Analisis Struktural Dan Semiotik Dalam Novel ﺇمرأة عند نقطة الصفر /imra ̀atun ‘inda nutati al-ṣifri/ ‛Perempuan di Titik Nol’ Karya Nawal Al- Sa’dawi

(1)

i

ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK DALAM NOVEL

/

ATUN ‘INDA NUQTATI AL-SIFRI/

PEREMPUAN DI TITIK NOL ’ KARYA NAWAL AL-

SA

‛DAWI

SKRIPSI SARJANA

OLEH

EGA SIMBOLON

LIDYA P

U

040704006

PROGRAM STUDI BAHASA ARAB

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ii

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Selawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang tetap teguh menegakkan kebenaran dan dapat dijadikan sebagai contoh teladan dalam kehidupan ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana berkaitan dengan hal tersebut maka penulis menyusun sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Struktural Dan Semiotik Dalam Novel

/ nutati al-ifri/ ‛Perempuan di Titik Nol’ Karya Nawal Al- Sa’dawi”

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu dan pengalaman yang penulis miliki. Akan tetapi berkat rahmat karunia Allah SWT dan do’a yang tiada hentinya dari Keluarga Besar penulis serta saudara-saudara terdekat dan bantuan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca maupun masyarakat pada umumnya yang ingin mendalami ilmu bahasa Arab. Penulis juga senantiasa menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Medan, juni 2010 Penulis,

ULidya Pega Simbolon 040704006


(3)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan

ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan saran, bimbingan dan dukungan serta doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Karena itu sudah sewajarnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Teristimewa buat Ayahanda Khairuddin Simbolon dan Ibunda Ratnawati

Caniago yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, perhatian dan ketulusan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Perguruan tinggi. Tanpa Doa, kasih sayang, motivasi yang mereka berikan mungkin skripsi ini tidak berjalan dengan baik. Semoga Allah Swt melimpahkan rahmat, karunia, hidayah serta ampunan-Nya bagi keduanya di dunia dan di akhirat.

2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara, beserta bapak Drs, Aminullah, M.A.,Ph.D., sebagai pembantu dekan I, bapak Drs. Samsul Tarigan, sebagai Pembantu Dekan II, dan bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III.

3. Ibu Dra. Khairawati, M.A,, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Drs. Mahmud Khudri, M.Hum., sebagai Sekretaris Jurusan Bahasa

Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Murniati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.

Bahrum Saleh, M.Ag. sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan penuh kesabaran untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Prof. Dr. H. Marjuni Rkt, M.A, selaku Penasehat Akademik penulis.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,

khususnya staf pengajar Program Studi Bahasa Arab yang telah mendidik dan menuangkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.

8. Special thanks to Ibu Dra. Nursukma Suri, M. Ag, yang telah banyak


(4)

iv

9. Bang Andika selaku staf administrasi jurusan bahasa Arab yang telah

berperan terhadap kelancaran penyelesaian skripsi ini

10. Tak lupa kepada adekku Yenni yang sekarang lagi Pkl (Praktek kerja lapangan) SEMANGAT!!!, adekku Rommel dan Putra (rajin belajar ya deeeek!!!)

11. Special thanks to uwak Pacan dan uwak Oskar, Adinda Gusriani, Ramadhan makasih banyak udah selalu ingatin penulis untuk ngerjain skripsi ini, dan terus SEMANGAT…!!!

12. Buat keluarga besar yang ada di Helfetia Inang, ibu Ati, Pak Shap, my best friend Popi (popaye), naufal, hafiz, bang Ucok, kak Risna dan Kak Butet. 13. Buat teman-teman kos: Bang Ndut, bang Ali, bang Dodi, kak Ambar dan

tak lupa Nurlela, Ratih, dek Fitri, Nisa, Zizah, Rama, Dila dan lain-lain yang tak bisa penulis sebutkan. Terima kasih atas dukungan dan cinta kalian selama ini, You Are My Best Friends yang tidak akan terlupakan. 14. Teman-teman stambuk 04 : Eka, Ilyani, Dian, Kiki, Aminah, Syamsuria,

Subuh, Adi, Fadil, Sartika, Darwin, Zulfan, Odi, Haris, Risa, Mael, Defi, Atid, Hotma, Rahmah.

15. Khususnya buat teman akrab penulis, Sri, Dian, Kiki, Aminah, Syamsuria, Tika, Subuh, Fadil Dan Darwin Thanks ya atas dukungan dan cinta kalian, senyum seorang saudara adalah mutiara dan kalian akan selalu ku rindukan.

16. Kakanda Alumni, adik-adik, dan seluruh mahasiswa Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang tergabung dalam (IMBA) Ikatan Mahasiswa Bahasa Arab

Penulis tidak dapat membalas kebaikan yang telah diberikan, hanya kepada Allah SWT penulis memohon semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Amin ya rubbal ‘alamin.

Medan,


(5)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Metode Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

3.1 Sinopsis ... 15

3.2 Biografi Pengarang ... 17

3.3 Analisis Struktur Yang Membangun Novel /imra atu ‛inda nuqtati al-sifri / ... 20

3.3.1 Tema ... 20

3.3.2 Tokoh Dan Penokohan ... 21

3.3.3 Latar ... 35

3.3.4 Alur ... 43

3.4 Analisis Tanda-Tanda Semiotik Dalam Novel

/imra atu ‛inda nuqtati al-sifri / ... 57

3.4.1 Tanda Semiotik Pada Penokohan ... 57

3.4.2 Tanda Semiotik Pada Latar ... 62


(6)

vi

BAB IV PENUTUP ... 69

4.1 Kesimpulan ... 69 4.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

vii

ABSTRAK

Lidya Pega Simbolon, 2010. Analisis Struktural Dan Semiotik dalam Novel

/ nuqtati

al-sifri/ ‛Perempuan di Titik Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi. Program studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini membahas tentang Struktural dan semiotik dalam novel

/imra’atun ‘inda nuqtati al-sifri/ Karya Nawal Al- Sa‛dawi. Adapun struktural. Terdiri atas tema , latar, alur, dan sudut pandang. Sedangkan semiotik terdiri atas ikon, indeks, simbol

Permasalahan yang diteliti adalah struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur, tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di dalam novel

/ atun ‘inda nuqtati al-sifri/ ‛Perempuan di Titik Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur, tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di dalam

novel / imra’atun ‘inda nuqtati al-sifri/ ‛Perempuan di Titik

Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, factual, dan akurat mengenai data yang diteliti. Penulis menggunakan teori Peirce dan Nurgiyantoro.

Hasil penelitian yang berupa tema 1(satu) kutipan, pada tokoh Firdaus 5 (lima) kutipan, Ayah, Paman dan Morzauk masing-masing 2(dua) kutipan, Ibu Firdaus, Sharifa dan Fawji masing-masing 1 (satu) kutipan, Syekh Mahmoud 4 (empat) kutipan, Biyaumi dan Ibrahim masing-masing 3(tiga) kutipan, Pada latar yaitu latar tempat 7(tujuh) kutipan, latar waktu 2(dua) kutipan, latar sosial 3(tiga) kutipan. Pada alur yaitu tahap penyituasian, peningkatan konflik, dan tahap penyelesaian masing-masing 4(empat) kutipan, tahap pemunculan konflik 6(enam) kutipan, tahap puncak 7(tujuh) kutipan, Pada penokohan terdapat tanda semiotik sebanyak 4 ikon yaitu pada tokoh Ayah, Paman dan Syekh Mahmoud. Tanda berupa indeks sebanyak 4 tanda yaitu pada tokoh Firdaus, Ayah, Paman dan Syekh Mahmoud, sedangkan tanda berupa simbol sebanyak 3 tanda yaitu pada tokoh ayah, syekh mahmoud, marzouk.

Pada latar tempat tanda semiotik berupa ikon, indeks, simbol masing-masing 1 (satu) kutipan, sedangkan pada latar waktu dan sosial tidak ada ditemukan. Pada alur tahap penyituasian berupa indeks dan ikon 2(dua)tanda , tahap pemunculan konflik berupa ikon, indeks dan simbol masing-masing 1(satu) tanda. Sedangkan pada tema tidak ditemukan tanda semiotik berupa ikon, indeks dan simbol.


(8)

viii


(9)

(10)

vii

ABSTRAK

Lidya Pega Simbolon, 2010. Analisis Struktural Dan Semiotik dalam Novel

/ nuqtati

al-sifri/ ‛Perempuan di Titik Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi. Program studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini membahas tentang Struktural dan semiotik dalam novel

/imra’atun ‘inda nuqtati al-sifri/ Karya Nawal Al- Sa‛dawi. Adapun struktural. Terdiri atas tema , latar, alur, dan sudut pandang. Sedangkan semiotik terdiri atas ikon, indeks, simbol

Permasalahan yang diteliti adalah struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur, tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di dalam novel

/ atun ‘inda nuqtati al-sifri/ ‛Perempuan di Titik Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur, tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di dalam

novel / imra’atun ‘inda nuqtati al-sifri/ ‛Perempuan di Titik

Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, factual, dan akurat mengenai data yang diteliti. Penulis menggunakan teori Peirce dan Nurgiyantoro.

Hasil penelitian yang berupa tema 1(satu) kutipan, pada tokoh Firdaus 5 (lima) kutipan, Ayah, Paman dan Morzauk masing-masing 2(dua) kutipan, Ibu Firdaus, Sharifa dan Fawji masing-masing 1 (satu) kutipan, Syekh Mahmoud 4 (empat) kutipan, Biyaumi dan Ibrahim masing-masing 3(tiga) kutipan, Pada latar yaitu latar tempat 7(tujuh) kutipan, latar waktu 2(dua) kutipan, latar sosial 3(tiga) kutipan. Pada alur yaitu tahap penyituasian, peningkatan konflik, dan tahap penyelesaian masing-masing 4(empat) kutipan, tahap pemunculan konflik 6(enam) kutipan, tahap puncak 7(tujuh) kutipan, Pada penokohan terdapat tanda semiotik sebanyak 4 ikon yaitu pada tokoh Ayah, Paman dan Syekh Mahmoud. Tanda berupa indeks sebanyak 4 tanda yaitu pada tokoh Firdaus, Ayah, Paman dan Syekh Mahmoud, sedangkan tanda berupa simbol sebanyak 3 tanda yaitu pada tokoh ayah, syekh mahmoud, marzouk.

