memaksimumkan masukan dan pemakaian air, yang sangat sering menjadi faktor
pembatas bagi produksi tanaman pertanian Pramudia 1989.
2.8 Evapotranspirasi
Perhitungan neraca
air sangat
ditentukan oleh beberapa komponen, salah satu komponen terpenting dalam perhitungan
neraca air
adalah evapotranspirasi.
Evapotranspirasi adalah proses penguapan atau kehilangan air yang berasal dari
permukaan tanah dan permukaan tumbuhan. Keduanya bertanggung jawab terhadap proses
kehilangan air tanah di bawah kondisi lapang yang normal. Laju evapotranspirasi lahan
basah sangat dipengaruhi oleh kondisi alam sekelilingnya seperti yang dikemukakan oleh
Chang 1968.
Evapotranspirasi potensial
ETP adalah besarnya evapotranspirasi pada suatu
lahan pertanaman jika air mencukupi dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu atau
dengan pengertian lain evapotranspirasi yang terjadi jika tanah dalam keadaan tidak kurang
air dan seluruh vegetasi diatasnya menutupi seluruh permukaan tanah. Sedangkan jika
kondisi tanah semakin kering, maka akan menyebabkan laju evapotranspirasi yang
terjadi berada dibawah laju evapotranspirasi potensial
yang disebut
sebagai evapotranspirasi akual ETA. ETA sering
disebut juga sebagai evepotranspirasi yang terjadi
pada kondisi
yang sebenarnya.
Menurut Handoko 1994 nilai ETA akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai ETP
pada saat penutupan tajuk belum penuh atau pada saat permukaan tanah mengalami
kekeringan.
2.9 Waktu Tanam dan Pola Tanam
Penyesuaian waktu tanam dan pola tanam merupakan pendekatan yang strategis
dalam mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim
tanam dan perubahan pola curah hujan. Menurut FAO 1978 dalam Saleh 2007
masa tanam adalah selang waktu dalam setahun dengan curah hujan lebih dari 0,5
ETP ditambah waktu pada akhir musim hujan CH mendekati nilai 0,5 ETP untuk
mengevapotranspirasikan air setinggi 100 mm dari air tanah yang masih tersimpan. Kisaran
air yang terdapat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen sering disebut sebagai
kadar air efektif untuk pertumbuhan tanaman atau kadar air optimum Sosrodarsono dan
Takeda 1978. Sehingga pada kisaran air tersebut digunakan sebagai penentuan masa
tanam tanaman. Menurut Heryani 2001 masa tanam
atau waktu tanam ditentukan berdasarkan ketersediaan lengas tanah. Lengas tanah
adalah air yang terikat oleh berbagai gaya, misalnya gaya ikat matrik, osmosis dan
kapiler. Periode waktu tanam adalah periode- periode yang kandungan lengas tanahnya
tidak kurang dari 50 air tersedia. Hal ini mengacu kepada Richard 1969 dalam
Perdana 1995 yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman
yang baik air harus ditambahkan bila 50-80 dari air tersedia telah habis terpakai. Oldeman
menyatakan bahwa curah hujan 200 mm atau lebih per bulan dapat dipakai sebagai
pedoman masa tanam untuk tanaman padi sawah. Untuk palawija didasarkan pada curah
hujan 100 mm atau lebih.
Pola tanam adalah suatu kegiatan penanaman tanaman pada sebidang lahan
dengan mengatur pola pertanaman. Pola pertanaman adalah suatu susunan letak dan
urutan tanaman pada sebidang lahan selama periode
waktu tertentu.
Thahir 1974
menyatakan bahwa pola pertanaman adalah suatu pola bercocok tanam selama setahun
atau lebih yang terdiri dari beberapa kali bertanam dari beberapa jenis tanaman yang
saling bergiliran atau bersisipan dengan maksud untuk meningkatkan produksi usaha
tani atau pendapatan petani tiap satuan luas per satuan waktu hasilHahari.
Faktor-faktor yang menentukan pola tanam untuk tanaman semusim adalah jenis
tanaman, varietas tanaman, dan umur tanaman yang nantinya akan disesuaikan dengan
kondisi lahan. Pola tanam pada kondisi lahan tadah hujan dan lahan beririgasi, ketersediaan
airnya hanya terbatas pada periode tertentu. Jumlah dan distribusi curah hujan menentukan
penanaman dan pola tanam yang ideal pada lahan tertentu Perdana 1995.
