Kadar C-Reactive Protein Pada Penderita Ppok Eksaserbasi Penelitian Potong Lintang Di Departemen / Smf Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Usu/ Rsup H Adam Malik / RSUD Dr. Pirngadi Medan Maret 2008 – Juni 2008

(1)

KADAR C-REACTIVE PROTEIN PADA PENDERITA PPOK EKSASERBASI

PENELITIAN POTONG LINTANG DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT

DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H ADAM MALIK /

RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

Maret 2008 – Juni 2008

TESIS

OLEH :

DUMAWAN HARRIS PARHUSIP

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP.H. ADAM MALIK/ RSUD. DR PIRNGADI

MEDAN

2008

Dumawan Harris Parhusip : Kadar C-Reactive Protein Pada Penderita PPOK Eksaserbasi…, 2008 USU e-Repository © 2008


(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP

DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

DAN DITERIMA

SEBAGAI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG

ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING TESIS

(Dr. ALWINSYAH ABIDIN, SpPD- KP)

DISYAHKAN OLEH :

KEPALA DEPARTEMEN

KETUA PROGRAM STUDI

ILMU PENYAKIT DALAM

ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

FAKULTAS KEDOKTERAN USU


(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof. Dr. OK. Moehad Sjah, SpPD-KR

2. Prof. Dr. Gontar A Siregar, SpPD-KGEH

3. Prof. Dr. Harris Hasan, SpPD-SpJP (K)

4. Dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH

5. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji syukur, hormat dan kemuliaan yang Maha Tinggi hanya bagi Allah Bapa di Surga, hingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : “Kadar C-reactive Protein pada Penderita PPOK Eksaserbasi”, yang berlangsung sejak Maret 2008 hingga Juni 2008. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr Salli Rossefi Nasution, SpPD-KGH selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dan Dr Refli Hasan sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. 2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH

dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

3. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD Dr Pirngadi/ RSUP H. Adam Malik Medan : Prof Dr Harun Rasyid Lubis SpPD-KGH, Prof Dr T Renardi Haroen KKV MPH, Prof Dr Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof Dr Habibah Hanum Nasution SpPD-Kpsi, Prof Dr Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof Dr Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof Dr Kariman Sudin SpPD-KPTI (alm), Prof Dr Pengarapen Tarigan SpPD-KGEH,


(5)

Prof Dr OK Moehad Sjah KR, Prof Dr Lukman Hakim Zain KGEH, Prof Dr M Yusuf Nasution KGH, Prof Dr Azmi S Kar SpPD-KHOM, Prof Dr Gontar Alamsyah Siregar SpPD-KGEH, Prof Dr Harris Hasan SpPD-SpJP (K), Dr Rusli Pelly SpPD-KP (alm), Dr Nur Aisyah SpPD-KEMD, Dr A Adin St Bagindo SpPD-KKV, Dr Lufti Latief SpPD-KKV, Dr Syafii Piliang KEMD, Dr T Bachtiar Panjaitan SpPD, Dr Abiran Nababan SpPD-KGEH, Dr H OK Alfien Syukran SpPD-KEMD (alm), Dr Betthin Marpaung KGEH, Dr Sri M Sutadi KGEH, Dr Mabel Sihombing SpPD-KGEH, Dr Salli R Nasution SpPD-KGH, Dr Juwita Sembiring SpPD-SpPD-KGEH, Dr Alwinsyah Abidin SpPD-KP, Dr Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH, Dr Chairul Bahri SpPD (alm), Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD, Dr Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr Yosia Ginting SpPD-KPTI, Dr Pirma Siburian SpPD-KGer, Dr Refli Hasan SpPD-SpJP, Dr EN Keliat SpPD-KP, Dr Blondina Marpaung SpPD-KR, Dr Leonardo Basa Dairi SpPD-KGEH yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

4. Dr Armon Rahimi SpPD, Dr Heriyanto Yoesoef SpPD, Dr R Tunggul Ch Sukendar SpPD-KGH, Dr Daud Ginting SpPD, Dr Tambar Kembaren SpPD, , Dr Saut Marpaung SpPD, Dr Mardianto SpPD, Dr Zuhrial SpPD, Dr Dasril Efendi SpPD, Dr Ilhamd SpPD, Dr Calvin Damanik SpPD, Dr Zainal Safri SpPD, Dr Rahmat Isnanta SpPD, Dr Santi Safril SpPD, Dr Dairion Gatot SpPD, Dr Jerahim Tarigan SpPD, Dr Haryani Adin SpPD, Dr Endang Sembiring SpPD, Dr Abraham SpPD, Dr Soegiarto Gani SpPD, Dr Savita Handayani SpPD, Dr Franciscus Ginting SpPD, Dr Asnawi SpPD sebagai


(6)

dokter kepala ruangan/ senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

5. Para dewan penilai yang telah membantu dalam perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.

6. Direktur Kesehatan Tentara Nasinal Indonesia Angkatan Darat dan Dirjen Kuathan Dephan yang telah memberikan izin, bantuan moril dan materil bagi penulis untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam.

7. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini. 8. Kepada Manager RSU Sri Pamela PTP Nusantara III Tebing Tinggi Dr

Syukron Taufik serta konsultan di RSU Sri Pamela Dr Nazrin Bey Sitompul SpPD, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama ditugaskan sebagai Konsultan Penyakit Dalam RSU Sri Pamela PTP Nusantara III Tebing Tinggi dalam rangka pendidikan ini.

9. Kepada Kepala Dinas Kesehatan TK I Departemen Kesehatan RI Propinsi Sumatera Utara, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

10. Para pasien yang telah dengan ikhlas menjadi “guru” sehingga memungkinkan saya mencapai gelar dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam.

11. Kepada Kolonel CKM (Pur) Dr. M.Abrar Danial, SpM KaKesdam I/BB Tahun 1998-2002 dan Kolonel CKM (Pur) Dr. Amir Hamzah KaKesdam I/BB Tahun 2002-2004 yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan dorongan


(7)

bagi penulis agar melanjutkan pendidikan spesialis selagi masih muda dan masih ada kesempatan, tetap berjuang dan terus berjuang serta berdisiplin dalam menjalani hidup ini. “Sekali melangkah pantang menyerah bila ragu-ragu lebih baik kembali” Inilah amanah beliau yang menjadi senjata ampuh bagi penulis untuk menjalani kehidupan ini. Dan kepada Dr. Tjahaya Indra Utama,SpAn KaKesdam I/BB Tahun 2006 – sekarang, penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bimbingan beliau dalam kurun waktu penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis.

12. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Alwinsyah Abidin SpPD-KP dan Dr EN Keliat SpPD-KP selaku pembimbing tesis, serta Prof Dr Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK dan Dr Zuhrial Zubir SpPD yang penulis rasakan benar-benar dengan tulus membantu penulis menyelesaikan penelitian dan karya tulis ini, hanya doa yang dapat penulis berikan kiranya berkat berlimpah dari Yang Maha Kuasa selalu beserta beliau dan keluarga.

13. Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

14. Para sejawat PPDS-Interna, perawat serta paramedis dan seluruh

karyawan/karyawati di lingkungan SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr Pirngadi/ RSUP H Adam Malik Medan atas segala kerjasamanya yang baik selama ini.

15. Kepada Kakanda Dr.Herryanto L Tobing SpPD, Dr Leonard Pardede SpPD, Dr Bernard Dachi SpPD, yang telah banyak memberikan kontribusi terutama

dalam transfer of knowledge bagi penulis, semoga Kakanda sukses dalam


(8)

16. Teman-teman seperjuangan Dr Bistok Sihombing, Dr Irwin, Dr Zulfan, Dr Lina, Dr Delvi Naibaho, Dr Imelda Rey, teman berbagi cerita dan pendorong buat penulis hingga selesainya tulisan ini. Semoga persahabatan kita tetap abadi selamanya.

17. Kepada teman-teman di lapangan bola, Kompol Dr Zulkhairi SpPD, Mayor Kes Dr Faisal, Dr Iman R Tarigan SpPD, Dr Sahat, Dr Bistok, Dr Masrul SpPD, Dr Idwan Harris SpPD, Dr Eric Nelson, Dr Faizal Drissa, Dr Radar, Dr Dede, dr Suvianto, Dr Doharman, Dr Arjuna Wijaya, Dr Syafrian, Dr Darma Muda, Dr Henda AP, Dr Taufik, Dr Henry Panjaitan, Dr Hendra Jufri, Dr Syafran, Dr Fahmi, Dr Donald, Dr Gusti, Dr Aron, Dr Feri, Dr Asriluddin, Dr Faisal Rozy dan teman-teman pendukung yang lainnya penulis mengucapkan terima kasih dan semoga team sepak bola Penyakit Dalam tetap jaya dan kita pupuk persaudaraan serta sportifitas dengan penuh rasa kekeluargaan.

18. Kepada rekan-rekan PATUBEL TNI (Perwira tugas belajar TNI) penulis mengucapkan terima kasih atas semua dukungannya semoga kekompakan dan kerjasama kita selama sekolah tetap abadi selamanya dalam mengabdikan ilmu yang sudah kita dapatkan bagi nusa dan bangsa, dimanapun kita nantinya ditugaskan persahabatan kita tetap utuh dan bagi adik-adik Patubel yang saat tengah pendidikan tetaplah pegang jiwa korsa agar tetap solid, jaya dan bertindaklah satria. Merdeka!

19. Kepada kedua orang tua penulis, Drs. Kader Parhusip (alm) dan Mesia br Malau, begitu berat perjuangan yang engkau lalui demi kami anak-anakmu, khusus buat Ayahku tersayang yang telah mendahului kami belum sempat penulis balaskan pengorbanan dan ketabahanmu demi kemajuan anak-anakmu, dan kepada Ibuku tersayang semoga tetap sehat dan selalu dalam


(9)

lindungan Tuhan dalam menjalani sisa hidup ini serta lihatlah kami anak-anakmu dan cucu-cucumu yang menjadi penghibur di hari tuamu dengan penuh bahagia. Demikian juga kepada Bapak Ibu Mertua penulis Jamalon Sinaga BA (alm) dan Berna br Situmorang, atas segala perhatian, nasehat dan dukungan yang mendorong penulis untuk terus berjuang dan berpikir positif dalam setiap mengambil keputusan.

