegiatan pendidikan konsumen diterapkan melalui sosialisasi atau kerjasama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM, lembaga pendidikan, serta melatih komunitas konsumen untuk menjadi motivator perlindungan konsumen. Hasil studi Yumi 2002 mengindikasikan bahwa pendekatan penyuluhan partisipatif cukup efektif dalam pemberdayaan masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendekatan penyuluhan partisipatif adalah karakteristik responden, karakteristik pendamping dan kelembagaan pendukung. Karakteristik responden yang berpengaruh adalah pendidikan informal, kekosmopolitan, status sosial, motivasi instrinsik dan pendidikan formal, sedangkan karakteristik pendamping yang berpengaruh adalah motivasi, pendapatan dan pendidikan. Menurut Kotler 2001, semakin lanjut usia konsumen, maka konsumen cenderung lebih mempertimbangkan produk yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, pekerjaan berhubungan dengan intensitas memperoleh informasi dari penyuluhan konsumen ataupun kejelasan informasi yang diperolehnya. Menurut Setiadi 2010, pekerjaan yang digeluti konsumen dapat menentukan perhatian konsumen terhadap suatu produk, yang salah satunya adalah makanan kemasan. Perbedaan wilayah dianggap dapat memengaruhi akses terhadap informasi. Konsumen yang tinggal di kota-kota besar umumnya lebih mudah memperoleh informasi produk barang atau jasa yang sesuai kebutuhan konsumen Sumarwan 2011. Lokasi di kabupaten memungkinkan akses informasi masih terhambat dibandingkan di kota, sehingga peran iklan atau media kadang-kadang kurang berfungsi sebagaimana semestinya. Rogers dan Shoemaker 1971 mengemukakan bahwa orang yang memiliki sifat kekosmopolitan yang tinggi, biasanya mencari informasi dari sumber di luar lingkungannya. Sebaliknya, orang yang kurang kosmopolit, cenderung tergantung pada tetangga atau teman-temannya dalam lingkungan yang sama yang diandalkan sebagai sumber informasi. Menurut Osei et al. 2012 dan Prinsloo et al. 2012, tingkat pemahaman atau pengetahuan berpengaruh nyata terhadap keputusan pembelian atau 41 pengetahuan dan kemampuan menginterpretasikan informasi. Deshpande 2002 menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuatan, pemberdayaan pelanggan yang mencerminkan peningkatan kemampuan konsumen untuk mengakses, memahami dan berbagi informasi. Hasil studi Purutcuoglu dan Bayraktar 2005 menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara pendidikan konsumen dan tingkat sosial-ekonomi. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka pertanyaan yang dijawab melalui penelitian ini adalah : 1 Apakah ada perbedaan karakteristik demografi, kekosmopolitan dan intensitas pendidikan konsumen antara wilayah kabupaten dan kota Bogor?, dan 2 Bagaimana pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di kabupaten dan kota Bogor?. Tujuan Penelitian 1 Menganalisis kondisi pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor 2 Menganalisis perbedaan karakteristik demografi, kekosmopolitan dan intensitas pendidikan konsumen antara Kabupaten dan Kota Bogor 3 Menganalisis pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat memberikan informasi seberapa jauh pendidikan konsumen telah menjangkau masyarakat, sehingga dapat ditentukan langkah strategis untuk lebih memperluas jangkauan pendidikan konsumen khususnya dengan sasaran ibu rumah tangga. Hasil ini akan menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan khususnya, Kementerian Perdagangan RI, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi pada tingkat kabupatenkota dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen lainnya dalam mendidik konsumen. Secara keilmuan, penelitian ini juga diharapkan memberikan paradigma untuk pengayaan bagi peneliti penyuluhan pembangunan dan ilmu konsumen terutama yang fokus kepada pendidikan dan perlindungan konsumen. METODE Variabel penelitian mencakup: 1 karakteristik demografi X1 usia, besar keluarga, status pekerjaan, wilayah, pendidikan, dan pendapatan; 2 kekosmopolitan X2; dan 3 intensitas pendidikan konsumen Y1 media pendidikan konsumen, frekuensi pendidikan konsumen, dan materi pendidikan konsumen. Data penelitian diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan 320 ibu rumah tangga sebagai responden penelitian. Instrumen intensitas pendidikan konsumen mencakup media, frekuensi, dan materi pendidikan konsumen. Media pendidikan adalah banyaknya media yang digunakan untuk memperoleh informasi pendidikan konsumen terdiri dari