Pada latar tempat tanda semiotik berupa ikon, indeks, simbol masing-masing 1 (satu) kutipan, sedangkan pada latar waktu dan sosial tidak ada ditemukan. Pada alur tahap penyituasian berupa indeks dan ikon 2(dua)tanda , tahap pemunculan konflik berupa ikon, indeks dan simbol masing-masing 1(satu) tanda. Sedangkan pada tema tidak ditemukan tanda semiotik berupa ikon, indeks dan simbol.


(11)

viii


(12)

(13)

x

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang.

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. (Hill, 1966:6) dalam (Pradopo, 1995: 108)

Nurgiyantoro (1995 : 22-23) membagi unsur yang membangun sebuah novel dalam karya sastra atas dua bagian yaitu unsur instrinsik dan ekstrinsik.

Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur yang dimaksud, misalnya, peristiwa, cerita plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Dalam penelitian ini penulis mengkaji tentang struktural dan semiotik

dalam novel

/imra′atun ‘inda nuqtati al-sifri/ karya Nawal

Al-Sa’dawi. Pada struktural penulis hanya memfokuskan pada unsur instrinsik berupa tema, tokoh, latar dan alur sedangkan pada semiotik berupa ikon, indeks dan simbol.

Adapun analisis stuktural memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah karya sastra yang utuh.

Secara definitf, strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur karya sastra terutama prosa di antaranya


(14)

xi adalah tema, peristiwa atau kejadian, latar, penokohan, perwatakan, alur, plot dan sudut pandang (Ratna, 2007: 93).

Sementara Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Adapun semiotik yaitu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, dkk., 1974: 980) dalam (Pradopo, 1995: 119).

Adapun dua orang tokoh yang dianggap sebagai pendiri semiotik yaitu ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Saussure yang dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Pierce yang seorang ahli filsafat memakai istilah semiotik. Mereka tidak saling mengenal, menyebabkan adanya perbedaan yang mendasar, terutama dalam penerapan konsep-konsep.yang bersifat semiotik struktural, model pierce bersifat analitis. Adanya ketidaksamaan antara keduanya, tampaknya lebih disebabkan oleh kenyatan bahwa mereka berasal dari dua disiplin ilmu yang berbeda.

Pierce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting, namun bukan yang utama. Sebaliknya, Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda, mengandung arti bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan tiap unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai dengan kaidah, sehingga ia dipakai untuk berkomunikasi. Teori tersebut melandasi teori linguistik modern (Zaimar dalam Nurgiyantoro, 1995: 44).

Di dalam semiotik tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh


(15)

xii penanda itu yang artinya. Contohnya kata “ ibu ”merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Tanda itu tidak haya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama adalah ikon, indeks, dan simbol.

Karya sastra sebuah totalitas mengandung tanda-tanda yang bersifat mewakili sesuatu yang lain yang disebut dengan makna. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang unsur-unsur atau bagian-bagiannya saling berjalinan erat. Dalam struktur itu, unsur-unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling berhubungan dengan unsur-unsur lainnya dan keseluruhan atau totalitasnya, bahwa makna unsur-unsur tersebut hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra. Oleh sebab itu untuk menganalisis karya sastra secara semiotik terlebih dahulu harus dilakukan analisis karya sastra secara struktural.

Novel /imra′atun ‘inda nuqtati al-sifri/ karya Nawal

Al-sa’dawi terdiri dari 115 halaman dan 3 bab. Terjemahannya adalah “perempuan di Titik Nol” (Amir Sutaarga, 200) terdiri dari 155 halaman.

Novel /imra′atun ‘inda nuqtati al-sifri/ telah

beberapa kali dicetak ulang dan yang penulis gunakan adalah cetakan ke-enam, yang menceritakan tentang seorang wanita Mesir bernama Firdaus yang akan mendapat hukuman mati dikarenakan ia membunuh seorang germo. Firdaus hidup dalam keluarga yang sederhana dan tidak harmonis. Firdaus sangat dekat dengan pamannya, ketika ayahnya meninggalnya ia diasuh oleh pamannya. Pamannya memasukkan Firdaus ke sekolah Dasar hingga ke sekolah Menengah. Setelah tamat sekolah ia dikawinkan dengan seorang Syekh yang berumur 60 tahun, oleh suaminya ia diperlakukan bukan layaknya seorang istri sampai akhirnya ia melarikan diri dan ketika ia duduk di warung kopi ia bertemu dengan seorang pria bernama Biyaumi dan Firdaus pun tinggal bersama pria itu, hal yang sama juga terjadi padanya ia kerap kali mendapatkan perlakuan kasar dan ia pun melarikan diri dan sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Sharifa


(16)

xiii dan perempuan inilah yang memperkenalkan profesi “pelacur” ia sukses menjadi pelacur kaya yang menentukan harga tinggi ketika di ajak berkencan.

Dengan pendekatan struktural dan semiotik adalah merupakan langkah yang tepat untuk lebih menyempurnakan analisis karya sastra berupa novel. Sebagaimana diketahui karya sastra dianggap kurang memiliki kesempurnaan apabila menganalisis strukturalnya saja.

Berdasarkan hal tersebut, penulis sangat tertarik untuk menganalisis novel / imra′atun ‘inda nuqtati al-sifri/ Perempuan di Titik Nol Karya Nawal Al-Sa‘dawi dengan pendekatan struktural dan semiotik dan berusaha mendeskripsikan tema, penokohan, latar dan alur kemudian menafsirkan tanda-tanda yang ada dalam novel tersebut, apakah tanda itu merupakan bentuk ikon, indeks, maupun simbol, yang mana dengan penafsiran tanda-tanda yang ada berarti juga penafsiran terhadap makna yang terkandung dalam novel tersebut.

Disamping itu, hal lain yang menarik bagi penulis untuk menjadikan novel ini menjadi suatu objek penelitian, karena novel perempuan di titik nol merupakan salah satu novel penting dalam kesusastraan Arab moderen. Hal ini dibuktikan dengan adanya apresiasi para kritikus sastra dan masyarakat pada umumnya serta kekaguman penulis terhadap pengarang yang mau mengangkat perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuh nya tercapai dan karena penulis melihat masih ada perbedaan gender dalam isi cerita novel tersebut

Adapun teori yang penulis pakai untuk mencari tema, tokoh, latar dan alur dan tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di dalam Novel

/ imra′atun ‘inda nuqtati al-sifri / ‛Perempuan di Titik Nol ’Karya Nawal Al- Sa‛dawi adalah teori-teori dari beberapa pakar semiotik Pierce yang terdapat dalam buku Zoest, dan Sobur dan yang penulis gunakan sebagai panduan adalah buku Sobur, sedangkan untuk membahas strukturnya penulis menggunakan buku Nurgiyantoro dan didukung dengan teori Aminuddin


(17)

xiv

1.2 Perumusan Masalah

Agar penelitian ini tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka perlu adanya rumusan masalah sehingga tidak keluar dari topik permasalahan. Maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur dalam Novel / -sifri/ ’Perempua n di Titik Nol’ Karya Nawal Al-Sa’dawi?

2. Bagaimana tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di

dalam novel /

-sifri/’Perempua n di Titik Nol’ Karya Nawal Al-Sa’dawi?

1.3 Tujuan Penelitian

Suatu masalah dianggap penting dan memerlukan pemecahan, apabila

hasil pemecahan itu dapat dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, karena setiap pekerjaan haruslah mempunyai tujuan. Berdasarkan pernyataan diatas, maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mendeskripsikan struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur dalam

Novel / -sifri/ ’Perempuan

di Titik Nol’ Karya Nawal Al-Sa’dawi.

2. Untuk mengetahui tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur

di dalam novel /

-sifri/’Perempua n di Titik Nol’ Karya Nawal Al-Sa’dawi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Untuk memudahkan bagi peneliti-peneliti berikutnya yang ingin meneliti aspek yang sama dari karya yang lain.


(18)

xv

2. untuk menambah referensi dan sebagai acuan bagi mahasiswa/i dalam

menganalisis prosa arab di Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU.

3. Memberikan sumbangsih dan masukan bagi Program Studi Bahasa Arab

khususnya di bidang sastra.

1.5. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu menjelaskan dan memaparkan tentang hal yang diteliti dengan jelas dan penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan memperoleh data dari buku-buku yang relevan di bidang ilmu tersebut.

Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah novel

/

/ atun ‘inda nuqtati al-sifri/ dan terjemahannya “Perempuan di Titik Nol”.

Dalam memindahkan tulisan Arab ke dalam tulisan Latin peneliti memakai pedoman transliterasi Arab-Latin yang diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Menteri Agama yang tertuang dalam SK No.158 tahun 1987 dan No. 0543b/U/1987 pada tanggal 22 Januari 1988.

Adapun tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut :

1. Mengumpulkan bahan rujukan yang berkaitan dengan pembahasan

penelitian.

2. Mempelajari dengan membaca berulang-ulang novel

/ atun ‘inda nuqtati al-sifri/ karya Nawal Al-Sa’dawi yang asli dan terjemahannya,

3. kemudian mengklasifikasikan data utama yaitu kalimat-kalimat yang ada

kaitannya dengan struktural dan semiotik dalam novel

/ atun ‘inda nuqtati al-sifri / karya Nawal Al-Sa’dawi berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro dan Pierce.


(19)

xvi

4. Mendeskripsikan data dan menyusunnya secara sistematis dalam bentuk


(20)

xvii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Novel

Dalam kesusastraan dikenal bermacam-macam jenis sastra (genre). Menurut Warren dan Wallek (1995: 298) bahwa genre sastra bukan sekedar nama, karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya membentuk ciri karya tersebut. Menurutnya, teori genre adalah suatu prinsip keteraturan. Sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan drama.

Menurut Nurgiyantoro (1995 : 1) Dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose) sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan.

Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dinia imajinatif, yang dibangun melalui sebagai unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif.