20. Kepada Kakak, Abang : Ir Masrina RN Parhusip MEng/Ir. Henry Sidabutar MEng, MT Sahat P Parhusip Amd/Elfride Naibaho Amd. Ito / Lae : Roslinda Parhusip Amd / Ir Tigor Ompusunggu Msi, dan adikku Richo Parhusip Amd semoga cepat selesai sekolahmu dan ditunjukkan Tuhan jodoh yang terbaik untukmu agar Ibunda kita semakin sehat dan bahagia. Begitu juga kepada seluruh keponakan tercinta, tiada kata yang terindah selain terima kasih atas dukungannya buat penulis untuk menyempurnakan cita-cita yang kita dambakan.

21. Kepada istriku tercinta Drg Asima Sinaga, tiada kata yang paling tepat selain terima kasih Tuhan atas istri yang Engkau karuniakan bagiku, yang selalu menjadi pendorong dan teman paling setia dalam suka maupun duka serta selalu mendengarkan dan memberikan solusi yang baik dalam berbagai masalah yang dihadapi penulis. Juga anak-anakku tersayang Nathasia Omega Parhusip, Julia Pratiwi Parhusip dan Reynaldo Joy Christian Parhusip yang merupakan tempat curahan kasih sayang penulis, pendorong setia dan pelipur lara bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian dan tulisan ini, rajin-rajin belajar anakku Papi berdoa dan berharap anak-anakku lebih bijak dan lebih pintar dari Papinya.


(10)

22. Sebenarnya masih banyak lagi kata ucapan terima kasih yang ingin penulis sampaikan buat berbagai pihak yang tidaklah mungkin disebutkan satu persatu, dan pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus secara menyeluruh. Dan dari Bapa di sorgalah yang membalaskan kebaikan dan ketulusan dari semua pihak yang telah membantu penulis sehingga penelitian dan tulisan ini dapat penulis selesaikan. Halleluyah! Tuhan memberkati.

Medan, Agustus 2008 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... x

ABSTRAK ……….. xii

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

2.1 DEFINISI ………. 5

2.2 EPIDEMIOLOGI ………. 6

2.3 FAKTOR RISIKO ………. 7

2.3.1 GENETIK ……….. 7

2.3.2 PAPARAN PARTIKEL INHALASI ………. 8

2.3.3 PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PARU …. 9 2.3.4 STRES OKSIDATIF ………. 10

2.3.5 JENIS KELAMIN ……….. 10

2.3.6 INFEKSI ……… 10

2.3.7 STATUS SOSIOEKONOMIK DAN NUTRISI ………. 11

2.3.8 KOMORBIDITAS ……… 11

2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI …. 11 2.5 INFLAMASI PADA PPOK ……….. 16

2.5.1 INFLAMASI LOKAL DAN INFLAMASI SISTEMIK … 16 2.5.2 CRP PADA PPOK ………. 19


(12)

BAB III. PENELITIAN SENDIRI ……….. 25

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN ……… 24

3.2. PERUMUSAN MASALAH ……….. 26

3.3. HIPOTESA ……… 26

3.4. TUJUAN PENELITIAN ……… 27

3.5. MANFAAT PENELITIAN ………. 27

3.6. BAHAN DAN CARA. ……… 27

3.6.1. DESAIN PENELITIAN ……… 27

3.6.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ………... 27

3.6.3. SUBYEK PENELITIAN ……… 27

3.6.4. KRITERIA INKLUSI ……… 27

3.6.5. KRITERIA EKSKLUSI ………. 27

3.6.6. DEFINISI OPERASIONAL ………. 28

3.6.6.1. C-REACTIVE PROTEIN (CRP) ………… 28

3.6.6.2. PENDERITA PPOK EKSASERBASI …… 28

3.6.6.3. UJI BRONKODILATOR ………. 28

3.6.6.4. DERAJAT KEPARAHAN PPOK ……….. 29

3.6.6.5. SINDROMA METABOLIK ……….. 30

3.6.7. KERANGKA OPERASIONAL ………. 31

3.6.8. BESAR SAMPEL ………. 31

3.6.9. CARA PENELITIAN ………. 32


(13)

BAB IV. HASIL PENELITIAN ……… 33

4.1. KARAKTERISTIK DASAR SUBYEK PENELITIAN ……… 33

4.2. HUBUNGAN ANTARA KADAR CRP DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PPOK EKSASERBASI…..……… 34

BAB V. PEMBAHASAN ……… 40

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 44

6.1. KESIMPULAN ……….. 44

6.2. SARAN ……….. 44

DAFTAR PUSTAKA ……….. 45

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. MASTER TABEL PENELITIAN ………. 50

LAMPIRAN 2. PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN ... 52

LAMPIRAN 3. INFORMED CONSENT ……… . 53

LAMPIRAN 4. STATUS PENELITIAN ……….. 54

LAMPIRAN 5. PERSETUJUAN KOMITE ETIK ………... 57


(14)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

I. GAMBAR GAMBAR 1

Trigger dari PPOK eksaserbasi dan patofisiologinya………. 12

GAMBAR 2

Inflamasi netrofil pada PPOK eksaserbasi……….13

GAMBAR 3

Mekanisme inflamasi sistemik akibat stress oksidatif

dan inflamasi pada PPOK ... 20

GAMBAR 4

Korelasi kadar CRP serum dengan derajat keparahan

PPOK ekseserbasi ... 39

II. TABEL TABEL 1.

Klasifikasi derajat keparahan PPOK berdasarkan spirometri …………. 29

TABEL 2.

Kriteria klinis PPOK eksaserbasi... 30

TABEL 3.

Karakteristik dasar subyek penelitian ……….. 34

TABEL 4.

Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEP Prediksi pada derajat II


(15)

TABEL 5.

Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEP Prediksi pada derajat III

PPOK Eksaserbasi……… 36

TABEL 6.

Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEP Prediksi pada derajat III

PPOK Eksaserbasi……… 37

TABEL 7.

Gambaran nilai rerata CRP dan VEP1/VEP Prediksi berdasarkan


(16)

C-REACTIVE PROTEIN LEVEL IN EXACERBATION COPD PATIENT

Dumawan Harris Parhusip, EN Keliat, Alwinsyah Abidin Pulmonology and Allergy-Immunology Division,

Internal Medicine Department,

H Adam Malik Hospital/ Dr Pirngadi Hospital Medan.

ABSTRACT Background.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a low grade systemic inflammation disease. Local airways inflammation related with systemic inflammation burden. CRP as an acute phase protein of systemic inflammation was suggested relating with severity of COPD.,

Aim.

Determining correlation between CRP level with severity of Exacerbation COPD.

Method.

A cross sectional study was conducted on 40 Exacerbation COPD patients who visit Pulmonology and Allergy-Immunology Inpatient and Outpatient Clinic H Adam Malik Hospital dan Dr Pirngadi Hospital Medan since March until June 2008. Anamnesis, physical examination, chest radiograph, spirometry and CRP serum level was measured. Statistic analysis using Spearmann’s correlation and Anova test.

Result.

CRP level was positively correlated with severity of Exacerbation COPD with correlation coefficent (r) 0.490 (p = 0.001).

Conclusion.

CRP serum level was positively correlated with severity of Exacerbation COPD.


(17)

KADAR C-REACTIVE PROTEIN PADA PENDERITA PPOK EKSASERBASI Dumawan Harris Parhusip, EN Keliat, Alwinsyah Abidin

Divisi Pulmonologi, Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik/RS.Dr.Pirngadi Medan.

ABSTRAK Latar Belakang.

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit low grade systemic

inflammation. Inflamasi lokal saluran nafas berhubungan dengan beban inflamasi sistemik. CRP sebagai protein fase akut inflamasi sistemik diduga berhubungan dengan derajat keparahan PPOK.

Tujuan.

Untuk mengetahui kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK Eksaserbasi.

Metode.

Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 40 penderita PPOK Eksaserbasi yang rawat inap dan kontrol kepoliklinik Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi RSUP H Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan dari bulan Maret hingga Juni 2008. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, rontgen dada, spirometri dan pemeriksaan kadar CRP serum. Penilaian dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman dan Uji Anova.

Hasil.

Terdapat korelasi positif antara kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK Eksaserbasi dengan koefisien korelasi (r) 0,490 (p=0,001).