tujuh butir pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman. Frekuensi pendidikan konsumen terdiri dari tujuh butir pertanyaan menggunakan skala Likert dengan 42 pilihan jawaban : 1 sering 1xminggu skor 3, 2 kadang-kadang 1xbulan skor 2, 3 jarang 1x3 bulan skor 1, dan 4 tidak pernah skor 0. Materi pendidikan konsumen adalah kejelasan informasi yang diberikan dalam pendidikan konsumen yang terdiri dari 11 butir pertanyaan menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban : 1 sangat jelas skor 3, 2 jelas skor 2, 3 tidak jelas skor 1, dan 4 sangat tidak jelas skor 0. Instrumen materi pendidikan konsumen disusun dengan mengacu pada United Nations 2001. Instrumen kekosmopolitan mengacu pada Rogers 2003 mencakup enam butir pertanyaan menggunakan skala Likert tidak pernah skor 0 hingga sangat sering skor 3. Hasil pengujian reliabilitas variabel penelitian menghasilkan nilai cronbach alpha untuk kekosmopolitan sebesar 0.825 dan intensitas pendidikan konsumen berkisar antara 0.523 cukup reliabel hingga 0.905 sangat reliabel. Data penelitian diolah dengan Microsoft Excel versi 2007 dan SPSS 18.0 for Windows. Skor setiap variabel dikompositkan untuk kemudian ditransformasi menjadi skala 0 sampai 100. Skor yang telah dijadikan indeks kemudian dikategorisasi membagi empat, yakni : 1 rendah skor 25, 2 agak rendah skor 25-50, 3 cukup skor 51-75, dan 4 baik skor 75. Analisis statistik yang digunakan adalah independent sample t-test dan regresi linier berganda. Ada dua hipotesis penelitian, yakni : 1 terdapat perbedaan yang nyata karakteristik demografi, kekosmopolitan dan intensitas pendidikan konsumen antara Kabupaten dan Kota Bogor H1, dan 2 karakteristik demografi dan kekosmopolitan berpengaruh secara nyata terhadap intensitas pendidikan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor H2. HASIL Karakteristik Demografi Rata-rata usia responden yang tinggal di kota 38.33±11.21 tahun lebih tua dibandingkan dengan responden yang tinggal di kabupaten 37.17±10.52 tahun, walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata p0.05 antara kedua lokasi. Persentase tertinggi kabupaten 35.0 dan kota 29.4 usia responden di kabupaten dan kota tergolong dewasa awal 18-40 tahun yang masuk dalam kelompok usia produktif. Perbedaan usia akan mengakibatkan perbedaan selera terhadap suatu produk. Sejalan dengan peningkatan usia dan pengalaman hidup yang dimiliki, kebutuhan yang dirasakan dan kepentingan yang diharapkan konsumen akan berevolusi Agriculture and Agri-Food Canada 2010. Lebih dari separuh keluarga di kabupaten dan kota memiliki besar keluarga maksimum empat orang rata-rata kabupaten 4.01±1.15 dan kota 4.23±1.15. Keluarga responden di kedua lokasi didominasi keluarga kecil dengan anggota keluarga sampai empat orang. Besar keluarga tidak berbeda nyata p=0.080 antara wilayah kabupaten dan kota. Hampir tiga perempat 74.4 responden di kabupaten dan sebagian besar 83.1 responden di kota tidak bekerja. Jenis pekerjaan yang banyak digeluti oleh responden di kabupaten adalah buruh 10.6 dan pedagangwiraswasta 10.0, sedangkan responden di kota paling banyak sebagai pedagang wiraswasta 8.8. 43 Jika dilihat dari kategori lama pendidikan sebanyak 76.9 persen responden di kota dan 55.0 persen responden di kabupaten berpendidikan 9 tahun, artinya tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai hanya sampai SMP, dengan perbedaan yang nyata antara kedua lokasi. Rata-rata pendapatan keluarga responden di kota Rp460 800.47kapitabulan lebih tinggi dibandingkan di kabupaten Rp334 948.66kapitabulan. Lama pendidikan dan pendapatan keluarga berbeda nyata antara kabupaten dan kota. Kekosmopolitan Hasil penelitian menunjukkan responden di kota lebih sering melakukan perjalanan ke luar kota, mendapatkan ide-ide baru dari berbagai media massa, menggunakan sumber informasi dari luar lingkungan, membangun hubungan dengan orang lain, merasakan perubahan pada diri sendiri dari informasi baru yang diterimanya, dan lebih intensif menggunakan internet daripada responden di kabupaten. Hampir seluruh 93.8 responden yang tinggal di kabupaten tidak pernah menggunakan internet, sedangkan persentase responden di kota yang tidak pernah menggunakan internet sebanyak 77.5 persen. Responden di kota cenderung lebih baik dalam memperoleh dan mengakses sumber informasi dibandingkan di kabupaten. Hasil uji beda mengindikasikan perbedaan yang nyata antara kedua wilayah pada hampir semua pernyataan kekosmopolitan yang ditanyakan, kecuali