Novel berasal dari bahasa italia novella, yang dalam bahasa jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus (Nurgiyantoro, 1995: 9)


(21)

xviii Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1995 : 694) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Dalam bahasa Arab novel disebut dengan /al-qissatu/. Jaudah(19991

:41) mendefinisikan novel sebagai berikut:

/Al-qissatu bimafhūmihā al-hadīsu hiya majmū‛atun min al -hadāsi yuhkīhā al -kātibu wa tata‛allaqu tilka al -ahdāsu bisyakhsiyyātin insāniyyatin mukhtalifatin mutabāyinatin, fi tasarrufātiha wa asālībi hayātihā, ‛alā nahwi mā tatabāyyanu hayātu al-nāsi ‘ala wajhi al-ardi/ ‘novel adalah kumpulan peristiwa yang diceritakan oleh peneliti dan peristiwa-peristiwa tersebut terkait erat dengan kepribadian manusia itu yang beraneka ragam, berlainan karena tindakannya, dan yang beragam sikap dan gaya hidupnya, sebagaimana keberagaman tingkah laku manusia di seluruh penjuru dunia’.

2.2 Pengertian Struktural

Penelitian sastra seharusnya bertolak dari interprestasi dan analisis karya sastra itu sendiri (Wellek dan Warren, 1989 : 157). Pendekatan yang bertolak dari dalam karya sastra itu disebut pendekatan objektif. Analisis struktural adalah bagian yang terpenting dalam merebut makna di dalam karya sastra itu sendiri.

Karya sastra mempunyai sebuah sistem yang terdiri atas unsur yang saling berhubungan. Untuk mengetahui kaitan antar unsur dalam karya sastra itu sangat tepat jika penelaahan teks sastra diawali dengan pendekatan struktural.

Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra


(22)

xix sebagai unsur estetika dalam dunia karya sastra antara lain alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat (Ratna, 2004:19-94)

Analisis struktur dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan.(Nurgiyantoro, 2000: 37).

Menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 67), tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tokoh menurut Nurgiyantoro (1995: 173) adalah pelaku, sekaligus penderita kejadian dan penentu perkembangan cerita baik itu dalam cara berfikir, bersikap, berperasaan, berperilaku, dan bertindak secara verbal maupun non verbal. Latar menurut Sudjiman (1991 : 44), adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.

Alur menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 113), adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Adapun Aminuddin (2000: 80-81) menambahkan bahwasanya dalam memahami watak tokoh utama, pembaca dapat menelusurinya lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungannya maupun cara berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana prilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh it berbicara tentang dirinya, (5 memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9 melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

2.3 Pengertian Semiotik

Menganalisis karya sastra berarti memahami makna karya sastra. Untuk menganalisis karya sastra, selain berdasarkan strukturalisme, juga diperlukan analisis berdasrkan teori yang lain yang disebut dengan teori semiotik. (Pradopo dalam Jabrohim, 2001 : 98)


(23)

xx Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16). Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.

Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesunguhnya kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya; mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika,dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi.Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai (van Zoest, 1993: 2). Tommy Christomy, 2001: 7) dalam Sobur, 2004: 12) menyebutkan adanya kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya.

Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.

Pierce (dalam Zoest 1978: 1) mengatakan semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengunaan tanda.

Sementara Preminger (dalam Pradopo, 2003: 119) berpendapat semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda, semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkikan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu untuk mengetahui tentang sistem tanda, kovensi-konvensi yang ada dalam sastra dan makna yang tekandung di dalamnya.


(24)

xxi Adapun Pierce (dalam Sukada, 1987: 35) menawarkan tiga kelompok tanda berdasarkan jenis hubungan antara item pembaca makna, dengan item yang ditunjukkannya :

1. Icon, adalah tanda yang menggunakan kesamaan, atau ciri-ciri bersama, dengan apa yang dimaksudkannya. Misalanya, kesamaan antara sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya.

2. Indeks, adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Misalnya asap merupakan suatu tanda adanya api, dan arah angin menunjukkan suatu tanda cuaca.

3. Simbol, adalah hubungan antara item penanda dengan item yang ditandainnya, yang tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan kesepakatan masyarakat semata-mata. Misalnya, gerakan tangan yang bergetar, dan lampu merah berarti ”berhenti” . pada dasarnya, contoh utama jenis ini adalah kata-kata, yang menunjukkan suatu bahasa.

Pierce dalam Zoest juga membagi tanda atas tiga bagian menurut sifat penghubungan tanda dan denotatum, yaitu:

1. Ikon, 2. Indeks, dan 3. Simbol

Tanda ikon adalah tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengan atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Definisi mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan suatu yang lain.

Indeks adalah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum, dalam hal ini, hubungan antara tanda dan denotatum adalah bersebelahan. Kita katakan, tidak ada asap tanpa api. Memang asap dapat dianggap sebagai tanda untuk api dan dalam hal ini ia merupakan indeks.

Simbol adalah tanda yang hubungan antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Bila seseorang menanyakan sesuatu pada saya dan saya menggerakkan kepala dari atas kebawah, si penanya


(25)

xxii akan mengangguk bahwa saya mengiyakan pertanyaannya. Ia menghubungkan mengangguk dengan denotatum yang dapat kita sebut ”iya” atau membenarkan.

Selanjutnya Peirce (dalam Sobur : 41) berdasarkan objeknya membagi tanda dalam ikon, indeks, dan simbol. (1) ikon adalah tanda yang hubungan antara tanda dengan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan misalnya, potret, dan peta. (2) indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang palin jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. (3) simbol tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan ini bersifat arbitrer atau semena berdasarkan konvensi masyarakat. Misalnya, berbagai gerakan (anggota) badan menandakan maksud-maksud tertentu seperti mengacungkan ibu jari kearah seorang anak yang berprestasi dalam belajar merupakan simbol bahwa ia sangat bagus dan pintar dari anak lainnya.

Adapun menurut Pradopo (2003: 120) bahwa ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, gambar kuda sebagai (penanda) yang menandai kuda (petanda). Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal atau sebab-akibat antara penanda dengan petandanya.

Misalnya api menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin dan lain sebagainya. Simbol adalah tanda yang bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu itu ditentukan oleh konvensi. Kata ibu dalam bahasa Indonesia merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: orang yang melahirkan kita. Dan orang Inggris menyebutnya mother, sedangkan orang Prancis menyebutnya denagan La mere dan sebagainya.

Dalam teks kesastraan ketiga jenis tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai ikon, ia haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung penunjukkan ikon, menunjukkan banyaknya ciri ikon dibanding dengan dua jenis tanda yang lain. Begitu pula


(26)

xxiii terhadap indeks dan simbol, ketiganya sulit dikatakan mana yang paling baik karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran, dan perasaan.

Dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan sebab akibat.

Adapun contoh kutipan berupa penokohan dalam novel

/ atun ‘inda nuqtati al-sifri/ ‛Perempuan di Titik Nol Karya Nawal Al-Sa’dawi adalah sebagai berikut :

/Wa asbahtu mūmisān nājihatan. ahsalu ala a‛li samanin, wa yatanāfasu”alayya a’zamu al-rijāli/ “saya telah menjadi pelacur yang sangat sukses. Saya menerima bayaran yang paling mahal, dan orang-orang yang penting pun bersaing untuk disenagi oleh saya”(Al-Sa’dawi, 2000: 130).

Tanda semiotik pada kutipan diatas berupa indeks sebab ia (Firdaus) telah menjadi seorang pelacur yang sukses mengakibatkan ia menerima bayaran yang sangat mahal dan disenangi bayak orang penting. Dengan kata lain, Firdaus telah menjadi pelacur kelas atas yang disenangi kalangan pejabat


(27)

xxiv

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sinopsis

Novel ini merupakan cerita yang diangkat dari kisah seorang perempuan Mesir yang bernama Firdaus dari sel penjaranya. Nawal menulis novel ini sesudah bertemu dengan seorang wanita di penjara Qanatir. Nawal sedang melakukan penelitian mengenai kepribadian suatu kelompok wanita yang di penjara dan ditahan karena dijatuhi hukuman atau dituduh melakukan pelanggaran.

Gagasan tentang “penjara” senantiasa memikat perhatian Nawal secara khusus. Nawal sering berkunjung ke penjara Qanatir untuk mengetahui bagaimana kehidupan di penjara itu. Paad suatu hari, secara kebetulan Nawal bertemu dengan dokter penjara dari penjara wanita di Qanatir, mereka saling tukar pikiran mengenai wanita yang dipenjarakan.

Nawal semakin lama tertarik tentang gagasan itu, karena dokter penjara itu mulai menceritakan tentang seorang wanita yang telah membunuh seorang laki-laki dan sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati dengan cara digantung.

Dokter penjara mengajak Nawal untuk menjumpai wanita itu, dan memperlihatkan wanita-wanita lainnya yang dipenjarakan. Dengan perantaraan dokter penjara, Nawal mendapatkan izin khusus supaya dapat mengunjungi penjara Qanatir sebagai psikiater.

Setelah berkeliling di penjara, Nawal berkeinginan untuk menjumpai wanita yang diceritakan oleh dokter penjara. Wanita itu bernama Firdaus, untuk pertama kalinya, Firdaus menolak Nawal untuk berjumpa dengannya tetapi tidak lama kemudian ia mau bertemu dengan Nawal. Sedikit demi sedikit Firdaus menceritakan tentang kisah yang ia alami.

Ketika Firdaus menceritakan tentang kisahnya, ia berkata: “jangan memotong pembicaraan saya, saya tak ada waktu untuk mendengarkan anda. Mereka akan menjemput saya besok pagi dan tak akan berada di sini lagi”.


(28)

xxv Firdaus hidup dalam keluarga yang sederhana. Ia dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis. Ayahnya seorang petani miskin yang tidak bisa baca dan tulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan untuk bercocok tanam.

Ayahnya sangat kejam, dimana pada musim panas ia (Firdaus) melihat ibunya duduk dekat kaki ayahnya dengan sebuah mangkuk timah yang berisikan air untuk membasuh kaki ayah. Ketika Firdaus beranjak remaja, ibunya meninggal dunia dan ia menggantikan ibunya membasuh kaki ayahnya.

Ibu dan anak-anaknya baru diperbolehkan makan setelah ayahnya selesai. Air liur mana yang tak mengalir ketika menatap seseorang yang dengan lahap menyantap makanan. Ayahnya bisa makan dengan lahap ketika anak perempuannya meninggal dan memukul ibunya ketika anak lelakinya meninggal.

Sebelum ayah makan, ia tidak akan beranjak pergi untuk tidur bahkan apabila tidak ada makanan di rumah, mereka semua tidur dengan perut kosong tetapi ayah selalu memperoleh makanan karena ibu menyembunyikan makanannya dari mereka di dasar sebuah lubang tungku.

