Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen Tht-Kl Fk Usu / Rsup H. Adam Malik Medan

(1)

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI

DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU /

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

PATAR L. H. LUMBANRAJA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN


(2)

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

PATAR L. H. LUMBANRAJA

Sebuah Karya Cipta

Dilarang Mengutip Bagian Dari Tesis Ini Tanpa Izin Penulis

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

MEDAN DESEMBER 2007


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Medan, Desember 2007

Tesis dengan judul

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. Abdul Rachman, SpTHT-KL(K) Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing: Ketua

Dr.Mangain Hasibuan, SpTHT-KL

Anggota I Anggota II


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh spesialisasi dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher pada Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang

(cross sectional) dengan judul DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA

RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT- KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN.

Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan dalam bidang alergi imunologi.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar – besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT-KL (K) sebagai Ketua Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasihat serta petunjuk yang sangat berguna selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan program pendidikan ini.

Yang Terhormat Dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL sebagai Ketua Pembimbing Tesis, Dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL dan Dr. Ida Sjailandrawati H., SpTHT-KL


(5)

sebagai anggota pembimbing tesis yang telah begitu banyak meluangkan waktu, memberikan petunjuk, serta bimbingan dan dorongan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama penyelesaian penulisan tesis ini.

Yang terhormat Prof. Dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) sebagi Ketua Program Studi THT-KL FK USU / RSUP. H Adam Malik Medan pada saat saya memulai pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP. H Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan dalam mengikuti pendidikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri terutama dalam bidang keahlian.

Yang terhormat guru saya dijajaran Departemen THT – KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Dr. Asroel Aboet, KL (K), Dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-SpTHT-KL (K), Dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-SpTHT-KL (K), Dr. Linda Adenin, SpTHT-KL, Dr. Hafni, SpTHT-KL (K), DR. Dr Delfitri Munir, SpTHT-KL (K), Dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, Dr. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, Dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, Dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT-KL, Dr. Harry A. Asroel, SpTHT-KL, Dr. Farhat, SpTHT-KL, Dr. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL, yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan di bidang THT-KL kepada saya, baik secara teori maupun keterampilan, yang kiranya sangat bermanfaat bagi kami di kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Ketua Departemen / Staf Radiologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Bagian / Staf Radiologi RS. Elizabeth Medan, Ketua Departemen / Staf Anestesi dan Reanimasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani masa asisten di bagian tersebut, saya mengucapkan terima kasih.

Yang terhormat Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur RSU Lubuk Pakam, Direktur RS Tembakau Deli Medan dan Direktur RS Tentara Putri Hijau Medan beserta staf yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase asisten di keempat rumah sakit tersebut.

Yang terhormat Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes selaku konsultan statistik yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dan pengolahan data penelitian ini.

Yang mulia Ayahanda Drs. L. Lumbanraja dan Ibunda Alm. L. br. Pakpahan segala upaya dan daya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan penuh kasih sayang sejak kecil hingga dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama dan negara. Terima kasih juga saya tujukan kepada keluarga Kakak, Abang dan Adik yang telah banyak memberikan dorongan semangat, baik material dan moril kepada saya selama masa pendidikan dari awal hingga akhir pendidikan ini.


(6)

Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian ilmu kesehatan THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah bersama – sama baik dalam suka dan duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.

Yang terhormat paramedis dan pegawai Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama selama saya menjalani pendidikan ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih.

Kepada seluruh pasien yang telah bersedia membantu saya selama menjalani pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terutama pasien yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang sebesar – besarnya atas kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapatkan berkat berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Medan, Desember 2007


(7)

ABSTRAK

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT- KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Patar L. H. Lumbanraja, Mangain Hasibuan, Rizalina A. Asnir, Ida Sjailandrawati H.

Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

Tujuan: Untuk mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode: Desain penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross

sectional). Sampel sebanyak 62 penderita rinitis alergi. Pada sampel dilakukan tes kulit cukit (skin prick test) menggunakan satu set alergen inhalan yang terdiri dari empat belas macam alergen, termasuk di dalamnya kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer). Hasil positif pada tes kulit cukit adalah setiap diameter bintul pada +3 dan +4 yang terjadi pada setiap alergen. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan bantuan program Window SPSS (Statistical Package for Social Science)

Hasil: Distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok umur 21 – 30 tahun sebanyak 22 penderita (35,5%), distribusi jenis kelamin pada penderita rinitis alergi paling banyak adalah perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%), dengan keluhan paling banyak adalah bersin-bersin pada 59 penderita (95,2%), serta alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27 penderita (43,5%). Distribusi alergen paling banyak pada laki-laki adalah kecoa sebanyak 5 penderita (8,06%), sedangkan pada perempuan adalah tungau debu rumah sebanyak 24 penderita (38,67%), dan alergen paling banyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa sebanyak 14 penderita (22,58%).

Kesimpulan: Distribusi alergen paling banyak ialah tungau debu rumah yang dijumpai pada 27 penderita (43,5%)


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR, TABEL, SKEMA, DAN DIAGRAM x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan Penelitian 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1.Anatomi Hidung 4

2.1.1. Hidung luar 4

2.1.2. Rongga hidung 5

2.2.Perdarahan Hidung 6

2.3.Persarafan Hidung 7

2.4.Mukosa Hidung 8

2.5.Fisiologi Hidung 9

2.5.1 Jalan nafas 10

2.5.2 Pengatur kondisi udara (air conditioner) 10

2.5.3 Penyaring dan Pelindung 10

2.5.4 Indra penghidu 11

2.5.5 Resonasi suara 11

2.5.6 Proses bicara 11

2.5.7 Refeks nasal 11

2.6. Definisi 11

2.6.1. Reaksi hipersensitivitas 12

2.6.2. Reaktivitas silang antigen 13


(9)

2.6.4. Rekativitas alergen inhalan dan makanan 14 2.6.5. Klasifikasi rinitis alergi 15 2.7. Kekerapan 15 2.7.1. Penyebab penyakit alergi THT 16 2.7.2. Gejala 19 2.8. Patofisiologi 20 2.8.1. Fase sensitasi 20 2.8.2. Patogenesis rinitis alergi 24 2.8.3. Fase elisitasi 23 2.8.1 Tahap aktifasi 23 2.8.2 Tahap efektor 28 2.8.3 Peran mediator-mediator implamasi dalam

manifestasi gejala klinis alergi 25 2.8.4 Peran sitokin pada rinits alergi 27

2.9 Antigen 30

2.10Diagnosis 31

2.10.1 Anamnesis 31 2.10.2 Riwayat penyakit 32 2.10.3 Pemeriksaan fisik 33 2.10.4 Pemeriksaan penunjang 34 2.10.4.1 Pemeriksaan in vitro 34 2.10.4.2 Pemeriksaan IgE total serum 34 2.10.4.3 Pemeriksaan IgE spesifiks serum ( dengan

metode RAST / Radioallresorbent test) 35 2.10.5 Pemeriksaan lain 35 2.10.6 Tes kulit 36 2.11Diagnosis Banding 38 2.12Terapi Rinitis Alergi 38 2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi 41 2.12.1.1 Antihistamin 42 2.12.1.2 Dekongestan 43


(10)

2.12.1.3 Kortikosteroid 44 2.12.1.4 Antagonis leukkotrien 45 2.12.2 Imunoterapi spesifik 47 2.12.3 Pembedahan 48 2.13Komplikasi 49

2.14Prognosis 50

BAB 3 METODE PENELITIAN 51 3.1. Rancangan Penelitian 51 3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian 51 3.3. Populasi Dan Sampel 51 3.4. Kerangka Konsepsional 53 3.5. Batasan Operasional 53 3.6. Bahan Dan Alat Yang Dipakai 55 3.6.1. Bahan yang dipakai 55 3.6.2. Alat yang dipakai 55

3.7 Persiapan 55

3.8 Cara Kerja 55

3.9 Kerangka Kerja 56 3.10. Analisa Data 56 BAB 4 HASIL PENELITIAN 57

BAB 5 PEMBAHASAN 62

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 66

6.1 Kesimpulan 66

6.2 Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN

1. Persetujuan Untuk Calon Peserta Penelitian (Informed Consent) 73 2. Pernyataan Persetujuan 75 3. Status Penelitian 76


(11)