pada butir melakukan perjalanan ke luar kota. Skor komposit kekosmopolitan menunjukkan perbedaan yang nyata antara responden di kabupaten dan kota. Lebih dari dua pertiga responden yang tinggal di kabupaten dan sekitar sepertiga di kota tergolong tidak kosmopolit. Orang yang sifat kurang kosmopolit, cenderung tergantung pada tetangga atau teman-teman dalam lingkungan yang sama sebagai sumber informasi. Kekosmopolitan dapat diukur dari jumlah informasi dan akses terhadap sumber informasi Rogers dan Shoemaker 1971. Pendidikan Konsumen Flowers et al. 2001 menjelaskan pandangan pendidikan konsumen didasarkan pada tiga pendekatan, yakni berfokus pada penyediaan informasi untuk membantu konsumen membuat pilihan yang lebih baik, melindungi konsumen dari praktik perdagangan yang curang, dan pandangan kritis yang mengakui bahwa konsumen bertindak dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik yang berdampak pada kemampuan untuk membuat pilihan. Menurut Organisation for Economic Operation and Development 2009, pendidikan konsumen harus fokus pada peningkatan kesadaran akan manfaat keberlanjutan, mengembangkan pengetahuan praktis tentang apa yang dapat dilakukan konsumen untuk mendukung konsumsi berkelanjutan, dan memberikan keterampilan dan sikap yang diperlukan konsumen, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. 44 Frekuensi Pendidikan Konsumen Sebagian besar responden di kabupaten dan kota terkategori kurang dalam hal frekuensi mengakses pendidikan konsumen kabupaten 91.9 dan kota 89.4. Rata-rata skor frekuensi responden di kota lebih tinggi dibandingkan responden di kabupaten rata-rata kabupaten 25.81±16.06 dan kota 33.91±15.62 dengan uji beda yang nyata antara kedua wilayah. Dalam laporan Trading Standards Institute, Ritters 2013 membedakan pendidikan konsumen di UK antara pendidikan konsumen dan informasi konsumen, yang menunjukkan bahwa pendidikan konsumen membekali orang dengan keterampilan untuk membuat pilihan cerdas, untuk menyelesaikan masalah secara efektif dan untuk mencari informasi lebih lanjut, serta membantu secara tepat. Ritters mengakui bahwa ketika hukum dan pasar berubah, keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan konsumen akan memungkinkan orang untuk bergerak dalam melalui kehidupan sebagai konsumen yang efektif. Media Pendidikan Konsumen Responden di kabupaten dan kota masing-masing hanya sekitar satu per empat dan satu per tiga yang terpapar informasi terkait isu-isu konsumen. Dari jumlah tersebut, ternyata media elektronik seperti televisi dan radio adalah media yang paling banyak dijadikan sumber informasi konsumen dengan persentase 90.6 persen di kabupaten dan 86.9 persen di kota. Perbedaan penggunaan media radio dan televisi secara statistik adalah nyata antara kedua wilayah. Pendidikan konsumen secara langsung oleh LSMswastapemerintah masih kurang diakses oleh responden dengan persentase hanya 6.9 persen di kabupaten dan 9.4 persen di kota yang pernah mengikuti pendidikan konsumen. Artinya, jangkauan pendidikan konsumen secara langsung masih kurang dirasakan oleh para responden. Internet lebih banyak dijadikan sebagai sumber informasi konsumen di wilayah kota dibandingkan di kabupaten dengan perbedaan yang nyata antara kedua wilayah. Hasil studi Rust dan Oliver Hunter et al. 2006, menunjukkan bahwa disamping peningkatan kuantitas informasi, kualitas informasi juga harus meningkat, termasuk komponen untuk menemukan informasi yang paling relevan dalam rangka memberdayakan konsumen. Materi Pendidikan Konsumen Materi pendidikan konsumen yang diperoleh responden adalah beragam, meskipun dengan persentase yang masih relatif kecil untuk kedua wilayah. Tiga materi pendidikan yang sering diperoleh responden dalam tiga bulan terakhir, baik di kabupaten maupun kota adalah pemalsuan makanan kabupaten 73.1 dan kota 80.6, produk berbahaya kabupaten 67.5 dan kota 80.6, dan gizi kabupaten 60.6 dan kota 75.6. Materi tentang tanggung jawab konsumen, cara mengkomunikasikan kepuasan ketidakpuasan, hak konsumen dan badan organisasi bagi perlindungan konsumen hanya pernah diperoleh oleh kurang dari 10 persen responden. Hasil komposit skor kejelasan materi pendidikan konsumen menunjukkan responden kurang memahami materi yang diterima kabupaten 96.3 dan kota 45 97.5, dengan perbedaan yang tidak nyata p=0.116 antara kedua kelompok responden di kabupaten dan kota. Keragaman materi penyuluhan masih perlu lebih ditingkatkan, agar konsumen memperoleh wawasan