Firdaus sangat dekat dengan pamannya, ketika ayahnya meninggal ia diasuh oleh pamannya. Ia (paman) memasukkan Firdaus ke Sekolah Dasar. Ketika ia telah menerima surat keterangan tanda tamat belajar dari sekolah Dasar. Pamannya membeli sebuah jam tangan kecil dan mengajaknya nonton di bioskop.

Pamannya menikah dengan puteri gurunya di Al-azhar dan ia membawa Firdaus ikut ke rumah barunya kemudian memasukkan Firdaus ke Sekolah Menengah. Setelah tamat sekolah, ia dikawinkan dengan seorang Syeikh yang berumur 60 tahun. Syeikh tersebut mempunyai bisul besar di dagunya yang sangat mnjijikkan.

Hari-hari pun berlalu dan perlakuan suaminya terhadap Firdaus melebihi batas, Firdaus dipukul hingga berdarah, harus patuh dan bekerja keras. sehingga ia melarikan diri dari suaminya. Ketika ia duduk di warung kopi,ia pun didatangi oleh peilik warung tersebut yang bernama Bayoumi dan menanyakan keadaannya. Firdaus sementara tinggal di rumah Bayoumi karena ia tidak mempunyai tempat


(29)

xxvi tinggal. Semenjak tinggal di rumah Bayoumi, Firdaus mendapatkan perlakuan kasar terhadapnya sampai ia melarikan diri dari rumah Bayoumi. Ketika ia duduk sendirian di tepi sungai Nil, ia bertemu dengan seorang perempuan yang bernama sharifa saleh el-Dine, dan perempuan inilah yang akhirnya memperkenalkan profesi “pelacur” kepada Firdaus. Ia sukses menjadi pelacur kaya yang menentukan harga sangat tinggi ketika di ajak berkencan.

Pada suatu hari, germo yang bernama Marzouk datang kepadanya untuk meminta pembagian hasil dan kawin dengannya agar ia bisa melindungi Firdaus dari germo-germo yang lainnya, tetapi firdaus menolaknya. Kemudian Marzouk (germo) menampar Firdaus dan mengambil sebilah pisau tetapi Firdaus terlebih dahulu yang mengambilnya kemudian menancapkan ke leher, dada dan perut germo itu.

3.2 Biografi Pengarang

Nawal Al-sa’dawi merupakan seorang dokter berkebangsaan Mesir. Nawal berasal dari sebuah keluarga terhormat yang berdomisili di kawasan Delta Mesir, Kafr Thalha (sebuah desa yang terletak di antara propinsi Qalyubiyah dan Manufiya). Nawal berhasil menjadi tokoh yang disegani di, panggung feminisme internasional. Hal ini terbukti dari banyaknya aktifitas yang pernah ditekuninya, karya-karya yang telah disumbangkannya serta penghargaan-penghargaan yang telah diterimanya di Mesir maupun di berbagai Negara lainnya.

\ Nawal lahir pada tanggal 27 Oktober tahun 1931 di desanya. Ia terlahir di

tengah-tengah keluarga besar dengan Sembilan bersaudara.

Ayahnya bernama Al-Sayyid Affandi Al-Sa’dawi, seorang pegawai tinggi di departemen pendidikan. Ayahnya adalah seorang sosok yang sangat menghargai pendidikan, meskipun ia berasal dari kalangan keluarga petani. Sedangkan Ibunya berasal dari keluarga besar Syukri Beih yang memiliki garis keturunan dengan keluarga Tala’at Pasha di Istambul, sebuah keluarga yang cukup terpandang di tengah-tengah masyarakat Mesir.


(30)

xxvii Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah ditempuh Nawal di sekolah negeri di desa kelahirannya. Selanjutnya ia meneruskan sekolahnya ke Fakultas Kedokteran di Universitas Kairo, meskipun impian masa kecilnya bukan menjadi dokter. Ia tidak pernah membayangkan dirinya memegang pisau bedah dan membedah organ tubuh manusia, tetapi sebaliknya ia justru mengimpikan dirinya sebagai pemain musik yang piawai memainkan jarinya di atas piano.

Lulusan dari Fakultas Kedokteran menjadikan ia seorang dokter yang terlatih dalam bidang pembedahan dan psikiatri. Ia mulai prakteknya di daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit di Kairo, dan pada tahun 1958 ia terpilih sebagai direktur pada departemen Kesehatan Masyarakat Mesir. Namun, pada tahun 1972, ia diberhentikan oleh instansi tersebut sekaligus dicopot dari jabatannya akibat tulisannya yang blak-blakan tentang seksualitas, terutama dalam

karyanya yang berjudul / - atu wa al-jinsi/ perempuan dan

seks.

Pada tahun 1981 dia dimasukkan ke penjara oleh Anwar Sadat. Di dalam

penjara dia menulis

/

suqūtu al-imāmi/ ‘matinya sang pemimpin’.

Nawal kemudian dibebaskan satu bulan setelah terbunuhnya Anwar Sadat.

Secara umum, karya-karyanya sangat beragam. Ada yang termasuk kategori ilmiah, seperti: artikel, dan ada pula yang termasuk kategori sastra, seperti: novel, cerita pendek, puisi-puisi dan biblioghrafi, berikut hasil karya

nawal seperti: /al-riwāyatu

/,

/

suqūtu al-imāmi

/,

inda nuqtati al-sifri

/,

/

- atu wa al-jinsi

/,

/

lahzatun sidqun

/,

dan

/

rihlātī haula al-‘ālami/

Pada karyanya yang berjudul / atun ‛inda

nuqtati al-sifri/ yang memuat gagasan sempat menggegerkan dunia, baik kalangan agamawan maupun ilmuan, yaitu konsepnya mengenai pelacur sebagai makhluk perempuan yang memiliki kehormatan dan harga diri, sedangkan isteri adalah


(31)

xxviii seorang pelacur yang tidak punya kehormatan, bahkan jasanya dihargai dengan harga yang paling rendah.

Menurut Nawal, perempuan pelacur lebih bebas menentukan sendiri lelaki yang akan dilayaninya dan akan melayaninya, disamping itu juga, bebas menentukan harga bagi jasanya serta waktu yang sesuai dengan keinginan mereka daripada seorang isteri yang secara keseluruhan hidupnya berada di bawah pilihan dan kehendak suaminya.

Nawal menilai bahwa pelacur adalah sosok yang benar-benar menikmati arti hidup dan kebebasan sebagai manusia yang ‘terhormat’. Baginya kehormatan adalah lawan dari perbudakkan, perjualan diri, baik itu wanita, budak maupun anak-anak.

Secara umum, tema yang dikemukakan oleh Nawal merupakan bentuk kepeduliannya terhadap masyarakat yang terkungkung dalam pembodohan, tekanan dan penzaliman, penggunaan kekuasaan laki-laki yang berlebihan, pengabdian total terhadap sosok ayah dan suami, tuan germo yang sering memperlihatkan hak-hak wanita direndahkan.

3.3 Analisis Struktur Novel

/

imra atun ‛indanuqtati

al-sifri/

Analisis struktural novel

/

inda nuqtati

al-sifri/ ini akan membahas mengenai unsur pembangun novel, yaitu unsur instrinsik. Yakni akan difokuskan pada tema, tokoh, latar dan alur.

3.3.1 Tema

Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Di dalam Novel / inda nuqtati al-sifri/ ‘perempuan di titik nol’ mengangkat tema mengenai perjuangan seorang pelacur yang ingin mendapatkan kebebasan. Kebebasan yang diinginkannya merupakan kebebasan yang sejati. Wanita ini, yang merupakan tokoh utama dan bernama Firdaus, mempuanyai


(32)

xxix prinsip bahwa dirinya akan bebas jika ia menerima vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh hakim. Ia tidak ingin kembali ke dunia yang membesarkannya dan membuatnya masuk ke dalam lembah kenistaan.

Firdaus ingin pergi dari rasa ketakutan yang selalu menghinggapi pikirannya. Ia merasa jika ia masih hidup dan menerima amnesti yang diberikan oleh Presiden. Hal ini terungkap pada kutipan berikut :

/Hunāka amalun fī al-afrāji ‛anka law katabta at-tamāsa ‛afwa an jarīmatuki lira īsi al-daulati. Qultu: lā argabu fī afrāji aw afwa an jarīmatī, lianna jarīmatī lam takunu jarīmatan. Qāla: laqad qatalat rajulan. Qultu: wa iżā kharajat ilā hayātikum marratan ukhra′, falan ukaffa an al-qatli, fahal ymkinu iżan an yakūna hunāka jadwā′ law annānī katabtu at-tamāsa afwa?. Qāla: tastahiqqīna al-mauta yā mujrimata!. Qultu: kullu annāsa tamūtu, wa al-afdalu anna amwata bijarīmatī an anna amwata bijarīmatikum./ “Ada harapan kamu dibebaskan jika kamu mengirim surat permohonan kepada Presiden dan minta maaf atas kejahatan yang kau lakukan. Tetapi saya tidak mau dibebaskan, kata saya, dan saya tidak mau minta pengampunan atas kejahatan saya. Apa yang disebut kejahatan bukanlah kejahatan. Kau membunuh seorang laki-laki. Jika saya keluar lagi dan memasuki kehidupan yang milikmu, saya tidak akan berhenti membunuh. Jadi apa gunanya saya menyampaikan permohonan pengampunan pada Presiden? . kau penjahat. Kau memang harus mati. Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.(Al-Sa’dawi, 2000 : 147-148)

3.3.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang


(33)

xxx dilakukan dalam tindakan . Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

Novel / inda nuqtati al-sifri/ ‘perempuan di

titik nol’ karya Nawal Al Sa’dawi, banyak tokoh tokoh yang muncul yang hanya sekadar sebagai figuran saja. Dalam analisis unsur tokoh pada novel ini akan dibatasi pada tokoh utama dan tokoh sampingan yang mempunyai pengaruh besar pada kehidupan tokoh utama.

