Berdasarkan tabel 5.5 distribusi frekuensi STH tidak banyak berbeda pada setiap pasar.Diketahui distribusi telur hookworm hanya 1 0.8 di Pasar
tradisional di Medan Labuhan. Berikut adalah perhitungan distribusi STH untuk sayuran kubis bagian luar
dan dalam.
Pada tabel 5.6 didapatkan hasil kontaminasi sayuran kubis bagian dalam dan bagian luar.Sebanyak 35.2 ditemukan positif pada bagian luar kubis dan
24 ditemukan positif pada bagian dalam kubis. Berdasarkan uji chi square yang dibuat untuk mengetahui perbedaan antara kontaminasi sayuran kubis bagian luar
Pasar Pusat Pasar 1
2 2
5 0.8
1.6 0.0
1.6 4.0
Pasar Sei Kambing 2
3 5
1.6 0.0
0.0 2.4
4.0 Pasar Selayang
2 3
5 0.0
1.6 0.0
2.4 4.0
Pasar Sunggal 2
3 5
1.6 0.0
0.0 2.4
4.0 Pasar Timur
2 1
2 5
1.6 0.8
0.0 1.6
4.0 Pasar Tj.Rejo
5 5
0.0 0.0
0.0 4.0
4.0 Pasar Tuntungan
5 5
0.0 0.0
0.0 4.0
4.0
Total 23
20 1
81 125
18.4 16.0
0.8 64.8
100.0
Tabel 5.6 Perbedaan Ditribusi Frekuensi Kontaminasi STH pada Kubis Bagian Dalam dan Luar
Kubis Luar
Total
Positif Negatif
Dalam
Positif 30
14 44
24.0 11.2
35.2 Negatif
81 81
0.0 64.8
64.8
Total
30 95
125 24.0
76.0 100.0
Universitas Sumatera Utara
dan dalam didapati p-value 0.000. Ini bermakna terdapat perbedaan yang signifikan antara kubis bagian dalam dan luar
5.2 Pembahasan
Pada penelitian ini, sebanyak 44 dari 125 sampel sayuran kubis terkontaminasi dengan STH 35.2. Penelitian ini memperoleh hasil yang
banyak berbeda dengan yang didapat Purba 2012 yang tidak menjumpai STH sama sekali dalam sampel sayuran kubis yang diperiksa. Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi untuk memperoleh hasil yang seperti ini. Salah satu faktornya adalah jumlah sampel yang diteliti, higienitas tempat penjualan sayuran
dan tempat penanaman sayuran.
Pada penelitian ini didapati distribusi jenis STH pada sampel sayuran kubis. Didapatkan hasil sebanyak 34.4 terkontaminasi dengan larva hookworm.
Menurut Haq, 2014 menemukan kejadian kontaminasi larva hookworm adalah kedua paling tinggi pada sayuran kubis, sebanyak 6 dan kontaminasi telur
Ascaris lumbricoides sebanyak 16. Faktor yang menyebabkan prevalensi kontaminasi telur dan larva pada kubis karena permukaan daun kubis yang lebar.
Faktor ini secara tidak langsung memberi kesempatan pada telur dan larva STH untuk mengkontaminasi sayuran ini.
Selain itu, sayuran kubis juga mempunyai permukaan yang tidak rata dimana ini menyebabkan telur dan larva STH bisa menetap di dalamnya apabila
disiram dengan air yang terkontaminasi di pasar atau tempat penanamannya. Menurut Nugroho, 2010, Kontaminasi telur dan larva STH yang ditularkan
melalui tanah pada sayuran kubis dapat dikarenakan oleh berbagai faktor antara lain adalah faktor alam. Faktor alam meliputi, tanah, iklim, kelembapan dan suhu.
Iklim tropis merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan telur dan larva STH, faktor alam lainnya adalah keadaan tanah
yang dapat menjadi media perkembangan telur dan kehidupan serta perkembangan larva. Wardhana, 2014
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini kontaminasi STH pada bagian dalam kubis ditemukan sebanyak 95 sampel sayuran kubis 76 tidak mengandung telur atau larvanya
sama sekali. 30 sampel 24 didapati terkontaminasi dengan STH. Jenis STH mencapai prevalensi yang merata. Menurut wawancara yang dilakukan dengan
seorang penjual sayur di pasar tradisional yang terletak di Belawan ternyata pemborong sayuran kubis ke setiap pasar tradisional di Kota Medan sama. Tidak
ada penelitian yang pernah dilakukan untuk bagian dalam sayuran kubis.
Terlihat perbedaan dalam distribusi STH pada bagian luar dan dalam sayuran kubis.Hal ini mungkin karena bagian luar sayuran kubis terpapar lebih
pada lingkungan tanah jika dibandingkan bagian dalam.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan urai-uraian yang telah disampaikan pada pembahasan penelitian,
dapat disimpulkan:
1. Prevalensi kontaminasi sayuran kubis oleh STH adalah sebanyak 35.2. 2. Jenis STH yang banyak ditemukan adalah larva hookworm, sebanyak
34.4 berupa larva rhabditiform adalah 18.4 dan larva filariform 16. 3. Kontaminasi STH pada sayuran kubis bagian luar lebih banyak
dibandingkan dengan bagian dalam.