yang lebih luas terkait isu-isu konsumen yang marak terjadi. Dilihat dari nilai rata-rata responden di kota yang lebih tinggi, responden di kota lebih jelas memahami materi pendidikan konsumen kabupaten 7.16±12.44 dan kota 9.26±11.34. Fischer 2011 menyatakan bahwa kebijakan pendidikan konsumen mempunyai beberapa masalah terkait praktek pelaksanaannya. Dalam penelitian ini, kejelasan materi pendidikan konsumen menjadi salah satu masalah yang dirasakan oleh konsumen. Pengaruh Karakteristik Demografi dan Kekosmopolitan terhadap Intensitas Pendidikan Konsumen Pada Tabel 13 disajikan pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen yang dianalisis dengan regresi linier berganda. Regresi linier berganda dipilih karena merupakan teknik analisis yang kuat untuk menggambarkan pengaruh dua atau lebih variabel penduga. Variabel dependen adalah media pendidikan konsumen, frekuensi pendidikan konsumen, kejelasan materi pendidikan konsumen dan intensitas pendidikan konsumen. Tabel 13 Koefisien regresi pengaruh karakteristik demografi dan kekosmopolitan terhadap intensitas pendidikan konsumen menggunakan regresi linier berganda untuk kabupaten dan kota Variabel Bebas Kabupaten Kota Y11 Y12 Y13 Y1 Y11 Y12 Y13 Y1 Usia tahun -0.067 -0.055 0.081 0.008 -0.083 -0.07 -0.094 -0.098 Besar keluarga orang 0.013 0.106 -0.095 -0.002 -0.007 -0.074 -0.141 -0.110 Status Pekerjaan 0=tidak bekerja; 1=bekerja -0.051 -0.097 0.149 0.029 -0.039 -0.050 -0.074 -0.070 Lama Pendidikan tahun 0.271 0.254 0.213 0.274 0.108 0.129 0.081 0.124 Pendapatan Rpper kapitabulan 0.011 0.055 -0.146 -0.053 0.096 0.055 0.050 0.071 Kekosmopolitan skor 0.361 0.318 0.101 0.257 0.243 0.259 -0.140 0.093 Kolmogorov-Smirnov Z Sig 0.767 0.555 3.637 1.811 0.551 0.556 2.785 0.959 0.599 0.918 0.000 0.003 0.922 0.916 0.000 0.316 Durbin-Watson 2.008 1.804 1.647 1.805 2.032 2.073 1.726 1.862 F-Hitung 12.930 11.024 1.925 6.085 3.955 4.593 1.610 2.576 p value 0.000 0.000 0.080 0.000 0.001 0.000 0.148 0.021 Adjusted R Square 0.310 0.274 0.034 0.161 0.100 0.119 0.022 0.056 Ket : Y11= Media pendidikan konsumen; Y12 = Frekuensi pendidikan konsumen; Y13= Kejelasan materi pendidikan konsumen; Y1=Intensitas pendidikan konsumen; nyata pada p0.01 Secara umum, asumsi klasik regresi linier berganda telah terpenuhi dari aspek normalitas, homoskedastisitas, nonmultikolinieritas, dan non autokorelasi. Meskipun untuk dua variabel Y13 dan Y1 harus dilakukan bentuk transformasi LN karena adanya masalah substansial positif Skewness. Hasil asumsi klasik yang diperoleh adalah : 1 hasil uji Kolmogorov Smirnov terkait kenormalan data menunjukkan data berdistribusi normal karena nilai signifikansi lebih besar dari 0.05, artinya asumsi normalitas telah terpenuhi; 2 scatterplot yang dihasilkan 46 mengindikasikan bahwa error menyebar di sekitar nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi homoskedastisitas terpenuhi; 3 Hasil pengujian asumsi non multikolinieritas mengindikasikan nilai VIF di bawah 5 yang berarti model telah memenuhi asumsi non multikolinieritas Hair et al. 2006; dan 4 nilai Durbin Watson mendekati 2 menunjukkan bahwa model bebas autokorelasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk kabupaten, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan ketiga dimensinya, sedangkan kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan dua dimensinya media pendidikan konsumen dan frekuensi pendidikan konsumen. Artinya semakin tinggi pendidikan formal dan semakin kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Kekosmopolitan tidak berpengaruh nyata terhadap kejelasan materi pendidikan konsumen disebabkan beragam informasi yang diterima kadang- kadang membuat responden bingung. Selain itu, informasi yang diterima juga kadang-kadang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak memberikan informasi yang mendalam karena umumnya diterima melalui televisi. Untuk kota, variabel kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap media dan frekuensi pendidikan konsumen. Hasil ini agak berbeda dengan yang ditemukan di kabupaten, yakni selain kekosmopolitan, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif. Hal ini karena pendidikan formal responden di kota lebih homogen dibanding di kabupaten. Hasil analisis regresi juga mencerminkan bahwa data di kota lebih beragam dibandingkan di kabupaten dengan lebih banyaknya variabel yang berpengaruh nyata. Beragamnya data di kabupaten diakibatkan dua desa dari empat desa yang menjadi lokasi