59 Tabel 17. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Petani untuk
Menjual Lahan Pertanian
Variabel Koef
Sig. Exp β
Keterangan Konstanta
-5,592 0,325
0,004
-
Lama Tinggal X1 0,338
0,201 1,402
Berpengaruh tidak nyata
Lama Bertani X2 -0,291
0,321 0,784
Berpengaruh tidak nyata
Jumlah AK X3 -1,291
0,024 0,275
Berpengaruh nyata
Proporsi Pendapatan X4 0,049
0,125 1,050
Berpengaruh tidak nyata
Luas Lahan X5 2,686
0,042 14,680
Berpengaruh nyata
Jumlah AK yang Bekerja X6 0,713
0,213 2,041
Berpengaruh tidak nyata Sumber : Data Primer diolah
Keterangan : nyata pada taraf 5
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diperoleh nilai Sig pada Omnimbus test sebesar 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan yaitu 5 persen 0,000 0,05, artinya variabel bebas yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan.
Dari hasil analisis juga didapat nilai Cox Snell R Square sebesar 0,495 dan Nagelkerke R Square sebesar 0,688. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar
dari Cox Snell R Square menunjukan kemampuan keenam variabel bebas dalam menjelaskan varian alih fungsi lahan yaitu sebesar 68,8 persen dan terdapat 32,2
persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel terikat. Nilai Sig pada Hosmer and Lemeshow Test yang diperoleh adalah sebesar 0,902. Nilai tersebut
lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen 0,902 0,05, artinya model yang dibuat dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan.
Selanjutnya nilai overall percentage pada classification table yang diperoleh sebesar 91,1 persen. Hal ini menunjukan bahwa model yang dihasilkan adalah
baik. Berdasarkan Tabel 17 dapat terlihat bahwa dari enam variabel bebas yang
diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan ternyata hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap keputusan petani tersebut adalah jumlah anggota keluarga dan luas lahan. Signifikan atau tidaknya pengaruh suatu variabel dilihat dari nilai Sig
yang ada pada Tabel 17 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5
60 persen. Model yang diperoleh dari hasil regresi logistik pada Tabel 17 adalah
sebagai berikut: Z = -5,592
– 1,291X
3
+ 2,686X
5
Variabel jumlah banyaknya anggota keluarga memiliki nilai Sig. sebesar 0,024. Nilai tersebut berarti bahwa jumlah tanggungan berpengaruh nyata
terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 5 persen 0,024 0,05. Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif -1,291 dan nilai
Exp β atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,275. Hal ini berarti bahwa jika banyaknya anggota keluarga petani bertambah satu orang, maka peluang petani
untuk menjual lahan lebih kecil 0,275 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga petani maka semakin rendah
peluang petani tersebut untuk menjual lahan. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak membuat petani berpikir
untuk lebih mempertahankan lahan sawah tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga dibandingkan untuk dijual. Hal ini disebabkan karena mereka sudah
terbiasa hidup bertani untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Terlebih jika ada anggota keluarga yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang jauh lebih
besar maka petani akan terus mempertahankan lahan sawah tersebut. Variabel luas lahan memiliki nilai Sig. sebesar 0,042. Nilai tersebut berarti
bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 5 persen 0,042 0,05. Koefisien hasil yang
diperoleh bertanda positif 2,686 dan nilai Exp β atau odds ratio yang
diperoleh sebesar 14,680. Hal ini berarti bahwa jika luas lahan yang dimiliki petani bertambah satu hektar, maka peluang petani untuk menjual lahan lebih
besar 14,680 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin besar luas lahan yang dimiliki petani maka semakin tinggi peluang petani tersebut untuk
menjual lahan. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara luas lahan yang dimiliki dengan alih fungsi lahan yang terjadi.