Kesimpulan

Kadar CRP serum berkorelasi positif dengan derajat keparahan PPOK Eksaserbasi.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

Eksaserbasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan beban pada system perawatan kesehatan yang meluas di seluruh dunia, yang menurunkan status kesehatan yang akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.1

PPOK diselingi dengan periode eksaserbasi yang berhubungan dengan mortalitas, gagal pernafasan yang membutuhkan peralatan mekanik pada beberapa pasien dan sebagai penyebab primer kematian dari penyakit ini. Eksaserbasi dihubungkan dengan kegagalan pengobatan, kambuh yang membutuhkan perawatan dirumah sakit dan meningkatkan mortalitas dalam satu tahun. Sehingga strategi pengobatan (termasuk antibiotik yang tepat) sangat dibutuhkan untuk menekan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan eksaserbasi.2

Perkembangan pengetahuan terhadap Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) sebagai penyakit inflamasi lokal paru yang mempunyai beban inflamasi sistemik dan merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas utama di dunia semakin meningkat. Pada banyak penelitian terakhir didapatkan adanya peningkatan sitokin-sitokin pro inflamasi dan protein fase akut baik pada keadaan stabil, terlebih pada keadaan eksaserbasi. 1,2

Peningkatan sitokin-sitokin pro inflamasi ini dinilai mempunyai banyak pengaruh terhadap organ-organ lain disamping paru-paru yang secara klinis dapat diamati. Hubungan antara proses inflamasi lokal pada paru-paru dan inflamasi sistemik yang terjadi memang belum secara gamblang dapat dijelaskan, tetapi pengaruh inflamasi tersebut pada banyak organ sudah terus menerus diteliti, bahkan


(19)

melalui pengamatan akan inflamasi sistemik tersebut, maka prognosis pada pasien-pasien PPOK dapat diperkirakan. 3,4

PPOK menduduki peringkat keempat dalam penyebab morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat, dan WHO memperkirakan pada tahun 2020 akan menduduki peringkat 5 sebagai penyebab mortalitas.5 Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.6 Ilhamd dkk mendapatkan bahwa penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada. 7

Salah satu petanda inflamasi yang sering diamati pada pasien PPOK adalah

C-reactive Protein (CRP). CRP merupakan protein fase akut, predominan dihasilkan oleh hepatosit. CRP memiliki respon yang baik terhadap beban inflamasi sistemik yang ada dan memiliki waktu paruh yang cukup panjang sehingga tidak mudah untuk

berubah. CRP, yang sudah lebih dulu establish sebagai prediktor kematian pada

kejadian kardiovaskular, ternyata juga memang didapati meningkat pada PPOK yang stabil, terlebih-lebih pada PPOK yang sedang mengalami eksaserbasi akut. 8

CRP ini pada penelitian Aronson dkk didapati berkorelasi terbalik pada penderita PPOK dengan nilai Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang buruk dan

pada mereka yang merokok dibandingkan dengan orang normal. 9 Malah pada

penelitian de Torres dkk, yang meneliti secara longitudinal nilai VEP1 pertahun, didapati bahwa selalu terjadi penurunan yang lebih nyata pada orang sehat yang


(20)

perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak perokok, dan justru nilai CRP nya jauh lebih tinggi pada mereka yang merokok dibandingkan yang tidak. 13

Anthonisen dkk mendapatkan bahwa setiap penurunan 10% VEP1 akan

meningkatkan mortalitas kardiovaskular kira-kira 28% dan juga meningkatkan kejadian penyakit jantung koroner yang non fatal kira-kira 20% pada PPOK yang

ringan-sedang.10 Dahl dkk menemukan bahwa inflamasi sistemik pada PPOK

ternyata dapat diukur melalui kadar CRP serum, dan pada penelitian kohor selama 8 tahun pada 1302 orang di Kopenhagen, diperoleh bahwa ternyata kadar CRP serum merupakan prediktor independen jangka panjang yang kuat terhadap kejadian morbiditas dan mortalitas pada penderita PPOK. 11

Nilai prediktor yang dimiliki CRP ini memberikan pemikiran akan kemungkinan menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitasnya dengan cara mengurangi beban inflamasi sistemik melalui pencegahan peningkatan CRP atau menurunkan kadar CRP pada PPOK itu sendiri. Tatalaksana yang baik dan komprehensif jelaslah menjadi cara untuk menurunkan petanda inflamasi yang ada diantaranya CRP, selain sitokin-sitokin pro inflamasi yang ada. Selain menghindari faktor pencetus seperti gas-gas berbahaya, asap rokok, infeksi, maka pemberian steroid sistemik telah lama diketahui dapat menurunkan rekurensi eksaserbasi dan petanda-petanda inflamasi pada PPOK. Tetapi harus juga dipertimbangkan, pemberian steroid sistemik jangka lama akan memberikan efek samping yang banyak dan cukup berat. Steroid inhalasi, pada GOLD 2007, tampak dengan jelas mulai dianjurkan untuk diberikan pada PPOK derajat 3-4 bila didapati eksaserbasi yang berulang. Juga telah diteliti, meskipun hasilnya masih kontroversial, bahwa pemberian steroid inhalasi akan menurunkan kadar CRP serum pada PPOK. 1,12,13


(21)

Pemikiran-pemikiran dan hasil-hasil penelitian diatas memberikan wacana untuk meneliti bagaimana hubungan antara kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK eksaserbasi, dimana penelitian sebelumnya pada pasien PPOK stabil sudah pernah dilakukan di Medan tetapi PPOK eksaserbasi belum pernah dilakukan.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI .

PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai kondisi pasien yang mengalami perubahan diantaranya sesak yang bertambah, batuk yang semakin berat, sputum yang bertambah atau berubah warna.1,3,6,7

Eksaserbasi pada PPOK adalah terjadinya perburukan yang akut pada saluran nafas dari keadaan stabil. Dasar definisi ini digunakan juga pada perawatan kesehatan, seperti:kunjungan ke dokter yang tidak rutin, perubahan atau penambahan obat-obatan, pemakaian antibiotik, steroid oral pada eksaserbasi dan kunjungan ke rumah sakit. Sebagian PPOK eksaserbasi tidak dirawat dan diobati

sendiri. GOLD (Global Initiative for chronic obstructive Lung Disease) juga

merekomendasikan eksaserbasi dapat self-limiting khususnya pada keadaan

ringan.2,4

Eksaserbasi biasanya terjadi karena inflamasi pada saluran nafas dan peningkatan marker inflamasi sistemik. Hurst dkk meneliti 36 biomarker pada PPOK eksaserbasi dimana biomarker yang lebih selektif adalah C-reaktif protein (CRP). CRP akan meningkat sensitifitas dan spesifitasnya bila dijumpai peningkatan gejala mayor pada eksaserbasi (sesak nafas, volume sputum, atau sputum purulen).5

Catatan yang dapat diperhatikan dari definisi akan PPOK berdasarkan GOLD 2007 yang mendefinisikan PPOK merupakan suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan hambatan saluran nafas yang biasanya bersifat progresif dan terkait dengan respon inflamasi paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya,


(23)

adalah pada penekanan terhadap efek-efek ekstrapulmoner dari respon inflamasi itu sendiri.1

2.2 EPIDEMIOLOGI.

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu gejala yang paling sering ter

jadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus didapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita

yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 Simpangan Baku dibawah

VEP Prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok. 14 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa PPOK sendiri masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ke-3 terdepan, yang kemudian menyebabkan beban sosioekonomik semakin meningkat diseluruh dunia. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.1 Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.6

Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini dibuktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka


(24)

kematiannya sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara

berurutan.1 Ilhamd dkk mendapatkan bahwa penderita PPOK menduduki proporsi

terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada. 7

2.3 FAKTOR RISIKO.

PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomik, nutrisi dan komorbiditas. 1,14

2.3.1 Genetik.

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan-genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah diteliti lama adalah defisiensi g1 antitripsin, yang merupakan protease serine inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi g1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan


(25)

pola inflamasi dalam pembentukan CRP serum juga dipengaruhi oleh beberapa gen yang terkait dengan 2 varian pada surfactant protein B (SFTB). 15

2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.

Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Setiap partikel berdasarkan komposisi dan ukurannya akan memberikan pengaruh yang bermakna. Pada PPOK, paparan rokok, debu-debu pada tempat kerja dan zat-zat kimia yang bersifat iritan merupakan penyebab PPOK yang utama. Paparan rokok yang saat ini paling banyak diteliti dan diketahui merupakan faktor risiko terhadap meningkatnya prevalensi PPOK itu sendiri.16 Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain enviromental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lahir rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun

pertama menjadi meningkat.1,14 Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat

menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% (95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran pernafasan, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada


(26)

penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0.02). 17

Paparan lainnya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait dengan pekerjaan (occupational dusts) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena

pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20 %

paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.14

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (S02) dan Nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.1,18

2.3.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Paru.

Pertumbuhan dan perkembangan Paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi saat masih dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa


(27)

pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.1

2.3.4 Stres Oksidatif.

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel-sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK.1

2.3.5 Jenis Kelamin

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang perokok saat ini.19


(28)

Infeksi, baik viral maupun bakteri, akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi pada PPOK. Proses kolonisasi virus tersebut diduga dipermudah oleh paparan asap rokok yang ada, khususnya pada saluran nafas yang lebih kecil. 1,18

2.3.7 Status sosioekonomik dan Nutrisi.

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya apakah paparan polutan baik

indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi pada banyak studi populasi, didapatkan bahwa kepadatan penghuni rumah, malnutrisi dan polusi udara yang terkait dengan status sosioekonomi merupakan peta pola peningkatan jumlah penderita PPOK. 1

2.3.8 Komorbiditas.

Penyakit penyerta, khususnya asma dikatakan merupakan faktor resiko

terjadinya PPOK, dimana didapatkan pada Tucson Epidemiological Study of

Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi resiko menderita PPOK. 20

2.4. PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.

Eksaserbasi PPOK dihubungkan dengan peningkatan inflamasi sistemik saluran nafas atas dan saluran nafas bawah (gambar.1)21. Pada PPOK stabil dijumpai peningkatan CD8+, limfosit dan makrofag pada mukosa bronkial dan peningkatan netrofil terutama PPOK berat. Pada pasien eksaserbasi dengan bronkitis kronis yang


(29)

dilakukan biopsi dijumpai peningkatan eosinofilia di saluran nafas terutama pada PPOK ringan.2,3

Gambar 1.Trigger dari PPOK eksaserbasi dan patofisiologinya.21

Meningkatnya inflamasi sistemik pada eksaserbasi berhubungan dengan infeksi virus dan bakteri. Beberapa marker inflamasi meningkat selama eksaserbasi seperti plasma fibrinogen dan CRP yang juga dapat meningkatkan risiko kardiovaskuler. Infeksi saluran nafas berhubungan dengan peningkatan kejadian kardiovaskuler dan eksaserbasi PPOK. Respon inflamasi saluran nafas selama eksaserbasi menimbulkan edema saluran nafas, bronkospasme, dan peningkatan produksi sputum, terjadi hambatan aliran nafas dan hiperinflasi dinamik. Hiperinflasi adalah penyebab utama sesak, diikuti gejala eksaserbasi yang lain. Umumnya pada


(30)

penyakit yang berat hambatan aliran nafas makin memburuk yang dapat berkembang menjadi gagal nafas.2,3,21

