Konsepsional Tinjauan Yuridis Perjanjian Perceraian Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus Perjanjian Perceraian antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas dan Sudarman Soh-Dewi)

22 5. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, hal ini berarti janji yang dibuat antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. 6. Asas Kepatutan Pasal 1339 KUHPerdata : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Maka dalam perjanjian para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral. 7. Asas Kepastian Hukum Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian hukum terlihat dari adanya kekuatan mengikat, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

2. Konsepsional

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan Universitas Sumatera Utara 23 kenyataan,. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. 36 Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Suatu konsep merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. 37 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Perceraian Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan, yang diatur dalam Pasal 38. 38 2. “Perjanjian Perceraian” Kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri selama berlangsungnya perkawinan terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukum dari perceraian terhadap harta dan anak. 3. Anak Anak menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 36 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal 3. 37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal.132. 38 Subekti 1, Op.Cit., hal. 119. Universitas Sumatera Utara 24 4. Harta Perkawinan Harta Perkawinan mencakup : 39 a. Harta suami atau isteri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagai warisan harta asal; b. Harta suami atau isteri yang didapat atas hasil usahanya sebelum atau semasa perkawinan; c. Harta yang diperoleh suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan harta gono-gini; d. Harta yang diberikan kepada mempelai ketika menikah. 5. Harta Bersama Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan, dimana suami-isteri hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga. 40

G. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya. 41 Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu 39 Soekanto Soerjono, Intisari hukum Keluarga, Bandung : Alumni, 1980., hal. 61-62. 40 Subekti 1, Op.Cit., hal. 98. 41 Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta : Aksara Baru, 1991, hal 37. Universitas Sumatera Utara 25 hukum yang dihadapi. 42 Selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan. 43 Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu diantaranya : 44 1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap; 2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui; 3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner. Untuk dapat menyelesaikan penyajian tesis ini, agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan tesis ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data, sebagai berikut : 42 Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2006, hal. 35. 43 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1997, hal.38. 44 Soerjono Soekanto, Op.cit, hal. 7. Universitas Sumatera Utara 26

a. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu inqury secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan. 45 Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analistis, yaitu suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. 46 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku law as it is written in the book , maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan law it is decided by the judge through judicial process 47 terkait mengenai ““Perjanjian Perceraian””.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun 45 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998., 46 Bambang Sunggono, Op Cit, hal. 38. 47 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal 118. Universitas Sumatera Utara 27 media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : 48 1. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian; 2. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan; 3. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan; 4. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

c. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan library research. Data sekunder tersebut meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku sampai dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah. 49 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi 48 Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, hal, 63. 49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 23. Universitas Sumatera Utara 28 serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar c. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3713 KPdt1994 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 152Pdt.G1993 PN Surabaya dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 976Pdt1993 PT Surabaya, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 435Pdt. G2009PN-Mdn. 2. Bahan Hukum Sekunder berupa bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil – hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta Universitas Sumatera Utara 29 bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 50 Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

d. Analisis Data

Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dan dianalisa dengan metode analisis kualitatif. Metode pendekatan dalam menganalisa data yang digunakan adalah metode kualitatif, disini memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. 51 Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian. 50 Bambang Sunggono, Op Cit, hal. 41. 51 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,, Cet. 4, Jakarta : Rineka Cipta, 2004., hal. 21. Universitas Sumatera Utara 30

BAB II KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN”

