baku produksi Baya, 2011. Hambatan yang dihadapi usaha kecil pengolahan ikan lainnya yaitu keterbatasan modal dan pengetahuan mengenai manajemen
dalam pemasaran Doone dan Kurtz, 2002. Kendala-kendala yang terjadi diatas tidak terlepas dari adanya peranan
pelabuahan perikanan setempat. Dengan mengetahui permasalahan yang terjadi pada usaha pengolahan ikan di PPP Muncar dengan demikian penelitian mengenai
peran pelabuhan perikanan dalam pengembangan usaha kecil pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar Jawa Timur adalah sangat perlu dilakukan.
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu: 1
Mendeskripsikan usaha pengolahan ikan di PPP Muncar. 2
Menganalisis peran PPP Muncar dari segi pelayanan dan ketersediaan fasilitas dalam mendukung pengembangan usaha kecil pengolahan ikan.
3 Mengukur tingkat kepuasan pengolah ikan terhadap jasa pelayanan dan
ketersediaan fasilitas PPP Muncar dalam mendukung pengembangan usaha kecil pengolahan ikan.
1.3 Manfaat
Manfaat yang akan dicapai dari penelitian ini adalah: 1
Sebagai informasi bagi para nelayan atau masyarakat yang ingin mengembangkan usaha pengolahan ikan di PPP Muncar.
2 Sebagai informasi dan sebagai pertimbangan kepada calon pengusaha
pengolahan ikan yang ikan menjalankan usahanya di daerah PPP Muncar dengan mengetahui peranan pelabuhan dalam pengembangan usaha kecil
pengolahan ikan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelabuhan Perikanan 2.1.1 Definisi pelabuhan perikanan
Menurut Alonze de F.Quin, 1970 vide Lubis et al., 2010 pelabuhan perikanan merupakan suatu kawasan perairan yang tertutup atau terlindungi dan
cukup aman dari pengaruh angin dan gelombang laut, diperlengkapi dengan berbagai fasilitas logistik, bahan bakar, perbekalan dan pengangkutan barang-
barang. Menurut
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan Nomor
Per.16Men2006 tentang Pelabuhan Perikanan, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan atau
bongkar-muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar
moda transportasi.
2.1.2 Klasifikasi pelabuhan perikanan
Pengklasifikasian pelabuhan perikanan pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu tipe dan ukuran kapal, jenis perikanan tangkap yang
beroperasi, distribusi dan tujuan hasil tangkapan dan jumlah hasil tangkapan yang didaratkan.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, pelabuhan perikanan diklasifikasikan sebagai berikut:
1 PP Samudera Tipe A
2 PP Nusantara Tipe B
3 PP Pantai Tipe C
4 Pangkalan Pendaratan Ikan PPI
Tabel 1 Pengelompokkan pelabuhan perikanan berdasarkan peraturan menteri kelautan dan perikanan Nomor: PER.16MEN2006
Pelabuhan Tipe Kriteria
Samudera A 1.
Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan laut
lepas; 2.
Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 60 GT;
3. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m, dengan
kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m; 4.
Mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6.000 GT kapal
perikanan sekaligus; 5.
Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor; 6.
Tersediannya industri perikanan. Nusantara B
1. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; 2.
Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 GT ;
3. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan
kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m; 4.
Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 GT kapal
perikanan sekaligus; 5.
Tersedianya industri perikanan. Pantai C
1. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; 2.
Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 10 GT;
3. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m, dengan
kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m; 4.
Mampu menampung sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT kapal
perikanan sekaligus. Pangkalan
Pendaratan Ikan D
1. Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
di perairan pedalaman dan perairan kepulauan; 2.
Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 3 GT;
3. Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan
kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m; 4.
Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal
perikanan sekaligus.