6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat disampaikan adalah:
1. Konsumen diharapkan agar memilih sayuran yang masih utuh dan masih segar dan tidak adanya bercak
-
bercak busuk dan warna yang berubah dari warna aslinya.
2. Konsumen mencuci sayuran dengan cara yang betul. Mencuci dengan air kran yang mengalir dan tidak terkontaminasi atau dicuci dengan kalium
permanganate 0.02 kemudian dicuci lagi dengan air matang yang sudah dingin.
3. Melakukan program kesehatan untuk masyarakat dengan menjelaskan tentang infeksi kecacingan dan cara yang menyebabkan ini tertular ke
badan manusia.
Universitas Sumatera Utara
4. Memastikan masyarakat mengetahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan infeksi kecacingan adalah penularan melalui sayuran.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Helminthiasis
Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan. Manusia merupakan hospes definitif dari
beberapa nematoda usus.Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah
spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “ Soil Transmitted Helminths “ seperti Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichiura Sutanto, 2008.
Infeksi Soil Transmitted Helminths ini merupakan infeksi paling umum di daerah tropis terutama pada masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah
kumuh. Infeksi ini dapat terjadi bila manusia tertelan telurlarva infeksius A.lumbricoides dan T.trichiura atau dengan penetrasi bentuk larva filariform
larva hookworm yang berada di tanah WHO, 2008.
2.1.1 Ascaris LumbricoidesCacing Gelang 2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000
– 200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila
tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian
mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui
Universitas Sumatera Utara
bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva
akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing
dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan Sutanto, 2008.
2.1.1.2 Patofisiologi
Menurut Effendi yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan 2006 di samping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya
ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat
terjadi gangguan penyerapan makanan malabsorbtion. Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus Illeus
obstructive.
2.1.1.3 Gejala Klinik dan Diagnosa
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus ileus. Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat
darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.
Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan larva dalam sputum atau bilas lambung Sutanto, 2008. Sindroma Löeffler yang khas
lebih sering terlihat di daerah dimana penularan musimannya tinggi.
Selama fase intestinal, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur belum atau sudah dibuahi atau cacing dewasa dalam tinja. Telur-telur lebih
mudah dilihat pada sediaan basah langsung atau sediaan basah dari sedimen yang
Universitas Sumatera Utara
telah dikonsentrasi Gracia, 2010. Berikut adalah gambar telur dan cacing Ascaris lumbricoides.
dan betina.
corticated.
Gambar 3 : Ascaris lumbricoides unfertilised corticated.
Gambar 4 : Ascaris lumbricoides unfertilised decorticated.
Gambar 2 : Ascaris lumbricoides fertilised Gambar 1 : Ascaris lumbricoides jantan
Universitas Sumatera Utara
Decorticated.
2.1.1.4 Epidemiologi Telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak
terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau
minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor tercemar tanah dengan telur cacing Surat Keputusan Menteri Kesehatan, 2006.
2.1.2 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale Cacing Tambang 2.1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup
Hospes definitif parasit ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mukosa usus. Cacing dewasa
jantan berukuran panjang 7-11 mm x lebar 0.4-0.5 mm. Cacing dewasa Ancylostoma duodenale cenderung lebih besar dari pada Necator americanus.
Cacing dewasa jarang terlihat, karena melekat erat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik.
Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva fiariform yang terdapat di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama
larva dibawa aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru- paru. Larva menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring,
kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di situ. Cacing melekat di mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut
Gambar 5 : Ascaris lumbricoides fertilised
Universitas Sumatera Utara
permanen yang khas terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan telur kira-kira lima bulan setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat
berlangsung dari 6 sampai 10 bulan. Apabila larva filariform A.duodenale tertelan, mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa
melalui siklus paru-paru.
Telur-telur yang keluar bersama tinja biasanya berada pada stadium awal pembelahan. Bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-
kira, panjang 60µm dan lebar 40µm. Ciri-ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih diantara embrio dengan kulit telur yang tipis. Telur dapat tetap hidup dan
larva akan berkembang secara maksimum pada keadaan pada keadaan lembab, teduh dan tanah yang hangat, telur akan menetas 1 sampai 2 hari kemudian.
Dalam 5 sampai 8 hari akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap hidup dalam tanah untuk beberapa minggu Gracia, 2010.
2.1.2.2 Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah.Infeksi cacing tambang
menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta
menurunkan produktivitas.
Tetapi kekurangan darah anemia ini biasanya tidak dianggap sebagai kecacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab Surat
Keputusan Menteri Kesehatan, 2006.