4. Skin Prick Test (Tes Alergi) 79 5. Daftar Data Sampel Penelitian Rinitis Alergi

di Departemen THT-KL FK USU RSUP H. Adam Malik Medan 80 6. Surat Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian 82


(12)

DAFTAR GAMBAR, TABEL, SKEMA, DAN DIAGRAM

Halaman GAMBAR

Gambar 2.1. Perdarahan Hidung 7 Gambar 2.2. Persarafan Hidung 8 Gambar 2.3. Patofisiologi Rinitis Alergi 22

TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Rinitis Alergi

tipe Sneezers and Runners dengan Blockers 33 Tabel 2.2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi 41 Tabel 4.1. Distribusi Kelompok Umur Penderita Rinitis Alergi 57 Tabel 4.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Rinitis Alergi 57 Tabel 4.3. Distribusi Keluhan Penderita Rinitis Alergi 58 Tabel 4.4. Distribusi Alergen Berdasarkan

Tes Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi 58 Tabel 4.5.1. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi

Berdasarkan Jenis Kelamin 60 Tabel 4.5.2. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi

Berdasarkan Kelompok Umur 61

SKEMA

Skema 2.1. Patogenesis Rinitis Alergi 21 Skema 2.2. Pengobatan Rinitis Alergi (ARIA, 2000) 40 Skema 2.3. Sintesa Leukotrien 46

DIAGRAM

Diagram 1. Distribusi Alergen Berdasarkan Uji Kulit Cukit


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang paling sering ditemukan. Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir (Ciprandi et al, 2005).

Rinitis alergi adalah suatu penyakit yang sering ditemukan. Merupakan suatu penyakit atopik yang prevalensinya berkisar antara 10% di Jepang, 20% di Thailand, 10-15% di Eropa. 10-20% di Amerika Utara dan di Korea, 25% di New Zealand (Zainuddin, 1999).

Rinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada penderitanya (Suprihati, 2005). Penyakit ini mengganggu kehidupan sehari-hari, selain penyembuhannya berbiaya relatif mahal juga bersifat rekuren, kronis, progresif, reversibel pada tahap awalnya, serta ireversibel pada tahap lanjut. Lebih lanjut lagi, penyakit ini tidak saja akan merugikan penderita secara pribadi, namun juga akan merugikan individu sebagai bagian sumber daya manusia (SDM), sedangkan peningkatan kualitas SDM tersebut menjadi fokus perhatian saat ini karena sangat dibutuhkan dalam mempercepat laju pembangunan nasional (Prijanto, 1996).

Penyakit rinitis alergi banyak dijumpai pada praktek sehari-hari dokter THT, namun insidensi dan prevalensinya di Indonesia belum diketahui secara pasti, sedangkan di negara-negara maju belum ditetapkan secara tepat (Prijanto, 1996). Baratawidjaja et al (1990) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta mendapatkan prevalensi sebesar 23,47%, sedangkan Madiadipoera et al (1991) di Bandung memperoleh insidensi sebesar 1,5%, seperti yang dikutip Rusmono (1993).

Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Pada usia remaja/ dewasa, prevalensi rinitis alergi adalah sama banyak antara laki-laki dan perempuan. Keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada nonatopi (Karjadi, 2001).


(14)

Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien berumur 5-62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi bagian THT FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi sejumlah 147 orang, atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin/gatal hidung (89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung (76,19%). Kelompok umur 1-10 tahun berjumlah paling sedikit (3,40%) kemudian meningkat dengan bertambahnya umur, dan selanjutnya menurun setelah berumur 40 tahun, dengan frekwensi terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun (37,41%). Dari tes kulit cukit, alergen-alergen yang memberikan hasil positif bermakna berturut- turut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,16%), debu rumah (73,47%), serpih epitel/bulu binatang (63,95%) (Rusmono, 1993).