penelitian, secara karakteristik berbeda dengan dua desa lainnya yakni lebih ke arah desa perkotaan, sehingga memungkinkan variasi responden dalam wilayah kota, walaupun penentuan lokasi penelitian telah dilakukan secara acak. Berdasarkan koefisien terstandardisasi, untuk kabupaten, variabel independen yang paling kuat memengaruhi media pendidikan konsumen dan frekuensi pendidikan konsumen adalah kekosmopolitan dengan nilai beta secara berturut-turut 0.361 dan 0.318, sedangkan kejelasan materi pendidikan paling dipengaruhi oleh variabel lama pendidikan dengan nilai beta 0.213. Artinya, diperlukan latar belakang pendidikan formal yang memadai untuk mampu memahami materi pendidikan konsumen dengan jelas. Untuk kota, variabel kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap media dan frekuensi pendidikan konsumen. Variabel lain yang berpengaruh terhadap pendidikan konsumen namun tidak diteliti adalah motivasi intrinsik, dan kelembagaan pendukung. Hal ini sesuai dengan temuan Yumi 2002 bahwa motivasi intrinsik dan kelembagaan adalah diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyuluhan partisipatif. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden di kabupaten dan kota masih jarang mengakses informasi terkait isu-isu konsumen. Hal ini terlihat dari frekuensi mengakses pendidikan konsumen dari sebagian besar responden di 47 kabupaten dan kota terkategori kurang, yakni di kabupaten 91.9 persen dan di kota 89.4 persen. Artinya, sebagian besar responden tidak pernah atau jarang mengakses pendidikan konsumen. Dalam bukunya “Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan,” Cees Leeuwis 2009 menyatakan ada beberapa faktor yang memengaruhi keterlibatan seseorang dalam pembelajaran. Walaupun ada kebutuhan belajar, kelompok danatau individu sering cenderung untuk tidak belajar, atau hanya mulai belajar ketika masalah-masalah telah membesar. Pertama adalah pembelajaran memerlukan upaya, energi dan waktu, artinya pembelajaran adalah “sumber langka” yang membuat orang menjadi selektif dalam melakukannya. Selain itu, orang harus dimotivasi untuk mau belajar. Faktor lainnya adalah : 1 kepentingankeseriusan dari masalah yang dialami; 2 keterlibatan langsung dalam masalah; 3 urgensi saat merasa ada kebutuhan mendesak untuk memecahkan masalah, mereka lebih termotivasi untuk terlibat dalam pembelajaran dibandingkan yang dapat dengan mudah ditunda; 4 keberhasilan diri dan keberhasilan lingkungan dengan tumbuhnya kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah; 5 kompleksitas, observasi dan percobaan. Bila masalahnya sangat kompleks secara teknis dan sosial akan memengaruhi motivasi seseorang untuk belajar; 6 kejelasan tentang sifat masalah; 7 merasakan konsekuensi sosial dan resiko terkait dengan penerimaan-penerimaan lainnya; 8 ruang sosial dan pengorganisasian. Pembelajaran secara individu dapat terjadi dalam konteks lingkungan sosial yang didalamnya ide baru dapat atau tidak dihargai; dan 9 stres dan trauma. Pembelajaran dapat distimuli oleh ketidakpuasan dengan situasi dan adanya tekanan dari luar. Terkait dengan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, Knowles Commonwealth of Australia 2000 menyatakan bahwa orang dewasa termotivasi untuk belajar karena dianggap relevan, didasarkan pada pengalaman sebelumnya, terlibat secara aktif, partisipasitori, berfokus pada masalah, memungkinkan untuk bertanggung jawab pada pembelajarannya, dapat diterapkan secara langsung, melibatkan siklus aksi dan refleksi, serta didasarkan pada prinsip saling menghormati dan mempercayai. Penelitian ini menjawab Hipotesis 1, yakni antara wilayah kabupaten dan kota, karakteristik demografi yakni usia dan besar keluarga tidak berbeda nyata, sedangkan pendapatan dan pendidikan berbeda nyata. Kekosmopolitan juga berbeda nyata antara responden di Kabupaten dan Kota Bogor. Untuk pendidikan konsumen, frekuensi dan media pendidikan konsumen berbeda nyata, sedangkan kejelasan materi tidak berbeda nyata. Ada kecenderungan bahwa pendidikan konsumen di wilayah kota lebih baik dibandingkan di kabupaten, meskipun skor intensitas pendidikan konsumen di kedua wilayah masih sangat rendah. Hipotesis 2 yang dibuktikan dalam penelitian ini adalah karakteristik demografi dan kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap intensitas pendidikan konsumen. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa untuk wilayah kabupaten, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan ketiga dimensinya, sedangkan kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan dua dimensinya media pendidikan konsumen dan frekuensi pendidikan konsumen. Artinya semakin tinggi pendidikan formal dan semakin kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi 48 yang lebih sering. Untuk kota, variabel kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap media dan frekuensi pendidikan konsumen. Sejalan dengan pendidikan yang semakin tinggi, maka semakin memberikan peluang tercapainya keberhasilan pendidikan konsumen yang sesuai dengan harapan. Responden yang memiliki latar belakang pendidikan formal lebih tinggi, cenderung lebih aktif mengakses pendidikan konsumen karena lebih merasakan manfaat kegiatan tersebut. Pendidikan yang tinggi akan semakin meningkatkan kebutuhan pengetahuan dan wawasan terkait isu konsumen, sehingga dorongan mengakses pendidikan konsumen akan semakin tinggi dibandingkan responden yang berpendidikan rendah. Latar belakang pendidikan yang semakin tinggi akan cenderung mendukung pola pikir yang semakin berkembang, sehingga lebih mudah memahami materi dengan jelas. Media yang digunakan untuk kegiatan pendidikan konsumen juga dinilai lebih efektif diterapkan pada responden yang semakin tinggi tingkat pendidikannya. Kesuksesan pendidikan konsumen didukung latar belakang pendidikan responden yang semakin baik, sehingga materi yang disampaikan semakin jelas untuk dipahami. Menurut Burghelea dan Cristina 2014, pendidikan konsumen dapat dilakukan terlepas dari tingkat pendidikan saat ini, tetapi dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, konsumen lebih mudah menerima informasi tentang pendidikan konsumen. Responden yang berpendidikan tinggi memiliki sikap terbuka dengan ciri yang dijelaskan oleh Brooks dan Emmert Rakhmat 2011, yakni menilai pesan secara obyektif, membedakan dengan mudah, melihat nuansa, berorientasi pada isi, mencari informasi dari berbagai sumber, lebih bersifat provisional dan bersedia mengubah kepercayaannya, serta mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan kepercayaannya. Hasil analisis regresi menunjukkan kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap frekuensi pendidikan konsumen dan media pendidikan konsumen. Responden yang kosmopolit cenderung terbuka dengan ide baru dan termasuk “information seeker,” sehingga akan lebih banyak mengakses media pendidikan konsumen. Responden di kota memiliki potensi lebih mudah mengakses informasi dari berbagai media. Hal tersebut semakin memperbesar peluang responden di kota untuk memperoleh ide baru, dan menggali informasi dari lingkungan. Menurut Figueiredo dan Cayla 2010, perkembangan zaman yang mengarah pada era globalisasi akan menciptakan konsumen yang lebih kosmopolit. Seiring fenomena meningkatnya mobilitas di seluruh dunia, semakin banyak orang yang memiliki akses langsung ke berbagai lokasi yang dikehendaki Robertson 1995. Delanty 2006 mengungkapkan kosmopolitan mencakup tiga dimensi, yaitu: tingkat modernitas yang dilihat secara luas dampak dari globalisasi, interaksi masyarakat dengan sistem sosial, serta mobilitas individu. Seorang konsumen yang terbiasa melakukan perjalanan jauh akan semakin menunjukkan mobilitas yang tinggi, sehingga semakin tergolong kosmopolit. Hasil temuan menunjukkan bahwa responden yang mengakses pendidikan konsumen paling banyak menggunakan televisi dan radio sebagai media sumber informasi konsumen. Demikian pula hasil wawancara mendalam menyimpulkan hal yang sama yakni responden menganggap media televisi sudah baik untuk media penyuluhan, karena jika diadakan penyuluhan secara langsung mungkin akan sulit dilakukan. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Sugarda et al. 2001, informasi yang disampaikan melalui televisi dapat menarik banyak perhatian 49 bila ditangani secara tepat sehingga memungkinkan memperoleh peningkatan wawasan dan pengetahuan terkait isu konsumen. Flowers et al. 2001 juga menyatakan bahwa penggunaan TV dan radio sangat efektif karena dimiliki hampir setiap rumah tangga dan secara terus menerus digunakan. Banyak konsumen menggunakan televisi dan majalah sebagai smber informasi dan sebagai stimuli intelektual Organisation for Economic Operation and Development 2000. Walaupun televisi dan radio paling banyak digunakan responden untuk mengakses pendidikan konsumen, menurut Leeuwis 2009, untuk mengefektifkan pendidikan konsumen, maka komunikasi dapat menggunakan media campuran yakni kombinasi beberapa media berbeda, dengan