SELAMA BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian” Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan interaksi satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan antara individu-individu yang merupakan subjek hukum maupun antara badan hukum seringkali merupakan suatu hubungan hukum yang tentu dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan hukum. Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang muncul untuk mengakomodasikan kepentingan-kepentingan tertentu dari anggota masyarakat. Pasal 1338 Ayat1 KUHPerdata menyatakan bahwa, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal 1338 KUHPerdata ini mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya,isinya, dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang yang telah disepakati antara pembuat perjanjian tersebut. Pengelompokkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai Perjanjian Bernama atau benoemde contracten atau nominaat contracten. Wirjono Prodjodikoro menyatakan sistem BW Burgerlijk Wetboek memungkinkan untuk 30 Universitas Sumatera Utara 31 para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau undang-undang lain. Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku BW didalam buku ke-III Title I-IV. 52 “Perjanjian Perceraian” adalah Kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri selama berlangsungnya perkawinan terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukum dari perceraian terhadap harta dan anak. “Perjanjian Perceraian” yang dalam penelitian ini berbentuk Surat Tanda Penyerahan Rumah dan Surat Pernyataan dan Perjanjian. Perjanjian jenis ini disebut Perjanjian Innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. 53 ; perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus didalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat didalam masyarakat. 54 Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku dalam hukum perjanjian. 55 J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan Perjanjian Innominat atau Perjanjian Tidak Bernama, adalah : 56 52 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung : Sumur Bandung, 1964., hal.10. 53 Putro Wicaksono, Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama, Seventeen Miracle, http:iyudkidd02street17.blogspot.com201211perjanjian-bernama-dan-perjanjian-tidak.html, diakses pada 18 Juli 2013. 54 Macam-Macam Perjanjian dan Syaratnya, www.adipedia.com201105macam-macam- perjanjian-dan-syaratnya.html, diakses pada 18 Juli 2013. 55 Boraamelia’s Blog, Perjanjian Kontrak, boraamelia.wordpress.com20120611 perjanjian-kontrak, diakses pada 18 Juli 2013. 56 J. Satrio, Hukum Perjanjian,Bandung : Alumni, 1992.,hal.12. Universitas Sumatera Utara 32 “Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus didalam undang-undang. Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD, keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan yurisprudensi.” Tentang Perjanjian Tidak Bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain” Menurut Pasal 208 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “Perceraian suatu perkawinan sekali-kali tak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak” Dimana pasal ini memberi arti bahwa tidak boleh diadakan kesepakatan diantara para pihak yang telah menikah untuk bercerai. Perceraian bukanlah sesuatu hal yang bisa diperjanjikan. Apabila terbukti bahwa perceraian tersebut.dilakukan dengan ada perjanjian atau kesepakatan untuk bercerai sebelumnya, apalagi disaat para pihak belum menikah, maka perceraian tersebut harus dibatalkan dan dianggap tidak sah dikarenakan melanggar Pasal 208 KUHPerdata. “Perjanjian Perceraian” disini mengatur mengenai kesepakatan suami-isteri mengenai akibat-akibat yang akan terjadi dari suatu perceraian akibat perceraian. “Perjanjian Perceraian” belum diatur secara khusus baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun KUHPerdata. Pengaturan dan keberlakuan “Perjanjian Perceraian” inilah yang akan dibahas secara khusus dalam karya ilmiah ini. Universitas Sumatera Utara 33 Di Indonesia sendiri, dengan adanya unifikasi hukum dan juga ditambah adanya asas Lex Specialis Lex Generalis, Hukum Perkawinan diatur secara terperinci menggunakan aturan yang diatur dalam Buku I tentang orang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Meskipun menurut unifikasi hukum dan juga menurut asas Lex Specialis Lex Generalis, pengaturan mengenai perkawinan harus mengikuti aturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa : 57 “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks Ordonnantie Indonesiers S. 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.” 58 Sehingga dengan adanya ketentuan ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan dasar hukum dan landasan dari ketentuan hukum yang mengatur mengenai Perkawinan menyatakan bahwa apabila ada ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah diatur dalam KUHPerdata, Ordonanasi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan juga peraturan lain sehubungan dengan perkawinan, dan kemudian diatur kembali atau diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka 57 Hilman Hadikusuma, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan : CV. Zahi Trading Co, 2004., hal.5. 58 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., hal. 557-558. Universitas Sumatera Utara 34 ketentuan yang dipakai adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak lagi ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya. 59 Akan tetapi, ketentuan ini juga bisa bermakna lain dimana ketentuan ini juga bisa berarti bahwa apabila ada hal-hal mengenai Perkawinan yang ketentuannya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi dalam kenyataan sudah sering dipraktekkan sehingga membutuhkan dasar hukum untuk melindunginya, maka pengaturan mengenai hal tersebut bisa kembali mengacu kepada peraturan- peraturan yang sebelumnya telah ada dan mengatur mengenai perkawinan seperti KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya. 60 Pasal inilah yang kemudian menjadi dasar atau acuan dari pembahasan “Perjanjian Perceraian” dalam karya ilmiah ini dimana ketentuan dasar hukum dari “Perjanjian Perceraian” tidak atau belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pembahasan pengaturan mengenai “Perjanjian Perceraian” ini bisa kembali mengacu kepada KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya. Tetapi meskipun belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pembahasan mengenai “Perjanjian Perceraian” ini harus tetap 59 Wahyono Darmabrata,SH,MH, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta UU dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta : FHUI, 1997., hal 4. 60 Ibid., hal. 5. Universitas Sumatera Utara 35 memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai peraturan dasar dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Meskipun tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata yang secara jelas mengatur mengenai “Perjanjian Perceraian”, tetapi dikarenakan para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian, maka perjanjian yang dibuat ini jelas harus mengikuti ketentuan-ketentuan mengenai mengenai suatu perjanjian pada umumnya, yaitu sebagai berikut :

a. Pengertian Perikatan dan Perjanjian

Perikatan dan Perjanjian merupakan satu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dimana pandangan masyarakat umum mengenai perikatan dan perjanjian adalah suatu perikatan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita. Berbeda dengan perjanjian, dimana perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan didengar juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret. 61 Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 62 Berdasar pada pengertian ini, di dalam suatu perikatan terdapat hak di satu pihak dan juga kewajiban di pihak yang lain, dimana hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat dari 61 Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH., MH, Op. Cit.,hal. 129. 62 Subekti 1, Op.Cit., hal. 1. Universitas Sumatera Utara 36 hubungan hukum. Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban tersebut terjadi diantara dua pihak. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau di berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang. Kreditur dan Debitur inilah yang disebut dengan subyek perikatan. 63 Obyek Perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur dinamakan prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi ini dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Istilah “sesuatu” disini bergantung kepada maksud dan tujuan para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat. “Sesuatu” tersebut bisa dalam bentuk materiil berwujud dan bisa juga dalam bentuk immaterial tidak berwujud. Prestasi dari suatu perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan Pasal 1335 KUHPerdata dan Pasal 1337 KUHPerdata serta harus terang dan jelas Pasal 1320 Ayat 3 KUHPerdata dan Pasal 1333 KUHPerdata. 64 Dengan demikian, unsur-unsur dari perikatan dapat dijelaskan sebagai berikut : 65 1. Adanya suatu ikatan hukum, yaitu suatu hubungan yang oleh hukum diletakkan sanksi; 63 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Edisi Revisi, Bandung : Alumni, 2006., hal. 196. 64 Ibid., hal. 197-198. 65 J.Z Loudoe, S. Riwoe Loupatty, Ajaran Umum Perikatan dan Persetujuan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Surabaya : Kasnendra Suminar, 1983., hal. 1-3. Universitas Sumatera Utara 37 2. Hubungan tersebut harus mengenai hukum kekayaan karena kewajiban orang tua atau wali, misalnya dalam hal memelihara anak-anaknya tidak termasuk dalamnya terkecuali : 1 Hapusnya jangka waktu mengenai kewajiban memelihara menurut Pasal 107, 225, 246 dan 321 KUHPerdata; 2 Kewajiban ganti rugi oleh suami karena salah urus wanbeheer kekayaan isteri Pasal 160 Ayat 3 KUHPerdata, oleh orang tua karena salah urus kekayaan anak Pasal 307-308 KUHPerdata atau oleh pengampu karena salah urus kekayaan anak dalam pengampuan Pasal 385 dan 391 KUHPerdata; 3 Hubungan tersebut adalah hubungan antara orang dengan orang berbeda dengan hukum kebendaan yang mengatur tentang hubungan antara orang dengan barang. Hak yang timbul karena perikatan adalah hak terhadap orang persoonlijk recht, ius in personam berbeda dengan hak atas barang zakelijk recht ius in re. Hak terhadap orang hanya berlaku terhadap debitur, sedangkan hak atas barang berlaku terhadap setiap orang; 3. Isi daripada perikatan adalah di satu pihak melakukan suatu prestasi atau lebih sedangkan di pihak lain menerima prestasi tersebut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi disebut juga obyek daripada perikatan; 4. Pihak kreditur berhak atas prestasi. Ia dapat menuntutnya melalui pengadilan jika pihak debitur enggan memenuhi kewajibannya secara sukarela; Universitas Sumatera Utara 38 5. Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pada umumnya juga bertanggung jawab atasnya dengan seluruh kekayaan bukan hanya yang ada pada waktu diadakan perikatan tetapi juga yang akan datang Pasal 1131 KUHPerdata; 6. Prestasi harus memenuhi syarat-syarat berikut ini : 1 Harus tertentu setidak-tidaknya dapat ditentukan; 2 Harus melekat suatu kepentingan tertentu baik untuk kreditur maupun untuk pihak ketiga dalam hal-hal tertentu Pasal 1318 KUHPerdata; 3 Harus yang halal, maksudnya tidak halal adalah bertentangan dengan undang- undang dan kesusilaan; 4 Harus dapat dilaksanakan. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan bersumber baik dari perjanjian maupun Undang-Undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak sesuai dengan apa yang mereka sepakati, sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari undang-undang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga para pihak yang terikat berdasarkan ketentuan undang-undang suka atau tidak mereka harus menerimanya. 66