2.1.3 Peranan pelabuhan perikanan
Menurut Lubis et al., 2010 pelabuhan perikanan sangat penting peranannya terhadap perikanan tangkap karena pelabuhan perikanan merupakan
center perekonomian mulai ketika ikan selesai ditangkap dari fishing ground
maupun ketika akan dipasarkan lebih lanjut. Dengan demikian peran utamanya adalah berkaitan dengan pelayanan jasa-jasa untuk:
1 Kapal-kapal yang telah selesai menangkap ikan dari daerah penangkapan yaitu
dengan adanya fasilitas pendaratan ikan yang aman dan pemeliharaan kapal. 2
Hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan yaitu dengan adanya kegiatan penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan.
Secara rinci pelabuhan perikanan berperan terhadap: 1
Hasil tangkapan yang didaratkan: 1
Mampu mempertahankan mutu ikan serta dapat memberikan nilai tambah terhadap produksi hasil tangkapan yang didaratkan;
2 Mampu melakukan pembongkaran secara cepat dan menyeleksi ikan
secara cermat; 3
Mampu memasarkan ikan yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun pedagang melalui aktivitas pelelangan ikan;
4 Mampu melakukan pendataan produksi hasil tangkapan yang didaratkan
secara akurat melalui sistem pendataan yang benar. 2
Para penguna di pelabuhan perikanan: 1
Sebagai pusat dan tukar menukar informasi antar pelaku di pelabuhan; 2
Mampu meningkatkan pendapatan para pelaku di pelabuhan antara lain dengan adanya pelaksanaan pelelangan ikan;
3 Mampu menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi para pelaku untuk
beraktivitas di pelabuhan. 3
Perkembangan wilayah, baik dari aspek ekonomi maupun sosial budaya 1
Mampu meningkatkan perekonomian kotakabupaten sehingga dapat menambah pendapatan asli daerah, antara lain melalui peningkatan usaha
transportasi, usaha
industri yang
berkaitan dengan
aktivitas kepelabuhanan, penyediaan bahan kebutuhan para pengguna di
pelabuhan, dan berkembangnya aktivitas perbankan; 2
Terdapatnya beragam sosial budaya akibat keheterogenan penduduknya karena urbanisasi;
3 Mampu menyerap tenaga kerja berkaitan dengan aktivitas kepelabuhanan
perikanan dan aktivitas terkait di sekitarnya.
Menurut Solihin 2008, dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, peran prasarana pelabuhan perikanan sangat strategis. Hal ini
disebabkan karena pelabuhan perikanan merupakan interface antara daratan dan lautan yang menyebabkan sumberdaya ikan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
dan pelabuhan perikanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perikanan tangkap dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai basis usaha
penangkapan fishing base karena segala kegiatan sebelum penangkapan ikan penyiapan bahan perbekalan seperti es, air dan bahan bakar dan kegiatan pasca
penangkapan pengolahan, distribusi dan pemasaran berlangsung di pelabuhan perikanan tersebut.
Menurut Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang perikanan, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai
dengan pemasaran. Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa: 1
Pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan; 2
Pelayanan bongkar muat; 3
Pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan; 4
Pemasaran dan distribusi ikan; 5
Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan; 6
Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; 7
Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan; 8
Tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan; 9
Pelaksanaan kesyahbandaran; 10
Tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan; 11
Publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan;
12 Tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan;
13 Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari;
14 Pengendalian lingkungan.
2.1.4 Fasilitas pelabuhan perikanan
Pelabuhan perikanan merupakan suatu kawasan kerja yang meliputi areal daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas yang dipergunakan untuk
memberikan pelayanan umum dan jasa guna memperlancar aktivitas kapal perikanan, usaha perikanan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha
perikanan. Menurut Damoredjo 1981 vide Supriatna 1993, pelabuhan perikanan harus mempunyai fasilitas yang dapat memperlancar kegiatan produksi
dan pemasaran hasil tangkapan, menimbulkan rasa aman bagi nelayan terhadap gangguan alam dan manusia dan mempermudah pembinaan serta menunjang
pengorganisasian usaha ekonomi nelayan. Pelabuhan perikanan harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas agar dapat
berfungsi sesuai dengan perananya. Menurut Lubis et al., 2010 fasilitas tersebut adalah fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang.