alasan : 1 sub-audiens yang berbeda memiliki preferensi danatau akses media yang berbeda; 2 karena media yang berbeda memiliki kualitas potensial yang berbeda. Misalnya akan masuk akal untuk menggunakan komunikasi antar-personal atau media hibrida modalitas internet untuk menstimulir pembelajaran aktif dan pembentukan opini sebuah isu, tetapi untuk meningkatkan perhatian tentang suatu isu pada awal, danatau mengumumkan bahwa kegiatan tertentu terjadi semacam media massa dapat dilakukan. Hasil wawancara mendalam dengan responden digali tindakan yang dilakukan terkait dengan masih rendahnya intensitas pendidikan konsumen, yakni dengan sosialisasi bertahap mulai dari lingkaran terkecil sampai ke lingkaran terbesar, atau pemerintah dapat menempelkan dan menyebarkan pamflet yang ditempel di minimarket ataupun swalayan, sehingga konsumen dapat secara langsung membaca sendiri, karena sejauh ini masih jarang atau bahkan tidak ada penyuluhan tentang konsumen. Pada dasarnya penyuluhan konsumen sangat penting, dan lebih baik penyuluhan tersebut diselipkan dalam penyampaian penyuluhan tentang gizi ataupun KB yang rutin diadakan oleh kelurahan sebulan sekali. Responden lainnya melalui wawancara mendalam menyatakan selain melalui penyuluhan, media seperti koran dan televisi juga dapat membantu untuk mengedukasi konsumen. Penyuluhan ini diharapkan dapat tepat mencapai sasaran dan lebih efektif lagi, jika ada penyuluh konsumen yang berdiri sendiri dan terjun langsung ke masyarakat. Dalam praktik pelaksanaan pendidikan konsumen, beberapa aspek perlu menjadi perhatian, mulai dari komunikator yang menyampaikan materi, kejelasan materi yang disampaikan, serta ketepatan metode yang digunakan. Sugarda et al. 2001 mengungkapkan bahwa komunikator yang menyampaikan materi perlu menyesuaikan metode yang digunakan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan. SIMPULAN Hasil penelitian menyimpulkan bahwa antara kabupaten dan kota, usia dan besar keluarga tidak berbeda, sedangkan pendapatan, pendidikan, dan kekosmopolitan berbeda nyata. Untuk pendidikan konsumen, frekuensi dan media berbeda nyata, sedangkan kejelasan materi tidak berbeda nyata. Intensitas pendidikan konsumen dipengaruhi oleh lama pendidikan dan kekosmopolitan. Untuk kabupaten, lama pendidikan berpengaruh nyata dan positif terhadap 50 intensitas pendidikan konsumen dan ketiga dimensinya, sedangkan kekosmopolitan berpengaruh nyata dan positif terhadap intensitas pendidikan konsumen dan dua dimensinya media pendidikan konsumen dan frekuensi pendidikan konsumen. Artinya, semakin tinggi pendidikan formal dan semakin kosmopolit responden, akan mendorong akses terhadap pendidikan konsumen dengan media yang beragam dan frekuensi yang lebih sering. Untuk kota, hanya variabel kekosmopolitan yang berpengaruh nyata dan positif terhadap media dan frekuensi pendidikan konsumen. 51

V. TINGKAT KEBERDAYAAN KONSUMEN DI KABUPATEN DAN KOTA BOGOR

Empowered Consumers Level in District and City of Bogor Abstrak . Konsumen semakin perlu diberdayakan karena produk dan pasar yang menjadi semakin kompleks, meningkatnya informasi yang berlebihan dan tuntutan konsumen untuk membuat pilihan terbaik di pasar bebas. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi tingkat keberdayaan konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor, serta menganalisis perbedaan tingkat keberdayaan konsumen antara Kabupaten dan Kota Bogor. Responden penelitian ini adalah ibu rumah tangga sebanyak 320 orang yang ditentukan secara multistage random sampling. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa konsumen di Kabupaten dan Kota Bogor masih kurang berdaya. Perbedaan yang nyata ditemukan antara kabupaten dan kota, dengan tingkat keberdayaan konsumen di kota lebih baik dibandingkan kabupaten. Diantara tiga dimensi keberdayaan konsumen, dimensi ketegasan konsumen adalah yang paling rendah, diikuti pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen, dan keterampilan konsumen adalah yang paling baik. Kata-kata Kunci : keberdayaan konsumen, ketegasan konsumen, keterampilan konsumen, praktik tidak adil Abstract . Consumers increasingly need to be empowered because of the products and markets that are becoming increasingly complex, overload information, as well as the increasing of consumer demand to make the best choice in a free market. The purpose of the study were to identify the empowered consumers level in district and city of Bogor, and to analyze the differences of