Selama eksaserbasi pada sekresi saluran nafas dijumpai peningkatan netrofil, hal ini dihubungkan dengan perubahan sputum yang menjadi lebih purulen. Hasil degranulasi netrofil karena pengeluaran dari elastase dan proteinase yang lain yang diakibatkan kerusakan dari epitel akan menurunkan aktifitas ciliar, perangsangan sekresi mukus oleh sel goblet, dan peningkatan permeabilitas dari mukosa bronkial akan menimbulkan edema saluran nafas dan pengeluaran protein eksudatif.(gambar.2)22

Gambar.2. Inflamasi netrofil pada PPOK eksaserbasi 22

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi


(31)

mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. 18,22

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atrofi dan kelenjar mukus menjadi hipertrofi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodelling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodelling ini justru akan merangsang dan

mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana limfosit T CD8+ dan limfosit B

menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Perbedaannya dengan asma adalah tidak terdapatnya penebalan pada lamina retikularis subepitel saluran nafas penderita PPOK.17,18

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentriasinar (sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) yang sering dibahas, dan skar emfisema atau irregular dan emfisema dengan bulla, yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.18

Inflamasi pada saluran nafas pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini


(32)

yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan antiprotease dan defisiensi g1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok. 22,23

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T (CD8+ lebih dominan

dibandingkan CD4+) di paru-paru akan memperberat kaparahan dari PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotriene B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines interleukin 8 dan growth related oncogene g, TNFg, IL-1 dan IL-6, dan TGF . Selain itu ketidakseimbangan aktivitas protease atau inaktivitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag dan aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. 23,24

Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan

air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan


(33)

remodelling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi

pulmonary capillary bed menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal. Hal lain yang kemudian menjadi pokok bahasan pada penelitian ini adalah efek sistemik dari PPOK yang menyebabkan banyak hal seperti penurunan massa otot, kecenderungan eksaserbasi, anemia, depresi, disfungsi ereksi dan peningkatan kejadian kardiovaskular yang dikatakan terkait erat dengan C-reactive Protein (CRP). 12,15

2.5. INFLAMASI PADA PPOK.

2.5.1. Inflamasi Lokal dan Inflamasi Sistemik.

Belakangan ini banyak bukti penelitian terhadap inflamasi sistemik pada PPOK. Peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi-komponen.24

Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas ke parenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutrofil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer, berikut parenkim paru dan lapisan adventisia arteri pulmonalis. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga


(34)

terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.23,24

TNFg yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan

berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitokin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar pada sirkulasi sistemik. Sitokin-sitokin yang berada pada saluran nafas akan mengekspresikan TGF 1 yang merupakan suatu faktor pertumbuhan multifungsi yang memodulasi proliferasi seluler dan menginduksi diferensiasi dan sintesis dari protein matriks ekstraseluler, termasuk didalamnya kolagen dan fibronektin pada banyak jenis sel. TGF 1 ini juga menginduksi sel-sel inflamasi dan kemotaksis seperti fagosit mononuklear, sel mast dan limfosit T, dan ini berarti ada pemacuan proses inflamasi yang ada. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi. Inflamasi yang terjadi kemudian meningkatkan juga mediator peradangan sistemik, seperti protein-protein fase akut yang berasal dari hati, yang merupakan pemain kunci dalam imunitas alamiah. Salah satu penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar CRP serum dan protein pengikat lipopolisakarida pada PPOK yang

kemudian hal ini akan meningkatkan resting energy expenditure (REE) dan

menurunkan massa tubuh tanpa lemak. Peningkatan derajat inflamasi sistemik akan semakin membebani hati untuk juga memproduksi protein fase akut, sehingga dapat diambil suatu hubungan yang berkorelasi positif antara derajat


(35)

inflamasi sistemik dengan derajat protein fase akut yang dihasilkan, meskipun ternyata juga terdapat beberapa bukti bahwa sel-sel spesifik lain seperti sel epitel paru juga memproduksi protein fase akut seperti halnya hati.3

Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko PPOK yaitu asap rokok. Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer, dan menariknya, kejadian ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi lokal berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar

TNFg-R dan IL-8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada sputum,

ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida, memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktivitas saluran nafas dan penurunan VEP1, hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subyek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subyek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan


(36)

mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang kemudian akan menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.2

Efek inflamasi sistemik ini berpengaruh luas seperti tertera pada gambar 3. Efek terhadap bermacam sistem, tersebut diantaranya 1) otot dan tulang yang berupa kelemahan tungkai dan penurunan indeks massa tubuh, 2) sistem kardiovaskular berupa risiko aterosklerosis, sudden death, peningkatan kadar CRP 3) sistem endokrin berupa resistensi insulin, penurunan testosteron,

kadar Insulin-like growth factor bahkan hingga mempengaruhi 4) sistem

susunan saraf pusat. Efek sistemik ini kemudian dicoba untuk dimengerti untuk mencegah eksaserbasi berulang dan outcome yang buruk. 3,24

2.5.2 CRP pada PPOK

CRP yang diambil berdasarkan presipitat dari somatik

C-polysaccharide dari Streptococcus pneumoniae, merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh hepatosit, merupakan suatu petanda inflamasi yang memberikan respon pada keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan perubahan fase akut sebenarnya didasarkan kepada perubahan konsentrasi dari protein-protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif dan negatif, dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25%. Protein fase akut itu sendiri sebenarnya terdiri dari banyak jenis baik dari sistem komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolitik, antiprotease, protein transport dan lain-lain yang akan mengalami perubahan


(37)

konsentrasi, baik berupa peningkatan maupun penurunan sebesar 25% dan termasuk didalamnya adalah CRP. 25

Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di sirkulasi adalah 0,8 mg/dL, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat terjadi peningkatan hingga 10000 kali dari nilai normalnya. Waktu paruh dari CRP ini kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan hal ini konstan pada seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun pada orang sakit. 8,25,27,28

Oksidan Molekul & sel

Proinflamasi Stres oksidatif Agen inflamasi PARU Stres oksidatif Inflamasi

Oksidan, Sel atau molekul Inflamasi (Makrofag alveolar, Netrofil, Monosit dan Limfosit)

Sumsum Tulang

Hati

MANIFESTASI EKSTRA PARU

GM-CSF, IL-6 dll

IL-6, IL-8 & Molekul lainnya

CRP

Fibinogen Komponen darah

Gambar 3. Mekanisme Inflamasi sistemik akibat stres oksidatif dan inflamasi pada PPOK. 27

Beban Inflamasi sistemik akan direspon oleh hati dengan menghasilkan CRP. PPOK yang dikatakan suatu inflamasi lokal dan sistemik


(38)

akan mempengaruhi beberapa organ ekstrapulmonal. CRP sendiri sebenarnya sudah establish sebagai suatu petanda akan kejadian kardiovaskular, tetapi banyak penelitian melihat bahwa terjadi juga peningkatan kadar CRP serum pada penderita PPOK, apalagi pandangan PPOK sebagai penyakit multisistem semakin menegaskan adanya peningkatan protein fase akut dan mediator pro inflamasi pada sirkulasi sistemik. Hubungan antara CRP pada beberapa penelitian ditunjukkan dengan adanya hubungan terbalik dengan fungsi paru yang ada. Aronson dkk meneliti bahwa terdapat peningkatan petanda inflamasi sistemik, dalam hal ini CRP pada orang sehat yang bukan perokok (median CRP 2,5; 1,8; 1,7; dan 1,3 pada kuartil VEP1 pertama hingga keempat, p < (0,0001) dan lebih tinggi pada perokok (median CRP 3,8; 2,3; 2,0; 1,9 pada kuartil VEP1 pertama hingga keempat, p < 0,0001). 9

Bila pada orang sehat yang perokok memang didapati peningkatan CRP seiring adanya gangguan fungsi paru, pada suatu review sistematik metaanalisis, dari 14 penelitian asli, didapatkan perbedaan bermakna akan kadar CRP antara penderita PPOK dan kontrol sebesar 0,53 unit (95%, derajat kepercayaan 0,34-0,72) begitu juga dengan petanda inflamasi lainnya seperti fibrinogen dan kadar TNFg serum. 29

Selain adanya hubungan, peranan CRP yang penting juga adalah sebagai faktor prognostik yang baik terhadap morbiditas dan mortalitas pada PPOK. Dahl dkk melaporkan bahwa CRP merupakan suatu prediktor kejadian

rawat inap dan kematian yang independen pada PPOK dimana didapati hazard

ratio morbiditas dan kematian pada PPOK meningkat pada 1,4 (95% derajat kepercayaan, 1,0-2,0) dan 2,2 (1,2-3,9) pada penderita dengan kadar CRP > 3 mg/L dibandingkan dengan kadar CRP < 3 mg/L. dan didapati juga


(39)

peningkatan CRP sebesar 1,2 mg/L (analysis of variance p = 0,002) dan 4,1 mg/L (p = 0,001) pada mereka yang rawat inap dan meninggal karena PPOK. 11

2.6. DIAGNOSIS.

Belum ada definisi yang universal untuk PPOK eksaserbasi. Definisi deskriptifnya dapat: akut, perubahan memburuk yang tumpang tindih pada PPOK stabil dengan meningkatnya sesak nafas, performa harian yang menurun, dengan atau tanpa perubahan volume sputum dan warnanya, batuk atau perubahan suhu tubuh; dan atau perubahan status mental. Tiga tanda penting untuk eksaserbasi seperti Kriteria Anthonisen, yaitu:8,10

• Meningkatnya sesak nafas

• Meningkatnya purulensi sputum

• Meningkatnya volume sputum

Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai suatu PPOK. Diagnosis PPOK dipastikan melalui pemeriksaan spirometri paska bronkodilator. Perasaan sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK. 1

Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksinya memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat ditemukan sentral sianosis, bentuk


(40)

jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan pelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.19

Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib dilakukan pada penderita yang memang sudah dicurigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosis yang ada sekaligus memantau progresifisitas penyakit. Perangkat ini

merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most

reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas

Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspiratory Paksa 1 detik (VEP1) yang

didasarkan kepada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 <80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK itu sendiri.1,28,29

Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corakan vaskular paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting. 1


(41)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, dimana hambatan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru

pada partikel atau gas berbahaya.1 Menurut GOLD 2007, PPOK merupakan suatu

penyakit yang dapat dicegah dan diobati, dapat mempengaruhi organ luar paru yang dapat memperberat kondisi pasien. Hambatan aliran udara yang kronis pada PPOK disebabkan penyakit saluran nafas kecil (obstruktif bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema).1,2

PPOK merupakan penyebab kematian keempat di Amerika dan Eropa, dan diperkirakan menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun 2020.3 Saat ini hampir 14 juta orang Amerika menderita PPOK dan menyebabkan sekitar 120.000 kematian setiap tahun.3 Negara kita belum mempunyai data pasti tentang jumlah penderita PPOK , tetapi menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 1992 mendapatkan mortalitas PPOK bersama-sama dengan asma bronkial berada pada peringkat ke-6 penyebab kematian terbanyak di Indonesia.4

Karena PPOK dihubungkan dengan beberapa faktor risiko yang cukup banyak dan akan meningkat di Indonesia, seperti asap rokok, polusi udara di kota-kota besar, daerah industri, pertambangan, kebakaran hutan, dll, maka diperkirakan jumlah kasus

PPOK pun akan meningkat tajam dimasa-masa yang akan datang.5

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala,gejala ringan hingga berat. Sehingga penatalaksanan PPOK dibagi atas penatalaksanaan


(42)

pada keadaan stabil dan pada keadaan eksaserbasi. Eksaserbasi pada PPOK yaitu terjadi perburukan dibanding dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi sendiri ditandai dengan bertambahnya sesak nafas, kadang-kadang disertai wheezing, dan bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum atau sputum menjadi lebih purulen atau berubah warna. Kadang – kadang terdapat gejala yang tidak spesifik seperti malaise, insomnia, fatique, depresi dan konfusio.1,6

CRP sebagai satu protein fase akut, berperan dalam menunjukkan adanya gambaran inflamasi dan kerusakan jaringan. Korelasi antara CRP dengan PPOK sendiri sudah banyak diteliti, dimana didapati adanya hubungan antar kadar CRP tersebut dengan pO2 dan 6-Minute Walking Distance, begitu juga hubungan antara kemampuan fungsi paru pada orang sehat yang dikaitkan dengan subyek yang sehat.7 Penilaian eksaserbasi akut sendiri secara defenisi belumlah terlalu jelas karena adanya beberapa kriteria baik klinis, fungsi paru maupun petanda-petanda inflamasi. Perubahan FEV1 yang dinilai perhari,tidaklah selalu berkorelasi dengan keadaan eksaserbasi akut, tetapi peningkatan petanda-petanda inflamasi seperti CRP, fibrinogen plasma dan IL-6 memang seiring dengan adanya infeksi akut, meskipun sering peningkatannya jauh lebih tinggi pada infeksi bakterial maupun viral.8

CRP sendiri dipengaruhi oleh beberapa keadaan sistemik seperti yang sudah banyak diteliti adalah penyakit jantung koroner, tetapi CRP dapatlah menjadi salah satu parameter untuk melihat status inflamasi saluran nafas yang menilai eksaserbasi dari PPOK, dimana karena keadaan eksaserbasi ini, akan meningkatkan resiko hospitalisasi bahkan hingga kematian. Dahl dkk memperkuat hal tersebut dengan mendapatkan bahwa ternyata CRP merupakan preditor kematian yang kuat pada pasien PPOK. 9


(43)

Meskipun banyak tulisan mengenai hubungan kadar CRP ini dengan keadaan-keadaan eksaserbasi, CRP sendiri juga tetap muncul dan juga bahkan dikatakan juga meningkat pada PPOK yang stabil meskipun peningkatannya tidak

setinggi peningkatan pada keadaan eksaserbasi.10 Hurst dkk menggunakan 36

biomarker termasuk didalamnya CRP pada pasien PPOK sebelum dan pada eksaserbasi, didapatkan hasil IQR (interquartile range) yang signifikan pada eksaserbasi dibanding baseline dengan nilai masing-masing 4.0 mg/L dan 15,6 mg/L.11 Berbeda dengan hasil yang didapat Weis dkk, dari total 166 pasien PPOK eksaserbasi dijumpai 51 orang didiagnosa dengan pneumoni median CRP 97 mg/L, 64 orang tanpa pneumonia dengan median CRP 8 mg/L, disimpulkan bahwa kadar CRP meningkat secara signifikan pada pasien pneumonia.30 Sembiring dkk di Medan meneliti 40 orang penderita PPOK stabil mendapatkan nilai rata-rata CRP serum 0,23 ± 0,34 mg/dl (2,3 ± 3,4 mg/L), tetapi pada keadaan eksaserbasi sepengetahuan penulis belum pernah diteliti.31

Oleh karena itu kami memikirkan bagaimana hubungan inflamasi sistemik yang diwakili oleh kadar CRP pada penderita PPOK yang mengalami eksaserbasi yang berobat jalan pada poliklinik Pulmonologi Alergi dan Imunologi dan yang rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi dan RSUP H Adam Malik Medan.

3.2. PERUMUSAN MASALAH

Apakah peningkatan kadar CRP serum sebanding dengan semakin tingginya derajat keparahan PPOK eksaserbasi?


(44)

Makin tinggi derajat keparahan PPOK eksaserbasi, makin besar kadar CRP serum

3.4. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui kadar CRP serum pada penderita PPOK eksaserbasi yang

datang berobat ke Poliklinik Pulmonologi Alergi dan Imunologi dan yang rawat inap di RSUD Dr Pirngadi dan RSUP H Adam Malik Medan

3.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan mengetahui kadar CRP serum pada penderita PPOK eksaserbasi, maka CRP menjadi salah satu pilihan biomarker untuk menilai derajat keparahan PPOK eksaserbasi

3.6. BAHAN DAN CARA. 3.6.1. DESAIN PENELITIAN.

Penelitian dilakukan secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik.

3.6.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN.

Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2008 s/d Juni 2008 di Poliklinik Devisi Pulmonologi dan Alergi-Imunologi dan rawat inap RSUP H Adam Malik Medan dan Poliklinik Pulmonologi dan Alergi-Imunologi dan rawat inap RSUD Dr Pirngadi Medan.

3.6.3. SUBYEK PENELITIAN.

Penderita PPOK eksaserbasi yang berobat jalan dan rawat inap di RSUD Dr Pirngadi dan RSUP H Adam Malik Medan.

3.6.4. KRITERIA INKLUSI.


(45)

2. Berusia diatas 40 tahun. 3. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.6.5. KRITERIA EKSKLUSI.

1. Penderita PPOK dengan gangguan fungsi hati.

2. Penderita PPOK yang mengkonsumsi obat yang menurunkan kadar CRP ( statin, aspirin, vit C, vit E, antibiotika, steroid sistemik dan inhalasi).

3. Penderita penyakit autoimun dan penyakit kolagen.

4. Penyakit paru lainnya seperti bronkiektasis, fibrosis kistik, tuberkulosis atau asma. 5. Penderita Sindroma Metabolik.

3.6.6. DEFINISI OPERASIONAL. 3.6.6.1. C-reactive Protein (CRP)

CRP merupakan High Sensitive C-reactive Protein yang diambil dari

serum subyek yang telah disentrifus 3000 rpm selama 10 menit, dan dinilai secara metode Immunotubidimetric dengan alat HITACHI 912.

3.6.6.2. Penderita PPOK Eksaserbasi.1

Subyek yang ditegakkan sebagai PPOK melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, foto thoraks dan spirometri (derajat I-IV berdasarkan kriteria GOLD 2007) yang secara klinis sedang mengalami eksaserbasi (sesak yang bertambah, volume sputum meningkat dan sputum menjadi purulen).

3.6.6.3. Uji Bronkodilator.1

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri Chest Graph HI-701.

- Pasien sebelumnya tidak boleh menggunakan obat-obatan


(46)

dan 12 jam untuk bronkodilator kerja panjang, dan 24 jam untuk teofilin yang lepas lambat)

- Dilakukan pengukuran VEP1 sebelum pemakaian bronkodilator.

- Kemudian diberikan 400 µg bronkodilator 2 agonis kerja singkat

melalui Metered-Dose Inhaler dalam hal ini dengan memakai fenoterol.

- Dilakukan pengukuran setelah 10-15 menit setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

- Bila didapati peningkatan kurang dari 12% atau kurang dari 200 ml

paska bronkodilator dibandingkan dengan hasil pre bronkodilator, maka dipastikan didapati adanya hambatan aliran udara yang bersifat non reversibel.

3.6.6.4. Derajat Keparahan PPOK.

Derajat keparahan penderita PPOK ditentukan dengan klasifikasi menurut kriteria Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2007., seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan PPOK berdasarkan spirometri.1

Derajat Karakteristik

I : PPOK ringan VEP1/KVP < 0,70

VEP1 > 80% prediksi

II : PPOK sedang VEP1/KVP < 0,70

50% < VEP1 < 80% prediksi

III : PPOK berat VEP1/KVP < 0,70

30% < VEP1 < 50% prediksi

IV : PPOK sangat berat VEP1/KVP < 0,70


(47)

VEP1< 50% prediksi ditambah gagal nafas kronik

VEP1 : Volume Ekspirasi Paksa satu detik; KVP : Kapasitas Vital Paksa; Gagal nafas : Tekanan Oksigen Parsial Arteri (PaO2) kurang 8,0 kPa (60 mmHg) dengan atau tanpa Tekanan CO2 Parsial Arteri (PaCO2) > 6,7 kPa (50mmHg) saat bernafas pada ketinggian rata-rata air.

