42
latifolium, ketiganya masing-masing memiliki variasi ragam d, e, dan c. Perlakuan P4 yaitu injeksi
sebanyak 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari tanpa aerasi memiliki nilai variasi ragam a Lampiran 8.
Nilai variasi ragam c sampai e merupakam jarak peringkat antara satu nilai rata-rata dengan rata-rata lainnya setelah diurutkan. Nilai variasi ragam e
memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling tinggi, sedangkan nilai variasi ragam a memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling
rendah. Perlakuan K sebagai kontrol berada pada peringkat b artinya perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih tinggi
dari perlakuan kontrol sedangkan perlakuan P4 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih rendah.
Selain pengujian berdasarkan perlakuan, dilakukan juga analisis statistik berdasarkan waktu kultivasi makroalga. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh
lamanya hari tidak berbeda nyata terhadap laju perlumbuhan Gelidium latifolium
sehingga tidak diperlukan uji lanjut untuk melihat variasi nilai ragamnya.
4.3 Pemanfaatan Karbondioksida pada Kultivasi Gelidium latifolium
Karbondioksida diinjeksikan ke dalam air laut sebagai media kultivasi makroalga dengan aliran yang sama namun lamanya berbeda. Perlakuan P1, P2,
P3, dan P4 diinjeksi dengan kecepatan 200 ccmenit dengan lama 10-15
menit. Berikut diagram nilai besarnya input yang diberikan pada setiap
perlakuan tersaji pada Gambar 14.
43
Gambar 14. Input pada kultivasi Gelidium latifolium
Keterangan : K = tidak mendapatkan injeksi
P1 = injeksi 2.000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari dan aerasi.
P2 = injeksi 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari dan diaerasi.
P3 = injeksi 2.000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari tanpa aerasi.
P4 = injeksi 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari tanpa aerasi.
Karbondioksida merupakan molekul gas yang bisa larut dalam air
laut. Karbondioksida berikatan dengan air membentuk senyawa anorganik yaitu asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Semakin banyak
yang masuk ke dalam air, jumlah asam pun meningkat. Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu aplikasi dari pemanfaatan karbondioksida terlarut
yakni memanfaatkan yang berasal dari injeksi
untuk pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium. Penelitian ini didukung oleh teori Aresta 2010
bahwa pemanfaatan gas karbondioksida dapat dijadikan sebagai teknologi renewable yakni pengonversian karbon menjadi biomassa tumbuhan akuatik atau
terestrial. Injeksi
pada perlakuan P1 dan P3 ataupun P2 dan P4 dilakukan dengan kecepatan yang sama namun hasil kelarutanya berbeda. Hal ini
44
disebabkan oleh pemberian aerasi pada perlakuan P1 dan P2, sedangkan P3 dan P4 tidak dilakukan pemberian aerasi. Perbedaan perlakuan ini dimaksudkan
untuk melihat pengaruh jumlah gas yang diinjeksi terhadap kualitas air dan
respon pertumbuhan Gelidium latifolium. Aerator memberikan masukan gelembung-gelembung udara pada air laut
sehingga terjadi sirkulasi dan pergerakan air pada akuarium. Sirkulasi dan pergerakan air memengaruhi jumlah kelarutan gas
yang diinjeksikan ke dalam air laut. Diagram berikut menunjukkan bahwa
terlarut harian pada setiap perlakuan nilainya berfluktuasi.
Gambar 15. Jumlah terlarut harian pada kultivasi Gelidium latifolium
Keterangan: K = tidak bisa diukur menggunakan titrasi NaOH karena keadaan basa.
P1 = injeksi 2.000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari dan aerasi.
P2 = injeksi 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari dan diaerasi.
P3 = injeksi 2.000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari tanpa aerasi.
P4 = injeksi 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari tanpa aerasi.
Nilai terlarut harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari
ke-33 yaitu 37,25 mgL, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P1 hari ke-
45
42 yaitu 19,95 mgL. Semakin lama waktu injeksi semakin tinggi nilai
kelarutannya. Hal ini disebabkan oleh input yang berdifusi dengan air laut
lebih banyak. Karbondiksida pada kontrol tidak dapat diukur menggunakan titrasi NaOH karena jumlah karbondioksida sangat sedikit dan terserap sempurna oleh
thallus Gelidium latifolium. Selain itu, karbondioksida berubah menjadi bentuk lain yaitu ion bikarbonat
. Nilai kelarutan memiliki fase naik dan
turun setelah 3 kali injeksi dilakukan. Faktor penggantian air laut pada
akuarium yang dilakukan setelah 3 kali injeksi menyebabkan kualitas air
menjadi fluktuatif. Berikut adalah persentasi perbandingan total terlarut
setiap perlakuan, tersaji pada Gambar 16.
