Tahap penyituasian situasion Alur

lii

1. Tahap penyituasian situasion

Tahap ini merupakan tahap pengenalan cerita. Dalam novel ini, tahap ini berada pada posisi awal cerita. Tahap pengenalan cerita dimulai dari datangnya tokoh Dokter penjara untuk menemui Firdaus di penjara. Berikut kutipannya : - Wa takarratu jiyāratī al-sijni, wa fī kulu marratin hāwalat an arā firdawsi, lakinna muhāwi lātī kullahā bā′at bilfasyli. Wa asbaha al -bahasa al-nafsī allażī aqūmu bihi muhaddidān bilfasyli. “Saya kembali ke penjara beberapa kali, tetapi semua daya upaya saya untuk menemui Firdaus tidak berhasil. Saya merasa bagaimanapun juga bahwa penelitian saya dalam keadaan gawat” Al-Sa’dawi, 2000: 6 Tokoh dokter ini selalu berusaha menemui Firdaus bagaimanapun caranya. Ia tiap hari kembali ke penjara untuk menemui Firdaus. Berikut kutipannya : Fī assabāhi attālī wajadtu nafsī fī al-sijni. Lam akun as ‛ī ilā muhāwalātin jadīdatin lilqāi firdawsi, faqad ya′isat tamāmān min liqā′ihā, lakinnī kuntu ibhasu an assajānati aw tabība al-sijni. “ke esokan paginya, saya telah berada di penjara lagi. Saya tidak bermaksud berusaha menemui Firdaus, sebab saya telah kehilangan harapan. Saya sedang menunggu sipir atau dokter penjara. Dokter belum juga tiba namun saya menjumpai sipir “Al-Sa’dawi, 2002: 7 Pengarang memperkenalkan kehidupan dan latar belakang Firdaus. Ia dilahirkan di keluarga kurang mampu yang selalu didominasi oleh tokoh ayah. Ayahnya seorang petani miskin. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu Universitas Sumatera Utara liii tunduk pada suamianya dan mengagunkan suaminya, hingga anak-anaknya tidak pernah dipelihara dan mendapatkan sisa perhatian darinya. Berikut kutipannya : , wa lam ya ‛rif min al -hayāti illa an yazra ‛a al-ardi “ayah saya seorang petani miskin, yang tak dapat membaca dan menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan Al-Sa’dawi, 2002: 16 - - “pada waktu ia selesai makan ibu membawakan segelas air kepadanya. Diminumnya air itu, kemudian bersendawa dengan suara nyaring, mengeluarkan hawa dari mulut atau perutnya dengan suara yang panjang-panjang”. Al-Sa’dawi, 200: 27 Bagian pengenalan ini dengan kisah mengenai kehidupan Firdaus di rumah pamannya. Ia tinggal bersama pamannya setelah Ayah dan Ibunya meninggal. 2. Tahap Pemunculan Konflik Generating Circumtances Tahap kedua merupakan tahap pemunculan konflik. Pada tahap ini diuraikan bagaimana sebab munculnya konflik yang terjadi pada diri Firdaus. Koflik pertama yang muncul pada Firdaus ketika ia harus hidup berumahtangga dengan Syekh Mahmoud. Ia saat itu berumur 18 tahun. Hal itu karena ia berusaha membalas budi kebaikan pamannya dan ia tidak mau mengecawakan pamannya. Berikut kutipannya : Universitas Sumatera Utara liv khālī al-syaikhu mahmūd rajlu sālihun, wa ma‛āsyahu kabīru, wa laisa lahu aw lādu, wa huwa wahidu munża mātatu jawjathu al-‛āma al-mādī walaw tajawaja asyaikhu mahmuūdun firdausi, la‛āsat ma‛ahu hayāatun tayyibatan wawajada fīhā ajjawjati al-mutī‛ati allatī tukhdimahu watu′nisi wahdatahu. Firdawsi kuburat yā sayyadanā asyaikhu, wa lā budda an tatajawwaj. An baqā ′a hā hattā al- ana bigairi jawāji syai′in khutra. Firdawsi bintu tayyibatin, wa lakinna awlādu al- harāma kasirūna. “pamanku, Syekh Makhmoud adalah seorang yang terhormat. Dia punya pensiun yang besar dan tak punya anak-anak, dan ia masih hidup sendirian sejak istrinya meninggal tahun yang