Daya Paksa Absolut; dan 2. Daya Paksa Relatif: Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat 1 KUHP

65 Menanggapi perbedaan Pendapat tentang Daya Paksa dalam hubungannya dengan alasan peniadaan pidana serta akibat hukumnya, berdasarkan berbagai uraian diatas ditambah dengan hemat penulis maka pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Daya Paksa Absolut; dan 2. Daya Paksa Relatif:

Jika merujuk pada ajaran dualisme maka akibat hukum terjadinya hal tersebut diatas harus pulalah terbagi atas putusan bebas dan lepas, Untuk menggolongkan daya paksa mana yang termasuk sebagai alasan pembenar ataupun pemaaf harusnya dikembalikan kepada hakikat adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf itu sendiri. Sebagaimana sudah menjadi pendapat umum bahwa alasan pembenar timbul ketika perbuatan sese- orang memang tidak memiliki nilai melawan hukum sehingga bukanlah orangnya yang dimaakan akan tetapi perbuatannya yang harus dianggap benar sedangkan alasan pemaaf timbul ketika perbuatan seseorang memiliki sifat melawan hukum namun karena alasan tertentu maka orangnya dimaakan. Dari hakikat perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf, dapatlah disimpulkan bahwa sesung- guhnya alasan pembenar memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada alasan pemaaf, hal ini pulalah yang mendasari bahwa alasan pembenar bermuara pada putusan bebas vrijspraak sedangkan alasan pemaaf bermuara pada putusan lepas Onstlaag Van Alle Rechtsvervolging. 66 Jika dihubungkan dengan daya paksa absolute dan daya paksa relative maka, nampak jelas bahwa daya pak- sa absolute memiliki kedudukan lebih tinggi sebagai alasan pengecualian pidana dibanding daya paksa relatif. Sehingga daya paksa absolute harus digolongkan sebagai alasan pembenar sedangkan daya paksa relatif digolongkan sebagai alasan pemaaf.

2. Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat 1 KUHP

Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang- undang. Pasal 49 1 KUHP terjemahan mengatakan: “Tidak dipidang barang siapa yang melakukan perbuatan pem belaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, karena serangan sekejap itu atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.” Pembelaan terpaksa KUHP Indonesia ini berbeda dengan WvS Belanda, karena KUHP Indonesia mengikuti WvS untuk golongan Eropa dulu 1898. la memperluas pengertian serangan bukan hanya yang sekejap itu seperti WvS Belanda oogenblikke lijke tetapi diperluas dengan ancamanseranganyang sangat dekat pada saat itu onmiddelijke dreigende. Alasannya, karena situasi dan kondisi Indonesia Hindia Relanda, waktu itu berbeda dengan Belanda. Tetapi menurut Lemaire, maksud tersebut kurang ber arti, hanya mempertegas saja, karena menurut penulis Belanda, Pasal 67 41 WvS Pasal 49 KUHP itu berarti juga ancaman serangan seketika itu. Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsur-unsur suatu pem belaan terpaksa noodweer tersebut: 1. Pembelaan itu bersifat terpaksa; 2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan ke- susilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain; 3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu; dan 4. Serangan itu melawan hukum. Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan.Asas ini disebut asas subsidiaritas subsidiariteit. Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional, tidak semua alat dapat digunakan hanya yang pantas, masuk akal saja. Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan menem bak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembela an itu harus sangat perlu. Kalau perlindungan cukup dengan lari maka pembelaan tidak perlu. Begitu juga putusan Hoge Raad 15 Januari 1957. Tetapi Hazewinkel- Suringa menyatakan bahwa lari jika mungkin itu kalau serangan datang dari orang gila. Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh, kehormat an kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan dankehormatan kesusilaan yang meliputi perasa an malu seksual. Lebih sempit daripada kehormatan tetapi lebih luas daripada tubuh saja Hoge Raad 8 Januari 1917 N.J. 1957 halaman 175. 68

3. Menjalankan Ketentuan Undang-undang Pasal 50 ayat 1 KUHP