Gambar 16. Jumlah total terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium
Keterangan : K = tidak mendapatkan injeksi
P1 = injeksi 2.000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari dan aerasi.
P2 = injeksi 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari dan diaerasi.
P3 = injeksi 2.000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari tanpa aerasi.
P4 = injeksi 3.000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari tanpa aerasi.
46
Nilai tertinggi total terlarut dalam air laut adalah pada perlakuan P4
yaitu injeksi selama 15 menit tanpa aerasi dan paling rendah adalah pada
perlakuan P1 yaitu injeksi selama 10 menit dan aerasi. Nilainya total
terlarut secara berurutan setiap perlakuan dari yang tertinggi sampai terendah adalah P4 441,76 mgL, P3 391,01 mgL, P2 360,21 mgL, dan P1 283,65 mgL
Lampiran 6. Menurut Effendi 2003 salah satu faktor yang memengaruhi kelarutan
adalah tekanan parsial. Tekanan parsial akan berkurang akibat adanya kegiatan fotosintesis dan pemanasan. Kemampuan fotosintesis individu makroalga yang
berbeda-beda serta pemanasan pada siang hari menjadi penyebab variasi nilai pada setiap perlakuan.
Pengukuran kelarutan dilakukan pada sore hari karena pada waktu
tersebut cahaya mulai redup. Fotosintesis memerlukan cahaya matahari untuk mengeksitasi elektron yang terdapat pada klorofil sehingga keadaan elektron
dalam klorofil menjadi tidak stabil dan mendesak molekul air terpecah menjadi dan
. Ion berperan dalam pembentukan
menjadi glukosa melewati reaksi terang. Oleh karena itu, pada saat cahaya mulai meredup efektivitas
fotosintesis menurun sehingga dilakukan pengukuran sisa.
Kelarutan yang terjadi pada P1, P2, P3, dan P4 telah melebihi batas
normal perairan, oleh karena itu sisa yang tidak dapat larut dalam air
mengalami difusi dan tertampung pada kantong plastik yang telah diinstalasikan pada akuarium P3 dan P4.
47
Karbondioksida sisa merupakan gas sisa yang terbebaskan dari air laut dan tertampung pada penampung plastik
. Penampung plastik yang digunakan untuk menangkap
dilengkapi dengan keran agar gas yang masuk tidak
berdifusi dengan gas dari luar. Konsentrasi gas diukur menggunakan Orsat Apparatus. Pengukuran
sisa ini dilakukan hanya pada P3 dan P4 yakni perlakuan injeksi tanpa aerasi. Persentasi jumlah
sisa dapat diukur karena tidak terjadi pertukaran dengan gas lainnya yang berada di luar akuarium.
Penampungan gas dilakukan setelah selesai injeksi yaitu pukul 10.00, kemudian pengukuran dilakukan pada sore hari bersamaan dengan pengukuran kualitas air.
Jumlah sisa harian setiap pemberian injeksi berfluktuasi, namun perlakuan P4
selalu mendominasi P3. Berikut adalah nilai sisa harian yang terukur oleh
Orsat Apparatus tersaji pada Gambar 17.
Gambar 17. Sisa hasil pengukuran Orsat Apparatus
Keterangan : K, P1, dan P2 tidak diukur karena mendapat masukan gas dari luar.
P3 = injeksi 2000 cc 200 cc x 10 menit per 3 hari tanpa aerasi.
P4 = injeksi 3000 cc 200 cc x 15 menit per 3 hari tanpa aerasi.
48
Nilai sisa harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari ke-
42 yaitu 12,27, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P3 hari ke-13 yaitu 9,53. Rata-rata sisa
tersisa dari perlakuan P3 sebesar 10,16 dan P4 sebesar 11,73. Volume air laut sebanyak 8 liter dan injeksi
sebanyak 2x100 ccmenit memengaruhi kesetimbangan karbondioksida dalam air laut. Hal
ini sesuai dengan Teori Boyd 1988 yang mengategorikan kelarutan di
perairan bahwa pada temperatur 25-27 °C berkisar antara 0,45-0,48 mgL. Besarnya nilai temperatur berkebalikan dengan nilai kelarutan karbondioksida.
4.4 Kualitas Air