1 Fasilitas pokok
Fasilitas Pokok merupakan fasilitas yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan
maupun sewaktu berlabuh dipelabuhan. Menurut Per.16Men2006 tentang Pelabuhan Perikanan fasilitas pokok yang dimaksud yaitu:
1 Sarana Pelindung
: breakwater, revetment, dan groin 2
Sarana Tambat : dermaga dan jetty
3 Sarana Perairan
: alur pelayaran dan kolam pelabuhan 4
Sarana Penghubung : jembatan, jalan, drainase, gorong-gorong 2
Fasilitas Fungsional Fasilitas
fungsional merupakan
fasilitas yang
berfungsi untuk
meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan. Menurut Per.16Men2006 fasilitas fungsional meliputi:
1 Pemasaran hasil perikanan seperti Tempat Pelelangan Ikan TPI;
2 Navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-
rambu, lampu suar, es dan listrik; 3
Suplai air bersih, es dan listrik; 4
Pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dockslipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring;
5 Penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan
laboratorium pembinaan mutu; 6
Perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; 7
Transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan 8
Pengolahan limbah seperti IPAL. 3
Fasilitas Penunjang Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung dapat
meningkatkan peranan pelabuhan atau para pengguna mendapatkan kenyamanan dalam melakukan aktivitas pelabuhan. Menurut Per.16Men2006 fasilitas ini
terdiri dari: 1
Pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan; 2
Pengelola pelabuhan seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu;
3 Sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK;
4 Kios IPTEK;
5 Penyelenggaraan fungsi pemerintahan, seperti:
1 Keselamatan pelayaran;
2 Kebersihan, keamanan dan ketertiban;
3 Bea dan cukai;
4 Keimigrasian;
5 Pengawas perikanan;
6 Kesehatan masyarakat; dan
7 Karantina ikan.
2.2 Usaha Kecil dan Menengah
Menurut UU No. 202008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dimaksud usaha mikro, kecil, dan menengah pada pasal 6 yaitu:
1 Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
1 Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; 2
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta; 2
Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut
1 Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling
banyak Rp 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; 2
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2,5 milyar.
3 Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
1 Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta sampai dengan paling
banyak Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; 2
Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp 50 milyar.
Menurut Doone dan Kurtz 2002 bisnis kecil small business sebagai perusahaan yang dimiliki dan dikelola secara independent dan tidak mendominasi
bidang yang digelutinya atau bisnis kecil disebut juga sebagai perusahaan yang dimiliki dan dioperasikan secara independent, tidak mendominasi dalam
bidangnya, dan memenuhi ukuran standar tertentu atas laba atau jumlah karyawan.
Bisnis kecil bukan merupakan perusahaan besar dalam skala yang lebih kecil. Bisnis kecil sangat berbeda dalam bentuk organisasi, posisi pasar,
kapabilitas karyawan, gaya manajerial, struktur organisasi dan sumber daya keuangan. Namun, perbedaan tersebut biasanya dilihat sebagai kekuatan bagi
pemilik bisnis kecil yang mendapatkan keuntungan dalam mengelola bisnis kecil dibandingkan dengan bekerja di perusahaan besar, kuat, dan multi nasional
Doone dan Kurtz, 2002. Meskipun bisnis kecil memiliki beberapa kekuatan untuk bersaing di
pasar, namun bisnis kecil pun memiliki beberapa kelemahan jika harus bersaing dengan perusahaan besar dan sudah mapan. Bisnis kecil cukup rentan terhadap
perubahan kondisi ekonomi, terutama pada saat terjadi gejolak ekonomi. Hal ini terjadi karena bisnis kecil biasanya memiliki sumberdaya yang terabatas
dibandingkan dengan pesaing yang lebih besar yang memiliki ketahanan menghadapi penurunan penjualan Doone dan Kurtz, 2002.