Penelitian Zainuddin di Palembang menemukan hasil tes kulit cukit yang diperoleh dari 23 penderita rinitis alergi adalah sebagai berikut: penderita terbanyak reaksi positif terdapat alergen D. Pteronysinus pada 20 penderita (86,95%) diikuti terhadap House dust dan lobster pada masing – masing 19 penderita (82,60%), terhadap kepiting pada 18 penderita (78,26%), terhadap bulu kucing dan udang masing-masing pada 16 penderita (69,56%), terhadap cokelat pada 13 penderita (56,52%), terhadap bulu kelinci dan ikan masing- masing pada 12 penderita (52,17%). Yang paling sedikit adalah terhadap alergen Aspergilus pada 1 penderita (4,35%). Seorang penderita dapat bereaksi positif lebih dari satu alergen (Zainuddin, 1999).

Penyakit alergi THT terutama rinitis alergi umumnya diterapi dengan cara menghindari alergen penyebab untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui alergen penyebab tersebut, imunoterapi, mencegah degranulasi sel mastosit, menetralisir mediator amine vasoaktif (terutama mediator histamin) dan menghilangkan gejala-gejala pada organ target (pilek dan buntu hidung) (Prijanto, 1993), tetapi cara yang paling efektif untuk mengontrol penyakit-penyakit alergi adalah dengan menghindari paparan alergen penyebabnya (Danandjaja, 2001).

Sehubungan dengan pernyataan dan alasan yang dikemukakan diatas yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian untuk mengetahui distribusi alergen


(15)

pada penderita rinitis alergi di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

1.2. Permasalahan Penelitian

Bagaimana distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen THT- KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum :

Mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen THT- KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Tujuan Khusus :

a. Mengetahui distribusi kelompok umur pada penderita rinitis alergi. b. Mengetahui distribusi jenis kelamin pada penderita rinitis alergi.

c. Mengetahui distribusi keluhan yang ditemukan pada penderita rinitis alergi. d. Mengetahui distribusi alergen yang dijumpai berdasarkan tes kulit cukit.

e. Untuk mengetahui distribusi jenis alergen pada kelompok umur dan jenis kelamin.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan angka distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pembanding dan referensi untuk penelitian lebih lanjut.


(16)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan perdarahan serta persarafannya (Ballenger, 1994; Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

2.1.1 Hidung luar

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak ke atas dan ke belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Kolumela membranosamulai dari apeks, yaitu di posterior bagian tengah bibir dan terletak di sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal dengan memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah-menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan dan kiri, di sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung.

Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Kerangka utama adalah keempat tulang yang disebut diatas. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.

Tepi bawah (kaudal) kartilago lateralis superior terletak di bawah tepi atas (kranial) kartilago lateralis inferior. Bila kartilago lateralis inferior diangkat dengan retraktor barulah akan terlihat batas bawah kartilago lateralis superior ini atau yang disebut limen nasi. Ada kalanya kedua tepi kartilago lateralis superior dan inferior tidak melekat dengan erat di bagian medial, sehingga menyebabkan kerangka hidung luar kurang kuat. Di sebelah lateral, antara kartilago lateralis superior dan inferior terdapat beberapa kartilago sesamoid. Kartilago lateralis inferior berbentuk ladam. Krus lateralnya lebar dan kuat, merupakan kerangka ala nasi. Bagian medialnya lemah, sebagian meluas


(17)

sepanjang tepi kaudal kartilago septum nasi yang bebas dan sebagian lagi ada di dalam kolumela membranosa.

Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator yang terdiri dari m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare m.kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari m.nasalis dan m.depresor spetil (Ballenger, 1994).

2.1.2 Rongga hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :

1.Lamina perpendikularis os etmoid. 2.Vomer.

3.Krista nasalis os maksila 4.Krista nasalis os palatina Bagian tulang rawan adalah :

1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis) 2. Kolumela


(18)

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu : meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis ,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

2.2 Perdarahan Hidung

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.


(19)

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (little area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 1. Perdarahan Hidung

2.3 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.


(20)

Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum teretak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 2. Persarafan Hidung

2.4 Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.


(21)

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaanya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.

Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub-epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena yang besar dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.