Tabel 2. Kriteria klinis PPOK Eksaserbasi 10

[

Tipe Eksaerbasi Karakteristik

Tipe I

(eksaserbasi berat) Sesak nafas bertambah, volume sputum meningkat dan sputum menjadi purulen Tipe II

(eksaserbasi sedang) Dijumpai 2 gejala diatas Tipe III

(eksaserbasi ringan) Dijumpai satu gejala diatas ditambah infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,

peningkatan batuk, peningkatan mengi, atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% baseline atau frekuensi nadi > 20% baseline

3.6.6.5. SINDROMA METABOLIK. 32

Sindroma Metabolik didefinisikan berdasarkan The IDF Consensus

Worldwide definition of the Metabolic Syndrome yaitu seseorang yang memiliki Obesitas sentral (didefinisikan sebagai lingkar pinggang > 90 cm untuk pria , dan > 80 cm untuk wanita ditambah 2 dari empat faktor dibawah ini :


(48)

1. Peningkatan trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau dengan terapi spesifik untuk abnormalitas lipid ini.

2. Penurunan nilai kolesterol HDL, < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) untuk pria dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) untuk wanita, atau dengan terapi spesifik untuk abnormalitas lipid ini.

3. Peningkatan tekanan darah sistolik > 130 atau diastolik > 85 mmHg atau dengan pengobatan dimana sebelumnya didiagnosa sebagai hipertensi.

4. Peningkatan Kadar Gula Darah Puasa > 100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau sebelumnya didiagnosa sebagai Diabetes Mellitus Tipe 2.

3.6.7. KERANGKA OPERASIONAL.

Penderita PPOK Eksaserbasi Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Nama

Umur

Jenis Kelamin

Pem Fisis

TB, BB

Lingkar perut

SPIROMETRI KADAR CRP SERUM KUANTITATIF Derajat Keparahan

Darah rutin

KGD puasa

LFT

Profil Lemak

EKG

Foto toraks

3.6.8. BESAR SAMPEL.

Rumus besar sampel : Zg x S 2 n > ---

d


(49)

d = presisi = 0,1

Perkiraan besar sampel : 1.96 x 0,3 2 n > ---

0,1

n > 5,88 2

n > 34,5744 s 35

3.6.9. CARA PENELITIAN.

Seluruh subyek penelitian yang selama ini menderita PPOK stabil, saat ini diduga mengalami PPOK eksaserbasi dilakukan :

- Anamnesis meliputi keluhan utama, riwayat paparan asap rokok atau merokok, jumlah rokok per hari dan lama merokok. Riwayat serangan hingga subyek pernah masuk rumah sakit karena sesak nafas. Riwayat penyakit lainnya dan riwayat penggunaan obat-obatan.

- Pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan tanda vital, TB, BB, Indeks Massa Tubuh (IMT), pemeriksaan sistem khususnya pemeriksaan sistem saluran pernafasan.

- Untuk menilai derajat keparahan PPOK melalui uji bronkodilator terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan penilaian derajat keparahan PPOK sesuai dengan GOLD 2007.

- Pemeriksaan laboratorium yang meliputi darah rutin, Kadar gula darah puasa, uji faal hati, profil lemak, dan terakhir kadar CRP serum.


(50)

3.6.10. ANALISA DATA.

- Untuk menilai korelasi kadar CRP dengan derajat beratnya PPOK dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman.

- Untuk melihat perbedaan rata-rata kadar CRP berdasarkan derajat keparahan PPOK dilakukan dengan menggunakan Uji Anova.


(51)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 KARAKTERISTIK DASAR SUBYEK PENELITIAN.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2008 hingga Juni 2008 pada Poliklinik Pulmonologi dan Alergi-Imunologi RSUP H Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan. Pada pelaksanaan penelitian didapatkan 40 penderita PPOK (rerata umur 62,18 + 10,283 tahun , 36 (90%) pria dan 4 (10%) wanita). Pada penelitian ini tidak dijumpai PPOK eksaserbasi derajat I (tabel 3). Penderita PPOK terbanyak pada derajat III dengan jumlah 18 orang dimana PPOK pria sebanyak 16 orang dan wanita 2 orang. Subyek wanita dijumpai frekuensi sama banyak antara PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat masing-masing 2 orang.

Sepuluh orang subyek merupakan penderita PPOK yang masih merokok. Dua puluh sembilan subyek yang dengan riwayat merokok dan satu orang tidak pernah merokok. Derajat PPOK berat dijumpai pada delapanbelas subyek, enambelas orang subyek derajat PPOK sedang serta enam orang subyek derajat PPOK sangat berat. Status tingkat pendidikan mendapatkan bahwa terbanyak 15 (37,5%) subyek hanya lulus sekolah dasar. Dijumpai masing-masing sebelas orang subyek lulusan SLTP dan SLTA, dan hanya 3 orang subyek yang tingkat pendidikan Sarjana. Indeks Brinkmann tertinggi berada pada subyek PPOK derajat III sebesar 18 orang seperti tertera pada tabel 3.


(52)

Tabel 3. Karakteristik dasar subyek penelitian.

Variabel Derajat Keparahan PPOK

II III IV Jenis kelamin

Pria, n (%) 14 (35,0) 16 (40,0) 6 (15,0)

Wanita, n (%) 2 (5,0) 2 (5,0) 0

Umur, thn 57,7+9,7 64,2±9,8 67,8+9,6

MT, kg/m2 21,4+ 2,2 20,9+ 8,1 21,5+ 2,3

Laboratorium

Hb, gr/dl 13,1+1,5 12,5+1,6 11,9+1,2

Lekosit, /mm3 11418,7 + 9810,5 + 10542,2+ 4543,5 3271,5 3726,8 Tingkat Pendidikan

SD, n (%) 5(12,5) 7(17,5) 3(7,5)

SMP, n (%) 5(12,5) 6(15,0) 0(0)

SMA, n (%) 6(15,0) 3(7,5) 2(5,0)

Sarjana, n (%) 0(0) 2(5,0) 1(2,5)

Status Merokok

Merokok, n (%) 5(12,5) 4(10,0 1(2,5)

Pernah Merokok, n (%) 11(27,5) 13(32,5) 5(12,5) Tidak Merokok, n (%) 0(0) 1(2,5) 0(0)

Indeks Brinkmann

Ringan, n (%) 3(7,5) 2(5,0) 1(2,5)

Sedang, n (%) 10(25,5) 9(22,5) 2(5,0)


(53)

4.2. Hubungan antara kadar CRP dengan Derajat Keparahan PPOK Eksaserbasi.

Pada tabel 4 digambarkan hubungan kadar CRP dengan VEP1/VEP prediksi pada derajat II PPOK eksaserbasi, disajikan 16 subyek dengan kadar tertinggi CRP adalah 1,14 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPprediksi sebesar 62,12 %,

sedangkan kadar terendah CRP bernilai 0,03 dengan nilai VEP1/VEPpred adalah

71,55 %.

Tabel 4. Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEPprediksi pada Derajat II PPOK Eksaserbasi

No Subyek

Kadar CRP (mg/dL)

VEP1/VEP prediksi (%) 1 4 7 10 11 21 24 25 26 29 30 32 33 34 36 37 0,04 0,05 0,10 0,10 0,49 1,10 0,29 0,09 0,15 1,14 0,41 0,03 0,04 0,98 0,21 0,19 55,96 57,95 74,55 75,64 79,70 64,50 73,02 67,67 53,27 62,12 61,86 71,55 69,29 60,36 68,18 78,60


(54)

Pada derajat III PPOK eksaserbasi, didapatkan rerata kadar CRP sebesar

0,89+0,47 mg/dl dengan rerata VEP1/VEPpred sebesar 38,75 + 4,02 %, dengan

kadar CRP tertinggi sebesar 1,70 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPpred sebesar 47,19%

dan kadar CRP terendah sebesar 0,12 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPpred sebesar

42,79 %.(Tabel 5)

Tabel 5. Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEPprediksi pada Derajat III PPOK Eksaserbasi

No Subyek

Kadar CRP (mg/dL)

VEP1/VEP prediksi (%) 2 5 6 12 13 14 16 18 19 20 22 23 27 28 31 35 39 40 1,10 1,00 1,60 0,12 0,96 0,30 1,30 0,70 1,40 0,70 0,20 1,30 0,38 1,04 0,64 0,61 1,70 1,10 38,70 38,23 38,27 42,79 44,61 37,35 34,82 37,85 31,89 37,98 43,44 34,43 35,47 34,37 41,26 41,34 47,19 36,94


(55)

Tabel 6 menggambarkan kadar CRP dan nilai VEP1/VEPpred pada derajat IV PPOK eksaserbasi, didapatkan 6 subyek dengan kadar CRP tertinggi dan terendah masing-masing sebesar 1,60 mg/dl dan 0,05 mg/dl dengan nilai VEP1/VEPpred secara berturutan sebesar 18,56 % dan 16,74 %.

Tabel 6. Gambaran kadar CRP dengan VEP1/VEPprediksi pada Derajat IV PPOK Eksaserbasi

No Subyek

Kadar CRP (mg/dL)

VEP1/VEP prediksi (%)

3 8 9 15 17 38

0,79 0,05 1,52 0,19 1,40 1,60

24,42 16,74 12,82 26,36 22,22 18,56


(56)

Tabel 7 menggambarkan perbedaan rerata kadar CRP dan rerata VEP1/VEP Prediksi berdasarkan derajat keparahan PPOK eksaserbasi, semakin berat derajat PPOK eksaserbasi maka semakin besar nilai rerata CRP, hal ini berbanding terbalik dengan nilai rerata VEP1/VEP Prediksi dimana semakin berat derajat PPOK eksaserbasi semakin kecil nilai reratanya. Dengan menggunakan uji Anova kedua variable tersebut bermakna secara statistik.

