Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

(1)

SKRIPSI

Oleh

Riahta Sitanggang 111101108

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

berkat dan rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan.”

Terima kasih kepada Papa dan Mama serta kedua abang (Hendra dan Hutama) penulis yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik secara moral maupun materil.

Selama proses skripsi ini penulis menerima dukungan materil serta moril, kritik serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis juga mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Erniyati, S.Kp., MNS selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Rika Endah Nurhidayah, S.Kp., M.Pd selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku dosen penguji I yang banyak memberi saran dalam metode penelitian skripsi ini.

5. Ners. Asrizal, M.Kep., RN., WOC(ET)N., CHt.N selaku dosen penguji II yang juga banyak memberi masukan membangun.


(5)

7. Kepada sahabat penulis yaitu Ester, Ayu, Maristha, Agnes, Afriani, Yosi, dan Yetty serta teman seperjuangan dalam menyusun skripsi yaitu Lady, Wita, dan Abdi yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwasannya dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2015 Penulis,


(6)

Halaman judul ……… i

Pernyataan Orisinalitas ……….. ii

Halaman pengesahan ……….. iii

Prakata ……….. iv

Daftar isi ………. vi

Daftar tabel………. viii

Abstrak……….. ix

Bab 1. Pendahuluan ………. 1

1. Latar belakang ……….. 1

2. Rumusan masalah ……… 5

3. Tujuan penelitian ………. 6

4. Manfaat penelitian ……… 6

Bab 2. Tinjauan pustaka ……….. 7

1. Konsep keluarga ……….. 7

1.1 Pengertian keluarga ……… 7

1.2 Tipe keluarga ………. 8

1.3 Fungsi pokok keluarga ………... 9

1.4 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan ……….... 11

2. Konsep komunikasi ……… 12

2.1 Pengertian komunikasi ………. 12

2.2 Tingkatan komunikasi ……….. 13

2.3 Bentuk komunikasi ……….. 13

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi …….. 14

2.5 Tujuan komunikasi ……….. 16

2.6 Proses komunikasi……… 17

2.7 Hambatan komunikasi………. 18

2.8 Gangguan komunikasi pada pasien stroke ………….. 19

2.9 Berkomunikasi dengan pasien stroke ……… 23

3. Riset Fenomenologi………. 25

Bab 3. Metodologi penelitian ……….. 28

1. Desain Penelitian ……… 28

2. Partisipan ……… 28

3. Lokasi dan waktu penelitian ……….. 29

3.1 Lokasi penelitian ……….. 29

3.2 Waktu penelitian ……….. 30

4. Pertimbangan etik ……… 30

5. Instrumen penelitian ……… 31


(7)

2. Pembahasan……… 49

Bab 5. Kesimpulan dan saran……… 57

1. Kesimpulan……… 57

2. Saran……….. 57

Daftar pustaka ……… 59

Lampiran-lampiran Lampiran 1. Informed consent ……… 62

Lampiran 2. Lembar persetujuan menjadi partisipan……… 64

Lampiran 3. Kuesioner data demografi……… 65

Lampiran 4. Panduan wawancara………. 66

Lampiran 5. Validasi pertanyaan………. 67

Lampiran 6. Surat komite etik………. 71

Lampiran 7. Surat izin penelitian……….. 72

Lampiran 8. Surat selesai penelitian………. 74

Lampiran 9. Jadwal tentatif penelitian……….. 75

Lampiran 10. Taksasi dana………. 76

Lampiran 11. Lembar bukti bimbingan………... 77

Lampiran 12. Riwayat hidup………... 78


(8)

Tabel 1.1 Karakteristik partisipan………. 36


(9)

Tahun Akademik : 2014 / 2015

ABSTRAK

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan oranglain. Keluarga mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan pasien. Hambatan tersebut yaitu kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien, gangguan fisik yang dialami klien dan gangguan psikis yang dialami klien. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeskplorasi pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Teknik pengumpulan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak delapan orang. Analisa data pada penelitian ini menggunakan metode Colaizzi. Penelitian ini menemukan ada lima tema yaitu cara keluarga berkomunikasi dengan klien, hambatan saat berkomunikasi dengan klien, usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien, perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien. Kesimpulan dari penelitian ini keluarga sulit untuk mengerti bahasa yang digunakan pasien. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan informasi bagi perawat untuk mengajarkan keluarga cara berkomunikasi dengan pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi.


(10)

ABSTRACT

Communication is a basic element of human interaction which makes it possible for a person to determine, maintain, and increase contact with someone else. It seems that many family members have the problems in communicating with patient since they lack of knowledge in communicating with clients who have

physical or psychological disorder. This research used phenomenological approach. The objective of the research was to explore family experience in communicating with stroa patients in RSUD dr. Pirngadi, Medan. The samples were eight res{XJndents, taken by using purposive sampling technique. The data were analyzed by using Colaizi method. The result of the research showed that there were fwe themes: thee way family communicated with clients, the obstacle in communicating with clients, some effots which had to be done by families in solving the problem, and the feelings of family in communicating with clients. The

conclusion of the research war that families were difjicuJtto understand what was expressed by patients. This research war expected /0 be used ar the source of knowledge and reference for nurses to teach families how /0 communicate with stma patients who had communicative problems.


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian. Stroke Iskemik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkaian perubahan dalam otak yang terserang yang apabila tidak ditangani dengan segera berakhir dengan kematian otak tersebut. Sedangkan stroke hemoragik merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak yang disebabkan oleh perdarahan suatu arteri serebralis. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam jaringan otak sehingga terjadi hematom (Junaidi, 2011).

Stroke dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang usia (Depkes, 2013). Di Indonesia, 8 dari 1000 orang terkena stroke. Stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua umur, dengan proporsi 15,4%. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (Depkes, 2013). Menurut WHO (2011), Indonesia telah menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah penderita stroke terbanyak dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari total kematian yang terjadi pada tahun 2011. Riset Kesehatan Dasar (2013) melaporkan prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan


(12)

(10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke di Sumatera Utara mencapai 10, 3%.

Berbagai fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini, stroke masih merupakan masalah utama di bidang neurologi maupun kesehatan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah penting ini diperlukan strategi penangulangan stroke yang mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif.

Stroke memerlukan penanganan yang serius karena stroke dapat mengakibatkan penderitanya kehilangan fungsi tubuh seperti kemampuan untuk berkomunikasi dan berfikir. Menurut Junaidi (2011) tanda dan gejala pasien stroke mengalami gangguan bicara yaitu bicaranya pelo, relo, atau cadel; tidak mampu bicara atau memahami bahas lisan (afasia, disfasia); tidak mampu mengeluarkan suara walaupun ia mengerti bahasa lisan (disartria); kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan atau ditulis; kesulitan memahami tulisan, mengeluarkan kata-kata tanpa makna/tidak dapat dimengerti oranglain dan salah memahami lelucon.

Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan pesan, proses, dan ekspresi. Sehingga harus hati-hati dalam melakukan asesmennya. Gangguan bahasa dapat melibatkan gangguan kepada bidang-bidang lainnya, dan ini paling sulit untuk diidentifikasi secara tepat sifat permasalahannya.

Oleh karena itu bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peran yang sangat vital bagi terlaksananya komunikasi dengan lancar. Bahasa merupakan


(13)

bagian yang penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita berbicara dengan oranglain, kita membaca koran, kita bekerja, dan belajar. Kita juga menggunakan bahasa untuk mengungkapkan pemikiran kita dengan jelas. Juga untuk merencanakan masa depan kita. Akan tetapi, jika terjadi gangguan komunikasi seperti yang dialami pasien stroke, misalnya afasia maka komunikasi pun tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Association Internationale Aphasie (AIA, 2011) telah memberitahukan kepada masyarakat bahwa penderita afasia dapat mengalami kesulitan akan banyak hal. Hal-hal tersebut sebelumnya merupakan sesuatu yang biasa terjadi di kehidupannya sehari-hari, seperti: melakukan percakapan; berbicara dalam grup atau lingkungan yang gaduh; membaca buku, koran, majalah atau papan petunjuk di jalan raya; pemahaman akan lelucon atau menceritakan lelucon; mengikuti program di televisi atau radio; menulis surat atau mengisi formulir, bertelefon, berhitung, mengingat angka, atau berurusan dengan uang; menyebutkan namanya sendiri atau nama-nama anggota keluarga. Penderita afasia mengalami kesulitan menggunakan bahasa, tetapi mereka bukan orang tidak waras.

Gangguan komunikasi yang dialami pasien stroke akan berpengaruh pada pada kualitas hidupnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009) menunjukkan bahwa pasien paska serangan stroke mengalami gangguan fisik dan fungsional tubuh yang bersifat jangka panjang dan menimbulkan gangguan respon psikologis yang mempengaruhi perubahan kualitas hidupnya.


(14)

Penderita stroke memerlukan bantuan orang lain khususnya keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga membantu pasien untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan yang cocok untuk stimulasi kemampuan berbahasa pasien, karena stimulasi tersebut dapat dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu yang tepat, saat pasien dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup mengenal hal ihwal keadaan pasien (Kusumoputro & Sidiarto, 2009).