Kelemahan utama yang dihadapi bisnis kecil mencakup kurangnya pengetahuan manajemen, keterbatasan dana dan peraturan pemerintah. Ketiga hal
tersebut kualitas dan pengetahuan manajemen, keterbatasan dana dan kemampuan
mensiasati peraturan serta persyaratan pemerintah memegang peran penting karena perusahaan yang memiliki kelemahan utama disatu atau dua hal diatas
seringkali berakhir dengan kebangkrutan Doone dan Kurtz, 2002.
2.2.1 Usaha pengolahan ikan
Menurut Pane 2002 vide Priyanto 2007, industri pengolahan ikan adalah kelompok usaha di pelabuhan perikanan yang aktivitasnya bersifat
langsung dengan upaya menghasilkan produk olahan ikan dalam arti luas yaitu ikan, crustacea, moluska, binatang air lainnya, dan tumbuhan air dari hasil
tangkapaneksploitasi alami, dan hasil budidaya dalam jumlah besar. Aktivitas pada industri ini meliputi pembekuan ikan dan pengolahan ikan. Pengolahan ikan
dalam arti luas terdiri dari: 1
Pengolahan tradisional, meliputi jenis pemindangan ikan, pengeringan ikan, pengasapan ikan, fermentasi ikan terasi, petis, kecap ikan, kerupuk
ikan dan lain-lain. 2
Pengolahan semi modern, antara lain meliputi pengalengan ikan, filet ikan, pembuatan makanan jadi berbahan ikan bakso ikan, fish nugget, dan lain-
lain. 3
Pengolahan modern, antara lain meliputi surimi, industri tingkat tiga “rumput laut” bahan kosmetik, obat-obatan, dan lain-lain.
Pengolahan dan pengawetan ikan dilihat dari metodenya digolongkan menjadi empat menurut Hadiwiyoto 1993 vide Priyanto 2007, yaitu:
1 Pengolahan dan pengawetan ikan dengan memanfaatkan faktor-faktor
fisikawi, yang biasanya memanfaatan suhu tinggi maupun suhu rendah dengan tujuan untuk membunuh mikroba kontaminan yang ada pada ikan
dan menghentikan aktivitas enzim dalam daging. 2
Pengolahan ikan dengan bahan-bahan pengawet, dengan tujuan penggunaan bahan pengawet hampir sama dengan pemanfaatan suhu pada
pengolahan dan pengawetan ikan, yaitu antara lain: 1
Menghambat pertumbuhan mikroba 2
Menghambat proses enzimatik 3
Memberikan sifat fisikawi dan organoleptik sensorik yang khas yang dapat memberikan nilai estetika tnggi.
3 Pengolahan dan pengawetan ikan dengan metode gabungan kedua metode
tersebut diatas. Pengolahan ini dikerjakan untuk mencegah resiko kerusakan lebih besar pada bahan, meningkatkan faktor keamanan dan
kesehatan, meningkatkan tingkat penerimaan aseptabilitas produk dengan tidak mengurangi mutu hasil akhir.
4 Pengolahan yang bersifat merubah sifat bahan menjadi produk semi akhir
atau produk akhir yang mempunyai sifat fisikawi dan kimiawi sama atau berbeda dengan keadaan awalnya. Metode ini digunakan pada pembuatan
tepung ikan, pengolahan minyak ikan, pembuatan konsentrat protein, pembuatan kecap ikan, pengolahan terasi, sosis ikan, pendinginan,
pembekuan dan pengalengan ikan. Menurut Pane 2002 vide Priyanto 2007 industri perikanan di pelabuhan
perikanan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu industri penangkapan, industri pengolahan, dan tambahan. Menurut Afrianto dan Liviawaty 1989 jenis-jenis
hasil olahan ikan yaitu seperti: 1
Petis Petis merupakan makanan yang biasa digunakan sebagai lauk pauk atau
campuran makan yang berasal dari cairan tubuh ikan atau udang yang telah terbentuk selama proses penggaraman kemudian diuapkan melalui
proses perebusan lebih lanjut sehingga menjadi larutan yang lebih padat seperti pasta.
