104
sendiri, tetapi ditujukan juga untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk sebagian
besar sangat tergantung pada paksaan. Dalam literatur berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah
3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan 1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual
Deterrence dan General Deterrence.
14
Penjabaran lebih lanjut dari istilah di atas adalah sebagai berikut:
Bagan 15: Teori Pemidanaan 1D+3R
1. Reformation , berarti memperbaiki atau merehabilitasi
penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada
seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan dengan tujuan yang lain
seperti pencegahan.
14
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah.Pengantar Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.2010, hlm.
105
2. Restraint berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat.
Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Jadi ada
juga kaitannya dengan sistem reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dalam penjara yang
bersamaan dengan itu ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan perlindungan isik
dari perampok bersenjata dan pendorong dari pada orang yang melakukan penggelapan. Bagi terpidana seumur
hidup dan pidana mati, berarti ia harus disingkirkan dari masyarakat selamanya.
3. Retribution , yakni pembalasan terhadap pelanggar
karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak
sesuai dengan masyarakat yang beradab. Namun bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang
menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu membuat magna carta bagi penjahat
Magna Charta For Law Breaker. Sifat primitif hukum pidana, memang sulit dihilangkan, berbeda dengan bidang
hukum yang lain.
4. Deterrence , yakni menjera atau mencegah sehingga baik
terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk
melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, bagi yang mengritik teori ini mengatakan
bahwa sangat kurang adil jika untuk tujuan mencegah orang lain melakukan kejahatan terpidana dikorbankan
untuk menerima pidana itu.
Selain remmelink dengan pendapatnya di atas, Ted Honderich dalam buku Sistem Sanksi Dalam Hukum
106
Pidana, juga mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan. Menurutnya pemidanaan harus memuat 3 tiga
unsur, yakni:
15
1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan depri vation atau kesengsaraan distress yang biasanya
secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemi danaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan
kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek
lain. Secara actual, tindakan subjek lain itu di anggap salah bukan saja karena menga kibatkan penderitaan bagi orang lain,
tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.
2. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak
merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu
lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap
pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti
secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang
mengundang pertanyaan tentang hukum kolektif, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang
yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda
penalty yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan.
15
Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasinya”.PT. Raja Gravindo Persada.Jakarta., hlm. 70-71.
107
B. Jenis-Jenis Pidana