b. Pengertian Hukum Perjanjian Pada Umumnya

Jika kita membicarakan tentang perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi : 66 Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH., MH, Op. Cit.,hal. 135. Universitas Sumatera Utara 39 “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya” R. Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan. 67 Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 68 R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa: “Perjanjian adalah perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanjidianggap berjanji melakukan sesuatu hak, sedang pihak lain berhak menuntut”. 69 Dari perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan diantara dua pihak yang membuatnya.

c. Unsur-Unsur Perjanjian

Unsur pokok perjanjian : 70 1. Unsur Esensalia 67 Subekti 1, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT.Intermasa, 1985., hal 1. 68 Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1992., hal. 78. 69 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur Bandung, 1973., hal. 19. 70 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1994., hal. 65. Universitas Sumatera Utara 40 Unsur esensalia merupakan sifat yang harus ada dalam suatu perjanjian, dikarenakan sifat dari unsur esensalia ini merupakan sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta constructieve oordeel. 71 Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah condition sine quanon dari suatu perjanjian, dimana tanpa keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi hukum. 2. Unsur Naturalia Unsur naturalia berbeda dengan unsur esensalia, dimana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur naturalia, maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsur naturalia berbentuk ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian yang accessoir atau sebagai optional law. 3. Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Pada perjanjian, unsur ini adalah unsur ini adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian. 71 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001., hal. 24. Universitas Sumatera Utara 41 Unsur perjanjian antara lain : 72 1. Ada pihak-pihak subyek, sedikitnya dua pihak; 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap; 3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak; 4. Ada prestasi yang dilaksanakan; 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan; 6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

d. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Pada hukum perjanjian, berlaku beberapa asas yang merupakan dasar keberlakuan hukum perjanjian, yaitu : 73 1. Asas Kebebasan Berkontrak freedom of contract Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidajk melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 Ayat 1 KUH Perdata : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan. 72 Titik Triwulan Tutik, SH., MH, Op.Cit., hal. 244. 73 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Prenada Media, 2004., hal 4-5. Universitas Sumatera Utara 42 2. Asas Personalia Asas personalia sebagaimana diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata yaitu : “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu suatu janji daripada untuk dirinya sendiri” dan Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Namun terdapat pengecualian pada Pasal 1317 KUHPerdata dimana seorang selain mengatur perjanjian untuk diri sendiri juga untuk kepentingan ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak darinya. 3. Asas Konsensualisme consensualism Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal- hal yang pokok dalam perjanjian tersebut. 4. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Bagi Universitas Sumatera Utara 43 Hakim dan pihak ketiga juga menghormati perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang. Selain 4 empat asas diatas, terdapat asas-asas lain dalam perjanjian, yaitu : 74 1. Asas Itikad Baik good faith Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata, yaitu : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan saat pada saat pelaksanaan perjanjian tapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian. 2. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya asas kepercayaan yang melandasi perjanjian yang akan dibuat tersebut. 3. Asas Kekuatan Mengikat Dalam suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat dimana dengan adanya asas ini, maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral. 4. Asas Persamaan Hak 74 Suharnoko, Op Cit., hal 4-5. Universitas Sumatera Utara 44 Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain- lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati. 5. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, hal ini berarti janji yang dibuat antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. 6. Asas Kepatutan Pasal 1339 KUHPerdata : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Maka dalam perjanjian para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral. 7. Asas Kepastian Hukum Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang diatur secara tegas saja, tetapi juga hal yang berada dalam keadaan dan kebiasaan para pihak. Asas kepastian Universitas Sumatera Utara 45 hukum terlihat dari adanya kekuatan mengikat, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

