16
sekitarnya, 5 masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Kridalaksana, 1989
Mantra dalam pengobatan tradisional merupakan salah satu jenis kearifan lokal. Jenis kearifan lokal menurut Sibarani , 2012:133 mengandung nilai-nilai
budaya antara lain: 1 “kesejahteraan” , 2 kerja keras, 3 disiplin, 4 pendidikan, 5 kesehatan, 6 gotong-royong, 7 pengelolaan gender, 8
pelestarian dan kreativitas budaya, 9 peduli lingkungan, 10 “kedamaian”, 11 kesopansantunan, 12 kejujuran, 13 kesetiakawanan sosial, 14 kerukunan dan
penyelesaian konflik, 15 komitmen, 16 pikiran positif, dan rasa syukur 17 religi. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
2.3 Tinjauan Pustaka
Surbakti 2014 dalam jurnalnya ‘Nilai Budaya Dalam Leksikon Erpangir
Ku Lau Tradisi Suku KaroKajian Antropolinguistik’ menjelaskan bahwa
deskripsi leksikon erpangir ku lau terdiri dari dua kelompok yaitu 1 bahan dan alat 2 kegiatan pada saat proses erpangir ku lau. Leksikon kegiatan proses
erpangir ku lau mengandung a.prefiks er-, ng-, pe-, er- terdapat pada leksikon ercibal
‘mempersembahkan’, ngilling ‘menggiling’, nimpa ‘membuat cimpa’, penguras ‘air yang digunakan untuk mensucikan’, dan erpangir ‘berlangir’. b.
sufiks -en, dan -i terdapat pada leksikon pajuh-pajuhen ‘yang dipuja’, mangiri
‘melangiri orang lain’, pangiri ‘melangiri orang lain’. c. infiks –in- terdapat pada leksikon jinujung
‘ilmu atau pengetahuan magis yang di miliki’ dan d. konfiks pe-
Universitas Sumatera Utara
17
na, ng-ken, n-i pada leksikon pemetehna “kemampuan magisnya’, ngampeken
‘meletakkan’ dan ngilingi ‘menggilingi’. Nilai budaya dalam leksikon erpangir ku lau tradisi suku Karo mengandung nilainilai budaya yaitu 1 nilai keharmonisan
dan kedamaian, 2 nilai kesejahteraan, 3 nilaireligius, 4 nilai yang berorientasi dengan alam lingkungan, dan 5 nilai sosial.
Reni 2015 dalam skripsinya ‘Leksikon Pengobatan Tradisional dalam
Bahasa Sunda kajian antropolinguistik’ menjelaskan bahwa Leksikon pengobatan tradisional yang
digunakan dan dipakai dalam aktivitas pengobatan tradisional merupakan sebuah cerminan dari hasil pola pikir dan pandangan masyarakat tentang konsep ilmu
kesehatan serta cerminan karakteristik cara hidup dan cara berpikir masyarakat tentang konsep ilmu kesehatan. Keberadaan konsep ilmu pengetahuan tentang
kesehatan dalam leksikon pengobatan tradisional merupakan upaya pemeliharaan dan penjagaan lahiriah terhadap kondisi kesehatan dari penggunaan tumbuhan dan
tanaman obat, serta upaya penguatan batiniah terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaan dan kuasa Tuhan. Fungsi leksikon yang terdapat dalam
pengobatan tradisional bahasa Sunda yaitu fungsi individual, fungsi sosial, fungsi keharmonisan alam dan tumbuhan, fungsi ketuhanan dan fungsi ekonomi.
Nurfadhilah, Rosi 2014 dalam tesisnya ‘Cermin Kearifan Lokal
Masyarakat Desa
Mandalasari Dalam
Mantra Pengobatan
Kajian Antropolinguistik’ menjelaskan pertama, struktur teks mantra pengobatan di Desa
Mandalasari secara garis besar mencakup bunyi dan aspek leksikal berupa pengulangan, sinonim, antonim, dan kolokasi. Kedua, referensi leksikon dalam
mantra pengobatan di Desa Mandalasari terdiri atas 1 permohonan, 2 manusia,
Universitas Sumatera Utara
18
3 bagian tubuh, 4 alam, 5 benda, 6 aktivitas, 7 keadaan, 8 waktu, 9 ketuhanan, dan 10 harapan. Ketiga, dari segi klasifikasi, mantra pengobatan di
Desa Mandalasari terbagi dalam beberapa kategori, yaitu kategori kegiatan, kategori waktu, dan kategori pelaku. Keempat, cermin kearifan lokal masyarakat
Desa Mandalasari dalam mantra pengobatan tercermin dalam beberapa kalimat dalam mantra yang dianalisis. Dari analisis tersebut terungkap cermin kearifan
lokal masyarakat di Desa Mandalasari yang masih menjaga tradisi leluhurnya, menjaga hubungan harmonis antarsesamanya, serta tergambar pengetahuan
masyarakatnya tentang hal-hal gaib yang masih melekat kuat di benak masyarakat di Desa Mandalasari.
Putra 2010 ‘Aspek-Aspek Budaya Dalam Komunikasi Bahasa Sebuah Tinjauan Antropolinguistik’ menjelaskan bahwa bahasa pada dasarnya tidak
adapat di lepas dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, bahasa juga merupakan fenomena budaya. Sebagai
fenomena sosial , bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang
peserta. Oleh karena itu, berbagai aspek-aspek budaya dalam komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa karena di dalam berbahasa
seorang penutur tidak pernah lepas dari nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Disamping hal itu juga karena bahasa merupakan salah satu unsur dari
kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk berkomunikasi. Efrida Sinaga 2010 dalam skripsinya
‘Makna Nama Orang Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Balige’ menjelaskan bahwa pemberian
nama orang pada masyarakat Batak Toba di kecamatan Balige dilakukan dengan
Universitas Sumatera Utara
19
cara adat istiadat proses berupa upacara penyambutan sampai kelahiran hingga pemberian nama. Upacara adat ini harus melalui tahapan dalam upacara khusus
yang dilaksanakan oleh pihak hula-hula pihak pemberi istri baik itu pemberian nama orang maupun nama sebutan nama panggilan yang disandangnya. Jenis
nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige yaitu: pranama, goar sihadakdanahon, panggoaran goar-goar dan marga. Nama-nama orang pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung makna pengharapan dan makna kenangan. Selanjutnya nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba
di Kecamatan Balige mengandung nilai pragmatis yaitu konotasi formal, konotasi non formal, konotasi kelaki-lakian dan konotasi kewanitaan sejalan dengan
pendapat Van Buren.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB 1 PENDAHULUAN