Tabel 7. Gambaran nilai rerata CRP dan VEP1/VEP Prediksi berdasarkan derajat PPOK Eksaserbasi

Derajat PPOK n CRP VEP1/VEP Prediksi

X ± SD X ± SD

Derajat II 16 0,34±0,39 67,14±8,10

Derajat III 18 0,89±0,47 38,75±4,02

Derajat IV 6 0,93±0,69 20,19±5,08

( Sig ) = P 40 0,003* 0,0001*

Keterangan : Uji ANOVA

* Signifikan

Secara keseluruhan nilai rerata kadar CRP pada penelitian ini adalah 0,68 + 0,54 mg/dl. Kadar CRP pada derajat II, III, dan IV PPOK eksaserbas masing-masing adalah sebesar 0,34+0,39, 0,89+0,47 dan 0,93+0,69 secara berturutan seperti yang telah digambarkan pada tabel 4 hingga tabel 6. Dengan analisa statistik Anova rerata kadar CRP pada masing-masing derajat keparahan PPOK eksaserbasi dan VEP1/VEP Prediksi didapatkan perbedaan bermakna dengan p = 0,001.


(57)

Kadar CRP serum tampak meningkat seiring dengan peningkatan derajat keparahan PPOK eksaserbasi berdasarkan spirometri paska bronkodilator. Hubungan yang didapat tampak merupakan korelasi positif yang bermakna secara statistik melalui uji korelasi Spearman, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,490 (p<0,05) (gambar 4).

2 2.5 3 3.5 4

Derajat PPOK 0.00

0.50 1.00 1.50 2.00

CR

P

r = 0.490

p. = 0.001*

i

x

y=−0.2968+0.3535.

Gambar 4. Korelasi kadar CRP serum dengan derajat Keparahan PPOK Eksaserbasi


(58)

Hubungan kadar CRP serum dengan derajat keparahan PPOK eksaserbasi yang didapati bermakna secara statistik, semakin berat derajat PPOK eksaserbasi maka semakin tinggi nilai CRP yang didapatkan.


(59)

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian tentang PPOK semakin berkembang, seiring berkembangnya wacana bahwa PPOK yang pada awalnya merupakan suatu penyakit saluran nafas

yang proses inflamasinya merupakan proses self-limiting menjadi suatu proses

inflamasi yang persisten dengan beragam reaksi didalamnya, dan menjadikannya sebagai suatu penyakit inflamasi subklinis 25,33 CRP yang dipilih, merupakan petanda yang paling representatif sebagai marker beban inflamasi sistemik yang direspon oleh hepatosit. Petanda tersebut juga dapat mewakilkan gambarannya akan kematian pada PPOK yang ringan hingga sedang. 34 Hubungan antara inflamasi lokal paru dan inflamasi sistemik inilah yang dicoba untuk diteliti melalui kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK eksaserbasi.

Penelitian ini mendapatkan 40 subyek penelitian, penderita PPOK eksaserbasi dengan rerata umur 62,18 + 10,28 tahun. Jumlah pria 36 orang (90%) dan wanita 4 orang (10%). Pada penelitian ini didapatkan nilai rerata CRP 0,67 + 0,54 mg/dl. Kadar CRP pada derajat II, III dan IV nilai rerata masing-masing adalah 0,34±0,39, 0,89±0,47 dan 0,93±0,69. Nilai CRP yang didapatkan menunjukkan bahwa semakin semakin berat derajat PPOK eksaserbasi maka semakin besar nilai CRP yang didapatkan. Nilai yang didapatkan ini sesuai dengan yang ditemukan oleh peneliti terdahulu. Hurst dkk menggunakan 36 biomarker termasuk didalamnya CRP pada

pasien PPOK sebelum dan pada eksaserbasi, didapatkan hasil IQR (interqurtile

range) yang signifikan pada eksaserbasi dibanding baseline dengan nilai masing-masing 1,5 mg/dl dan 0,4 mg/dl. CRP yang juga diketahui meningkat pada keadaan PPOK stabil seperti yang diteliti oleh Sembiring dkk di Medan, dari 40 orang penderita


(60)

PPOK stabil didapatkan nilai rerata CRP serum 0,23 ± 0,34 mg/dl, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan penelitian ini karena populasinya berbeda. Hubungan antara

kadar CRP dengan hambatan pada saluran nafas (VEP1) memang sudah diteliti

dengan baik. Seperti halnya hasil penelitian ini, yang mendapatkan korelasi yang positif antara kadar CRP dengan derajat keparahan pada PPOK eksaserbasi dengan r = 0,490 (p=0,001). Peningkatan kadar CRP terkait erat dengan penurunan fungsi

paru, bahkan pada orang sehat sekalipun, khususnya pada mereka yang merokok. 9

Sin dkk juga mendapatkan peningkatan kadar CRP seiring peningkatan derajat

PPOK yang memang kemudian dikaitkan dengan kejadian kardiovaskular yang ada.33

Korelasi positif yang didapatkan peneliti, hampir identik dengan korelasi yang

didapatkan de Torres dkk yang menghubungkan kadar CRP tersebut dengan VEP1

dengan koefisien korelasi adalah -0,23. dan didapatkan nilai CRP yang jelas

meninggi pada PPOK dibandingkan dengan kontrol. 14 Hampir sama dengan banyak

penelitian lain, begitu juga dengan GOLD 2007, bahwa jumlah pria tetap lebih banyak dibandingkan dengan wanita, dan umur juga dikatakan lebih dari 30 tahun dan insidensinya akan semakin meningkat, seiring dengan pertambahan usia.1,40 dimana rokok tetap menjadi penyebab utama progresifitas PPOK. Shahab dkk menemukan bahwa rokok tetap terkait erat dengan insidensi dan prevalensi PPOK, bahkan dengan derajat keparahannya, dimana terdapat 34,9% (95% CI 32,1-37,8) PPOK merupakan perokok dibandingkan 22,4% (95% CI 21,4-23,4) bukan perokok. 17

Rokok yang selalu dianggap sebagai salah satu penyebab utama PPOK, pada penelitian ini mendapatkan hanya satu (2,5 %) subyek yang tidak merokok, dan menariknya subyek yang tidak merokok ini berada dalam kategori derajat keparahan PPOK yang berat. Rokok secara langsung menyebabkan disfungsi endotel saluran nafas dan kerusakan siliar saluran nafas, sehingga mekanisme protektif terhadap


(61)

sekret dan inhalan beracun menjadi tidak efektif. Namun hal tersebut tidaklah kemudian memudarkan perkiraan bahwa rokok bukan penyebab utama progresifitas PPOK, tetapi hal yang juga patut diperhitungkan adalah perokok pasif, dimana pada perokok pasif yang memiliki kadar nikotin < 10 ng/mL ternyata juga menunjukkan

adanya inflamasi dengan Odds Ratio yang juga meninggi pada masing-masing

derajat penurunan VEP1.35 Wanita yang didapatkan pada penelitian ini juga berada pada derajat keparahan PPOK II,III dan IV. Hal ini sesuai dengan Silverman dkk, yang juga mendapatkan bahwa mulai terdapat perubahan pola epidemiologis dari PPOK yang sebelumnya didominasi oleh pria, belakangan sudah mulai diderita oleh wanita karena juga kebiasaan merokok. Disamping itu didapati kecenderungan untuk semakin beratnya derajat PPOK pada wanita mengasumsikan bahwa wanita ternyata lebih rentan untuk dengan cepat berada pada derajat PPOK yang lebih berat. 36

CRP yang selama ini telah dipakai sebagai petanda faktor risiko kejadian kardiovaskular yang dihubungkan dengan proses aterosklerosis. Penelitian ini berusaha menyingkirkan kelainan kardiovaskular yang mungkin akan mengganggu hasil penelitian dengan mengeluarkan penderita sindroma metabolik, suatu proses yang berada lebih awal dari kejadian kardiovaskular yang diramalkan akan terjadi. Sin dkk mendapatkan bahwa memang PPOK sendirilah yang menyebabkan terjadinya

peningkatan kejadian kardiovaskular, 33 dan de Torres dkk semakin menegaskan

bahwa tidak terdapat perbedaan kadar CRP pada PPOK yang memiliki resiko kardiovaskular maupun yang tidak meskipun pada penelitian tentang rokok sendiri, didapatkan bahwa asap rokok sendiri memiliki efek inflamasi lokal dan inflamasi sistemik, dimana inflamasi sistemik sendiri akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada jantung sendiri secara langsung melalui jalur aterosklerosis koroner. 13,34,37


(62)

Nilai acuan untuk kadar CRP pada PPOK tidaklah seperti pada kerusakan kardiovaskular, belum ditemukan nilai cut-off yang jelas. CRP sendiri pada orang sehat dapat terdeteksi sebesar 0,8 mg/L dan akan meningkat hingga 500 mg/L pada keadaan akut yang produksinya dikontrol oleh Interleukin 1 dan Interleukin 6, meskipun dikatakan CRP dapat juga dihasilkan oleh sel epitel saluran nafas. CRP sendiri diteliti mempunyai independensi yang kuat yang tidak dipengaruhi oleh umur dan IMT. 12,38,39

Kelemahan penelitian ini adalah tidak adanya nilai dasar yang dapat dijadikan patokan untuk melihat nilai CRP yang sebenarnya untuk diwakilkan di populasi. Jumlah sampel yang sedikit, memang hanya dapat menjadi penelitian pendahuluan, maka sebaiknya jumlah sampel yang diteliti hendaknya lebih banyak, dan desain penelitian kasus kontrol menjadi pilihan pula untuk menilai variabilitas antara orang normal dengan penderita PPOK bila memang penelitian populasi belum dilaksanakan. Kami tidak memeriksa kadar CRP penderita PPOK pada populasi yang sama saat eksaserbasi dan tidak eksaserbasi.


(63)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

1. Terdapat korelasi positif antara kadar CRP dengan derajat keparahan PPOK eksaserbasi.

2. Semakin tinggi derajat keparahan PPOK eksaserbasi maka semakin besar nilai rerata kadar CRP yang dijumpai.

6.2. SARAN.

1. CRP sebaiknya mulai juga dilakukan sebagai salah satu pemeriksaan rutin untuk penderita PPOK eksaserbasi.

2. Tatalaksana penderita PPOK eksaserbasi sebaiknya juga didasarkan kepada kadar CRP,sehingga dengan melihat kadar CRP tatalaksana yang lebih holistik dapat mulai diberikan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.