61
6.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor akan menyebabkan berkurangnya total pendapatan petani. Hal ini disebabkan
adanya penurunan hasil panen dari lahan yang dimiliki. Dalam studi kasus kali ini, petani di lokasi penelitian ini masih banyak yang mempertahankan komoditas
padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena wialyah ini cocok untuk produksi padi. Saat ini petani yang telah menjual lahan juga masih menggarap
lahannya sehingga belum begitu terlihat terhadap pendapatan dari alih fungsi lahan tersebut. Hal ini menunjukkan dampak alih fungsi lahan terhadap
pendapatan petani belum mempunyai pengaruh yang signifikan. Alih fungsi lahan dapat mengubah struktur mata pencaharian dalam satu keluarga. Perubahan mata
pencaharian akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan petani pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan
pendapatan diluar usaha tani non usaha tani. Pendapatan usaha tani merupakan pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha
tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahannya dapat
dilihat pada Tabel 18. berikut ini. Tabel 18. Perbandingan Rata-Rata Per Bulan Pendapatan Petani Sebelum dan
Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Rata-rata Pendapatan
Responden Usaha Tani
Non Usaha Tani Rata-rata
Pendapatan Total
Responden Rupiah
Rupiah Rupiah
Sebelum Alih Fungsi
735.038 42,64
1.196.119 57,36
1.931.157 100
Sesudah Alih Fungsi
691.026 28,28
1.292.307 71,72
1.983.333 100
Perubahan -44.012
96.187 52.176
Sumber : Data Primer diolah
Berdasarkan Tabel 18 di atas, terdapat perubahan pendapatan total responden dari usaha tani dan non usaha tani sebelum dan sesudah alih fungsi
lahan dari Rp 1.931.157 menjadi Rp 1.983.333. Hal ini menunjukkan terjadinya
62 perubahan pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan sesudah alih
fungsi lahan yaitu sebesar Rp 52.176. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari usaha tani mengalami penurunan setelah adanya alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp
44.012. Sedangkan pendapatan rata-rata dari non usaha tani mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp 96.187.
Tabel 18 menunjukkan bahwa pendapatan petani baik yang diperoleh dari usaha tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah
melakukan alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 42,64 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 57,36 persen pendapatan
diperoleh dari luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 28,28 persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 71,72 persen pendapatan
diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur pendapatan petani dari pertanian ke non pertanian dimana pendapatan diluar usaha
tani mengalami peningkatan setelah adanya alih fungsi lahan.
6.5 Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan akan berakibat pada ketahanan pangan pada suatu wilayah. Semakin banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi akan semakin sulit
ketahanan pangan diwujudkan. Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak pada stabilitas pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Sehingga pemenuhan
kebutuhan pangan masyarakat akan terganggu. Penilitian ini menghitung perkiraan dampak alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten
Bogor sebagai berikut. Menurut tipe irigasi lahan sawah di Kabupaten Bogor dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis,
pengairan sederhana PU, pengairan non PU dan pengairan tadah hujan. Pada Tabel 19, dapat dilihat luas masing-masing sawah berdasarkan tipe irigasinya
yang ada di Kabupaten Bogor.
63 Tabel 19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya di
Kabupaten Bogor dalam Hektar
Tahun Luas
Total Sawah
Sawah Irigasi
Teknis Sawah
Irigasi Setengah
Teknis Sawah
Irigasi Sederhana
PU Sawah
Irigasi Sederhana
Non PU Sawah
Tadah Hujan
2002 48.256
4.211 7.794
12.660 14.410
9.181 2003
48.177 4.106
6.402 14.441
14.919 8.309
2004 47.503
3.819 8.033
11.979 14.205
9.467 2005
48.598 4.542
4.746 12.281
15.427 11.602
2006 48.425
4.436 7.095
13.494 12.763
10.637 2007
48.321 4.182
7.942 13.948
12.483 9.766
2008 48.849
3.967 8.481
13.203 13.548
9.650 2009
48.766 3.819
8.033 7.996
19.451 9.467
2010 48.484
2.173 9.904
14.833 12.421
9.153 2011
48.185 2.506
9.644 14.451
11.635 9.949
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
Sawah irigasi teknis merupakan sawah yang bersumber pengairannya berasal dari sungai, artinya selalu tersedia sepanjang tahun. Oleh karena itu, pola
tanam pada sawah teknis ini lebih fleksibel dibandingkan dengan sawah lainnya. Ciri sawah jenis ini dalam pola tanamnya sebagian besar selalu padi -padi. Sawah
irigasi setengah teknis merupakan sawah yang sumber pengairannya dari sungai, namun ketersediaan airnya tidak seperti sawah irigasi teknis, biasanya air tidak
cukup tersedia sepanjang tahun. Pola tanam pada sawah ini biasanya padi - palawija atau palawija - padi.
Sawah irigasi sederhana pedesaan merupakan sawah yang sumber pengairannya berasal dari sumber-sumber air yang terdapat di lembah-lembah
bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana irigasi seperti saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta
bendungan irigasi umumnya tidak permanen. Pola tanam pada sawah pengairan pedesaan ini biasanya padi - padi, dan padi - palawija, atau padi - bera. Petani
yang melakukan padi - padi biasanya terbatas di daerah-daerah yang berdekatan degan sumber air saja, sedangkan yang jauh biasanya hanya ditanami padi sekali
saja pada musim hujan dan pada musim kemarau dibiarkan bera. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau
tidaknya curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang topografinya tinggi dan berada di lereng-lereng gunung yang tidak memungkinkan