Adapun tokoh yang akan dianalisis antara lain tokoh Firdaus, Ayah Firdaus, Ibu Firdaus, Paman Firdaus, Seykh Mahmoud, Biyoumi, Sharifa, Fawzi , Ibrahim dan Marzouk .

a) Firdaus

Firdaus adalah tokoh utama dalam novel

/

‛inda nuqţati al-şifri

/

. Ia digambarkan seorang wanita berwajah cantik dan berpenampilan menarik. Hal ini terungkap pada pengakuan Firdaus saat bertemu dengan Pengarang yang berperan sebagai dokter penjara wanita. Berikut kutipannya :

/ misan, faqad kuntu akhfi khaufī bitabaqin min al-

ma jihatan, faqad kānat masāhīki samīnatan

jayyidat - - -syārifāti min al-tabaqati al-‘ulyā. W sya‛rī musafafun ‘inda hallāqin mutakhassisin fī syu‛ūri nisā’ī al-‘āilāti/ “Karena saya seorang pelacur, saya sembunyikan rasa takut itu di bawah lapis-lapis solekan muka saya. Karena saya telah mencapai sukses, rias muka saya selalu yang paling baik dan jenis yang paling mahal, setiap rias wanita-wanita lapisan atas yang terhormat. Saya selalu merawat rambut saya di tempat piñata rambut yang biasanya melayani para wanita dari kalangan atas masyrakat. Warna lipstik yang saya pilih selalu alamiah dan serius sedemikian rupa, sehingga tidak


(34)

xxxi menyembunyikan ataupun menitikberatkan daya tarik yang menggiurkan dari bibir saya”.(Al-Sa’dwi, 2000: 16)

Kutipan diatas menggambarkan sosok Firdaus yang menarik bagi setiap lelaki, sehingga ia selalu memilih alat-alat rias yang berkualitas dan pelayanan yang berkualitas pula.

Tokoh Firdaus juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang lemah lembut. Hal ini diungkapkan oleh seorang penjaga tempat Firdaus ditahan. Berikut kutipannya :

-- -raqīqatu yumkinu an taqatala/“Terus terang sesungguhnya saya merasa bahwa dia bukan pembunuh. Bila anda memandang muka, matanya, anda tidak akan percaya, bahwa seorang wanita yang begitu lemah lembut dapat membunuh”. (Al-Sa’dawi, 2000: 4).

Firdaus juga digambarkan sebagai seorang yang ingin mengeyam pendidikan yang tinggi. Ia sangat ingin sekolah seperti pamannya, tetapi keinginan itu ditolak oleh pamannya. Ia merupakan sosok perempuan yang berkeinginan untuk sekolah dan mempunyai minat yang sangat besar untuk bersekolah. Berikut kutipannya :


(35)

xxxii

/wa hīna

--ajhara wa ata‛allmu misluka. Wa yadahka amī wa yaqūlu al-azhara

lā yadhulhu illā al-rijalu.

--ardi/. Ketika Paman naik ke atas kereta api, dan mengucapkan selamat tinggal, saya menangis dan merengek supaya dia membawa saya bersamanya ke Kairo. Tetapi Paman bertanya, apakah yang akan kau perbuat di Kairo,Firdaus? Lalu saya menjawab: saya ingin ke El Azhar dan belaajar seperti Paman. Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa el Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegang tangannya, sementara kereta api mulai bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup.(Al-Sa’dawi, 2000: 22)

/ - -

-- , wanajrī wa nalhasu wanaqazqazu al-lubbi/“Saya senang bersekolah. Sekolah itu penuh dengan anak laki-laki dan perempuan. Kami bermain-main di halaman, dan berlari-lari dan duduk sambil membelah biji bunga matahari (Al-Sa’dawi, 2000: 29).

Selain mempunyai keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, Firdaus mempunyai kegemaran membaca buku-buku tentang penguasa laki-laki yang selalu mengendalikan kekuasaannya. Berikut kutipannya :

/qara′atu an hākimu kāna adadan jawārīyahi min annisa′I wa al -mūmisāti ka‛adadin junūdin jaisyahu. Wa hākimu ukhra lā yusygalahu fī hayātihi illa al -khamri/. “Saya membaca kisah-kisah tentang para penguasa yang memilki pelayan wanita dan selir sebanyak tentaranya, dan saya membaca tentang seorang penguasa lainnya yang perhatiannya dalam hidup ini hanya tertumpah pada anggur”. (Al-Sa’dawi, 2000: 38)


(36)

xxxiii

b)Ayah Firdaus

Ayah Firdaus digambarkan sebagai seorang petani miskin, licik dan ringan tangan. Berikut kutipannya:

/abī faqīru fallāhi lam yaqru wa lam yaktub, wa lam ya‛rif min al -hayāti illa an yazra‛a al-ardi, wa yabī‛u al-jāmūsati al-masmūmati qabla an tamūta. Wa yabī‛u abnitahu al-użarāi qabla an tabūra. Wa yusriqu zirā‛ata jārihi qabla an yusriqahu jārihi wa yunhinī ‛alā yadī al-‛umdati dūna an yuqbalahā, wa yadribu zaujatahu kulla lailatin hattā ta‛iddu al -ardi/ “ayah saya seorang petani miskin, yang tak dapat membaca dan menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan. Kecuali bagaimana caranya bertanam. Bagaimana menjual kerbau yang telah diracun oleh musuhnya sebelum mati, bagaimana menukar anak gadisnya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, bagaimana caranya mendahlui tetangganya mencuri tanaman pangan yang matang di ladang, bagaimana meraih tangan ketua kelompok dan berpura-pura menciumnya, bagaiman memukul istrinya dan memperbudaknya tiap malam”( Al-Sa’dawi, 2000: 16-17)

Sosok ayah Firdaus juga digambarkan mempunyai sifat egois dan selalu mengagungkan nama laki-laki, bahwa laki-laki adalah pemimpin. Hal ini terbukt i dari tindakan ayah Firdaus yang tidak akan mau tidur sebelum makan malam. Ia selau dilayani oleh istrinya yang dianggap seorang budak yang memuaskan dirinya. Berikut kutipannya :

/hīna tamūta al-bintu minhum, y


(37)

xxxiv yanāmu ba‛da an yataasysya. Lam yakunu abī . kānat ummī bikhaifi taāmi munā fīfatahat dahali al-farāni./ “jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur. Ayah tidak akan tidur tanpa makan malam lebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selau memperoleh makanan, ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku” (Al-Sa’dawi, 2000: 26)

c) Ibu Firdaus

Ibu firdaus digambarkan sebagai sosok seorang perempuan yang penurut dan patuh terhadap semua perintah suaminya. Ia lebih mementingkan suaminya daripada anak-anaknya. Sehingga ia selalu memberikan yang terbaik untuk suaminya. Berikut kutipannya :

/Lam yakunu abī yanāmu bigairi asyā′i mahmān hadasa. Wa ahyānā hīna lā yakūna biddāri ta‛āma nabītu kulnā bigairi asyā′i illā huwa. Kānat ummī tuhfī ta‛āmahu munā fī fatahatu dākhilu al-farāni./

kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia

selalu memperoleh makanan, ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami


(38)

xxxv

d)Paman Firdaus

Paman Firdaus yang digambarkan sebagai seorang yang berpendidikan.

Hal ini terbukti karena ia sedang menempuh studi di El Azhar Kairo. Berikut kutipannya :

/Wa lam yakunuu ammī sagīrān. Kāna akbara minnī bisanīna kasīrata, yusāfiri

wahdahu illā misra, wayażhabu ilā al-ajhara wa yata‛allmu. Wa lam akun illā tiflatan lam tafka al-khatti ba‛da/ “paman saya tidak muda lagi, ia jauh lebih tua dari saya. Ia sering berpergian ke Kairo seorang diri, belajar di Al-Azhar dan kuliah disaat saya maih seorang bocah kecil yang belum pandai membaca atau menulis”.(Al-Sa’dawi, 2000: 21)

Selain itu, paman Firdaus juga digambarkan sebagai seorang laki-laki yang penyayang. Ia memberikan kasih sayang penuh pada Firdaus. Berikut kutipannya :

/Wa maridtu yaumān yā lahmī, fajalasa ammī ilā jawārī fī as-sirīri yumsiku ra′sī, wa yarbat biasābiihi al-tawīlati al-kabīrati alā wajhī. Wa namatu tūlu al-laili wa anā umsaka yadahu fī yadī./ “Suatu hari saya jatuh sakit demam. Paman duduk ditempat tidur di sebelah saya sambil memangku kepala saya, mengusap-usap muka saya secara halus dengan jarin-jarinya yang besar panjang, dan saya tidur sepanjang malam dengan berpegangan erat pada tangannya”.(Al-Sa’dawi, 2000: 31)

e) Seykh Mahmoud

Tokoh Syekh Mahmoud digambarkan sebagai seorang laki-laki tua yang baru pensiun. Istrinya telah meninggal dan tidak mempunyai anak. Hingga saat ia akan dinikahkan dengan Firdaus, Syekh masih hidup sendirian. Berikut kutipannya :


(39)

xxxvi

/khālī al-syaikhu mahmūd rajlu sālihun, wa ma‛āsyahu kabīru, wa laisa lahu aw

lādu, wa huwa wahidu munża mātatu jawjathu al-‛āma al-mādī./ “Pamanku, Syekh Mahmoud adalah seorang yang terhormat. Dia punya pensiun

yang besar dan tak punya anak-anak, dan ia masih hidup sendirian sejak istrinya meninggal tahun yang lalu (Al-Sa’dawi, 2000: 52)

Syekh Mahmoud adalah seorang laki-laki tua yang berusia lebih dari enam puluh tahun.Syekh digambarkan sebagai seorang laki-laki yang mempunyai bisul di bawah mulutnya. Berikut kutipannya :

/Wa lam akun atammamat at-tāsiati asyrati. Wa tahta syafatahu assuflā warama

kabīra yatawassatahi saqaba yajfu fī ayāmi./ “Usianya sudah lebih dari enam puluh enam puluh tahun, sedangkan saya belum lagi Sembilan belas. Pada dagunya, di bawah bibirnya terdapat bisul yang membengkak lebar, dengan sebuah lubang di tengah-tengahnya” (Al-Sa’dawi,2000: 61)

Ia tidak mempunyai kemampuan untuk makan yang terlalu banyak dikarenakan bisul yang mempersulit gerakan rahangnya. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai seorang yang pelit. Berikut kutipannya :

-/Walam takunu qadratuhu alāal-aklī kabīratin, kāna al-waramu fī yu‛arri qul harakata fakīhi hīna yamdagu, wa ma‛datuhu al -‛ujūji da‛ifatin yurbakahā al -aklu al-kasīri: lam yakunu ya′kulu illā qudrān qalīlan mina at-ta‛āmi, lakinnahu fī kulli marratin lā budda an yamsahu as-sihnu, yamsahahu wayadūru hawlahu lā yatraka fīhi syai′an / “Ia tidak punya kemampuan untuk makan banyak. Bisul pada mukanya menghalangi gerakan rahangnya dan perutnya yang sudah berkerut