2.10 Kebutuhan Air Tanaman
Doorenbos dan
Pruitt 1977
mendefinisikan kebutuhan air tanaman adalah banyaknya air yang diperlukan tanaman untuk
menggantikan kehilangan air akibat proses evapotranspirasi pada kondisi air tanah dan
kesuburan tanah yang tinggi sehingga dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan
pertumbuhannya. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah.
Faktor iklim yang mempengaruhi seperti
radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan
evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman
tanah, dan topografi.
Kebutuhan air bagi tanaman untuk setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman
berbeda Saragi
2008. Kebutuhan
air tanaman umumnya akan meningkat seiring
dengan bertambahnya petumbuhan tanaman hingga pertumbuhan vegetatif maksimum dan
kemudian menurun kembali sampai pada tahap panen. Kebutuhan air tanaman berkisar
antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif.
Kebutuhan air tanaman untuk padi dan palawija berbeda. Kebutuhan air untuk padi
sawah adalah sebesar 600-1200 mm 4,5 bulan atau 90-250 mm per bulan. Sedangkan
untuk palawija seperti jagung kebutuhan air sebesar 350-400 mm 3 bulan atau 85-100
mm per bulan, dan untuk tanaman kedelai kebutuhan air tanamannya adalah sebesar 300-
350 mm 3,5 bulan atau 75-100 mm per bulan Naylor 2001.
2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu
Permanen
Kandungan air
tanah merupakan
kebutuhan pokok bagi pertumbuhan optimum tanaman. Menurut Heryani 2001 ada
beberapa sifat-sifat
air tanah
yang mempengaruhi
ketersediaan air
untuk tanaman diantaranya :
1. Kemampuan tanah untuk menginfiltrasi
air hujan yang jatuh ke permukaan tanah 2.
Daya hisap air oleh tanah dalam kompetisi dengan tanaman
3. Kemampuan tanah dalam menyimpan
dan menahan air pada daerah perakaran 4.
Pergerakan air tanah 5.
Volume tanah yang dapat dijelajahi oleh akar tanaman
Penetapan kadar air tanah pada beberapa keadaan seperti kapasitas lapang dan
titik layu permanen sangat diperlukan dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman.
Kapasitas lapang adalah jumlah air maksimum yang mampu ditahan oleh tanah. Kapasitas
lapang biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air, keadaan ini tercapai setelah
air berhenti mengalir ke bawah setelah tercapai keadaan jenuh. Sedangkan titik layu
permanen adalah kandungan air tanah pada saat tanaman yang berada di atas permukaan
tanah mengalami layu permanen dalam arti tanaman sulit hidup kembali meskipun telah
ditambahkan sejumlah air yang mencukupi. Selisih antara kadar air tanah pada kapasitas
lapang dengan titik layu permanen disebut dengan air tersedia. Air tersedia adalah jumlah
air yang memungkinkan bagi tanaman untuk dapat diabsorpsi atau sering disebut juga
Water Holding Capacity
Heryani 2001.
III. DATA DAN METODE
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di
Center for Climate Risk Management in Southeast Asian and Pacific
CCROM – SEAP Baranang Siang dan Laboratorium
Klimatologi Departemen
Geofisika dan
Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan dasarian Provinsi Jawa
Barat periode tahun 1985 sampai 1999 Sumber:
Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofosika. 2.
Data suhu udara rata-rata dasarian Provinsi Jawa Barat periode tahun 1985
sampai 1999
Sumber: Badan
Meteorologi Klimatologi
dan Geofosika.
3. Data jenis tanah Provinsi Jawa Barat
Sumber: Lembaga Penelitian Tanah Puslittanak.
4. Data Kapasitas Lapang KL dan Titik
Layu Permanen TLP untuk berbagai kabupaten di Jawa Barat yang digunakan
untuk perhitungan neraca air dan penentuan
waktu tanam
Sumber: Pawitan 1997
5. Simulasi model RegCM3 menggunakan
data initial and boundary condition ICBC
dari model GCM ECHAM5 dengan
resolusi temporal
yang digunakan 3 jam-an untuk periode
baseline tahun 1985-1999 dan scenario
tahun 2055-2069. Peralatan
yang digunakan
dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan sistem operasi Linux Fedora 12 untuk aplikasi model iklim regional RegCM3 dan
sistem operasi Windows untuk aplikasi Microsoft Office 2003 dan
2007 Microsoft Excel
untuk mengolah data dan Microsoft Word
, Arc View, Minitab 14, dan panoply.