2 Kerupuk
Ikan atau udang yang digunakan sebagai bahan baku kerupuk dapat berasal dari hasil sampingan proses pengolahan lain atau bahan segar,
tergantung kualitas kerupuk yang diharapkan. Ikan yang digunakan biasanya tergantung masing-masing daerah, misalnya kerupuk tenggiri
atau belida telah dikenal sebagai kerupuk khas Palembang. 3
Tepung ikan Tepung ikan merupakan suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan
jalan mengeluarkan sebagian besar cairan dan sebagian atau seluruh lemak yang terkandung didalam tubuh ikan.
4 Abon ikan
Abon merupakan olahan yang berwujud gumpalan-gumpalan serat daging yang halus dan kering. Pembuatan abon merupakan salah satu cara
memperpanjang masa simpan daging. Kadar air abon yang jauh lebih rendah dibandingkan daging segar akan membuat mikroba sukar tumbuh
berkembang biak. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi abon umumnya adalah ikan pelagis seperti ikan cakalang Katsuwonus pelamis, tenggiri
Scomberomorus sp., tongkol Euthynnus sp. dll. 5
Ikan pindang Pemindangan merupakan salah satu cara pengolahan atau pengawetan ikan
secara tradisional. Dalam proses pemindangan, ikan diawetkan dengan cara mengukus atau merebusnya dalam lingkungan bergaram dan
bertekanan normal, dengan tujuan menghambat aktivitas atau membunuh bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim. Adapun jenis ikan yang biasa
digunakan sebagai bahan baku pemindangan adalah ikan air laut seperti tongkol Euthynnus sp., tenggiri Scomberomorus sp., kembung
Scomber sp., layang Decapterus sp., dan ikan air tawar seperti ikan mas Ciprynus carpio dan nila Tilapia nilotica serta ikan air payau misalnya
bandeng Chanos chanos. 6
Ikan kaleng Ikan kaleng adalah salah satu produk hasil pengawetan dan pengolahan
yang telah disterilisasi dan dikemas dalam kaleng. Tujuan sterilisasi dalam pengalengan
adalah untuk
membunuh bakteri
pembusuk atau
mikroorganisme lain dan menjaga agar produk yang telah di sterilisasikan tidak tercemar lagi oleh bakteri atau mikroorganisme dari tempat lain.
Menurut Mira et al. 2007 vide Witry 2011 jenis industri pengolahan ikan yang sudah berkembang di Muncar adalah industri pengalengan, pindang,
gaplek ikan, tepung ikan, minyak ikan, dan kerupuk ikan. Kondisi ini menunjukan sudah berkembangnya kegiatan agroindustri pengolahan ikan hasil tangkapan baik
dalam bentuk pengolahan tradisional maupun modern.
2.2.2 Pengembangan usaha kecil dan menengah
Menurut UU No. 202008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dimaksud dengan prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah
pada pasal 4 yaitu : 1
Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
2 Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
3 Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai
dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 4
Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan 5
Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Adapun tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terdapat pada pasal 5 yaitu:
1 Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang,
berkembang, dan berkeadilan; 2
Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh, mandiri dan meningkatkan peran
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja;
3 Pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat
dari kemiskinan. Menurut Hafsah 2004 Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah
UKM pada hakekatnya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM,
maka kedepan perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut: 1
Menciptakan iklim usaha yang kondusif Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara
lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2 Bantuan permodalan
Pemerintah perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan
permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk
Usaha Kecil dan Menengah UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro LKM yang ada, maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank
antara lain BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat BPR. Sampai saat ini BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Kedua LKM
ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM.