empowered consumers level between district and city of Bogor. The samples of this research was 320 housewives determined by multistage random sampling. Results of the study indicated that consumers in district and city of Bogor still less empowered. The significant difference was found between city and district areas with city ’s empowerment level was better than district. Among the the three dimensions, the consumer assertiveness was the lowest, followed by practical experience unfair business and the fulfillment of consumer rights, and consumer skills had the highest score. Keywords: consumer assertiveness, consumer skills, empowered consumers, unfair practices PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumen semakin perlu diberdayakan karena produk dan pasar yang menjadi semakin kompleks, populasi yang menua, pelajaran dari krisis ekonomi, meningkatnya informasi yang berlebihan dan tuntutan konsumen untuk membuat pilihan terbaik di pasar bebas. Konsumen diberdayakan untuk membuat keputusan yang optimal, memahami preferensinya masing-masing dan pilihan-pilihan yang 51 52 tersedia, mengetahui hak-haknya, mengenali kapan haknya dilanggar, serta mengajukan keluhan dan mencari ganti rugi bila diperlukan. Selain itu, konsumen juga diberdayakan agar mampu memaksimalkan kesejahteraannya. Pengambilan keputusan oleh konsumen yang lebih baik dapat berdampak signifikan terhadap daya saing ekonomi. Konsumen yang berdaya dapat mengidentifikasi harga dan kualitas terbaik, dapat menyampaikan keluhannya, serta dapat menegaskan hak- haknya Nardo et al. 2011. Isu-isu konsumen terkait beredarnya produk di pasaran yang tidak memenuhi standar dan pelaku usaha yang melakukan praktik menyesatkan semakin marak terjadi beberapa tahun belakangan ini. Menurut Office of Fair Trading 2008, praktik dagang yang menyesatkan mencakup informasi palsu dan pemasaran produk yang menciptakan kebingungan terkait pembeda produk atau nama dagang dengan pesaingnya. Konsumen juga menemukan makanan dan minuman kemasan yang beredar di pasaran, baik lokal maupun impor yang masih belum memenuhi ketentuan standar. Ciri produk makanan dan minuman kemasan yang tidak memenuhi standar, diantaranya tidak memiliki nomor pendaftaran Badan Pengawasan Obat dan Makanan BPOM, tidak mencantumkan label halal, tidak mencantumkan kandungan bahan baku, atau tidak memberikan keterangan lokasi produksi makanan dan minuman kemasan tersebut. Pemberdayaan merupakan proses aksi sosial yang mempromosikan partisipasi individu, organisasi, dan masyarakat menuju peningkatan kualitas hidup dan keadilan sosial Wallerstein 1992. Pemberdayaan memiliki kecenderungan memberikan inspirasi untuk semakin mendukung individu dalam menjalankan perannya Block 1987; Heslin 1999. Sharp 1995 mengungkapkan pemberdayaan konsumen adalah upaya memberikan daya atau kekuatan kepada individu atau kelompok tertentu dengan tujuan khusus yang hendak dicapai. Commission Staff Working Paper Brussel 2011 menjelaskan bahwa pemberdayaan konsumen merupakan fungsi dari pengetahuan, keterampilan, dan ketegasan konsumen didukung dengan perlindungan dan lembaga yang dirancang untuk mengotimalkan peran konsumen. Hal yang serupa diungkapkan Hennestad 1998 bahwa konsep pemberdayaan tidak hanya mewakili kebebasan untuk bertindak, tetapi suatu upaya peningkatan pengetahuan dan pembelajaran agar mampu mengambil keputusan yang tepat. Menurut Delgadillo 2012, pemberdayaan konsumen meliputi: a pendidikan konsumen, b kesadaran hak- hak konsumen, dan c siapa yang dilindungi oleh kebijakan-kebijakan tersebut orang awam atau konsumen yang rentan. Data Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, Kementerian Perdagangan Tahun 2011-2014 terkait Peningkatan Kesadaran dan Pemberdayaan Masyarakat Konsumen menunjukkan bahwa pada tahun 2013, frekuensi layanan klinik konsumen sebanyak 96 kali, frekuensi forum koordinasi perlindungan konsumen sebanyak 62 kali, persentase masyarakat yang memahami perlindungan konsumen sebanyak 10 persen, persentase isupengaduan yang ditangani sebesar 80 persen, jumlah kegiatan fasilitasi, pelatihan dan edukasi serta penyebaran informasi perlindungan konsumen sebanyak 20 kegiatan Kemen- terian Perdagangan RI 2013. Data tersebut mengindikasikan berbagai upaya untuk memberdayakan konsumen telah dilakukan pemerintah, namun masih sangat perlu diintensifkan, apalagi jumlah penduduk Indonesia yang tahun 2013 mencapai 253.60 juta dan menempati urutan keempat di dunia Purnomo 2014.