(40)

xxxvii terganggu karena terlalu banyak makan. Sekalipun dia hanya dapat makan sedikit-sedikit, tetapi setiap kali dia akan menyeka piringnya sampai bersih, mengusap sepotong roti di antara jemarinya tiada henti-hentinya sampai benar-benar tak ada sedikit pun sisa yang tertinggal (Al-Sa’dawi, 2000: 61)

Firdaus selalu mendapatkan perlakuan buruk dari Syekh Mahmoud. Ia sering dipukuli dengan sepatu. Padahal ia seorang yang tehormat dan mengerti tentang agama. Penganiayaan yang dilakukan oleh syekh merupakan sesuatu hal yang biasa dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Berikut kutipannya :

-/fa′ahaża yasīhu bisawtin āla samuhu al-jairāni. Summa bada′a yadribnī bisababin wa bigairi sababin. Darabnī marratan bika‛bin al-hażā′i hatta taurami wajhī wajasdī, fatarakat baitahu wa żahabat ilā ammī. Lakin ammī qālalī an az -zawaju yadribūna zawajātahum, wa zawjatī ammī qālat lī an ammī yadribuhā. Wa qultu laha an ammī syaikhu muhtarmu, wa rijalu ya‛rifu ad -dīnu ma‛rifatu kālimatan, wa lā yumkinu an yadribu zaujatahu/ “Setelah peristiwa itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukul saya, apakah dia mempunyai alasan ataupun tidak. Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman. Tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul istrinya, dan istrinya menambhakan bahwa suaminya pun sering memukulnya. Saya katakan, bahwa paman adalah seorang syekh yang terhormat, terpelajar dalam hal ajaran agama, dan dia, karena itu, tidak mungkin memiliki kebiasaan memukul istrinya”.(Al-Sa’dawi, 2000: 63)

f) Bayoumi

Bayoumi adalah lelaki pertama yang dekat dengan Firdaus. Bayoumi digambarkan sebagai sosok laki-laki yang memiliki hidung besar yang mirip dengan ayah Firdaus. Warna kulitnya gelap. Berikut kutipannya :


(41)

xxxviii

-/ismuhu kāna biyawmī, wa hīna rafa‛at ainī ilā wajahahu lam asy‛uru bikhafin. Anfahu kāna makūrān kabīrān yusabbihu anfa abī wabisyartihi samrā′u kabisyartihi, wa aināhu mustakīnatāni hāda′atāni/ “Namanya Bayoumi. Ketika saya memandang ke atas dan melihat mukanya saya tidak merasa takut. Hidungnya mirip dengan ayah. Hidungnya besar dan bulat, dan warna kulitnya gelap pula”(Al-Sa’dawi, 2000: 67)

Selain itu Bayoumi juga digambarkan sebagai seorang yang dermawan. Ia mau menolong dan memberikan tumpangan tempat tinggal kepada orang yang belum ia kenal. Berikut kutipannya :

/Wa qāla lī annahu yaskunu fī baiti min hajaratani, wa annanī astatī‛u an askunu fī hajaratan minhumā hattā uhsuli alā amali/ “Dia berkata bahwa dia tinggal di dua kamar dan bahwa saya dapat tinggal disebuah kamar sampai saya memperoleh pekerjaan”.(Al-Sa’dawi, 2000: 67)

Bayoumi digambarkan sebagai seorang laki-laki yang ingin menikmati tubuh wanita. Firdaus dijadikan obyek pelampiasan nafsu birahinya. Ia mengurung Firdaus dan memaksa Firdaus untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Berikut kutipannya :


(42)

xxxix /Wa asbaha yuglaqu alayya bābun asyaqati qabla an yakhruju, wa asbahat anāmu alā al-ardi fī alhajarati al-ukhrā. waya′tī fī muntasafi al-laili, yasyudda annī al-gatā′u, wa yasfa‛nī, wa yar qad fawqī. Lam akun aftaha ainī, waatruku jasdī tahta jasadahu bigairi harakatin wa lā ragbatin wa lā lażatin wa lāayyi syai′in, jasada mayyatin lā hayātan fīhi, kaqataati min al-khasbi, aw jūrabu min al-qatni, aw fardatan hażā′a. Ważāta marrata ahassastu an jasadahu asqala mimmā kāna. Wa infāsahu lahā rā′ihatu lam asymuha min qabla, wa fatahat ainī fara aita fawqa wajhī wajhā akhara gaira wajhu biyaumī./“dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai dikamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya dengan seluruh berat bebannya. (Al-Sa’dawi, 2000:72 )

g) Sharifa

Sharifa adalah germo yang menjadikan Firdaus sebagai pelacur dengan bayaran yang mahal. Berikut kutipannya:

/wa hal lī qīmatun yā syarifata?. Wa qālat: anta jamīlatun wamisqafatun. Qultu: misqafatin?. Lam ahsul illa alā asyanawiyati. Qālat: wa hal hażā qalīlu?. Anā lam ahsul alā al-ibtidā′iyyati. Qultu bisyai′in man al-hażri: wa hal lakaqīmatun yā syarifata?. Qālat: bītb‛un, lā yumkinu an yalmasnī ahada dūna an yadfa‛u gāliyān. Wa anta aksara syabābān minnī wa aksara saqafata, wa lā yumkinu an yalmasuka ahadun dūna an yadfa‛u di‛fun mā yadfaahu lī. Qultu: walakinnī lā astatī‛u an atluba minarrajuli syai′ān. Qālat: lā tatlubī syai′ān, laisa hażā huwa sya′nuka... annahu sya′nī anā./ “Dan apakah saya ini benar-benar bernilai, Sharifa? “Kau cantik dan terpelajar”. “terpelajar?” kata saya”. Apa yang akan saya miliki hanyalah sebuah ijazah sekolah menengah.” “Kau meremehkan dirimu sendiri, Firdaus. Saya tidak lebih hanya mendapat ijazah sekolah dasar.” “dan


(43)

xl anda tidak mempunyai harga? Tanya saya hati-hati. “tentu saja. Tak seorang pun dapat menyentuh saya tanpa membayar harga yang sangat tinggi. Kau lebih muda dari saya dan lebih terpelajar, dan tak seorang pun mampu mendekatimu tanpa membayar dua kali lebih banyak daripada yang dibayarkan kepada saya” (Al-Sa’dawi. 2000: 79)

h)Fawzi

Fawji adalah kekasih Sharifa. Ia menyukai Firdaus dan berkata pada Sharifa bahwa ia ingin mengawini Firdaus. Ia digambarkan sebagai sosok yang tidak mau diperbudak oleh uang dan cinta. Ia berkeinginan untuk mencari kenikmatan hidup. Berikut kutipannya :

/sata′khużu hā minnī yā fawjī?!. Sawfa atajawważahā yā syarīfata. Anta lā tatajawważa yāfawjī. Hażā fī al-mādi, walkinnī kabarat wa urīdu ibnān. Liyarisa al-arda wa al-amwāla?!. Lā taskharī minnī yā syarifata. Law aradat an akūna sāhiba malāyyin laasbahtu, wa lakinnī rajulu yu‛asyaqa lażāiża al -hayāti, wa aksaba al-māla lianfaqahu, wa lā syai′in yusta‛badanī lā al-māla wa lā al-habba./ “Kau bermaksud untuk mengambilnya dari aku? Saya akan mengawininya, Sharifa. Tidak dengan kau. Kau jangan kawin. Itu semua sudah berlalu. Sekarang saya telah menjadi tua dan ingin mempunyai anak. Supaya dia dapat mewarisi harta kekayaanmu? Jangan mencemohkan aku, Sharifa. Jika mau saya dapat menjadi jutawan, tetapi saya adalah seorang laki-laki yang hidup untuk mencari kenikmatan hidup. Saya memperoleh uang untuk dibelanjakan. Saya menolak untuk menjadi budak, baik jadi budaknya uang, maupun jadi budaknya cinta”. (Al-Sa’dawi, 2000: 84)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Fawji ingin mengawini Firdaus karena ia ingin berumah tangga dan ia ingin mempunyai keturunan. Karena ia merasa sudah semakin tua


(44)

xli

i) Ibrahim

Ibrahim digambarkan sebagai seorang laki-laki yang bertubuh gemuk, rambut hitam dan halus serta mempunyai mata hitam. Hal tersebut diungkapkan oleh Firdaus pada kutipan berikut :

-/Kāna ismuhu ibrāhīma. mumtalī′u al -jismu wa qasīrun. sya‛ruhu aswadun muj‛idun, wa aināhu sawdāwānu./ “Namanya Ibrahim, orangnya pendek, gemuk, dengan rambut yang hitam dan halus, serta bermata hitam “. (Al-Sa’dawi, 2000: 112)

Ibrahim juga digambarkan mempunyai sifat perhatian. Ketika ia melihat Firdaus duduk sendirian dan menangis. Ia mendekati Firdaus dan menanyakan kenapa dia menangis. Berikut kutipannya :

/Firdaus, arjūka, lā tabkī. Qultu lahu: da‛nī abkī. Wa qāla: lam araka abdān tabkīna, famā allażī hadasa?. Qultu: lāsyai′in. Lā syai′in. Qāla: lā yumkinu, lā buddā an syai′ān hadasa?. Qultu lahu : lam yahdusu ayyu syai′in. Qāla bidahsatin : atbakīn bigairi sababin?qultu lahu : lāa‛rifu assababin, wa lam yahdusu fī hayātī syai′in jadīdin./ “Firdaus aku mohon janganlah menangis. Biarkan saya menagis, kata saya. Tetapi saya belum pernah melihatmu menangis. Apakah yang terjadi? Tidak apa-apa… sama sekali tidak apa-apa. Itu tidak mungkin. Sesuatu pasti terjadi. Sama sekali tak terjadi apa-apa, ulang saya”. (Al-Sa’dawi, 2000: 113)