e. Syarat Sah Perjanjian

Suatu kontrak atau perjanjian untuk dapat dikatakan mengikat dan berlaku harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh hukum, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 75 4 empat syarat sahnya dan berlakunya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian; Kesepakatan merupakan penyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dimana kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak lainnya. 76 Perjanjian yang dilahirkan dapat mengalami kecacatan yang dimungkinkan untuk kemudian dimintakan pembatalan. Seperti yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata bahwa tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan kerana kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Diatur juga dalam Pasal 1449 KUHPerdata bahwa perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. 77 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 75 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak : Perancang Kontrak, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007., hal.14. 76 Ibid. 77 Ibid., hal. 18. Universitas Sumatera Utara 46 Di antara syarat ini yang harus dipenuhi adalah para pihak dalam keadaan telah dewasa dan tidak sedang berada dalam pengampuan. Kecakapan bekwaam untuk mengikatkan diri , didasarkan atas pengertian bahwa orang tersebut pada saat membuat perjanjian harus dewasa atau berumur minimal 21 tahun Pasal 330 KUH Perdata. 78 Dalam hal ini undang- undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan perjanjian apabila ia oleh undang- undang tidak dinyatakan tidak cakap. 79 Dalam hukum, seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu perikatan apabila : 80 1 Belum berusia 21 tahun dan belum menikah; 2 Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau juga boros. 3. Suatu hal tertentu; Dalam konteks pembuatan perjanjian untuk melakukan perceraian, maka obyek yang diperjanjikan suami isteri tersebut harus dapat diinterprestasikan. 81 Syarat ini lebih ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang menyatakan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai objek yang jenisnya tertentu saja, tetapi juga meliputi benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya belum ditentukan, asalkan jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. 82 4. Suatu sebab yang halal 78 I.G Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Bekasi: Megapoint, 2004, hal 47 79 Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984., hal. 167 80 Ahmadi Miru, Ibid., hal. 29. 81 Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, Ibid., hal. 167 82 R. M Suryodiningrat, Asas-Asas Hukum Perikatan, Bandung : Tarsito, 1982., hal. 18. Universitas Sumatera Utara 47 Sebab yang halal berarti isi dari perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 83 Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum. 84 Dari keempat syarat diatas, dapat digolongkan ke dalam 2 dua kelompok, yaitu : 85 1. Syarat Subyektif Syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada tetapi tidak dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. 2. Syarat Obyektif Syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dengan kata lain batal sejak semula atau dianggap tidak pernah ada perjanjian. 83 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Op. Cit., hal. 137. 84 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993.., hal. 74. 85 Suharnoko, Op.Cit., hal. 22. Universitas Sumatera Utara 48

f. Akibat Perjanjian

Akibat dari suatu perjanjian dikatakan dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata, menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Pasal 1338 Ayat 2 KUHPerdata menentukan lebih lanjut yaitu persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain karena kesepakatan kedua belah atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 86 Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH., istilah “semua”, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama. Di dalam istilah “semua” itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonomie. Pasal 1338 KUHPerdata ini harus juga dibaca dalam kaitannya dengan Pasal 1319 KUHPerdata. 87 Dengan istilah “secara sah”, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah Pasal 1320 KUHPerdata adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Disini tersimpul realisasi asas kepastian hukum. 88 86 Hardijan Rusli, Op.Cit., hal. 86. 87 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal, 27. 88 Ibid. Universitas Sumatera Utara 49 Akibat dari apa yang diuraikan pada Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata melahirkan apa yang disebut pada Pasal 1338 Ayat 2 KUHPerdata, yaitu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali kesepakatan antara keduanya. Dalam Ayat 1 dan Ayat 3 terdapat asas kedudukan yang seimbang diantara kedua belah pihak. 89

g. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Perikatan dan perjanjian dapat berakhir terjadi wanprestasi dan juga cara-cara hapusnya perikatan yang lain. 1. Wanprestai Wanprestasi terjadi apabila pihak yang memiliki kewajiban debitur tidak dapat melakukan apa yang telah dijanjikan, sehingga ia dikatakan telah ingkar janji atau lalai. Wanprestasi dapat terjadi berupa : 90 1 Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan; 2 Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3 Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; 4 Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Dalam Pasal 1238 KUHPerdata mengatur tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur agar dapat dikatakan wanprestasi jika tidak memenuhi teguran itu. Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Si berutang adalah lalai, bila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini 89 Ibid.,hal 28. 90 Subekti, Wienarsih Imam, SH., MH dan Sri Soesilowati Mahdi, SH, Op.Cit., hal. 45. Universitas Sumatera Utara 50 menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” 91 Menurut Pasal 1267 KUHPerdata, pihak kreditur dapat menuntut debitur yang lalai itu dengan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai ganti rugi penggantian biaya, rugi, dan bunga. Dengan sendirinya, kreditur juga dapat menentukan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai ganti rugi. Atau juga bisa dengan menuntut ganti rugi saja. Hak kreditur untuk dapat menuntut debitur yang lalai timbul dari adanya suatu perhubungan hukum antara dua pihak yang berarti hak kreditur dijamin oleh hukum atau undang-undang. Sehingga apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi secara sukarela, kreditur dapat menuntutnya di muka Hakim. Sebagai kesimpulan diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut didalam Pasal 1267 KUHPerdata, yaitu : 92 1 Pemenuhan perikatan; 2 Pemenuhan perikatan disertai ganti rugi; 3 Ganti kerugian; 4 Pembatalan perjanjian; 5 Pembatalan disertai ganti kerugian. 2. Cara-Cara Hapusnya Suatu Perjanjian Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perjanjian. Cara-cara tersebut adalah : 93 1 Pembayaran; 91 Subekti dan R. Tjitrosudibio, OpCit., hal. 323. 92 Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi, Op.Cit., hal. 53. 93 Galuh Listya Widhati Suryodibroto, Cara-Cara Hapusnya Suatu Perikatan, http:listyawidhati.blogspot.com201206cara-cara-hapusnya-suatu-perikatan.html., diakses 21 Juli 2013. Universitas Sumatera Utara 51 Pembayaran dalam hukum perjanjian adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela. Dengan dipenuhinya prestasi itu perikatan menjadi hapus. Pembayaran merupakan pelaksanaan perikatan dalam arti yang sebenarnya dimana dengan dilakukannya pembayaran ini, tercapailah tujuan dari perikatan yang diadakan. 2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Kalau kreditur menolak pembayaran dari debitur, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan. Cara ini diatur dalam Pasal 1405-1406 KUHPerdata. 3 Pembaharuan hutang; Pembaharuan utang atau novasi pada hakikatnya merupakan perikatan baru yang menggantikan perikatan lama, segala sesuatu yang mengikuti perikatan lama sama seperti hak-hak istimewa, hipotik, dan gadai tidak ikut berpindah atau beralih kepada perikatan baru, kecuali jika diperjanjikan bahwa hak-hak istimewa, hipotek, dan gadai yang menjadi jaminan dari perikatan lama, tidak hapus, tetapi ikut berpindah pada perikatan baru. 4 Perjumpaan utang atau kompensasi; Perjumpaan utang atau kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan yang disebabkan oleh keadaan dimana dua orang saling mempunyai hutang satu terhadap lain, dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Perjumpaan hutang terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahu orang-orang yang bersangkutan dan kedua utang saling menghapuskan Universitas Sumatera Utara 52 pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk suatu jumlah yang sama, demikian Pasal 1424 KUHPerdata memberikan pengaturan. 5 Percampuran utang; Apabila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang- piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-piutang dalam hal percampuran ini, adalah “demi hukum”. 6 Pembebasan utang; Teranglah, bahwa apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur, dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatannya yaitu hubungan hutang-piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan, akan tetapi pembebasan hutang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan menurut Pasal 1438 KUHPerdata. 7 Musnahnya barang yang terutang; Jika barang tertentu yang menjadi objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai Universitas Sumatera Utara 53 menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu terlambat, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur. 8 Kebatalan dan Pembatalan; Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh Pasal 1446 KUHPerdata, adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan, mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim; kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu. 9 Berlakunya syarat batal; Apabila suatu perikatan yang sudah ada, yang berakhirnya digantungkan kepada peristiwa yang belum terjadi, perikatan tersebut dinamakan perikatan dengan syarat batal. Dalam hukum perikatan pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga pada saat lahirnya perikatan. Dalam Pasal 1265 KUHPerdata disebutkan bahwa apabila syarat batal dipenuhi, maka hal Universitas Sumatera Utara 54 tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali ke keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjanji perjanjian. Dengan begitu, syarat batal tersebut mewajibkan pihak-pihak untuk mengembalikan prestasi yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan sebagai yang membatalkan perikatan telah terjadi. 10 Lewat waktu. Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata adalah suatu sarana untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1967 KUHPerdata ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tidak dapatlah diajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.

h. Macam-Macam Perjanjian

Bentuk-bentuk perjanjian yang dikenal di masyarakat, antara lain : 94 1. Perjanjian sepihak dan timbal balik; Setiap perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa. 94 R. Setiawan, Op.Cit., hal. 50-52. Universitas Sumatera Utara 55 Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian sepihak adalah persetujuan, dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja contohnya perjanjian hibah. 2. Perjanjian dengan cuma-cuma atau atas beban; Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi pihak yang satu terhadap prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan yang lain. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak yang lain secara cuma-Cuma. 3. Perjanjian konsensuil, riil dan formil; Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat. Perjanjian riil adalah perjanjian dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang. Contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian penitipan barang,pinjam pakai dan pinjam mengganti. Ada kalanya kata sepakat tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau formil, contohnya adalah perjanjian hibah. 4. Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran. Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian dimana oleh Undang-Undang telah diatur secara khusus dalam Bab V-Bab XVIII KUHPerdata, dalam KUHP, dan juga dalam persetujuan-persetujuan asuransi dan juga pengangkutan. Baik untuk perjanjian bernama dan tidak bernama, pada asasnya berlaku ketentuan- ketentuan daripada Bab I, II, dan IV Buku II KUHPerdata, sedangkan perjanjian Universitas Sumatera Utara 56 tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata.