Dalam penelitian yang dilakukan R.E Saragih (2012) diketahui bahwa terdapat perubahan pola hidup keseharian penderita post stroke seperti pola makan, pola aktivitas sehari-hari dan adanya komunikasi yang tidak efektif. Ketidakefektifan komunikasi tersebut, ditunjukkan pada aspek citra diri, lingkungan (fisik dan sosial), kecerdasan, bahasa tubuh, kondisi fisik dan psikis.

Penyakit stroke bisa merepotkan pihak keluarga pasien. Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien dalam mensejahterakan keluarganya seperti istri dan anak-anak. Kondisi pasien stroke ini membuat istri pasien mendapatkan dampak dari kondisi psikologis yang dialami suaminya, dimana suaminya mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpulan, kesulitan dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif, dan dalam penyesuaian emosi.

Salah satu aspek yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah komunikasi antara suami-istri, dimana mereka saling berbagi dan saling menerima informasi tentang pikiran perasaannya. Ketika pasangan mengalami stroke, akan


(15)

menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi karena mengalami gangguan bahasa (afasia). Seperti penelitian yang dilakukan Pasaribu (2011) menunjukan adanya perubahan pada aspek-aspek kepuasan dalam perkawinan yang terjadi pada istri yang memiliki suami penderita stroke, aspek tersebut salah satunya yaitu aspek komunikasi.

Komunikasi pada pasien stroke pada dasarnya diperlukan peningkatan kesabaran dan hubungan kepercayaan yang kuat agar terciptanya komunikasi yang efektif. Dalam artikel Borthwick S (2012) “Communication impairment in patients following stroke” menjelaskan berbagai gangguan komunikasi yang dapat terjadi pasca stroke dan intervensi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien berkomunikasi sehingga kebutuhan pasien dapat terpenuhi. Dari artikel tersebut dapat dijadikan salah satu panduan keluarga untuk berkomunikasi pada pasien stroke.

Melihat betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih mendalam bagaimana pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke sehari-hari. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi, dengan fenomenologi diperoleh informasi baru yang lebih banyak secara komprehensif dan wawancara mendalam kepada anggota keluarga pasien stroke.

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.


(16)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi secara mendalam pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke sehingga dapat diidentifikasi intervensi keperawatan dalam merawat pasien stroke di rumah sakit.

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih berguna bagi perawat pendidik untuk dipelajari tentang cara berkomunikasi dengan pasien stroke.

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan riset keperawatan. Data yang ditemukan dapat dipakai sebagai data dasar penelitian selanjutnya terkait permasalahan yang muncul tentang pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Keluarga

1.1 Pengertian Keluarga

Menurut Friedman (1998 dalam Achjar, 2010) keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan mempertahankan budaya umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari individu-individu di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Dion & Betan (2013) menyimpulkan bahwa keluarga adalah : 1. Terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki ikatan atau lebih yang

memiliki ikatan atau persekutuan berupa perkawinan atau persekutuan yang dibentuk.

2. Terdapat hubungan yang dibentuk melalui adanya hubungan darah, adopsi dan kesepakatan yang dibuat.

3. Tinggal bersama di bawah satu atap atau antara satu anggota dengan yang lain memiliki tempat tinggal yang berbeda karena sesuatu urusan tertentu akan tetapi untuk sementara waktu.

4. Memiliki peran masing-masing dan bertanggung jawab terhadap tugs yang diberikan.

5. Ada ikatan emosional yang sulit untuk ditinggalkan oleh setiap anggota keluarga.


(18)

6. Antara anggota keluarga saling berinteraksi, interelasi dan interdependensi. 1.2 Tipe Keluarga

Menurut Setiadi (2008) membagi keluarga menjadi dua tipe, yaitu : 1. Secara Tradisional

a. Keluarga Inti (Nuclear Family) adalah terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya.

b. Keluarga Besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).

2. Secara Modern

a. Tradisional Nuclear yaitu keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.

b. Reconstituted Nuclear adalah pembentukan baru dari kelurga inti melalui perkawinan kembali.

c. Niddle Age / Aging Couple adalah suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau keduanya bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/ perkawinan/ meniti karir.

d. Dyanic Nuclear adalah suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak yang keduanya atau salah satu bekerja di luar rumah. e. Single Parent adalah satu orangtua sebagai akibat perceraian atau

kematian pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah atau di luar rumah.


(19)

f. Dual Carrier adalah suami istri atau keduanya orang karir dan tanpa anak. g. Commuter Married adalah suami istri atau keduannya orang karir dan

tinggal terpisah pada jarak tertentu.

h. Single Adult adalah wanita atau pria yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah.

i. Three Generation yaitu tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah. j. Institusional yaitu anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam suatu panti. k. Comunal yaitu satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang

monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.

l. Group Marriage adalah satu perumahan terdiri dari orangtua dan keturunannya di dalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah kawin dengan yang lain dan semua adalah orangtua dari anak-anak.

m. Unmaried Parent and Child yaitu ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya diadopsi.

n. Cohibing Coiple yaitudua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin.

o. Gay and Lesbian Family yaitu keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama.

1.3 Fungsi Pokok Keluarga

Terdapat beberapa fungsi keluarga menurut Friedman (1998) ; Setiawati & Dermawan (2005 dalam Achjar, 2010) yaitu :


(20)

1. Fungsi afektif, yaitu dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan kepribadian anggota keluarga. Merupakan respon keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami tiap anggota keluarga baik senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang.

2. Fungsi sosialisasi, yaitu melakukan pembinaan sosialisasi anak, membentuk nilai dan moral yang diyakini anak, memberikan batasan prilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak,meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

3. Fungsi perawatan kesehatan, yaitu melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental dan spiritual.

4. Fungsi ekonomi, yaitu memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga. 5. Fungsi biologis, yaitu bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan

tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi selanjutnya.

6. Fungsi psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.

7. Fungsi pendidikan, yaitu memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk prilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya.


(21)

1.4 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Ada lima tugas keluarga yang dijabarkan oleh Friedman (1998 dalam Achjar, 2010) yang sampai saat ini masih dipakai dalam asuhan keperawatan keluarga. Tugas kesehatan keluarga tersebut yaitu :

1. Mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis.

2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di antara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga.

3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama. 4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. 5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga.

Keluarga mempunyai peranan sangat penting dalam upaya peningkatan kesehatan dan pengurangan resiko penyakit dalam masyarakat karena keluarga merupakan unit terkeil dalam masyarakat. Bila terdapat masalah satu anggota keluarga akan menjadi satu unit keluarga karena ada hubungan kuat antara keluarga dengan status anggota keluarganya.


(22)

Peran keluarga sangat penting dalam setiap aspek keperawatan kesehatan anggota keluaranya untuk itu keluarga lah yang berperan dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan oleh keluarga. Status sehat dan sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi.

2. Konsep Komunikasi 2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan oranglain. Karena komunikasi dilakukan setiap hari, kebanyakan orang menganggap bahwa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya komunikasi adalah proses kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan nonverbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan. Kebisuan juga merupakan sebuah makna komunikasi ( Potter & Perry, 2005).

Komunikasi sangat diperlukan dalam hubungan antar individu di kehidupan sehari-hari. Kerjasama dan koordinasi yang baik akan tercapai saat komunikasi yang dibangun baik dan hubungan yang harmonis akan tercapai saat komunikasi yang dibangun baik pula. Setiap komunikasi memiliki tujuan masing-masing, baik antara penyampaian informasi dan yang mencari informasi (Priyanto, 2009).


(23)

2.2 Tingkatan Komunikasi

Komunikasi terjadi pada tingkat :

1. Komunikasi intrapersonal, yaitu terjadi di dalam diri individu, merupakan model bicara seorang diri atau dialog internal yang terjadi secara konstan dan tanpa disadari.

2. Komunikasi interpersonal, yaitu interaksi antara dua orang atau di dalam kelompok kecil. Komunikasi interpersonal yang sehat menimbulkan terjadinya pemecahan masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan dan perkembangan pribadi.

3. Komunikasi publik atau umum, yaitu interaksi dengan sekumpulan orang dalam jumlah yang besar.

2.3 Bentuk Komunikasi

1. Komunikasi verbal meliputi kata-kata yang diucapkan maupun yang ditulis. Kata-kata adalah media yang digunakan untuk mengekspresikan ide atau perasaan, menimbulkan respons emosional, atau menggambarkan objek, obsevasi, kenangan, atau kesimpulan. Agar terciptanya komunikasi yang efektif perlu diperhatikan : (1) Kejelasan dan ringkasan, (2) Kosakata, (3) Makna denotatif dan konotatif, (4) Kecepatan, (5) Waktu dan relevansi, (6) Humor

2. Komunikasi non-verbal adalah transmisi pesan tanpa menggunakan kata-kata, dan merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pesan kepada oranglain. Gerakan tubuh memberi makna yang lebih jelas daripada kata-kata sehingga perlu yang diperhatikan yaitu : (1)


(24)

Penampilan personal, (2) Intonasi, (3) Ekspresi wajah, (4) Postur dan gaya berjalan, (5) Gerakan tubuh, (6) Sentuhan

2.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi komunikasi 1. Perkembangan

Usia seseorang berpengaruh terhadap cara seseorang berkomunikasi baik dari segi bahasa maupun proses pikir orang tersebut. Sangat perlu mempelajari bahasa sesuai umur ketika berkomunikasi, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar (Priyanto, 2009).