Selain itu, Ibrahim juga digambarkan sebagai seorang yang hanya mau memikirkan jabatan dan harta dan tanpa ada rasa tanggung jawab dan belas kasihan kepada orang lain khususnya Firdaus. Ia telah memberikan benih cinta pada Firdaus dan telah tidur dengan Firdaus, tetapi ia malah menikah dengan anak Presiden Direktur di Perusahaan tempat ia bekerja. Berikut kutipannya :


(45)

xlii /Khataba ibnatu ra′īsi majlisi al-adirāti bi al-amsi. Syābun żakiyyun yastahiqqun kulla khairin. Mustaqbalahu bāhara. sayus‛idu sarī‛an fī asyarikati./ “Dia telah bertunangan kemarin dengan anak gadis sang Presiden Direktur. Dia seorang pria yang cerdik, dan berhak menerima peruntungan apa pun yang datang kepadanya. Dia punya masa depan yang gemilang dan akan naik dengan cepat di perusahaan ini” (Al-Sa’dawi, 2000: 121)

j) Marzouk

Tokoh Marzouk digambarkan sebagai seorang germo. Yang menginginkan germo dari Firdaus. Berikut kutipannya :

/wa dahika ar-rajulu al-quwwādu, wa kāna ismuhu “marjauqu”. Wahuwa yurāqibnī min ba‛id, wa anāabhasu an syai′ in yahmīnī minhu dūna jadwā/ “Dan lelaki ni, germo ini, yang bernama Marzouk, tertawa besar ketika ia mengamati saya dari jauh, berupaya keras tanpa hasil mencari sesuatu jalan untuk melindungi dari ancamannya”. (Al-Sa’dawi. 2000: 135)

Marzouk juga berkeinginan untuk mengawini Firdaus dengan alasan untuk melindunginya dari germo yang lain. Tetapi semua itu di tolak oleh firdaus. Berikut kutipannya:


(46)

xliii /māzā turīdu minnī?. Qāla : urīdu an ahmīka min ar-rijāli akhirīna. Qultu lahu: an ahada lā yah gairuka!. Qāla : iżā lam ahdadaka anā, fasawfa yahdadaka rijalu akhara, fāllaqūdūna kasirūna. Wa iżā ragabat fī an atzujaka aidaān fa′anā musta‛idu. Qultu : lā dā‛ī lilzawaji aidān, yukfī an ta′khażu amwālī, ammā jasdī fahuwa mulku lī. /“Apa yang kau inginkan dari saya? Tanya saya. Aku ingin melindungimu dari orang lain, jawabnya. Tetapi tak ada orang lain kecuali kamu yang mengancam saya. Jika bukan saya, akan ada orang lain. Germo-germo berkeliaran di mana-mana. Jika kau menghendaki saya kawin denganmu, dengan segala senanga hati saya bersedih. Saya tidak melihat perlunya kawin dengan kamu . sudah cukup jika kau mengambil bagian yang saya peroleh. Tubuh ini setidaknya-tidaknya tetap masih milik saya”. (Al-Sa’dawi, 2000: 1)

3.3.3 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Sebagaimana dikemukakan diatas, latar terdiri dari 3(tiga) unsur yaitu tempat, waktu dan lingkungan sosial budaya. Kehadiran ketiga unsur tersebut saling mengait, saling mempengaruhi dan tidak sendiri-sendiri walau secara teoritis memang dapat dipisahkan dan diidentifikasi secara terpisah.

1. Latar tempat

Latar tempat menunjukkan pada pengertian tempat dimana cerita yang dikisahkan itu terjadi.

Mesir adalah suatu tempat di mana peristiwa-peristiwa dalam novel / ‛inda nuqtati al-sifri/ terjadi. Berikut kutipannya :


(47)

xliv /hazihi al-mar’atu haqīqiyyatun min lahmin wa dammin, qābaltuhā fī sijni al -qanātiri munzu bid’ati a’wāmin kuntu aqumu yabhasu an syahsiyyati ba’di annisa’I al-mutahammāti aw al-mahkūma alaihinna fi qadāyā mutanawwiatan. Wa qāla lī tabību al-sijni anna hajihi al-mar’ata hukūma alaihā bil ī’dāmi liinnahā qatalat rajulan/“ini adalah wanita sejati, saya berjumpa dengannya di penjara qanatir beberapa tahun yang lalu. Saya sedang melakukan penelitian mengenai kepribadian suatu kelompok wanita yang dipenjarakan dan ditahan, karena dijatuhi hukuman atau dituduh melakukan berbagai pelanggaran. Dokter penjara, seorang laki-laki, menceritakan kepada saya bahwa wanita ini telah dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki.”(Al-Sa’dawi, 2000: 3)

Pada kutipan di atas yang menunjukkan latar tempat yaitu pada kalimat / fī sijni al-qanātiri/ ‘di penjara Qanatir’

Firdaus tinggal dirumah pamannya setelah ayah dan ibunya meninggal dunia. Ia ikut dengan pamannya dan disekolahkan pamannya.tetapi akhirnya Firdaus dijual pamannya dengan dalih akan dinikahkan dengan seorang yang kaya. Kenyataannya Firdaus kembali ke rumah pamannya setelah ia merasa tidak diperlakukan dengan tidak benar oleh Syekh Mahmoud. Berikut kutipannya :

/lā adrī kayfa tahammltu al-hayātu fī bayti ammī wa zawjatihi, wa lā adrī kayfa tazawajtu al-saykha mahmūd/‘Setelah saya kembali tak tahu bagaimana saya bertahan hidup di rumah paman, saya pun tak ingat lagi bagaimana menjadi seorang istri Syekh Mahmoud’. (Al-Sa’dawi, 2000: 60)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu

/

bayti ammī/ ‘di rumah paman’

Setelah Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud, ia tinggal bersama Syekh Mahmoud. Berikut kutipannya:


(48)

xlv /waantaqaltu min bayti ammī ila bayti al-saykhi Mahmudin, wa asbaha lī sarīrun murīhun badalan min al-kanbati alkhasabiyyati/ ‘Saatnya pun tiba ketika saya meninggalkan rumah paman dan hidup bersama Syekh Mahmoud. Sekarang saya tidur diatas tempat tidur yang lebih menyenangkan daripada dipan kayu . (Al-Sa’dawi, 2000: 61)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu

/

min bayti ammī/ ‘dari rumah paman dan

/

ila bayti al-saykhi Mahmud/ ‘ke rumah seykh mahmud’

Setelah melarikan diri dari rumah Biyaumi, Firdaus bertemu dengan Sharifa yang merupakan seorang germo. Ia tinggal dengan Sharifa. Berikut kutipannya:

/tiwāla attarīqi ila baytihā kuntu uhkī qissatī. Taraknā syara‛a an-nīli wa dakhalnā fi syari‛in sagīri jānibī, wa ba‛da qalili sa‛adna fi ahdā al-‛imārāti al -kabīrati wa ′artajafa jasadī wahuwa yartafi‛u wahdahu ila a‛la dākhila al-mas‛adi./ ‘Dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya saya bicara terus, melukiskan hal-hal yang menimpa diri saya. Kami tinggalkan jalan yang membentang sepanjang sungai dan membelok menuju jalan samping yang kecil, dan sejenak kemudian berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang besar, saya gemetar ketika saya diangkat ketas oleh lift ’.(Al-Sa’dawi, 2000: 76)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu

/

fi ahdā al-‛imārāti al-kabīrati/ ‘di depan sebuah gedung apartemen yang besar’

Apartemen Firdaus menjadi latar ketika ia tidak lagi bekerja dengan Sharifa. Ia tinggal di apartemen dan menerima tamunya di sana. Berikut kutipannya :


(49)

xlvi /wa amliku fi bayti maktabatan kabīratan, aqdī biha awqāti farāgī, wa‛ala judrānihā allaqtu al-lawhāti al-fanniyyati yatawassatuha itarun saminun dahiluhu sahadati assanawiyyati/ Saya memiliki sebuah perpustakaan yang besar di dalam apartemen saya, dan disitulah saya banyak menghabiskan waktu senggang saya. Di dinding saya gantungkan beberapa lukisan yang baik dan tepat ditengahnya tergantung ijazah sekolah menengah saya dilingkari sebuah bingkai yang mahal. Saya tak pernah menerima seseorang di dalam ruang perpustakaan. Sebuah ruangan yang sangat khusus diperuntukkan hanya bagi saya sendiri. Ruangan tidur saya adalah ruangan dimana saya menerima tamu-tamu. (Al-Sa’dawi, 2000: 100)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu /wa amliku fi bayti maktabatan kabīratan/

/wa lam takun hunāka min wizāratin aw muslihatin aw syirkatin illa was’iyyat ilaihā. Wa hasaltu āhara al-amari ‛ala wazīfatin sikritiratin bi ihdā al-syirkāti al-sinā‛iyyati al-kubrā/ ‘saya pergi ke semua kementrian, departemen dan kantor-kantor perusahaan yang mungkin ada lowongan. Dan akhirnya, berkat daya upaya itu saya peroleh suatu pekerja pada salah satu perusahaan industri besar’ (Al-Sa’dawi, 2000: 106)

Pada kutipan di atas yang menunjukkan latar tempat yaitu pada kalimat /al-syirkātu al-sinā‛iyyatu al-kubrā/ ‘perusahaan industri besar’


(50)

xlvii Kantor Firdaus menjadi latar dalam cerita ketika Firdaus bekerja di sebuah perusahaan yang mempertemukannya dengan Ibrahim. Berikut kutipannya :

,

/wa adrakta ba‛da śalaśtu a‛wāmin qadaytuhā bi syaikata annanī hazaytu wa anā mūmisan/Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu ,saya menyadari, bahwa sebagai pelacur saya telah dipandang dengan lebih terhormat.(Al-Sa’dawi, 2000: 109)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar tempat yaitu kalimat /bisyarikatu/ ‘pada perusahaan itu’

2. Latar waktu

Latar waktu dapat dipahami sebagai kapan berlangsungnya berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Dalam banyak kasus masalah waktu lazimnya dikaitkan dengan waktu kejadian yang ada di dunia nyata, waktu faktual, waktu yang mempunyai referensi sejarah.