(1)

(2)

LAMPIRAN 6. DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Dumawan Harris Parhusip NRP : 11950008470471

Pangkat / Golongan : Kapten CKM / IIIc

Tempat/tanggal lahir : Pintu Batu, 09 April 1971 Agama : Kristen

Alamat : Jl Gaperta G-15 Helvetia Medan

II. PENDIDIKAN UMUM

1. SD Inpres Rianiate Kec Pangururan Ijazah tahun 1983 2. SMP Negeri 2 Delitua Ijazah tahun 1986 3. SMA Negeri 12 Medan Ijazah tahun 1989 4. Fakultas Kedokteran USU Medan Ijazah tahun 1997

III. PENDIDIKAN MILITER

1. Sekolah Perwira Prajurit Karir. Akademi Militer Magelang 1995 2. Sekolah Para Dasar (Penerjun) Batujajar Bandung 1999 3. Sekolah Dasar Kecabangan Kesehatan TNI-AD

PUSDIKKES TNI-AD Jakarta 2000

IV. PENGALAMAN KERJA

1. Dokter Denkesyah Korem 023/KS Sibolga 1997 2. Dokter Batalyon Infanteri LINUD 100/PS Namu sira-sira 1998-2000 3. Staf Unit Gawat Darurat RS TK-II Putri Hijau Medan 2000-2001 3. Kaurkesmil Kesdam I/BB Medan 2001-2002 4. Plt.Kasi Keskureh Kesdam I/BB Medan 2002 5. Kepala Rumah Sakit Tentara Binjai 2003 6. Dokter Jaga Ruangan RSU Sari Mutiara Medan 2006-2008


(3)

V. KEANGGOTAAN PROFESI 1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI)

3. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD)

VI. KARYA ILMIAH DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM.

1. Dumawan Harris Pahusip, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah. Hernia Nukleus Pulposus Servikalis disebabkan Osteoartritis Servikalis. Pertemuan Ilmiah Tahunan Rheumatologi 2004. Jakarta, 7-10 Agustus 2004.

2. Dumawan Harris Parhusip, Soroy Lardo, Azhar Tanjung. Obstructive Sleep Apne Sindrome: KOPAPDI XIII Palembang, 6-10 Juli 2006

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH.

1. Peserta PIT PAMKI, PETRI, PERPARI, dan PERALMUNI Medan, 19-20 Juli 2003.

2. Panitia dan Peserta Simposium Gastroenterohepatologi Update 2003. Medan, 18-19 Oktober 2003.

3. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan V 2004. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU. Medan, 4-6 Maret 2004.

4. Peserta Simposium Putting Patients First : A New Paradigm in Treatment of Erectile Dysfunction. Medan, 14 Maret 2004.

5. Peserta symposium overactive bladder : Exposing The Hidden Problem.Medan, 20 Maret 2004.

6. Peserta Simposium Infections Update 2004. “Strategi Pengenalan Infeksi Menuju Indonesia Sehat 2010”. Medan, 24 Juli 2004.


(4)

8. Panita dan Peserta Gastroentero-Hepatologi Update 2004. Medan, 17-18 September 2004.

9. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU “Dengan Penyegaran Ilmu Penyakit Dalam kita meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang Lebih Profesional”. Medan, 3-5 Maret 2005.

10. Panitia dan Peserta Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Ilmu Penyakit Dalam. “Awareness of Emerging and Reemerging Infectious Diseases”. Medan, 4-6 Maret 2005.

11. Peserta Simposium The 3rd New Trend Cardiovascular Management. Medan, 6 -8 Juni 2005.

12. Panitia dan Peserta Workshop USG. Gastroentero-Hepatologi Update III. Medan, 5 Agustus 2005.

13. Peserta Seminar Peranan VCT dan CST dalam Penanganan Kasus HIV/AIDS

(Peringatan Hari Aids Sedunia 1 Desember 2005). Medan, 3 Desember 2005. 14. Panitia dan Peserta Gastroentero-Hepatologi Update III 2005. Medan,

15. Peserta Lounching Symposium Olmetec, experience the zone. Medan 14 Januari 2006.

16. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VII 2006 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 2-4 Maret 2006.

17. Peserta Temu Ilmiah Mini-Simposia Nyeri 2006. Medan, 8 April 2006.

18. Panitia dan Peserta 15th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association. “Better Understanding in The Management of Cardiovascular Disease”. Medan, 19-20 April 2006.

19. Peserta Simposium IDI Cabang Medan dan Singapore Medicine “ Partnership in Healthcare : A Continual Sharing Relationship”. Medan, 13 Mei 2006.

20. Panitia dan Peserta workshop “ Management of Chronic Hepatitis C in Daily Practice”. Medan, 10 Juni 2006.

21. Pembicara free oral presentation 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII). Palembang, 6-9 Juli 2006.

22. Peserta 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII). Palembang, 6-9 Juli 2006.


(5)

23. Panitia dan Peserta Kongres Nasional PETRI XII, PERPARI VIII, PKWI IX, Simposium Infections Update III 2006 PETRI-PERPARI-PKWI Cabang SUMUT. Medan, 28-29 Juli 2006.

24. Peserta Workshop USG pada Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 7 September 2006.

25. Panitia dan Peserta Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 8-9 September 2006.

26. Peserta simposium Integrated Clinical Management of Patients at High Risk of Vascular Events, Departemen Neurologi FK USU – RS H.Adam Malik Medan. Medan, 25 Nopember 2006.

27. Peserta Workshop ECG in Daily Practice. Medan, 14 April 2007. 28. Peserta Road Show PAPDI 2007. Medan 14 April 2007.

29. Peserta simposium “Era Baru Penggunaan Probiotic”. Medan 28 April 2007. 30. Peserta simposium Meningkatkan Peran Trombosis-Hemostasis Dalam Multi

Disiplin Ilmu Kedokteran. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan –Sumatera Utara. Medan, 1-2 Mei 2007.

31. Peserta The 3rd Simposium on Critical Care and Emergency Medicine. Medan, 4-5 Mei 2007.

32. Peserta simposium Diabetes, The Vitamin dan Mineral Antioxidans Connection. Medan, 26 Mei 2007.

33. Peserta simposium “ Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy”. PPHI, PEGI, PGI Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik. Medan, 9 Juni 2007.

34. Peserta simposium The 4th New Trend in Cardiovascular Management. Medan, 15-16 Juni 2007.

35. Peserta simposium “New hope for smokers” Ikatan dokter Indonesia Wilayah Sumatera Utara. Medan, 1 September 2007.

36. Peserta Workshop Hepatitis & Simposium Gastroentero-Hepatologi update V 2007. Medan, 9-10 Nopember 2007.

37. Peserta simposium “New Paradigm in Maintenance Fluid Therapy” Medan, 17 Nopember 2007.

38. Panitia dan Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VIII 2007 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 8-10 Maret 2007.


(6)

39. Peserta Simposium Road Show 2008 Eli Lilly Insulin Training for Excellence Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) & Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI). Medan, 26 Januari 2008.

40. Peserta Workshop “Hemostasis & Thrombosis Dan Penatalaksanaan Demam Dengue” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 14 April 2008.

41. Peserta Simposium “How to Choose an Appropriate OAD” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 15 April 2008.

42. Peserta Simposium “New Era in Therapeutic Options” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 17-19 April 2008.

43. Peserta The 4th Symposium on Critical Care and Emergency Medicine. Medan, 9-10 Mei 2008.

44. Peserta Workshop Disfungsi Tiroid Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Cabang Medan. Medan, 24-25 Mei 2008.

45. Peserta symposium “Fucoidan, Nature’s Way for Faster Peptic Ulcer Healing”. Medan, 14 Juni 2008.

46. Peserta Symposium ” Symposium of Venous Thromboembolism”. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan / Sumatera Utara. Medan, 26 Juli 2008

47. Peserta Workshop Diabetes Management Training for Internist. Medan, 7-10 Agustus 2008


Dokumen yang terkait

Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur Di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran Usu / Rsup H. Adam Malik Medan

1 55 87

Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen Tht-Kl Fk Usu / Rsup H. Adam Malik Medan

4 63 91

Hubungan Kejadian Penyakit Arteri Perifer Dengan Lamanya Menjalani Hemodialisis : Penelitian Potong Lintang Di Departemen/Smf Penyakit Dalam-Fakultas Kedokteran Usu/Rsup H Adam Malik/rsud dr. Pirngadi-medan

1 66 71

Pengaruh Pentoxifylline Terhadap Perubahan Skor Forns Penderita Hepatitis Kronis B Penelitian Di Bagian /Smf Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Usu/ RS H Adam Malik Medan Februari 2008 – Juli 2008

1 51 79

Penyakit Arteri Perifer Pada Sindroma Metabolik (Penelitian Di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/RS H Adam Malik Medan)

7 73 96

Pengaruh Pentoxifylline Terhadap Fibroindeks Pada Penderita Hepatitis Kronis B Penelitian Uji Klinis Di Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/ RS H Adam Malik Medan

0 48 73

Beberapa Aspek Anemia Penyakit Kronik Pada Lanjut Usia Penelitian Cross Sectional Di Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

0 19 51

Perbandingan Kadar Adiponectin Pada Penderita Sindroma Metabolik Dengan Penderita Dm Tipe 2 Baru Penelitian Di Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Usu / RS H Adam Malik Medan

0 41 77

Kadar C-Reactive Protein Pada Penderita Ppok Eksaserbasi Penelitian Potong Lintang Di Departemen / Smf Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Usu/ Rsup H Adam Malik / RSUD Dr. Pirngadi Medan Maret 2008 – Juni 2008

0 39 81

Perbandingan Kadar Adiponektin Antara Angina Pektoris Stabil Dengan Sindroma Koroner Akut Penelitian Potong Lintang Di Bagian / Smf Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Usu/ Rs H Adam Malik Medan

2 45 68