2. Nilai

Nilai adalah keyakinan yang dianut seseorang. Jalan hidup seseorang dipengaruhi oleh keyakinan, pikiran dan tingkah lakunya. Nilai seseorang berbeda satu sama lainnya (Mundakir, 2006). Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam berkomunikasi (Priyanto, 2009).

3. Persepsi

Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi sendiri dibentuk dari harapan atau pengalaman. Perbedaan persepsi dapat menghambat komunikasi (Priyanto, 2009). Persepsi akan sangat mempengaruhi jalannya komunikasi karena proses komunikasi harus ada persepsi dan pengertian yang sama tentang pesan yang disampaikan dan diterima oleh kedua belah pihak (Mundakir, 2006).


(25)

4. Latar Belakang

Bahasa dan gaya bahasa akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya akan membatasi seseorang bertindak atau berkomunikasi (Priyanto, 2009). Faktor ini memang sedikit pengaruhnya namun peling tidak dapat dijadikan pegangan dalam bertutur kata, bersikap dan melangkah dalam berkomunikasi (Mundakir, 2006).

5. Emosi

Emosi adalah subjektif seseorang dalam merasakan situasi yang terjadi disekelilingnya. Kekuatan emosi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana kemampuan atau kesanggupan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (Mundakir, 2006). Emosi seperti marah, sedih, dan senang akan dapat mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain (Priyanto, 2009).

6. Jenis Kelamin

Setiap jenis kelamin baik wanita maupun pria mempunyai gaya komunikasi yang berbeda-beda. Disebutkan bahwa wanita dan laki-laki mempunyai perbedaan gaya dalam berkomunikasi (Priyanto, 2009).

7. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang yang tingkat pengetahuannya rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Priyanto,2009).


(26)

8. Peran dan Hubungan

Peran seseorang mempengaruhi dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Komunikasi akan berlangsung terbuka, rileks dan nyaman bila dilakukan dengan kelompok yang mempunyai peran sama (Mundakir, 2006).

9. Lingkungan

Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana yang bising dan tidak adanya privasi akan menimbulkan kerancuan, ketegangan, dan ketidaknyamanan (Priyanto, 2009). Banyak orang bersedia melayani komunikasi dalam lingkungan yang nyaman. Lingkungan yang kacau akan dapat merusak pesan yang dikirim oleh kedua belah pihak (Mundakir, 2006). 10.Jarak

Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu dapat menimbulkan rasa aman. Seperti misalnya orang akan merasa terancam bila orang yang tidak dikenal tiba-tiba berada pada jarak yang sangat dekat dengan dirinya (Priyanto, 2009).

2.5 Tujuan Komunikasi

Dalam buku saku komunikasi keperawatan (2009) dijelaskan bahwa tujuan komunikasi adalah sebagai berikut :

1. Supaya yang disampaikan dapat mengerti

2. Memahami orang lain, komunikator harus mengerti aspirasi orang lain, jangan memaksakan kehendak

3. Supaya gagasan dapat diterima orang lain, melalui pendekatan persuasif bukan memaksakan kehendak


(27)

4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu, kegiatan yang banyak mendorong dengan cara yang baik

2.6 Proses Komunikasi

Proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sehingga dapat menciptakan suatu persamaan makna antara komunikan dengan komunikatornya. Proses komunikasi ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif atau sesuai dengan tujuan komunikasi pada umumnya (Nurhasanah, 2010).

Gambar 1.1 Proses Komunikasi

Komunikasi terjadi bila ada sumber informasi yang merupakan bahan atau materi yang akan disampaikan oleh komunikator. Sebelum informasi disampaikan komunikator perlu melakukan penyandian (encoding) untuk mengubah ide dalam otak ke dalam suatu sandi yang cocok dengan transmitter. Contoh dari bentuk penyandian ini adalah kata-kata dalam komunikasi non verbal, anggukan kepala, sentuhan, kontak mata dan sebagainya. Setelah pesan disandikan kemudian komunikator menyampaikan pesan kepada penerima pesan (komunikan) melalui


(28)

saluran atau media. Ketepatan komunikan dalam menafsirkan pesan (decoding) dipengaruhi oleh banyak hal misalnya pengetahuan, pengalaman, fungsi alat indra yang digunakan dan sebagainya. Komunikasi berlangsung efektif bila terjadi feed back yang baik antara penerima pesan dengan pembawa pesan sebelum terjadinya perubahan atau efek sebagai dampak dari komunikasi (Mundakir, 2006)

2.7 Hambatan Komunikasi

Menurut Mundakir (2006) secara umum hambatan yang terjadi selama komunikasi yaitu:

1. Kurangnya penggunaan sumber komunikasi yang tepat 2. Kurangnya perencanaan dalam berkomunikasi

3. Penampilan, sikap, dan kecakapan yang kurang tepat selama berkomunikasi 4. Kurangnya pengetahuan

5. Perbedaan persepsi 6. Perbedaan harapan

7. Kondisi fisik dan mental yang kurang baik 8. Pesan yang tidak jelas

9. Prasangka yang buruk

10.Transmisi/ media yang kurang baik

11.Perbedaan status, pengetahuan, dan bahasa 12.Distorsi (kesalahan informasi)

Sedangkan menurut Nurhasanah (2010) membagikan hambatan komunikasi menjadi lima jenis sebagai berikut :


(29)

2. Biologis, yaitu hambatan karena ketidaksempurnaan anggota tubuh

3. Intelektual, yaitu hambatan yang berhubungan dengan kemampuan pengetahuan

4. Psikis, yaitu hambatan yang menyangkut faktor kejiwaan, emosional, tidak saling percaya, dan penilaian menghakimi.

5. Kultural, yaitu hambatan yang berkaitan dengan nilai budaya dan bahasa 2.8 Gangguan Komunikasi pada Pasien Stroke

Komunikasi terdiri atas komponen dua arah, yaitu :

1. Menyatakan perasaan (kemampuan berbicara, gerak isyarat, ekspresi wajah, tulisan, hitungan, penanganan matematika)

2. Menerima (dapat mengerti gerak isyarat orang lain, mengerti apa yang orang lain katakan kepada kita, dapat memahami bacaan pada saat membaca, dapat menerima konsep waktu sebuah jam)

Kebayakan para penderita stroke yang dapat bertahan mengalami kesulitan-kesulitan pada satu atau lebih bagian dari keduanya, baik komunikasi yang menyatakan perasaan atau yang menerima. Penurunan kemampuan ini dapat beragam dari yang paling ringan sampai yang paling berat.

Penderita stroke banyak yang mengalami gangguan komunikasi mulai dari pemahaman bahasa, berbicara, membaca dan menulis, sampai menggunakan simbol dan isyarat dalam berkomunikasi. Menurut catatan, 90 persen masalah komunikasi terjadi pada penderita yang mengalami kerusakan otak kirinya, sementara 75 persen mengalami kerusakan pada hemisfer kanan (Djohan, 2006).


(30)

Tiga jenis gangguan komunikasi yang umum dialami menurut Djohan (2006), yaitu :

1. Aphasia berupa lemahnya kemampuan menggunakan bahasa akibat kerusakan otak. Pada receptive aphasia terjadi ketidakmampuan untuk mengolah, dan menginterpretasikan simbol-simbol bahasa, sedangkan pada expressive aphasia klien tidak dapat memformulasikan pikirannya dalam kata-kata. 2. Dysarthria berupa gangguan bicara karena rusaknya sistem saraf yang

mengontrol mekanisme produksi bicara termasuk struktur bernafas, meneguk, menyuarakan, dan menggerakkan lidah, bibir, rahang, dan langit-langit mulut yang berguna untuk artikulasi dan resonansi. Penderita hanya berbicara secara monoton dan sengau karena kesulitan koordinasi nafas dan bicara.

3. Apraxia adalah gangguan merencanakan dan memposisikan urutan kata secara tepat karena adanya gangguan pada otot bicara yang berkaitan dengan artikulasi kata-kata. Rangkaian suara bahasa yang disampaikan terganggu. Klien berusaha mengucapkan suatu rangkaian kata tetapi yang dihasilkan kacau.

Kerusakan otak kiri dapat mempengaruhi pusat berbicara dan komunikasi, pasien akan mengalami afasia (ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal) dan jika otak kanan maka dapat mempengaruhi proses berfikir, memori, perhitungan tertulis dan kemampuan untuk menyatakan waktu (Hegner & Caldwell, 2003).

Menurut Mulyatsih & Ahmad (2010) secara umum afasia terbagi atas tiga, yaitu :


(31)

1. Afasia motorik

Ketidakmampuan pasien mengungkapkan atau mengekspresikan kata-kata, tetapi mampu memahami apa yang dikatakan orang lain kepadanya.

2. Afasia sensorik

Pasien tidak mampu memahami pembicaraan orang lain meskipun pendengarannya baik, tetapi pasien dapat mengeluarkan kata-kata. Akibatnya pasien afasia sensorik terlihat tidak nyambung kalau diajak berbicara, oleh karena otak tidak mampu menginterpretasikan pembicaraan oranglain meskipun fungsi pendengaran baik.

