Daya paksa Relatif overmacht, Pasal 48 KUHP; 2. Pembelaan terpaksa melampaui batas Noodweer,

91 Jadi seorang agen polisi diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan walaupun ia beritikad baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia lepas, karena perbuat an seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat 1, pada ayat 2 ini diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan secara langsung. Menurut Pompe hubungan atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dasar pemaaf terdiri atas:

1. Daya paksa Relatif overmacht, Pasal 48 KUHP; 2. Pembelaan terpaksa melampaui batas Noodweer,

Pasal 49 Ayat 2 KUHP; dan 3. Perintah jabatan yang tidak sah, namun ketika melakukan perbuatan pelaku mengiranya sah, Pasal 52 ayat 2 KUHP. 92 Bagan 14 : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Andi Zainal Abidin Farid 93 Amir Ilyas Tabel 2 : Dasar Peniadaan Pidana 21 DASAR HUKUM DASAR PEMBENAR DASAR PEMAAF A. BERDASAR KETENTUAN UNDANG-UNDANG A.1. SECARA UMUM A2. SECARA KHUSUS Daya paksa relatif dan keadaan darurat Pasal 48 KUHP. Daya paksa mutlak melampaui keadaan darurat Pasal 48 KUHP. Pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat 1 KUHP. Pembelaan terpaksa melampaui keadaan darurat Pasal 49 ayat 2 KUHP. Menjalankan peraturan undang-undang Pasal 50 KUHP. - Perintah jabatan yang sah Pasal 51 ayat 1 KUHP. Perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira sah Pasal 51 ayat 2 KUHP. Pasal 186, 310 ayat 3, dan 314 KUHP. Pasal 110 ayat 4, 166, 221 ayat 2 KUHP. B. DI LUAR UNDANG-UN- DANG termasuk yurisprudensi  Hak mendidik orang tua.  Pekerjaan dokter, tatib, apoteker dan lain-lain.  Lain orang yang dirugikan.  Zaak waarneming Pasal 1354 BW.  Tidak melawan hukum secara material.  Olahraga tinju.  Keine Strafe ohne Schuld.  Dasar pemaaf yang putatif. 21 Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, hlm. 165. 94 Penulis kurang sependapat dengan Prof. Dr. Andi Hamzah mengenai kategorisasi perbuatan yang termasuk alasan pembenar dan alasan pemaaf.Menurut penulis untuk menggolongkan daya paksa mana yang termasuk sebagai alasan pembenar ataupun pemaaf harusnya dikembalikan kepada hakikat adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf itu sendiri. Sebagaimana sudah menjadi pendapat umum bahwa alasan pembenar timbul ketika perbuatan seseorang memang tidak memiliki nilai melawan hukum sehingga bukanlah orangnya yang dimaakan akantetapi perbuatannya yang harus dianggap benar sedangkan alasan pemaaf timbul ketika perbuatan seseorang memiliki sifat melawan hukum namun karena alasan tertentu maka orangnya dimaakan. Dari hakikat perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya alasan pembenar memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada alasan pemaaf, hal ini pulalah yang mendasari bahwa alasan pembenar bermuara pada putusan bebas sedangkan alasan pemaaf bermuara pada putusan lepas. Jika dihubungkan dengan daya paksa absolute dan daya paksa relative maka nampak jelas bahwa daya paksa absolute memiliki kedudukan lebih tinggi sebagai alasan pengecualian pidana dibanding daya paksa relatif.Sehingga daya paksa absolute harus digolongkan sebagai alasan pembenar sedangkan daya paksa relatif digolongkan sebagai alasan pemaaf. 95

BAB V TEORI PEMIDANAAN

A. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut : 1. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;