Prevalensi Perokok di Indonesia

enzim amilase dan peroksidase. Penelitian pada tahun 1998 yang dilakukan oleh Trudgill menunjukkan terjadinya penurunan kadar bikarbonat saliva pada sampel yang merokok selama 28 hari. 29 30 Reibel tahun 2001 mengatakan bahwa pH saliva akan meningkat saat merokok namun setelah jangka waktu panjang pH saliva ada perokok mengalami penurunan jika dibandingkan dengan non perokok. Sedangkan pada penelitian tahun 2013 yang dilakukan Kanwar dkk, menunjukkan bahwa kelompok perokok memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan kelompok non-perokok, akan tetapi pH pada kedua kelompok tersebut masih dalam kategori normal. 9 12 Secara umum rokok, baik dari kandungan kimia atau asap rokoknya, dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan pada kelenjar saliva sehingga dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan salivanya itu sendiri yang pada akhirnya terjadi penurunan pH saliva. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hal itu, yang pertama efek dari paparan rokok saat menghisap rokok yang dapat mengiritasi mukosa mulut secara langsung. Selain itu bahan kimia pada rokok dan asap rokok dapat merangsang pelepasan zat kimia dari sel makrofag dan neutrofil aktif seperti IL-1, Prostaglandin 2, Elastase proteinase 3, katepsin G yang pada tubuh yang dapat merusak sel dan jaringan kelenjar saliva. Dan hal tersebut di pengaruhi juga oleh lamanya merokok dan jumlah batang perhari yang dapat memperburuk keadaan saliva.

2.1.11. Efek Merokok Tembakau Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut

Dampak buruk dari rokok salah satunya dapat bermanifestasi pada organ mulut karena mulut merupakan organ pertama yang terpapar oleh rokok, baik dari rokoknya secara langsung ataupun dari asap rokok. Kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut dapat dinilai dengan menggunakan indeks yang hasilnya didapat dari pemeriksaan fisik gigi dan mulut. Terdapat beberapa indeks yaitu Oral higiene index simplified OHIS adalah indeks untuk menentukan status kebersihan mulut seseorang yang dinilai dari Debris Index DI dan Calculus Index CI yang menunjukkan adanya sisa makanandebris dan kalkulus karang gigi pada permukaan gigi. Plaque index PI digunakan untuk mengukur ketebalan plak pada permukaan gigi. Gingival index GI digunakan untuk menilai keadaan gusi seseorang dengan melihat keparahan gingivitis berdasarkan warna gusi, konsistensi dan kecenderungan untuk berdarah. Decayed, missing, and filled teeth DMFT digunakan untuk melihat jumlah gigi yang berlubang, hilang dan jumlah gigi yang ditambal. 31 32 OHIS merupakan indeks untuk menentukan keadaan kebersihan mulut seseorang yang dinilai dari adanya sisa makanandebris dan kalkulus karang gigi pada permukaan gigi. Jadi skor OHIS merupakan penjumlahan dari DI Debris Indeks dan CI Calculus Indeks. Kriteria untuk OHIS dalam menentukan keadaan mulut seseorang yaitu:  Skor 0,0-1,2 : baik  Skor 1,3-3,0 : sedang  Skor 3,1-6,0 : buruk Sedangkan pada pemeriksaan DI Debris Indeks digunakan untuk melihat adanya sisa makanandebris yang menempel pada gigi. Kriteria untuk DI sebagai berikut: 31  0 : tidak ada debrissisa makanan yang menempel pada gigi.  1: debris lunak menutupi tidak lebih dari 13 permukaan gigi.  2 : debris lunak menutupi lebih dari 13 permukaan, tetapi tidak lebih dari 23 permukaan gigi.  3 : debris lunak menutupi lebih dari 23 permukaan gigi. Pada pemeriksaan CI Calculus Index kita melihat adanya kalkulus atau karang gigi. Kriteria unutk CI yaitu: 31  0 : tidak terdapat kalkulus.  1 : kalkulus supragingival menutupi tidak lebih dari 13 permukaan gigi.  2 : kalkulus supragingival lebih dari 13 tetapi tidak lebih dari 23 permukaan gigi.  3 : kalkulus supragingival menutupi lebih dari 23 permukaan gigi. Pada pemeriksaan GI dapat dinilai adanya inflamasi gingival dengan melihat apakah ada perdarahan atau tidak pada gigi yang diperiksa. Kriteria skor GI adalah: 31  0 : gingiva normal.  1 : inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai perubahan warna, sedikit edema, palpasi tidak terjadi perdarahan.  2 : inflamasi gingiva sedang, warna merah, edema, berkilat, palpasi terjadi perdarahan.  3 : inflamasi gingiva parah, warna cenderung berdarah seperti merah menyolok, edema terjadi ulserasi, gingiva spontan. Sampai saat ini sudah ada penelitian yang melihat efek rokok terhadap kesehatan gigi dan mulut. Arowojolu, dkk, tahun 2013 melakukan penelitian di India pada kelompok perokok dan non perokok untuk melihat efek merokok pada kesehatan gingival dan status kesehatan mulut responden. Arowojolu, dkk, menggunakan metode potong lintang dengan membagi responden dalam 2 kelompok, yaitu kelompok perokok dan non perokok, sebagai kontrol. Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa OHIS dan GI pada kelompok perokok lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non perokok. Di Indonesia pun sudah ada penelitian mengenai efek rokok terhadap kesehatan mulut, Emilia, 2009 melakukan penelitian efek rokok terhadap kondisi periodontal pada tukang becak di kelurahan Tanjung Reji kota Medan yang salah satunya dinilai dengan indeks OHIS. Dan hasilnya menunjukkan indeks OHIS pada perokok lebih tinggi dibandingkan pada kelompok non perokok. 33 34 Menurut Arowojolu, dkk, tingginya OHIS pada perokok berhubungan dengan fakta bahwa kandungan pada rokok, salah satunya tar dapat menyebabkan adanya penodaan pada gigi, dimana permukaan gigi akan menjadi kasar dan mempercepat akumulasi plak pada gigi yang menandakan buruknya kesehatan gigi dan mulut perokok. Peningkatan GI menandakan adanya inflamasi pada gingival, yang ditandai dengan adanya penurunan aliran darah gingival yang dipengaruhi oleh nikotin. Rokok terdiri dari