3. Afasia global

Pasien mengalami kerusakan otak luas dan menyerang pusat ekspresi dan pusat pengertian bicara di otak kiri sehingga pasien tidak mampu memahami pembicaraan orang lain dan tidak mampu menggungkapkan kata-kata secara verbal.

Dengan demikian, afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Tidak ada dua orang penderita afasia yang persis sama. Afasia berbeda dari satu orang dengan yang lain. tingkat keparahan dan luasnya cakupan afaia tergantung dari lokasi dan kepaarahan cedera otak, kemampuan berbahsa sebelum afasia, dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan kepribadian seseorang.

Menurut Kusumoputro & Sidiarto (2009), masalah lain yang mungkin dihadapi seorang pasien afasia adalah sebagai berikut :


(32)

1. Kelumpuhan separuh tubuh, dapat setengah lumpuh atau lumpuh total dan biasanya sebelah kanan.

2. Pasien tidak dapat mengucapkan kata-kata dengan baik karena ada gangguan gerakan otot bibir dan lidahnya. Ia tahu akan kesalahan yang diperbuatnya, akan tetapi tidak sanggup memperbaikinya.

3. Bicaranya menjadi lambat dan sulit karena otot mulut, lidah dan tenggorokan kurang berfungsi dengan baik. Selain itu, keadaan ini sering menimbulkan kesukaran untuk mengunyah dan menelan.

4. Beberapa pasien dapat mengalami penciutan lapangan pandang sehingga kurang dapat melihat satu sisi. Biasanya kalau ada kelumpuhan tubuh sisi kiri, maka lapangan pandang sisi kiri juga kurang dapt dilihatnya.

5. Pasien afasia dapat menunjukkan gejala selalu mengucapkan kata atau kalimat yang sama. Ia tidak dapat melepas kata atau kalimat tersebut, seolah-olah melekat padanya.

6. Dapat pula terjadi pasien tidak dapat membaca jam dan tidak mengetahui waktu.

7. Pasien afasia sukar berkonsentrasi dan mudah teralih perhatiannya serta mengalami kesulitan dalam berhitung.

8. Pasien afasia dapat pula cepat marah, mudah tersinggung dan murung, terutama pada awal penyakitnya.

Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baaik, tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lelar, tetapi apa yang


(33)

diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa. Perlu iningat seseorang yang menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh (Association Internatianate Aphasie, 2011)

2.9 Berkomunikasi dengan Pasien Stroke

Hal yang harus dipahami keluarga adalah pasien stroke tetap membutuhkan kesempatan untuk mendengar pembicaraan orang lain secara normal. Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami gangguan berkomunikasi, misalnya mendiamkan atau menganggap seolah-olah pasien tidak memahami pembicaraan, maka pasien akan merasa frustasi dan sakit hati.

Menurut Mulyatsih & Ahmad (2010) cara berkomunikasi dengan pasien afasia, yaitu :

1. Usahakan agar wajah kita menghadap lurus kearah pasien. Hal ini akan membantu pasien untuk melihat bibir dan ekspresi wajah kita.

2. Usahakan menggunakan kalimat yang pendek dan berikan penekanan pada kata yang penting. Jika memungkinkan gunakan ekspresi wajah, gerakan tubuh dan irama suara sehingga pasien dapat memahami perkataan kita. Bila pasien tidak mengerti perkataan kita, usahakan untuk mengucapkan dengan kalimat yang artinya sama.

3. Anjurkan dan berikan kesempatan kepada pasien untuk berkomunikasi secara total, yaitu dengan mempergunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Jangan cemas bila pasien memberikan jawaban yang kurang jelas.


(34)

4. Agar memahami pembicaraan pasien, sebaiknya kita mendengarkan secara cermat dan memperhatikan kata-kata kunci, selanjutnya mengira-ngira apa yang ingin pasien katakan. Jangan gusar bila tebakan kita salah, minta maaf dan anjurkan pasien untuk mengulang kata-katannya.

5. Untuk membantu pasien memahami pembicaraan orang lain, usahakan berbicara perlahan, tenang, intonasi suara normal dan jangan berteriak. Gunakan bahasa orang dewasa, kalimat pendek dan berikan rangsangan visual jika memungkinkan.

Seringkali pasien stroke dengan afasia, khususnya afasia motorik merasa frustasi karena tidak mampu mengungkapkan apa yang diinginkannya, sehingga pasien marah atau bahkan mengamuk. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan papan komunikasi yang berisi gambar atau simbol aktifitas kegiatan harian pasien. Papan komunikasi bukan digunakan untuk melatih tetapi sebagai media komunikasi untuk mengantisipasi keinginan pasien yang sulit dimengerti sehingga pasien tidak frustasi. Untuk mempercepat pemulihan, pasien stroke dengan afasia dianjurkan untuk berlatih dengan terapis wicara secara teratur minimal 2 kali seminggu (Mulyatsih, 2008).

Dreher (1981 dalam Bastable, 2002) memberikan saran-saran untuk meningkatkan komunikasi dengan penderita disartria sebagai berikut:

1. Pastikan bahwa lingkungan sekitar tenang karena harus mendengarkan orang yang otot bicaranya lemah dan tidak terkoordinasi. Pendengar yang cermat akan memilah jika ada pola kesalahan bunyi yang konsisten.


(35)

2. Minta pembicara untuk mengulang bagian pesan yang tidak jelas. Konsentrasi dan niat hati akan meningkatkan kejelasan.

3. Jangan sederhanakan pesan. Disartria tidak mempengaruhi pemahaman. 4. Ajukan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban pendek, agar penderita

tidak lelah karena berusaha keras menghasilkan bunyi.

5. Dorong penderita agar mau lebih banyak menggunakan gerakan oral untuk menghasilkan setiap suku kata, memperlambat cara bicaranya, dan berbicara lebih keras.

6. Minta pasien yang sangat sulit berkomunikasi untuk menggunakan bahasa tubuh, menulis, atau menuding pesan pada papan komunikasi.

Anggota keluarga akan sangat membantu bila mereka bisa mengidentifikasi cara terbaik memotivasi pasien. Mereka juga dapat mengadopsi bagaimana cara berkomunikasi dengan isyarat. Komunikasi yang intens dan dekat, meski dengan isyarat, bisa mempercepat kesembuhan. Keluarga bisa memulainya dengan mengetahui masalah emosi, fisik, dan medis yang dialami pasien.

3. Riset Fenomenologi

Fenomenologi adalah suatu pendekatan dalam mempelajari makna dari pengalaman manusia menjalani suatu fase dalam kehidupannya. Tujan penelitian fenomenologi adalah memahami makna dari pengalaman kehidupan yang dialami oleh partisipan dan menjelaskan perspektif filosopi yang mendasari fenomena tersebut (Dharma, 2013).

Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya


(36)

terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Hal yang disajikan adalah deskripsi mengenai bagaimana pengalaman orang lain dan apa maknanya bagi mereka (Saryono & Anggraeni, 2013).

Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak. Jumlah partisipan lebih kurang 10 orang. Terdapat dua macam penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif. Fenomenologi deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena, kemudian pengalaman yang seperti apakah yang terlihat dalam fenomena. Sementara itu, bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut disebut fenomenologi interpretif (Polit & Beck, 2012).

Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Colaizzi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1989). Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit & Beck, 2012).

Menurut Lincoln & Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) untuk memperoleh hasil penelitian fenomenologi yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria yaitu,

1. Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan, artinya hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian yaitu memperpanjang masa pengamatan (prolonged engagement), pengamatan


(37)

yang terus menerus (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi dengan teman sejawat (peer debriefing), mengadakan pengecekan anggota (member checking), analisis kasus negatif (negative case analysis), dan pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks).

2. Transferbility yaitu apakah hasil penelitian dapat diterapkan pada situasi yang lain. Kriteria ini digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam komteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama.

3. Dependability yaitu kriteria untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek apakah peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data, dan pengintepretasiannya. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit dengan meminta dependent dan independent auditor untuk mereview aktifitas peneliti.

4. Confirmability yaitu dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Konfirmabilitas merupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.


(38)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Desain fenomenologi dipilih agar dapat dieksplorasi lebih mendalam pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pendekatan fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk mejelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, kredibel, dan bermakna (Saryono & Anggraeni, 2013).

Bogdan dan Taylor (1975 dalam Moleong, 2012) menjelaskan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1986 dalam Moleong, 2012) mendefinisikan metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.

2. Partisipan

Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 8 orang (Polit, Beck & Hungler, 2001). Jumlah partisipan ditentukan berdasarkan pada asas kesesuaian


(39)

dan kecukupan informasi sampai mencapai saturasi data, yaitu peneliti tidak lagi memperoleh informasi baru dari partisipan.

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang dimasukkan dalam penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013).

Adapun kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Keluarga (ayah/ibu, suami/istri, abang/kakak, dan anak) dari pasien stroke

yang mengalami gangguan komunikasi. 2. Merawat pasien selama di rumah sakit.

3. Bersedia menjadi partisipan yang dinyatakan secara verbal atau dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan penelitian.