B. Mengenai Isi “Perjanjian Perceraian”

Banyaknya permasalahan baru yang muncul akibat dari perceraian, baik itu mengenai harta, nafkah, dan juga bahkan mengenai hak asuh anak, membuat banyak pihak pada akhirnya tertarik untuk membuat suatu perjanjian yang mengatur mengenai akibat-akibat hukum setelah perceraian yang dikenal dengan nama “Perjanjian Perceraian”. Dimana banyak pihak menganggap dengan membuat suatu perjanjian sebelum perceraian yang mengatur mengenai aspek-aspek hukum setelah putusnya perkawinan, dapat meminimalisir munculnya sengketa atau masalah baru yang berhubungan dengan akibat-akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Dengan adanya “Perjanjian Perceraian”, baik pihak suami atau isteri yang dulunya terikat dalam suatu lembaga perkawinan dapat mengatur hak dan kewajiban yang akan diperoleh masing-masing pihak setelah putusnya perkawinan akibat perceraian, sehingga diharapkan tidak akan membuat masalah atau sengketa baru yang timbul setelah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka mengenai hal-hal yang biasa diperjanjikan dalam “Perjanjian Perceraian” yang dipakai adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bukan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun hal-hal yang biasa Universitas Sumatera Utara 57 diperjanjikan dalam “Perjanjian Perceraian” menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : 95 a. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah: 96 1. Memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat Pasal 30; 2. Hak dan kedudukan suami-isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga, isteri adalah ibu rumah tangga Pasal 31; 3. Suami-isteri memiliki tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan oleh suami-isteri bersama Pasal 32; 4. Suami-isteri wajib cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain Pasal 33; 5. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadilan Pasal 34. b. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian : 97 95 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Op. Cit., hal. 128-132. 96 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika., hal. 21. 97 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Op.Cit., hal. 119-126. Universitas Sumatera Utara 58 1. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri, kewajiban tersebut berkahir jika salah satu atau keduanya meninggal dunia atau bekas isteri telah menikah lagi Pasal 41 Ayat 3 ; 2. Hakim didalam putusan perceraian apabila diminta, dapat memberi keputusan tentang siapa diantara suami-isteri tersebut yang menjadi wali si anak, penentuan wali anak sangat penting untuk status dan kepastian hukum wali, karena kedua bekas suami-isteri tersebut telah berpisah domisilinya, jadi harus ada kepastian siapa yang mewakili si anak dalam lingkungan hukum Pasal 41 Butir a dan 41 Butir b jo Pasal 45 ; 3. Terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan atau yang disebut harta bersama, jika terjadi perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu menurut hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Dan terhadap harta bawaan dari masing-masing pihak serta harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan dapat dikuasai oleh masing-masing pihak sepanjang tidak ada perjanjian kawin. Selain dapat menguasai, suami-isteri juga dapat memindahkannya pada orang lain, karena mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga. Jadi, jika terjadi perceraian, maka harta bawaan tetap dikuasai oleh masing-masing pihak kecuali ada perjanjian sebelum kawin Pasal 35 jo Pasal 36 jo Pasal 37.

C. Transaksi Yang Dilarang Antara Suami-Isteri

Berhubungan dengan hak dan kewajiban suami-isteri, dalam undang-undang masih diatur beberapa hal yang pada pokoknya adalah bahwa berbagai-bagai Universitas Sumatera Utara 59 transaksi dinyatakan tidak sah, karena diadakan antara suami-isteri, dilarang oleh undang-undang, yaitu : 98 a. Dilarang mengadakan perjanjian hibah antara suami-isteri Pasal 1678 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan bahwa : Dilarang adalah penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan; b. Dilarang mengadakan perjanjian kerja antara suami-isteri Pasal 1601 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan bahwa suatu perjanjian perburuhan antara suami-isteri adalah batal; c. Dilarang mengadakan perjanjian jual beli antara suami-isteri Pasal 1467 KUHPerdata; d. Ketidakcakapan suami atau isteri untuk memberi kesaksian dalam perkara masing-masing Pasal 1910 KUHPerdata; e. Tidak diperlakukannya pengaruh daluwarsa antara suami-isteri Pasal 1988, Pasal 1989 KUHPerdata. 98 Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH, Op.Cit., hal. 109. Universitas Sumatera Utara 60

BAB III AKIBAT HUKUM YANG DIATUR DALAM “PERJANJIAN PERCERAIAN”

ANTARA MISNO-NY. EKO SARYUNINGTYAS DAN SUDARMAN SOH-DEWI

A. “Perjanjian Perceraian” Antara Misno Dengan Ny. Eko Suryaningtyas a.

Kasus Posisi Misno dengan Ny. Eko Suryaningtyas menikah pada 26 September 1983 di Karangrejo, Tulungagung. Kemudian pada pertengahan Tahun 1988, setidak-tidaknya sebelum bulan Oktober 1988, Misno berhasrat untuk melakukan perceraian dengan Ny. Eko Saryuningtyas, dengan alasan karena belum dikarunia anak seorangpun, sehingga berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami-isteri tersebut, namun Ny. Eko Saryuningtyas selalu menolak untuk diceraikan oleh Misno, karena Ny. Eko Saryuningtyas merasa tidak bersalah. Oleh karena Ny. Eko Saryuningtyas keberatan untuk dicerai oleh Misno, maka terjadilah perundingan dan terjadilah kesepakatan antara Misno dengan Ny. Eko Saryuningtyas. Perundingan perdamaian untuk bercerai antara suami-isteri tersebut tercapai pada Oktober 1988, dengan menghasilkan kesepakatan, bahwa isterinya bersedia untuk diceraikan dengan tidak membantah terhadap gugatan perceraian yang akan diajukan oleh Misno, tetapi Misno bersedia untuk menyerahkan rumah yang didiami bersama tersebut kepada isterinya setelah perceraian dilaksanakan. Kesepakatan antara suami-isteri Misno dengan Ny. Eko Suryaningtyas tersebut tertuang dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” diatas kertas segel 60 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 61 bermaterai Rp. 1000,- akta bawah tangan yang ditanda tangani oleh suami-isteri yang sepakat akan bercerai tersebut dengan saksi RT pada tanggal 23 Oktober 1988. Kemudian proses pengajuan perceraian dilakukan di Pengadilan Agama Surabaya pada Januari 1989. Terjadi “Ikrar Talak” dihadapan Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian perceraian didaftarkan pada tanggal 1 Februari 1989.