lalu. Bila ia menikah dengan Firdaus, Firdaus akan memperoleh kehidupan yang baik bersamanya, dan ia akan mendapatkan pada diri Firdaus seorang istri yang penurut, yang akan melayaninya dan akan meringankan kesunyiannya. Firdaus telah bertambah besar, yang mulia, dan harus dikawinkan. Dia adalah seorang gadis yang baik, tetapi dunia ini sudah penuh dengan begajul Al-Sa’dawi, 2000: 52 Konflik selanjutnya terjadi ketika ia hidup bersama Syekh Mahmoud. Ia mendapatkan kekerasan Fisik dari Syekh Mahmoud. Berikut kutipannya : - fa ′ahaża yasīhu bisawtin āla samuhu al-jairāni. Summa bada ′a yadribnī bisababin wa bigairi sababin. Darabnī marratan bika‛bin al -hażā′i hatta taurami w ajhī wajasdī, fatarakat baitahu wa żahabat ilā ammī. “setelah peristiwa itu ia mempunyai kebiasaan untuk memukul saya, apakah dia mempunyai alasan atau tidak. Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah paman”. Al-Sa’dawi, 2000: 63 Kemudian karena dia tidak tahan dengan semua perlakuan Syekh Mahmoud, ia kemudian melarikan diri. Ia bertemu denagn Biyoumi dan memutuskan untuk tinggal bersamanya hingga ia mendapatkan pekerjaan. Berikut kutipannya : Universitas Sumatera Utara lv - i smuhu kāna biyaumi, wahīna rafa ‛at ainī ilā wajhahu lam asy‛uru bikhafin. Anfahu kāna makūrān kabīrān yusabbihu anfa abī, wabisyartihi samrā ′u kabisyartihi, wa aināhu mustakīnatāni hāda ′atāni. “namanya Biyoumi. Ketika saya memandang ke atas dan melihat mukanya saya tidak merasa takut. Hidungnya mirip dengan ayah. Hidungnya besar dan bulat, dan warna kulitnya gelap pula”Al-Sa’dawi, 2000: 67 awwal lailatan żahabat maahu kānat ad-dunyā syattā′a wa baradān “Pada waktu itu musim dingin dan malamnya dingin, ketika pertama kali saya ikut bersamanya kerumahnya” Al-Sa’dawi, 2002: 68 Firdaus merasa ia telah dimanfaatkan oleh Biyoumi, hingga akhirnya ia memutuskan melarikan diri dari kekangan Biyoumi dan kawannya ketika ia di kurung di dalam kamar. Berikut kutipannya : Universitas Sumatera Utara lvi Wa asbaha yuglaqu alayya bābun asyaqati qabla an yakhruju, wa asbahat anāmu alā al-ardi fī alhajarati al-ukhrā. waya′tī fī muntasafi al-laili, yasyudda annī al-gatā′u, wa yasfa‛nī, wa yar qad fawqī. Lam akun aftaha ainī, waatruku jasdī tahta jasadahu bigairi harakatin wa lā ragbatin wa lā lażatin wa lāayyi syai ′in, jasada mayyatin lā hayātan fīhi, kaqataati min al-khasbi, aw jūrabu min al- qatni, aw fardatan hażā ′a. Ważāta mar rata ahassastu an jasadahu asqala mimmā kāna. Wa infāsahu lahā rā′ihatu lam asymuha min qabla, wa fatahat ainī fara aita fawqa wajhī wajhā akhara gaira wajhu biyaumī. “dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai dikamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya dengan seluruh berat bebannya. Saya tetap memejamkan mata dan menyingkirkan tubuh saya. Siapa kau? Kata saya. “Biyoumi”jawabnya. Saya mendesak dan, kau bukan Biyoumi. Siapa kau. “apa sih bedanya? Biyoumi dan aku adalah sama. Kemudian dia bertanya. Kau merasakan nikmat?”Al Sa’dawi, 2000: 72 fakharajat min baiti biyaumī ilā asyāri‛u ajrī. Asbaha asyāri‛u huwa al -makānu al- amnu allażī ajrī ilaihi, wa al-laqī fīhi bikulli nafsī “saya lari dari rumah Biyoumi ke jalanan. Karena jalanan telah menjadi satu-satunya tetempat yang paling aman tempat saya dapat mencari tempat berlindung, dan ke situ saya dapat melarikan diri dengan seluruh jiwa raga saya”Al-Sa’dawi, 2000: 73

3. Tahap peningkatan konflik Rising Action