Pada bagian bawah, mukosa melekat erat pada periostium atau perikodrium (Ballenger, 1994; Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

2.5 Fisiologi Hidung

Fungsi hidung ialah untuk : • Jalan nafas

• Pengatur kondisi udara (air conditioning) • Penyaring udara


(22)

• Resonansi suara

• Turut membantu proses suara

• Refleks nasal (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007)

2.5.1 Jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.2 Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebaliknya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o Celcius (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.3 Penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b. Silia


(23)

c. Palut lendir (mukous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri yang disebut lysozyme (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.4 Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.5 Resonansi suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

2.5.6 Proses bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

2.5.7 Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.6 Definisi

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE dengan


(24)

gejala rinorea, obstruksi hidung, hidung gatal, bersin-bersin yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan (Bosquet et al, 2001).

Dikatakan juga bahwa rinitis alergi merupakan suatu penyakit hipersensitivitas tipe I (Gell & Coomb) yang diperantarai IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama (Sumarman, 2001).

2.6.1 Reaksi hipersensitivitas

Gell & Coomb membuat klasifikasi perbedaan tipe reaksi imun ke dalam 4 klasifikasi. Yaitu :

1. Tipe 1 ( Reaksi hipersensitivitas tipe cepat)

• Pada pemaparan suatu antigen, IgE akan terikat dengan sel mast sehingga terjadi hubungan silang, degranulasi dan pelepasan mediator.

• Gejala mulai timbul dalam hitungan detik hingga beberapa menit setelah terpapar oleh antigen tetapi selalu proses reaksinya berlangsung sampai beberapa jam.

• Respon fisiologis permulaan terhadap histamin dan mediator-mediator lain termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, stimulasi kelenjar mukus dan kontraksi otot polos.

• Respon fase lambat di stimulasi dengan pelepasan sintesis mediator baru seperti leukotrien termasuk infiltrasi sel radang dan oedem kronik jaringan.

• Secara klinis, reaksi tipe 1 akan menghasilkan rinitis angiooedem, diare, asma, dan dapat berlanjut ke anafilaksis.

• Pertama kali tersensitisasi pada banyak pasien, reaksi alergi ini akan menetap untuk beberapa tahun dan sering sampai seumur hidup.

• Walaupun reaksi tipe 1 terhadap makanan tidak sering terjadi, biasanya sangat mudah terinfeksi karena akan menghasilkan gejala yang segera.

• Reaksi ini biasanya berat dan dirawat seumur hidup dan dapat juga melibatkan satu organ atau lebih.

• Reaksi tipe 1 terhadap antigen makanan diduga memiliki prevalensi hampir 5% dari populasi umum.

• Reaksi tipe 1 yang ditimbulkan oleh makanan dapat diidentifiksai secara mudah dengan mengukur IgE darah secara invitro.


(25)

2. Tipe 2 (Reaksi sitotoksik)

• Terjadi apabila antibodi terikat dengan antigen sendiri atau antigen asing.

• Kemudian menghasilkan fagositosis aktivitas sel killer atau complement-lysis mediated.

• Contoh klinis : anemia hemolitik, sindrom good pasture, reaksi transfusi. 3. Tipe 3 ( Reaksi kompleks imun)

• Melibatkan kompleks antigen-antibodi dengan kerusakan jaringan yang terlibat. • Molekul antibodi terutama IgG terikat pada antigen sirkulasi menghasilkan

kompleks makromolekul yang dapat berpresipitasi dalam kapiler, mengikat dan mengaktivasi komplemen untuk menyebabkan peradangan jaringan.

4. Tipe 4 ( Reaksi hipersensitivitas tipe lambat) • Respon antara 24-28 jam sesudah kontak.

• Diduga dalam perkembangan kondisi dari alergi kronik.

• Reseptor sel T bereaksi dengan antigen spesifik yang sifatnya serupa dengan sel B. • Kemudian IgE menghasilkan sel B pada tipe 1, dimana sensitisasi sebelumnya

diperlukan untuk mencetuskan kondisi utama dari permukaan sel T. • Sebagai dasar dari tes tuberkulin (Trevino, Gordon, Veling, 2002).