b. “Perjanjian Perceraian” Yang Dibuat

“Perjanjian Perceraian” yang dibuat tertuang dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” diatas kertas segel bermaterai Rp. 1000,- akta bawah tangan yang ditanda tangani oleh suami-isteri yang sepakat akan bercerai tersebut dengan saksi RT pada tanggal 23 Oktober 1988., Tujuan dari pembuatan “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny.Eko Saryuningtyas ini, yaitu sepakat untuk mengakhiri kehidupan perkawinan mereka walaupun tidak secara terang disebutkan didalam “Perjanjian Perceraian” tersebut, kemudian mengenai materi atau isi dari “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny.Eko Saryuningtyas ini, adalah mengatur mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian terkait dengan harta pribadi dari pihak suami Misno. Adapun materi atau isi dari “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas adalah : “Misno Secara ikhlas lahir dan batin menyerahkan kepada Ny. Eko Saryuningtyas sebidang tanah dan rumah yang berdiri diatas tanah Yasan Petok Nomor 1528 Persil Blok Nomor 44 yang terletak di Kotamadya Surabaya, Kecamatan Tandes, Kelurahan Simomulyo, setempat terkenal sebagai tanahrumah Jalan Simorejo II10 Surabaya, dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara : Jalan Kampung; Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 62 Sebelah Timur : tanah milik Sdr. Sibin; Sebelah Selatan : tanah milik Sarono; Sebelah Barat : tanah milik Lamidi. Luas tanahnya adalah 15 meter kali 8 meter 15 m x 8 m = 120 m2, sedangkan luas bangunan rumah adalah 12,5 m x 7 m = 87,5 m2. ”

c. Analisis Kasus 1. Dari Segi Materiil

Perceraian baru muncul apabila ada perkawinan, tidak mungkin ada perceraian tanpa didahului dengan perkawinan sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa diantara Misno dengan Ny. Eko Saryuningtyas sudah pernah dilangsungkan perkawinan sebelumnya. Kejelasan mengenai perkawinan diantara kedua pihak tersebut, dilihat dalam Kutipan Akta Nikah dibuat di Karangrejo, tanggal 26-9-1983 oleh Pegawai Pencatat Nikah Karangrejo. 99 Dengan demikian dalam perjanjian tersebut telah disebutkan dengan jelas bahwa Para Pihak telah melangsungkan perkawinan yang sah dan tercatat diantara keduanya. Dengan dibuktikannya telah terjadi perkawinan, baru bisa melakukan Perceraian karena tidak mungkin ada perceraian tanpa perkawinan sebelumnya. Dapat kita lihat dari ulasan diatas, bahwa alasan Misno mengajukan gugatan untuk menceraikan Ny. Eko Saryuningtyas adalah tidak juga mempunyai anak selama perkawinan. Pengaturan mengenai perceraian sendiri dapat dilihat dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diatur dalam Bab VIII yang mengatur mengenai 99 Lampiran I : “Perjanjian Perceraian” antara Misno dengan Ny. Eko Saryuningtyas. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 63 Putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Dalam Pasal 39 UU Perkawinan, disebutkan bahwa : “Perkawinan dapat putus karena : 1. Kematian; 2. Perceraian; 3. Atas keputusan Pengadilan”. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa salah satu penyebab perkawinan putus adalah Perceraian. Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa : 1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak; 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami- isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami-isteri; 3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Berdasar pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab dari putusnya perkawinan adalah perceraian, dimana perceraian hanya boleh dilakukan apabila gugatan atau talak tersebut didepan sidang Pengadilan dan Pengadilan tersebut sudah berusaha tetapi tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak tersebut. Selain itu juga, perceraian hanya bisa dilakukan jika ada cukup alasan yang menyatakan bahwa antara suami-isteri tersebut tidak bisa lagi rukun sebagai suami dan isteri. Alasan-alasan untuk mengajukan perceraian diatur secara limitatif dalam Pasal 39 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa alasan-alasan perceraian adalah : Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 64 “Perceraian dapat terjadi dengan alasan atau alasan-alasan sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Kemudian, dalam Pasal 16 PP Perkawinan dikatakan bahwa Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP Perkawinan dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Akan tetapi pada praktiknya, tidak mempunyai anak dapat menjadi salah satu alasan suami-isteri bercerai. Sejak menikah pada 26 September 1983, sampai dengan si suami Misno mengajukan perceraian pada Januari 1989, pasangan suami-isteri ini belum juga dikaruniai anak. Hal ini berdampak pada tidak harmonisnya rumah tangga mereka yang pada awalnya rukun dan harmonis. Walaupun pada dasarnya, belum juga mempunyai anak bukan merupakan alasan yang sah secara hukum bagi suami-isteri untuk melakukan perceraian. Tetapi pada praktiknya permasalahan “tidak juga mempunyai anak” dapat menjadi alasan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 65 perceraian jika hal itu berdampak pada tidak harmonisnya rumah tangga dan terjadi pisah ranjang atau pisah rumah. Alasan yang diajukan oleh Misno kepada Ny. Eko Saryuningtyas ini sesuai dengan alasan huruf e Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Antara suami- isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Dimana dikarenakan terjadinya pertengkaran yang terus menerus, maka tujuan dari diadakannya perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak akan tercapai dan ditakutkan malah akan menimbulkan efek negatif kepada salah satu pihak sehingga perceraian dianggap sebagai jalan terbaik bagi kedua belah pihak. Mengenai kesepakatan antara Misno dan Ny. Eko Saryuningtyas dalam “Perjanjian Perceraian” yang tertuang dalam “Surat Tanda Penyerahan Rumah” ini memang unik, karena menyangkut sengketa mengenai akibat hukum perceraian terhadap harta benda dalam perkawinan yaitu terhadap harta pribadi suami. Dalam penjelasan tentang duduknya perkara terlampir antara Misno suami dan Ny. Eko Saryuningtyas isteri, dapat diketahui bahwa rumahtanah yang menjadi objek sengketa merupakan harta bawaan Misno yang merupakan hasil pembeliannya sebelum Misno mengawini Ny. Eko Saryuningtyas sehingga harta tersebut merupakan Harta Pribadi Misno dan tidak termasuk pada kelompok harta bersama, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 66 sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Apabila