3 Perlindungan usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan win-win solution.
4 Pengembangan kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antara UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri,
untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Disamping itu juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan
demikian UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
5 Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya
dalam pengembangan usahanya. Disamping itu juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui
pengembangan kemitraan rintisan. 6
Membentuk lembaga khusus Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya menumbuh
kembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh
UKM. 7
Memantapkan asosiasi Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya
antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.
8 Mengembangkan promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk
yang dihasilkan. Disamping itu perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan mitra usahanya.
9 Mengembangkan kerjasama yang setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah dengan dunia usaha UKM untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir
yang terkait dengan perkembangan usaha.
2.3 Kepuasan pelanggan 2.3.1 Definisi kepuasan pelanggan
Menurut Rangkuti 2006, kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai respon pelanggan terhadap kesesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan
kinerja actual yang dirasa setelah pemakaiannya. Kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan oleh pelanggan selama
menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut. Ketidakpuasan yang diperoleh tahap awal pelayanan menimbulkan persepsi berupa mutu pelayanan
yang buruk untuk ytahapan selanjutnya, sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan secara keseluhan.
Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja produk atau jasa yang dipilih sekurang-kurangnya memenuhi
atau bahkan melebihi harapan prapembelian. Jika persepsi terhadap kinerja tidak sesuai dengan harapan, maka yang terjadi adalah ketidak puasan Tjiptono, 2000
vide Shanticka, 2008. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan
mengenai kualitas dan jasa yang berfokus pada lima dimensi jasa. Lima dimensi jasa yang mempengaruhi kualitas yaitu:
1 Responsiveness ketanggapan adalah kemampuan untuk menolong
pelanggan dan ketersediaan untuk menolong pelanggan dengan baik. 2
Reliability keandalan adalah kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
3 Emphaty empati adalah rasa peduli untuk memberikan perhatian secara
individual kepada pelanggan. 4
Assurance jaminan adalah pengetahuan, kesopanan tugas, serta sifatnya yang dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari risiko.
5 Tangibels bukti langsung meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan,
dan sarana komunikasi. Rangkuti 2006 mengemukakan beberapa pendekatan umum yang biasa
digunakan dalam pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: 1
Pendekatan tradisional traditional approach yakni pelanggan diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk yang mereka
nikmati. 2
Analisis secara deskriptif, misalnya melalui perhitungan statistik secara deskriptif yaitu melalui perhitungan rata-rata nilai distribusi serta standar
deviasi. Analisis ini yang dapat dikembangkan membandingkan hasil kepuasan antara waktu, sehingga kecenderungan perkembangannya dapat
ditentukan. 3
Pendekatan secara terstruktur structural approach yakni pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik
yang paling popular adalah semantic differncial dengan prosedur scalling. 4
Analisis Important atau Performance yakni pendekatan dimana tingkat kepentingan pelanggan customer expectation atau importance diukur dalam
kaitannya dengan yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk yang berkualitas baik.
2.3.2 Tingkat kepentingan pelanggan
Menurut Panggabean 2008, tingkat kepentingan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa yang akan
dijadikannya standar acuan dalam menilai kinerja produk jasa tersebut. Terdapat dua tingkat kepentingan pelanggan yaitu:
1 Adequate service adalah tingkat kinerja jasa minimal yang masih dapat
diterima berdasarkan perkiraan jasa yang mungkin akan diterima dan tergantung pada alternatif yang tersedia.
2 Desired service adalah tingkat kinerja jasa yang diharapkan pelanggan akan
diterimanya yang merupakan gabungan dari kepercayaan pelanggan mengenai apa yang dapat dan harus diterimanya.