4. Mampu menceritakan pengalamannya sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya (rich information).

3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan pertimbangan, yang pertama adalah pengurangan biaya dalam penelitian karena merupakan rumah sakit terdekat dari rumah peneliti dan yang kedua adalah banyak masyarakat yang menggunakan layanan kesehatan di rumah sakit tersebut.


(40)

3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari September 2014 sampai Juli 2015, yaitu mulai penyusunan proposal sampai dengan selesai penelitian, sedangkan untuk pengumpulan data dilakukan pada Maret 2015 sampai April 2015.

4. Pertimbangan Etik

Dalam penelitian ini dilakukan pertimbangan etik, yaitu memberikan penjelasan kepada calon partisipan penelitian tentang tujuan dan prosedur pelaksanaan penelitian. Pengambilan data dilakukan setelah peneliti mendapatkan ethical clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin, selanjutnya peneliti mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Selanjutnya, jika calon partisipan setuju menjadi partisipan dalam penelitian ini maka peneliti memberikan informed consent untuk ditandatangani. Peneliti tidak memaksa jika partisipan tidak setuju karena dalam penelitian ini partisipan bersifat sukarela dan tidak dipaksa.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas partisipan maka peneliti tidak mencantumkan nama dari partisipan (anonymity). Nama partisipan dibuat dengan inisial. Selanjutnya identitas partisipan juga dirahasiakan (confidentiality), hanya informasi yang diperlukan yang akan dituliskan dan dicantumkan dalam penelitian.

Peneliti juga meminimalisasi dampak yang merugikan bagi partisipan (nonmaleficence), yaitu ketidaknyamanan yang mungkin terjadi selama proses wawancara seperti kelelahan, bosan, diantisipasi peneliti dengan memberitahukan


(41)

hak partisipan terkait dengan kebebasan memilih waktu dan tempat, bebas untuk berhenti sewaktu-waktu apabila ada urusan, untuk kemudian dilanjutkan lagi wawancara sesuai kesepakatan.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua bagian. Instrumen pertama merupakan Kuesioner Data Demografi (KDD) yang berisikan data umum partisipan (inisial, usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan terakhir dan pekerjaan) dan hubungan partisipan dengan pasien (lihat lampiran 3). Instrumen kedua merupakan panduan wawancara yang berisikan empat butir pertanyaan, yaitu cara berkomunikasi dengan pasien, kendala dan hambatan dalam berkomunikasi, cara mengatasi kendala dan hambatan, dan usaha yang dilakukan untuk membantu klien dapat berbicara (lihat lampiran 4). Panduan wawancara telah divalidasi terlebih dahulu sebelum digunakan dalam penelitian ini.

6. Pengumpulan Data

Setelah mendapat izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, selanjutnya peneliti meminta izin kepada direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan untuk memperoleh data calon partisipan melalui rekam medik.

Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study adalah suatu cara untuk melakukan studi awal dalam skala kecil atau suatu tes yang digunakan sebagai persiapan untuk penelitian kualitatif (Polit, Beck, & Hungler, 2001). Pilot


(42)

study dilakukan untuk menguji apakah peneliti sebagai instrumen sudah cukup baik dalam melakukan wawancara dan melakukan analisa data kualitatif.

Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti melakukan pendekatan kepada partisipan dengan pertemuan 1-2 kali untuk meningkatkan hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan dengan cara peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan dan pengumpulan data yang dilakukan terhadap partisipan. Jika partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini, maka partisipan menandatangani informed consent dan mengisi kuesioner data demografi.

Selanjutnya penelit melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya jawab antara peneliti dengan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu (Poerwandari (1998) dalam Saryono & Anggraeni, 2013).

Wawancara mendalam (in-deph interview) dilakukan sekitar 45 menit selama satu kali pertemuan. Peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah divalidasi untuk memandu peneliti dalam pengumpulan informasi. Peneliti juga menggunakan alat perekam suara (tape recorder) untuk merekam wawancara dan catatan lapangan (field note) untuk mencatat bahasa non verbal partisipan selama wawancara.

Kemudian peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap kali selesai dilakukannya wawancara dengan partisipan dan jika ada hal-hal yang kurang jelas dilakukan wawancara ulang. Pengumpulan data dilakukan sampai saturasi data,


(43)

dalam arti bahwa dengan dilakukan wawancara dengan partisipan lain tidak akan ditemukan informasi yang baru (Sugiono, 2010).

7. Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain (Sugiyono, 2010).

Teknik analisa data dalam penelitian kualitatif didasarkan pada pendekatan yang digunakan. Analisa data dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013).

Dalam menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan metode Colaizzi. Proses analisa data menurut Colaizzi (1978 dalam Polit & Beck, 2012) yaitu: (1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan dari partisipan, (2) meninjau setiap transkrip dan menarik kesimpulan dari setiap pernyataan yang signifikan, (3) menguraikan arti dari pernyataan yang signifikan, (4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, (5) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskriptif, (6) membuat deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, (7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir.


(44)

8. Tingkat Keabsahan Data (Thrusthworhiness of Data)

Lincoln dan Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritas dalam proses penelitian melalui tingkat keabsahan data (thrusthworhiness of data). Tingkat keabsahan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu, credibility dengan teknik prolonged engagement. Prolonged engagement yang dilakukan peneliti adalah mengadakan pertemuan dengan partisipan sebelum dilakukannya penelitian untuk menjalin hubungan yang baik yaitu dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian. Dengan demikian peneliti dan partisipan semakin akrab, terbuka, dan saling mempercayai sehinga informasi yang diperoleh lebih lengkap.

Cara lain yang dilakukan untuk memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian ini antara lain: 1) mencatat hal-hal penting serinci mungkin mencakup catatan pengamatan obyektif terhadap setting, partisipan maupun hal lain yang terkait; 2) mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya; 3) menyertakan pihak yang dapat memberikan kritik dan saran yang memberi pertanyaan kritis terhadap peneliti yaitu pembimbing peneliti; dan 4) melakukan pengecekan data kembali (Sugiyono, 2010).


(45)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Bagian ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan. Bagian ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama menceritakan secara singkat gambaran kerakteristik partisipan yang ikut dalam penelitian ini. Bagian kedua adalah analisis dari masing-masing tema yang muncul dari pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.

1.1 Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota keluarga dari pasien stroke yang mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Jumlah partisipan 8 orang. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik partisipan yang akan dipaparkan mencakup usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan hubungan dengan pasien. Dari data yang diperoleh (tabel 4.1.1) menunjukkan mayoritas partisipan berjenis kelamin perempuan 5 orang (62,5%), usia partisipan 24-35 tahun 3 orang (37,5%) dan 48-59 tahun 3 orang (37,5%), agama Islam 6 orang (75%), suku mandailing 3 orang (37,5%), pendidikan terakhir SMA 3 orang (37,5%) dan Sarjana 3 orang (37,5%), pekerjaan wiraswasta 5 orang (62,5%), dan hubungan dengan pasien sebagai anak 5 orang (62,5%).


(46)

Tabel 1.1

Karakteristik Partisipan

Data Demografi Partisipan Frekuensi Persentase (%) Usia 24-35 tahun 36-47 tahun 48-59 tahun 3 2 3 37,5 25 37,5 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 5 3 62,5 37,5 Agama Islam Kristen Protestan 6 2 75 25 Suku Jawa Mandailing Batak Toba Minang 2 3 2 1 25 37,5 25 12,5 Pendidikan Terakhir SLTP SMA Sarjana 2 3 3 25 37,5 37,5 Pekerjaan IRT Wiraswasta Pegawai Swasta PNS 1 5 1 1 12,5 62,5 12,5 12,5 Hubungan dengan pasien

Anak Kakak Istri 5 1 2 62,5 12,5 25

1.2 Pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan

Berdasarkan hasil analisis ditemukan 4 tema yaitu: (1) Cara keluarga berkomunikasi dengan klien, (2) Hambatan saat berkomunikasi dengan klien, (3) Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi


(47)

dengan klien, (4) Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien. Tema-tema ini dibahas secara terperinci untuk memaknai pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1. Cara berkomunikasi dengan klien

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan didapatkan ada dua jenis cara komunikasi yang dilakukan, yaitu berkomunikasi secara lisan dan menggunakan gerakan tubuh.

a. Berkomunikasi secara lisan

Sebanyak dua dari delapan partisipan menyatakan bahwa cara berkomunikasi yang dilakukan adalah secara lisan. Hal ini tergambar dari kategori yaitu tidak menuliskan kata yang diucapkan kepada klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut ini:

“Yah nggak ada. Ngomong ya ngomong aja kayak biasa...”

(Partisipan 2)

“Kalau saya ngomong biasa aja paling bapaklah yang menjawabnya pake

isyarat. Kalau nulis kan dia juga sulit, kasian juga..”

(Partisipan 8)

b. Menggunakan gerakan tubuh

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, gerakan tubuh verbal yang digunakan terdiri atas dua kategori yaitu memberikan sentuhan dan mendekat saat berkomunikasi dengan klien.


(48)

Seorang dari delapan partisipan mengatakan cara berkomunikasi yang dilakukan yaitu dengan cara memberikan sentuhan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut :

“Kalau pegang tangannya selalu, cium tangannya, cium kaki..”