antara Misno maupun Ny. Eko Saryuningtyas tidak pernah terjadi hubungan hukum perkawinan, maka dapatlah kepada para pihak digunakan KUHPerdata sebagai dasar hukum dalam menangani perkara tersebut, namun ternyata antara Misno maupun Ny. Eko Suryaningtyas pernah terjadi hubungan hukum perkawinan. Oleh karena itu untuk penyelesaian sengketa mengenai harta benda tersebut haruslah digunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengingat Misno dan Ny. Eko Saryuningtyas sama-sama beragama Islam. Berdasarkan Pasal 36 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dikatakan bahwa : “Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.” Sehingga berdasarkan pasal tersebut, baik suami maupun isteri diberikan kebebasan untuk bertindakmelakukan suatu perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta benda miliknya sendiri. Perbuatan hukum yang dimaksud tentunya termasuk pula mengenai perjanjian, yaitu untuk menjanjikan pemberian harta benda tersebut kepada siapapun juga. Oleh karena itu Misno mempunyai hak untuk menjanjikan pemberian rumahtanah yang menjadi objek sengketa kepada Ny. Eko Saryuningtyas. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 67 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan tentunya kelalaian dalam pelaksanaan perjanjian tersebut dapat digugat sebagi sebuah wanprestasi. Agama Islam menggariskan, bahwa kehidupan rumah tangga, suami-isteri yang sudah tidak mampu lagi menegakkan nilai-nilai moral dan filosofis : sakinah, mawaddah, dan warahmah, maka hukum islam mengajarkan dan memberi kebolehan untuk merundingkan cara-cara penyelesaian perceraian Surat Al-Baqarah : 130. Menurut ajaran Islam, apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Islah” atau kompromis. Hal tersebut tertuang dalan Al-Quran Surat 49 Ayat 10 yang berbunyi sebagai berikut: 100 “Sesungguhnya orang-orang yang mukmin berdasar satu dalam persaudaraan. Karena itu damaikanlah antara sesama saudaramu. Dan bertaqwalah kepada Allah, semoga kamu mendapat rahmat.” Dikaitkan dengan ayat tersebut, dalam menangani perkara perceraian, ajaran Islam juga mengajarkan bahwa apabila seorang suami menceraikan isterinya hendaklah dengan cara yang patut Au Sarihunna Bil Maruf. Ajaran tersebut termuat dalam Al-Quran Surat 2 Ayat 231 yang berbunyi sebagai berikut: 101 “Dan bila kamu menceraikan isterimu, lalu masa iddahnya hampir berakhir, maka pilihlah salah satu dari dua perkara : merujuki mereka dengan cara yang baik atau menceraikan mereka dengan cara yang patut”. Dalam “Perjanjian Perceraian” ini menyangkut mengenai alimentasi dalam bentuk suami Misno memberi jaminan keselamatan kepada isteri Ny. Eko 100 Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Quran Dalam Huruf Arab dan Latin Juz 26-30, Bandung: Penerbit Angkasa, 2002., hal. 226. 101 Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Quran Dalam Huruf Arab dan Latin Juz 1-5, Bandung: Penerbit Angkasa, 2002., hal. 146. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 68 Saryuningtyas berupa rumah tempat berlindung bekas isteri setelah terjadi perceraian. Sehingga dengan pemberian alimentasi ini, kehidupan bekas isteri setelah terjadi perceraian tidak lagi berada dalam keadaan Muallaqat terkatung-katung seperti layang-layang yang putus tali sebagaimana yang digambarkan Al-Quran Surat An Nisaa : 129. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa antara suami dan isteri dalam hal terjadi suatu perceraian, seyogyanya digunakan pendekatan secara “Islah” atau kompromis. Hal tersebut tentunya termasuk pengaturan mengenai akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian. Karena dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak, maka tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih kembali dalam suasana rukun dan persaudaraan. Berdasarkan pandangan islam, perceraian seperti halnya perkawinan, harus didudukkan dalam konteks : moral, sosial, kemanusiaan, peradaban yang tinggi, jika perkawinan dibarengi dengan berbagai pendekatan musyawarah dan kata sepakat, maka perceraian pun sebaiknya dilakukan dengan pendekatan kompromis atau “Islah” sesuai dengan jiwa Sarihunna Bil Maruf. Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, dikaitkan dengan penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dimungkinkan bagi suami-isteri untuk menyepakati Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 69 suatu kompromi tentang hal-hal yang berkenaan dengan pembagian harta, nafkah, alimentasi atau pemberian maupun imbalan, perwalian anak-anak, hak berkunjung sebelum Pengadilan menjatuhkan putusan perceraian. Pada prinsipnya, perceraian tetap mutlak kewenangan pengadilan. Namun mendahului putusan pengadilan, nilai hukum, moral, kemanusiaan, peradaban, memberikan hak kepada suami-isteri untuk membuat kompromi kesepakatan atau Konsiliasi yang menyangkut akibat putusnya perkawinan karena perceraian. 102 Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dari segi materiil atau isi “Perjanjian Perceraian” antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas diatas dapat disimpulkan bahwa materi atau isi dari “Perjanjian Perceraian” tersebut sudah sesuai dan mengikuti aturan-aturan mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Dari Segi Formil

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

PERAN PERJANJIAN PERKAWINAN JIKA TERJADI PERCERAIAN DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

0 6 78

TInjauan Yuridis Tentang Perceraian Qobla Al Dukhul Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam.

0 1 1

KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MELINDUNGI HAK ANAK DAN IBU PASCA PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

TINJAUAN YURIDIS PERCERAIAN LIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG N0. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 1

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA SKRIPSI

0 0 10

BAB II KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN” SELAMA BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian” - Tinjauan Yuridis Perjanjian Perc

0 0 30

Tinjauan Yuridis Perjanjian Perceraian Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus Perjanjian Perceraian antara Misno-Ny. Eko Saryuningtyas dan Sudarman Soh-Dewi)

0 0 29

TINJAUAN YURIDIS “PERJANJIAN PERCERAIAN” BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (STUDI KASUS PERJANJIAN PERCERAIAN ANTARA MISNO-NY.EKO SARYUNINGTYAS DAN SUDARMAN SOH-DEWI)

0 0 13

PERJANJIAN PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM

0 1 99