Desired service dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga pelanggan yang mendapatkan jasa merasa puas yaitu:
1 Keinginan untuk dilayani dengan baik dan benar;
2 Kebutuhan perorangan;
3 Janji secara langsung;
4 Janji secara tidak langsung;
5 Komunikasi mulut ke mulut;
6 Pengalaman masa lalu;
7 Keadaan darurat;
Sedangkan adequate service dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1
Keadaan darurat; 2
Ketersediaan alternatif; 3
Derajat keterlibatan pelanggan; 4
Faktor-faktor yang tergantung situasi; 5
Pelayanan yang diperkirakan
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian mengenai peran pelabuhan dalam pengembangan usaha kecil pengolahan ikan dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2011. Penelitian bertempat
di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu metode studi kasus. Penilaian dalam mengetahui peran pelabuhan perikanan dalam
perkembangan usaha kecil pengolahan ikan diperoleh dengan mengamati kegiatan usaha kecil pengolahan ikan yang ada di dalam kawasan pelabuhan mulai proses
praproduksi, produksi dan distribusipemasaran yang dilakukan oleh usaha kecil dan menengah pengolahan ikan. Aspek yang diteliti yaitu aspek pelayanan dan
ketersediaan fasilitas di PPP Muncar. Metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Metode pengumpulan data
No Tujuan
Cara pengambilan
data Data
Jenis data
Sumber data
1 Mendeskrip-
sikan usaha pengolahan
ikan di PPP Muncar
Wawancara dan pengamatan
Jumlah usaha pengolahan ikan di PPP Muncar
Jenis usaha pengolahan ikan di PPP Muncar
Daerah distribusi hasil olahan ikan di PPP Muncar
Kebutuhan bahan baku perproduksi usaha
pengolahan Asal bahan baku produksi
pengolahan ikan Data
primer dan
sekunder Pengelola
usaha kecil pengolahan
ikan Pengelola
PPP Muncar
2 Mengetahui
peran pelabuhan
dalam pengembang-
an usaha kecil pengolahan
ikan Wawancara dan
pengamatan Ketersediaan suplai bahan
baku untuk pengolahan Ketersediaan fasilitas dan
pelayanan yang digunakan dalam aktivitas
pengolahan ikan Ketersediaan informasi
mengenai harga pasar Ketersediaan sarana dan
prasarana dalam pendistribusian hasil
olahan ikan Data
primer dan
sekunder Pengelola
PPP Muncar Dinas
Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Banyuwangi
3 Mengetahui
kepuasan pengolah ikan
terhadap pelayanan
PPP Muncar Wawancara dan
pengamatan Ketersediaan bahan baku
Kapasitas dan pelayanan fasilitas yang digunakan
dalam aktivitas pengolahan ikan
Ketersediaan informasi mengenai harga pasar
Pelayanan sarana dan prasarana dalam
pendistribusian hasil olahan ikan
Program atau kegiatan pihak pelabuhan dalam
pengembangan pengolahan
Data primer
Pengelola usaha kecil
pengolahan ikan
Data yang dikumpulkan yaitu berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode purposive sampling.
Purposive sampling merupakan pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, jumlah atau ukuran sampel tidak dipersoalkan dan unit sampel
yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Data primer diperoleh dengan melakukan
pengamatan langsung dan wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan tujuan
penelitian. Pengamatan dilakukan terhadap aktivitas pengolahan dari proses praproduksi, proses produksi dan pasca produksi yaitu dalam kegiatan distribusi.
Pengisian kuisioner dilakukan dengan mewawancarai responden sebanyak 12 responden yang terdiri dari 10 pengolah ikan yang merupakan usaha kecil,
pengelola pelabuhan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bayuwangi. Pengolah ikan yang diwawancarai yaitu pengolah ikan yang melaksanakan
kegiatan usaha pengolahnannya di dalam kawasan pelabuhan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dengan bidang perikanan. Data sekuder didapatkan
dari pengelola PPP Muncar serta Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi.
3.4 Analisis Data 3.4.1 Deskripsi usaha pengolahan ikan di PPP Muncar