(Partisipan 2)

Dua dari delapan partisipan mengungkapkan cara berkomunikasi yang dilakukan yaitu mendekat saat berkomunikasi dengan klien. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan berikut ini :

“Yah cara berkomunikasi, kita berbicara dekatkan ke telinga lah..”

(Partisipan 4)

“Saya pun gak pernah jauh dari dia. Jadi dia pun bisa dengarkan saya..” (Partisipan 5) 2. Hambatan saat berkomunikasi dengan klien

Hasil wawancara yang dilakukan dengan delapan partisipan terdapat tiga hambatan dalam berkomunikasi. Hambatan tersebut tidak hanya berasal dari keluarga tetapi juga faktor dari klien. Hambatan tersebut yaitu kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien, gangguan fisik yang dialami klien, dan gangguan psikis yang dialami klien.

a. Kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien

Dari pernyataan partisipan, terdapat tiga kategori untuk kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien yaitu tidak mengerti dengan ucapan klien, salah mengartikan maksud klien, dan mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan klien.


(49)

Empat partisipan mengatakan tidak mengerti dengan ucapan klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:

“Tapi yah ada juga yang saya gak ngerti maksudnya, sewaktu dia cuma bisa ngasih kode. Ntah apa lah. Terakhir “eeehh” “eeeehh” jadi bingung juga kita..”

(Partisipan 3)

“Kadang ngerti kadang nggak lah..”

(Partisipan 4)

Kalau bapak ini ngomongnya kadang saya nggak ngerti. Anak-anak pun

gak ngerti juga.”

(Partisipan 6)

“Adalah. Itu tadi “eh..” katanya, ntah apa maksudnya. Ntah mau berak dia, gak tahu lah.”

(Partisipan 7) Empat dari delapan partisipan mengatakan hambatan yang dialami yaitu salah mengartikan maksud klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut :

“Pernah jugalah. Minta koran kemaren itu. “kola..kola..” katanya saya pikir minta kolak, saya beli kolak ternyata nyuruh beli koran.”

(Partisipan 6)

“Tapi pernahlah macam ada yang mau dibilangnya, “ehh..ehh..” katanya

sambil dipegangnya itu bahunya. Terus saya bilang, yang mana sakit

bang? “eh..eh..” katanya lagi. Ternyata ada bedak di punggungnya, lupa saya ambil..”


(50)

Seorang partisipan mengungkapkan bahwa mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan klien. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan:

“Kalau kesulitan yah pasti ada dek, soalnya kan gak bisa berbicara,

setelah pindah ke ruang inap bicaranya baru satu-satu bisa diucapkan..” (Partisipan 1) b. Gangguan fisik yang dialami klien

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, terdapat empat kategori yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata, klien tidak bisa menulis, klien tidak bisa membaca, dan klien merasa sakit saat berkomunikasi.

Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan, ada delapan partisipan mengatakan bahwa yang menjadi hambatan saat berkomunikasi yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan sebagai berikut :

“Mamak ini kalau mau bilang nabil susah kali. Awaknya mikir-mikir terus

apalah yang mau dibilang mamak ini. Terus saya bilang nabil mak?”

(Partisipan 1)

“Cuma bisa bilang “eehh..ehh..” gak ada kata yang keluar cuma suara aja lah yang keluar..”

(Partisipan 3)

“Dia macam mau bilang apa tapi ntah apa. Makanya saya suruh tulis,

mau apa. Soalnya kita kan gak ngerti maksudnya..”

(Partisipan 5)

“Kalau kita ajarin ngomong, dia bisa cuma gak jelas. Cuma bisa bilang “iya”, “aa” itu lah jelas. Kebanyakan cuma bisa bilang “eee”..”


(51)

Tiga partisipan mengatakan bahwa klien tidak bisa menulis sehinggga menjadi hambatan bagi keluarga untuk dapat mengerti ucapan klien. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penyataan partisipan berikut :

“Gak mau nulis dia. Udah saya kasih pulpen sama buku..”

(Partisipan 5)

“Tapi mau nulis gak bisa lemas, sekarang pun masih lemas juga

tangannya. Itulah saya bilang, bang kalau warga minta tanda tangan abang gimana. Dia minta lah pulpen mau nulis, tapi tetap nggak bisa.”

(Partisipan 6) Seorang partisipan mengatakan bahwa klien tidak dapat membaca. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan :

“Nggak. Sewaktu sakit itu nggak bisa lah. Apalagi mau nulis nggak bisa.

Cuma hanya bahasa isyarat-isyarat ajalah..”

(Partisipan 3) Seorang partisipan mengungkapkan bahwa klien merasa sakit saat berkomunikasi. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut :

“Kadang dia bilang pedih kalau kebanyakan ngomong.”

(Partisipan 2) c. Gangguan psikis yang dialami klien

Hasil wawancara terhadap delapan partisipan, terdapat dua kategori gambaran gangguan psikis yang dialami klien yaitu klien mudah marah dan klien mudah menangis. Gangguan psikis yang dialami klien menjadi hambatan saat keluarga berkomunikasi dengan klien. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan sebagai berikut :


(52)

Tapi dia tuh bawaannya emosi aja “ehh..ehh..” keg gitu lah cemana lah

mau dibilang macam mau marah gitu. Cuma karena sejak sakit ini lah gampang marah dia padahal waktu sehat dulu dia jarang kali marah..”

(Partisipan 3)

“Tapi pernah juga gitu kan, tanpa sebab keluar air matanya. Gak tahu juga lah kenapa.”

(Partisipan 3)

“Orang stroke ini sensitif perasaannya, cengeng. Nanti tiba-tiba mau

nangis…Misalnya pernah juga kan tiba-tiba aja dia nangis, kita tanya karena ini itu. Nggak juga. Jadi apa gitu yakan, gak ngerti kita. Dia tetap

aja nangis doang..”

(Partisipan 8)

3. Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, didapatkan usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan berkomunikasi dengan klien yaitu meminta klien untuk menunjuk, meminta klien menggunakan bahasa verbal, dan sering berkomunikasi dengan klien.

a. Meminta klien untuk menunjuk

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, lima partisipan mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk mengatasi hambatan yaitu meminta klien untuk menunjuk yang tergambar dari kategori yaitu meminta klien untuk memberitahu dengan mengarahkan kepada yang ingin diucapkan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Coba tunjuk, mamak mau apa? Apa yang sakit mak? Seperti itu saya tanya.”


(53)

(Partisipan 1)

“Kalau saya nggak ngerti, saya tanya terus saya suruh dia tunjuk…Cuma

saya tanya lah, abang mau apa? Dia liatin itu disekitar dia terus kalau dia

minta sesuatu ditunjuknya lah itu. “ehh..” katanya sambil ditunjuk nya kan, jadi tahu lah apa mau nya.”

(Partisipan 6)

“Nggak ada. Sulit pun nggak. Gimana ya, kalau misalnya abang gak ngerti gitu abang ajak jalan bapak, abang tuntun dia nunjukin apa yang dia mau. Bapak ini main nunjuk aja. Kalau mau nonton gitu, ditunjuknya tv. Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah terbiasa.”

(Partisipan 8) b. Meminta klien menggunakan bahasa verbal

Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat dua kategori yang menggambarkan cara keluarga meminta klien menggunakan bahasa verbal yaitu meminta mengulangi ucapan yang disampaikan klien dan meminta klien untuk berbicara pelan-pelan.

Dua partisipan mengungkapkan bahwa cara partisipan dapat mengerti ucapan klien yaitu meminta mengulangi ucapan yang disampaikan klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Kalau nggak ngerti maksud mamak yah, disuruh ulang.”

(Partisipan 2)

“Kadang pun saya gak ngerti maksudnya. Saya bilang apa? “uang” katanya, terus saya bilang mau uang?”


(54)

Seorang partisipan mengatakan bahwa cara untuk mengatasi hambatan dalam berkomunikasi yaitu meminta klien untuk berbicara pelan-pelan. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan :

“Jadi kalau dia mau cakap saya suruh pelan-pelan saya dengarkan.

Misalnya mau bilangkan jangan lupa kunci rumah, “angan eeh..ehh.. mah unci” lama-lama saya ngerti juga apa maksudnya. Anaknya lah yang sama sekali gak ngerti apa cakapnya. Kalau saya karena saya suruh pelan-pelan cakapnya bang, jadi akhirnya saya tahu juga jadinya.”

(Partisipan 6) c. Sering berkomunikasi dengan klien

Salah satu cara untuk mengatasi hambatan dalam berkomunikasi yaitu sering berkomunikasi dengan klien yang tergambar dari dua kategori yang didapatkan dari hasil wawancara yaitu sering bertemu dengan klien dan sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien.

Seorang dari delapan partisipan mengatakan karena sering bertemu dengan klien sehingga partisipan dapat mengerti bahasa yang digunakan klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Karena sudah setiap hari jumpa jadi ngertilah apa saja kegiatan ayah

ini. Belajar dari pengalaman aja. Karena sering jumpa itu sering berkomunikasi juga jadi ngerti lah mau ayah ini. Misalnya kalau orang gak pernah jumpa sama dia, mana tahu lah dia apa seleranya. Ini ayah

awak, jadi gak adalah yang sulit.”