2.1.2.3 Gejala klinik dan Diagnosa
Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung dari jumlah larva .Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan
kemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesikular dan terbuka karena garukan. Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
‘ground itch’. Pneumonitis yang disebabkan karena migrasi larva tergantung dari pada jumlah larva yang ada. Larva ini tidak menyebabkan tingkat sensitisasi yang
sama seperti pada Ascaris lumbricoides.
Gejala-gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh 1 nekrosis jaringan usus yang berada di dalam mulut cacing dewasa dan 2 kehilangan darah karena
langsung dihisap oleh cacing dan 3 terjadinya perdarahan terus menerus di tempat asal perlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh sekresi
antikoagulan oleh cacing.
Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea, muntah, sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah tergantung jumlah darah
yang keluar lesu dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak pada anak-anak muda dapat menimbulkan gejala sisa yang serius,
dan kematian. Selama fase usus akut dapat dijumpai peningkatan eosinofilia perifer.
Pada infeksi kronik, gejala utamanya adalah anemia defisiensi besi mikrositik, hipokrom dengan pucat, edema muka dan kaki, lesu dan kadar
haemoglobin sampai 5gdL atau kurang. Dapat dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik.
Hitung telur 5 per mg tinja jarang mempunyai arti klinis, lebih besar dari 20mg biasanya dihubungkan dengan timbulnya gejala-gejala, dan 50 per mg atau
lebih merupakan infeksi cacing yang sangat berat.
Diagnosis pasti infeksi cacing tambang tergantung dari ditemukan telur dalam tinja, terutama karena gejala-gejalanya sulit dibedakan dengan malnutrisi.
Telur terbaik dilihat dengan sediaan langsung atau sedimen konsentrasi, tetapi akan mengalami kerusakan pada sediaan dengan pulasan permanen Gracia,
2010. Berikut adalah gambar telur, larva dan cacing hookworm.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6 :Necator americanus jantan dan betina.
Gambar 7 :Ancylostoma duodenale jantan dan betina.
Gambar 8 : Telur hookworm
2.1.2.4 Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang
langsung berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70.
Universitas Sumatera Utara
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun di berbagai daerah tertentu penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur pasir, humus dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28º-32ºC, sedangkan untuk Ancylostoma
duodenale lebih rendah 23º-25ºC. Pada umumnya Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain dengan memakai sandal dan sepatu
Sutanto, 2008 .
2.1.3 Trichuris Trichiura 2.1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup
Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 35 dari
panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan terdapat
satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anterior seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir.
Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 hingga 6 minggu dalam lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif .Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian
distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak menpunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai cacing
dewasa betina bertelur ± 30-90 hari Sutanto, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.2 Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak
cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami
prolapses akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia Surat Keputusan Menteri Kesehatan,
2006.
2.1.3.3 Gejala Klinis dan Diagnosis
Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis
yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini sering ditemukan pada pemeriksaan tinja secara rutin Sutanto, 2008. Berikut adalah gambar Trichuris
trichiura.
Gambar 9 :Trichuris trichiura jantan dan betina.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 10 : Telur Trichuris trichiura.
2.1.3.4 Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum
30ºC. Pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya
berkisar 30-90.
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi
dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri yang
memakai tinja sebagai pupuk Sutanto, 2008.
2.1.4 Strongyloides Stercoralis 2.1.4.1 Morfologi dan daur hidup
Hanya cacing betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya
2mm.
Universitas Sumatera Utara
Cacing berkembangbiak secara parthenogenesis.Telur berisi parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup.
Siklus langsung, sesudah 2 hingga 3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 ×16 mikron, berubah menjadi larva filariform berbentuk langsing
dan merupakan bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron.
Siklus tidak langsung, pada siklus ini larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk
dari bentuk parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm × 0.06 mm, yang jantan berukuran 0.75 mm × 0.04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah
spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat
menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus ini terjadi bila keadaan
lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri tropik dengan iklim lembab.
Siklus ini terjadi di negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut Sutanto, 2008.
2.1.4.2 Patofisiologi
Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru.
Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi.
Universitas Sumatera Utara
Autoinfeksi, larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus perianal. Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes. Auto infeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita
yang hidup di daerah non-endemik Sutanto, 2008.
2.1.4.3 Gejala klinis dan Diagnosis
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongyloides stercoralis pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena
tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak mejalar. Mungkin ada mual
dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongiloidiasis dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup
sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam paru, hati, kandung empedu.
Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinophilia atau hiperosinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinophil normal.
Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti ialah dengan menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. Biakan selama sekurang- kurangnya 2 × 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa
Strongyloides stercoralis yang hidup bebasSutanto, 2008. Berikut adalah gambar Strongyloides stercoralis.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 11 :Strongyloides stercoralis
2.1.4.4 Epidemiologi
Daerah yang panas , kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing Strongyloides stercoralis sehingga terjadi daur hidup yang
tidak langsung.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15, sekarang jarang
ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya
dengan memakai alas kaki Sutanto, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Sayuran