Latar waktu yang paling utama adalah saat Firdaus di penjara yaitu saat dokter penjara wanita menemui Firdaus yang akan dieksekusi mati. Latar waktu ini muncul pada bagian awal dan akhir cerita ketika alur belum kembali ke masa lalu. Berikut kutipannya :

/ - -

--i ‛dāmi ba‛da asyiratin ayyāmin/ ‘ini wanita yangbernama Firdaus dan yang sepuluh hari lagi akan dibawa ke tiang gantungan’(Al-Sa’dawi, 2000: 3)

Pada kutipan diatas yang menunjukkan latar waktu yaitu pada kalimat

/

asyiratin ayyāmin/ ‘sepuluh hari lagi’


(51)

xlviii Sekarang saya sedang menunggu mereka. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput saya. Besok pagi saya tidak akan ada lagi disini. Saya akan berada disuatu tempat yang tidak seorangpun tahu. Berikut kutipannya :

/fī al-sa‛ti al-sādisati tam

-

--

-- - -hukkāmu wa r -

-zahwi/ ‘mereka akan menjemput saya pada pukul enam tepat setelah zuhur. Besok saya tidak akan berada di sini lagi. Tak seorangpun yang mengetahui di mana keberadaan saya. Sesungguhnya perjalanan ke suatu tempat ini tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, membuat saya merasa bagga’.(Al-Sa’dawi, 2000: 15)

3. Latar sosial buda ya

Latar sosial budaya menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam kara fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap. Di samping itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Latar sosial dalam novel / ‛inda nuqtati

al-sifri/ mengambil kebudayaan pelacuran di negara Mesir, di dalam novel ini, digambarkan mengenai kebobrokan kaum laki-laki di Mesir. Mulai yang berprofesi sebagai polisi, pejabat, hingga yang mengaku sebagai seorang pangeran.


(52)

xlix Firdaus juga mengungkapkan kebobrokan kaum laki-laki dan penguasa di Mesir dalam dialog-dialognya dan pandangan-pandangannya:

/l

-nanazara ilayhi wa żāta marratan madadtu yadī dahalasakhanuhu fadarabnī ala yadī / ‘ayah tak akan pergi tidur tanpa makan mlam terlebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja. Pada suatu malam saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah piringnya, tetapi ia memberikan sebuah pukulan keras pada punggung dan jari-jari saya’ (Al-Sa’dawi, 2000: 26)

Kutipan diatas adalah seorang ayah yang tega membiarkan anak dan istrinya kelaparan. Ayah Firrdaus sangat rakus menyantap makanannya, dan apabila anggota keluarganya mengganggunya saat makan, ia tak segan-segan memukul dengan keras. Hal ini membuktikan kekuasaan dipegang secara mutlak oleh kaum laki-laki. Seorang ayah mempunyai kekuasaan yang mutlak dalam keluarga, karena di Mesir masih menjunjung budaya patriarki.


(53)

l /wa anraktu annahum kulluhum riżālun wanufūsuhum syarhatun musyawahatun, wa syahwāhatuhum lilmāli wal-jinsi wassultati lā hudūdalahā, wa lā riqābatan alaihān. Waannahum yufsidūna al-arda wa yunhibūna an-nāsa, walahum hanājiru qawiyyatun, sawtuhum muqni‛un, wakalamuhum ma‛sūlun,

wasihāmuhum masmūmatan. Wal

-- / dapat pula mengetahui

bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan diantara mereka adalah kekuasaan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu, ketenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan keerasan kepala yng dungu.(Al-Sa’dawi. 2000: 39)

Kutipan diatas menunjukkan bahwa segala yang memerintah adalah laki-laki. Perempuan tidak bisa memerintah, karena laki-lakilah yang memiliki kekuasaan dan segalanya. Laki-laki memiliki kekuasaan untuk menumpuk harta dan menaklukkan perempuan.

Selain kebobrokan para pemerintah Mesir yang menjadi latar sosial, dalam novel ini juga dijelaskan mengenai kedudukan wanita di Negara Mesir sesuai dengansyariat islam. Wanita merupakan bagian dari laki-laki yang bertugas sebagai pendamping laki-laki.

Tokoh Firdaus mempunyai pandangan jika perempuan hanya dijadikan objek pemuas nafsu birahi laki-laki. Walaupun sudah menikah, wanita masih dijadikan sebagai seorang pelacur untuk suaminya. Berikut kutipan:


(1)

lxxvi BAB IV

PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Sebagai penutup dari skripsi ini peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan dari uraian-uraian sebelumnya sebagai berikut, yaitu :

a. Novel

/

atun ‘inda nuqtati al-sifri/ karya Nawal Al-Sa‘dawi terdiri dari 115 halaman dan 3 bab. Terjemahannya adalah Perempuan di Titik Nol (Amir Sutaarga, 2000) terdiri dari 115 halaman dan 3 bab.

b. Struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur yang ditemukan dalam novel / atun ‘inda nuqtati al-sifri/ karya Nawal Al-Sa‘dawi yaitu

 Pada tema 1(satu) kutipan

 Pada tokoh Firdaus 5 (lima) kutipan, Ayah, Paman dan Morzauk masing-masing 2(dua) kutipan, Ibu Firdaus, Sharifa dan Fawji masing-masing 1 (satu) kutipan, Syekh Mahmoud 4 (empat) kutipan, Biyaumi dan Ibrahim masing-masing 3(tiga) kutipan,

 Pada latar yaitu latar tempat 7(tujuh) kutipan, latar waktu 2(dua) kutipan, latar sosial 3(tiga) kutipan.

 Pada alur yaitu tahap penyituasian, peningkatan konflik, dan tahap penyelesaian masing-masing 4(empat) kutipan, tahap pemunculan konflik 6(enam) kutipan, tahap puncak 7(tujuh) kutipan.

c. Tanda-tanda semiotik yang ditemukan di dalam novel

/ imra’atun ‘inda nuqtati al-sifri/ karya Nawal Al-Sa‘dawi meliputi tanda ikon, indeks,dan simbol.

 Pada penokohan terdapat tanda semiotik sebanyak 4 ikon yaitu pada tokoh Ayah, Paman dan Syekh Mahmoud. Tanda berupa indeks sebanyak 4 tanda yaitu pada tokoh Firdaus, Ayah,


(2)

lxxvii Paman dan Syekh Mahmoud, sedangkan tanda berupa simbol sebanyak 3 tanda yaitu pada tokoh Ayah, Syekh Mahmoud, Marzouk.

 Pada latar tempat tanda semiotik berupa ikon, indeks, simbol masing-masing 1 (satu) kutipan, sedangkan pada latar waktu dan sosial tidak ada ditemukan.

 Pada alur tahap penyituasian berupa indeks dan ikon sebanyak 2(dua) tanda , tahap pemunculan konflik berupa ikon, indeks dan simbol masing-masing 1(satu) tanda.

 Sedangkan pada tema tidak ditemukan tanda semiotic berupa ikon, indeks dan simbol

. 4.2 Saran

1. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam tulisan ini, maka penulis mengharapkan bagi mahasiswa/i meneliti tentang

struktural dan semiotik dalam novel / atun

‘inda nuqtati alsifri/ sehingga menjadi kajian yang lebih sempurna.

2. Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat dan dapat membantu untuk memahami struktur berupa tema, tokoh, latar dan alur dan bagaimana tanda-tanda semiotik seperti ikon, indeks, dan simbol dalam karya sastra lainnya.

3. Kepada pihak Program Studi Bahasa Arab penulis mengharapkan agar dapat melengkapi fasilitas yang dibutuhkan berupa buku-buku untung mendukung penelitian berikutnya.


(3)

lxxviii

DAFTAR PUSTAKA

Al-Sa‘dawi, Nawal. 2002. Imra‘atun ‘Inda Nuqţati Al-Şifri. Iskandaria : Dari Wa Mutābi‛ Al- Mustaqbal.

... 2000. Perempuan di Titik Nol (Terjemahan Amir Sutaarga). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Jaudah, Suroyya Abdul Mun’im.1991. Dirasatun Tarikhiyayatun wa Fanniyyatun fi maqālati wa qissati wa masrahhiyyati. Kairo : Universitas Al-azhar.

Komaruddin. 1987. Metode Penulisan Skripsi danTesis. Bandung : Angkasa

Mendikbud. 2006. Ejaan Yang Disempurnakan. Tanggerang : Pustaka Widyatama.

... 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta : Balai Pustaka.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Simamora, Nur Aisyah. 2008. Pemikiran Gender Nawal Al-Sa‛dawi. Tesis S-2.Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Program Studi Pemikiran Islam Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya

Sukada, Made. 1987. Analisis Struktur fiksi. Bandung : Angkasa

Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika. Jakarta : Yayasan Sumber Agung

Waluyo, Hermanj. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Umam.

Wellek dan Werren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : gramedia.


(4)

lxxix LAMPIRAN

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah Sistem Transliterasi Arab-Latin Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P&K RI no. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alif - tidak dilambangkan

bā b -

tā t -

śā s s (dengan titik diatasnya)

Jīm j -

hā h (dengan titik di bawahnya)

khā kh -

Dal d -

Żal z z (dengan titik di atasnya)

rā r -

Zai z -

Sīn s -

Syīn sy -

Şād ş s (dengan titik di bawahnya)

Dād d d (dengan titik di bawahnya)

ţā t t (dengan titik di bawahnya)

zā z z (dengan titik di bawahnya)

‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

Gain g -


(5)

lxxx

Qāf q -

Kāf k -

lām l -

mīm m -

nūn n -

wāwu w -

H h -

hamzah ′ apostrof, tetapi lambang ini

tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata

y y -

II.Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. Contoh: ditulis Ahmadiyyah

III.

1. Bila dimatikan ditulis h,kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya.

Contoh: ditulis jamā’ah 2. Bila dihidupkan ditulis t

Contoh: ditulis karāmatul-auliyā′ IV. Vokal Pendek

Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u

V. Vokal Panjang

A panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī , dan u panjang ditulis ū, masing- masing dengan tanda hubung ( - ) di atasnya.


(6)

lxxxi VI. Vokal Rangkap

tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai, ditulis dan fathah + wu mati ditulis au.

VII.Vokal-Vokal Pendek yang Berurutan dalam satu kata Dipisahkan dengan apostrof ( ′ )

Contoh: ditulis a′antum ditulis mu′annaś

VIII.Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al- Contoh: ditulis Al-Qura′ān

2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, huruf 1 diganti dengan huruf syamsiyyah yang mengikutinya.

Contoh: ditulis asy-Syī‛ah

IX. Huruf Besar

Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD

X. Kata dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat 1. Ditulis kata per kata, atau

2. Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut. Contoh:

ditulis Syaikh al-Islām atau Syakhul-Islām