(Partisipan 3) Seorang partisipan mengatakan tidak merasa sulit berkomunikasi dengan klien karena sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan:


(55)

“Awalnya kita gak ngerti maksud bapak ini, tapi yah lama-lama ngerti

juga… Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah

terbiasa.”

(Partisipan 8) 4. Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap delapan partisipan, ada tiga perasaan yang dirasakan oleh keluarga saat berkomunikasi dengan klien yaitu merasa kelelahan, merasa khawatir kepada klien dan merasa kasihan kepada klien.

a. Merasa kelelahan

Partisipan merasa kelelahan saat berkomunikasi dengan klien tergambar dari dua kategori yaitu putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi dan kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Satu dari delapan partisipan mengatakan putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Sudah saya ancam-ancam juga dia supaya mau ngomong tapi tetap aja

diam dia, udah capek lah. Paling cuma diliatin aja kita. Ujungnya nangis

lah dia. Keluar air mata dia.”

(Partisipan 7) Dua partisipan mengungkapkan bahwa partisipan merasa kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut:


(56)

“Cemanalah ya, terkadang ayah itu mau lah pula marah. Kesal juga ada

lah menjaganya. Sudah kita capek begadang, dimarahi lagi. Dia macam mau merepet tapi nggak bisa “ehh..ehh..” macam gitulah.”

(Partisipan 3)

“Awalnya emosi juga kita dibuatnya, karena diam aja terus dia sampe pernah itu saya pukul mulutnya supaya mau ngomong.”

(Partisipan 7) b. Merasa khawatir kepada klien

Perasaan khawatir yang dirasakan partisipan tergambar dari kategori yaitu merasa takut saat klien tidak bisa berbicara.

Seorang dari delapan partisipan mengungkapkan bahwa merasa takut saat klien tidak bisa berbicara. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut :

“Bingungnya yah, tadi suara jelaskan tapi kok tiba-tiba lidahnya mereng

mulutnya juga gitu. “aahh..aahh” katanya gak bisa ngomong gitu jadi cemas jugalah saya. Saya suruh juga coba ngomong tapi gak bisa.”

(Partisipan 6)

c. Merasa kasihan kepada klien

Partisipan merasa kasihan kepada klien tergambar dari dua kategori yaitu sedih saat klien tidak bisa mengucapkan kata-kata dan tetap sabar saat berbicara dengan klien.

Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan, ada lima partisipan yang merasa sedih saat klien tidak bisa mengucapkan kata-kata. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan berikut :


(57)

“Sedihlah kita ya kek manalah orangtua ya kan. Apalagi kita hidup sama

orangtua. Tiap hari di rumah biasa tiba-tiba gini dia gak bisa komunikasi. Sakit dia gak bisa dibilangnya. Diam aja dia. Sedih aja lah paling.”

(Partisipan 4)

“Kalau sedih pun pasti ada. Tapi yah kita jangan nampakkan dengan dia. Makin sedih dia nanti.”

(Partisipan 5)

“Yah pasti sedih lah. Udah lain caranya sekarang..”

(Partisipan 8) Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, ada tiga partisipan yang tetap sabar saat berbicara dengan klien. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan pastisipan berikut :

“Namanya juga orangtua awak, sabar-sabar juga lah.

(Partisipan 3)

“Pokoknya kalau dah kayak gitu dia saya gak mau marah. Nanti kan

kalau saya bentak, makin lemah pula dia. Pokoknya kalau menghadapi

pasien sabar aja lah.”

(Partisipan 5)

“…Sabar aja lah. Paling awal waktu dia sakit lah dek, agak jelas lah

ngomongnya, sekarang gak jelas sama sekali.”


(1)

PARTISIPAN 8

L1. Awalnya bapak kena stroke bagaimana bang?

L2. Bapak kan kerjanya supir ke luar kota. Dia ini suka main judi. Begadang

L3. dia sampe dua hari gak tidur. Setelah itu tidurlah. Pagi-pagi bapak ini jatuh

L4. dari tempat tidur, bisa bangkit sendiri. Kemudian jatuh lagi dia di kamar

L5. mandi terus ditolong sama temannya. Setelah jatuh itulah, langsung dia

L6. gak bisa ngomong. Gagap gitu dia ngomongnya. Mulutnya mereng,

L7. lidahnya pun macam ketelan gitu. Sebelah kanannya pun lumpuh.

L8. Langsunglah dibawa ke rumah sakit.

L9. Jadi sudah berapa lama bapak gak bisa bicara bang?

L10. Dari tahun 2013 bulan 4 lah sampai sekarang gak bisa ngomong. Nelan

L11. bisa, tapi yah disuapin lah. Kalau minum kadang batuk, tapi kalau dikasih

L12. air dingin. Kalau air hangat dia nggak. Ngunyah gak ada masalah, makan

L13. bubur sama roti aja. Makan kuat bapak ini, dua kali sehari lah makan.

L14. Kalau soal makan pun dia gak pernah ngeluh, apa yang dikasih pasti mau.

L15. Selama bapak sakit, ada kata yang bisa diucapkan bapak bang? L16. Ada juga, misalnya bilang “iya”. Tapi kalau kita ajak ngomong, dia gak L17. bisa. Paling Cuma yang paling jelas bilang “iya” aja. Kadang-kadang

L18. sering jugalah bapak diajarin ngomong. Dia paling gak bisa diajak

L19. ngomong tentang keluarga, kadang dia nangis. Kadang jumpa keluarga

L20. pun dia nangis. Kalau daya ingat masih kuat. Membaca pun dia bisa,

L21. misalnya kita bilang, dua tambah dua berapa pak? nanti dibuatnya itu

L22. jarinya empat, berarti dia masih ingat kan kalau nggak kan mana bisa

L23. dijawabnya. Kalau diminta coba buat sepuluh pak, dianggkatnya nanti

L24. semua tangannya. Kalau misal nonton ada yang lucu, dia ketawa.

L25. Pokoknya daya ingatnya masih baguslah, ngomong aja gak bisa.

L26. Contohnya bapak bisa membaca bagaimana bang?

L27. Misalnya disuruh nulis, tulisannya emang gak jelas susah dibaca. Tapi

L28. kita tahu huruf apa aja yang dia tulis. Pake tangan kanan dia nulis. Dia kan

L29. yang sebelah kirinya ini yang lumpuh total tangannya, tapi kakinya masih

L30. bisa digerakkin.

L31. Jadi bagaimana cara abang berkomunikasi dengan bapak sehari- L32. hari?

L33. Yah dia main tangan ajalah bisanya. Misalnya dia minta mandi,


(2)

L35. dibuatnya nanti tangannya macam mau minta makan atau minum. Kalau

L36. dia nunjuk ke luar berarti mau minta jalan-jalan. Pokoknya kodenya itulah.

L37. Kalau mau minta sesuatu lantai dipukul, nanti kita tanyalah bapak mau

L38. minta apa. Bapak ini karena ada faktor pikirannya juga, makanya dia

L39. kayak gini.

L40. Sebelum sakit bapak ada masalah ya bang?

L41. Iya, karena faktor keluarga. Dulu bapak ini sebagai penengah kalau ada

L42. masalah keluarga, sekarang keluarganya pun gak ada yang peduli. Untuk

L43. melihat bapak aja mereka gak mau. Pokoknya itulah kalau kita singgung

L44. masalah keluarga nangis dia. Kalau ditanya, rindu gak pak sama keluarga

L45. di kampung?, nggak nanti dia bilang. Dibilangnya itu pake tangannya.

L46. Dulu waktu sehat bapak, keluarga suka minjam uang sama bapak.

L47. Sekarang karena sakit, mana ada lagi uang bapak pikir mereka. Makanya

L48. mereka pun gak mau liat dia. Susah lah bilangkan kebaikkan bapak ini,

L49. sampe kalau bukan karena bapak, gak mungkin itu anak adek dari bapak

L50. masuk polisi. Jangankan untuk liat, nelpon pun untuk nanya kabar pun

L51. nggak.

L52. Kalau masalah pendengaran bapak bagaimana bang?

L53. Masih baik. Dia tahu kita ngomong apa. Cuma untuk merespon aja dia gak

L54. bisa. Itulah mungkin kadang dia nangis.

L55. Pernah abang bertanya kenapa bapak nangis?

L56. Nanyalah. Kenapa pak? Ingat masalah keluarga ya? terus nangis lagi dia.

L57. Gimana yah, orangtua sendiri aja gak mau untuk liat dia. Orang stroke ini

L58. sensitif perasaannya, cengeng. Nanti tiba-tiba mau nangis.

L59. Jadi kalau misalnya bapak mau buang air besar atau kecil, L60. bagaimana bapak bilangnya bang?

L61. Nanti dibilangnya itu. Misalnya mau buang air besar, bilangnya itu pake

L62. tangannya. Maaf cakap dipegangnya pantatnya berarti mau buang air

L63. besar, gitu juga kalau mau buang air kecil dipegangnya itunya. Awalnya

L64. kita gak ngerti maksud bapak ini, tapi yah lama-lama ngerti juga.

L65. Jadi selama bapak sakit, cuma pakai bahasa isyarat aja ya bang? L66. Kalau saya ngomong biasa aja paling bapaklah yang menjawabnya pake

L67. isyarat. Kalau nulis kan dia juga sulit, kasian juga. Yah misalnya mau

L68. minta roti, ditunjuknya aja, bapak paling suka itu makan roti isi coklat.


(3)

L70. pake tangannya. Menjawab bapak, pake isyarat ajalah. Gitu juga misalnya

L71. dia pegal mau minta kusuk, dipegangnya itu lengan kita. Kita kusuklah.

L72. Tangan kirinya itu yg sering pegal.

L73. Jadi kendala yang abang rasakan saat berkomunikasi dengan bapak L74. apa bang?

L75. Nggak ada. Sulit pun nggak. Gimana ya, kalau misalnya abang gak ngerti

L76. gitu abang ajak jalan bapak, abang tuntun dia nunjukin apa yang dia mau.

L77. Gitu doang. Bapak ini main nunjuk aja. Kalau mau nonton gitu,

L78. ditunjuknya tv. Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah

L79. terbiasa. Kegiatan bapak itu cuma paling makan, nonton, jalan, tidur.

L80. Abang pernah salah mengerti maksud bapak?

L81. Pernah juga sih kadang. Misalnya dia mau jalan, dia nunjuk keluar. Abang

L82. pikir dia mau duduk-duduk diteras ternyata mau belajar jalan. Bapak ini

L83. mau gitu bilangkan apa yang dia mau, misalnya dia lapar dipukulnya itu

L84. perutnya. Kalau misal mau manggil kita gitu mau minta sesuatu

dipukul-L85. pukulnya itu lantai. Terus yah kita tanyalah. Kalau malam gitu, abang tidur

L86. dicubitnya kalau dia mau buang air besar atau kecil. Gitu ajalah

L87. kesehariannya.

L88. Kalau bapak pernah gak mengerti saat abang bicara sama bapak? L89. Nggak, kalau dia selalu ngerti apa yang kita bilang. Misalnya kita ketawa,

L90. dia ketawa juga. Misalnya kita tanya, rindu adek gak pak? Rindu dia

L91. bilang. Dibuatnya tangannya di pipi, berarti rindu. Kalau gak ngerti dia

L92. kan, pasti diam aja.

L93. Usaha apa saja yang udah abang lakuin supaya bapak bisa bicara L94. lagi?

L95. Sering juga dibawa berobat, untuk cek tensi sama gulanya. Kalau gulanya

L96. udah naik sering kencing celana bapak ini, bisa sampai sepuluh kali ganti

L97. celana. Fisioterapi juga udah dibawa. Obat-obatan pun masih jalan. Sering

L98. juga dikasih permen karet, dia pun tahu kalau udah gak ada rasanya lagi

L99. dibuang. Cuma air liurnya ini gak pernah berhenti keluar. Lidahnya kalau

L100. disuruh keluarkan gak bisa. Sering juga kami suruh keluarkan, paling

L101. cuma bisa sampai batas gigilah. Kalau udah ketawa dia keliatan itu mereng

L102. mulutnya. Kalau kita ajarin ngomong, dia bisa cuma gak jelas. Cuma bisa

L103. bilang “iya”, “aa” itu lah jelas. Kebanyakan cuma bisa bilang “eee”. L104. Pengobatan tradisional pun udah pernah dibawa. Dikusuk-kusuk gitu sama


(4)

L106. sore gitu bapak, soalnya kadang tangan sebelah kirinya itu mau dingin

L107. nanti kalau udah dijemur jadi hangat.

L108. Apa saja maanfaatnya sama bapak bang, setelah dilakukan usaha itu? L109. Yah kayak jalannya pun mulai lancar. Dulukan sama sekali gak bisa jalan,

L110. duduk pun gak bisa. Tapi sekarang udah mulai bisa, cuma ngomongnya

L111. gak ada perubahan.

L112. Bapak pernah gak marah sama abang?

L113. Pernah. Waktu dia minta makan, abang bilang nanti. Marah dia,

ditunjang-L114. tunjangnya. Pernah pun abang ditunjangnya. Gara-gara dah emosi dia.

L115. Karena sekarang udah mulai bisa jalan, dikejar dia itu apalagi kalau dia

L116. digangguin paling gak suka dia. Cuma bapak ini kalau marah, habis itu

L117. langsung ketawa dia. Nangis nggak, ketawa aja dia. Kan dia masih bisa

L118. bedain mana yang becanda mana yang serius. Cuma kalau kita bilang

L119. saudara atau keluarga, terus nangis dia. Awal kena stroke kemaren itu,

L120. takut dia liat orang. Misalnya orang liat mata dia, terus nunduk dia itu.

L121. Gak tahu lah ntah kenapa itu, tapi sekarang udah gak lagi.

L122. Abang kan tadi bilang pernah salah ngerti maksud bapak, bapak L123. marah gak itu bang?

L124. Nggak. Dia gak pernah marah. Cuma telat ngasih makan atau mandi baru

L125. dia marah. Misalnya dia minta mandi, kita gak mandikan itu dia marah

L126. bahkan nangis pun kadang. Yah nggak ada lah kendala atau keluhan gitu

L127. ngerawat bapak. Dulu kecil kita dirawatnya, sekarang gantianlah yakan.

L128. Senang sih ngerawat orangtua.

L129. Jadi yang abang rasakan saat berkomunikasi dengan bapak L130. sekarang?

L131. Yah pasti sedih lah. Udah lain caranya sekarang. Kalau dulu semenjak dia

L132. belum sakit, baik dia sama abang. Apa yang abang minta pasti dikasih.

L133. Sedihnya ya kok sekarang bisa kayak gini, gak nyangka.

L134. Ada lagi nggak bang contohnya saat abang gak ngerti maksud bapak? L135. Misalnya pernah juga kan tiba-tiba aja dia nangis, kita tanya karena ini itu.

L136. Nggak juga. Jadi apa gitu yakan, gak ngerti kita. Dia tetap aja nangis

L137. doang. Makanya bingung juga kadang. Tapi yah lama-lama diam sendiri

L138. dia. Kalau misalnya gak diam-diam juga dia, kami bawa jalan kadang

L139. kami bawa becanda supaya dia gak nangis lagi. Daripada ditanya lagi,


(5)

L141. ngerti kenapa dia nangis tiba-tiba, waktu dia liat foto adek abang berarti

L142. dia rindu. Pokoknya kalau gak berhenti nangisnya, dibawa jalan wajib

L143. berhenti itu pasti nangisnya.

L144. Pernah nggak bapak mencoba untuk berbicara bang?

L145. Pernah juga, cuma kami nggak ngerti. Nanti dibilangnya “eehh..aaa..”

L146. Cuma itu doang, jadi gak ngerti apa maksudnya. Nggak usahkan bapak,

L147. klo abang ngomong keg gitu aja kurasa adek gak ngerti juga kan.

L148. Jadi apa usaha abang untuk ngerti maksud bapak? L149. Tetap aja abang gak ngerti. Nanti saya bilang, apa pak? Pelan

L150. ngomongnya. Tetap aja, malah ketawa pun dia jadinya. Apa sih pak?

L151. Tetap gak ngerti kan, makin ketawa dia. Malah jadi ngejek pun dia, nanti

L152. mau dibuatnya tangannya macam mau bilangkan dasar bodoh pun kau.

L153. Namanya juga gak ngerti ya kan gimana mau dibuat. Sampe lama juga kek

L154. gitu aja, tapi gak pernah marah dia cuma ketawa aja.

L155. Ada lagi gak yang ingin abang ceritakan untuk membantu bapak L156. supaya cepat sembuh atau bisa bicara lagi ?

L157. Sering juga kami hibur dia, kasih semangat gitu. Kadang sering kami bawa

L158. jalan-jalan, dia senang ketawa senyum gitu. Dia juga senang kalau dikasih

L159. roti. Kami juga sering putar lagu rohani, nangis dia. Dia masih bisa

L160. membedakan mana lagu yang sedih mana yang nggak. Sering juga saya

L161. ajak ngomong. Saya tanya, gimana rasanya sakit stroke pak? Sakitnya

L162. yang kena stroke itu pak? Nanti ditunjukknya kepalanya terus tangannya

L163. dikepal, berarti dia mau bilangkan rasanya otaknya kosong. Saya tanya,

L164. sakit badannya pak? Badannya dielusnya terus dia nyubit abang, berarti

L165. dia mau bilangkan badannya sakit. Dia masih bisa ngerespon kita, cuma

L166. yah pake gerak-gerakan tanganlah. Ngomong pun harus harus pelan-pelan.

L167. Kadang pun saya nanya, sampe kapan bapak kayak gini terus? Nangis dia.

L168. Semangatlah pak, jangan pikirkan yang lain. pikirkan aja bagaimana

L169. supaya cepat sembuh. Terus nangis lagi dia.

L170. Jadi selama bapak sakit gak ada yang jenguk bang?

L171. Yah temannya lah dari gereja, stm, kerjanya. Kalau

teman-L172. temannya datang, dia pasti nangis. Cuma teman-temannya datang untuk

L173. menghibur dia. Sebentar aja nangisnya, terus ketawa lagi. Yah respon

L174. bapak ini nangis sama ketawa ajalah. Nanti kalau mau menjawab yang kita


(6)

L176. Terimakasih ya bang atas waktunya. L177. Iya dek.