2.6.2 Reaktivitas silang antigen

Alergen-alergen yang bereaksi silang merupakan substansi antigenik yang berbeda yang dapat bekerja seakan-akan substansi yang sama dengan substansi lain yang dapat membangkitkan respon alergi. Reaksi silang terjadi saat terbentuknya antibodi terhadap suatu antigen, di mana antibodi tersebut berespon terhadap 1 atau lebih antigen lain. Bagian dari antigen yang dikenali antibodi sehingga dapat membangkitkan respon alergen disebut epitop (Krouse, 2002).

2.6.3 Pengukuran reaktivitas silang

Sebelum perkembangan pemeriksaan imunoglobulin E (IgE), semua studi mengenai reaksi silang dilakukan dengan menggunakan hubungan klinis. Reaktivitas silang ditemukan pada abad 20 ketika para ahli alergi mengenali bahwa pengobatan


(26)

dengan satu antigen spesifik mampu mendesensitisasi pasien terhadap antigen lain juga. Observasi ini secara khusus ditujukan di antara rumput-rumput karena pasien yang positif tehadap satu rumput biasanya positif terhadap semua rumput yang diujikan. Juga pengobatan dengan menggunakan satu rumput, biasanya sama efektif dengan menggunakan beberapa rumput sebagai pengobatan dan kecil kemungkinan untuk menyebabkan reaksi yang berat (Krouse, 2002).

Saat ini, studi reaktivitas silang paling umum dilakukan dengan menggunakan teknik yang dikenal penghambat radioallergosorbent test (RAST). Dalam percobaan invitro, antigen kedua yang bervariasi dalam hal konsentrasi, ditempatkan dalam seri tabung-tabung pemeriksaan yang mengandung sejumlah antigen acuan yang identik. Ketika jumlah yang meningkat dari antigen kedua ditambahkan, tingkat dimana ikatan terhadap antigen acuan yang spesifik terhadap IgE yang dihambat dan diukur. Semakin besar reaktivitas antara dua zat, semakin antigen acuan yang dipindahkan (Krouse, 2002).

2.6.4 Reaktivitas alergen inhalan dan makanan

Reaktivitas silang antara alergen inhalan dan makanan telah diamati selama beberapa tahun. Reaktivitas silang ini sering disebut concomitantfood sensitivity. Hal ini terlihat jelas seperti pada serbuk tepung gandum dan serbuk sari gandum. Beberapa hubungan zat-zat inhalan yang berasal dari bahan makanan, bagaimanapun tidak begitu jelas. Empat reaksi silang zat-zat inhalasi yang berasal dari bahan makan telah dipelajari dan telah didokumentasikan. Salah satu interaksinya adalah sindroma alergi oral yang diamati antara serbuk sari birch dengan buah-buahan dan kacang-kacangan. Birch dikenal bereaksi silang dengan hazelnuts, kentang, apel, wortel, dan seledri.

1. Lebih dari 90 % dengan alergi terhadap birch yang terbukti secara invitro juga positif terhadap apel.

2. Pada reaksi silang ini, serbuk sari birch yang mengandung epitop buah dimana buah tidak memiliki epitop birch.

3. Sebuah reaksi silang yang sama diketahui di antara serbuk sari rumput timothy dan apel, wortel dan seledri. Serbuk sari mugwort diketahui bereaksi silang sebagian dengan seledri,coriander dan teh bunga chamomile.


(27)

4. Reaksi silang yang penting di antara epitop alergen pada rumput liar dan pada cantaloupe, semangka dan pisang.

Beberapa reaksi silang dari zat-zat inhalan yang berasal dari bahan makanan yang lain telah dicurigai dari observasi klinis, tetapi belum dikonfirmasikan dengan studi laboratorium.(Krouse, 2002).

2.6.5 Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya yaitu :

1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati, Kasekeyan, Rusmono, 2001).

WHO merekomendasikan pembagian rinitis alergi kedalam dua klasifikasi, intermittents (kadang-kadang) dan persistent (menetap), sedangkan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi ringan (mild) dan sedang – berat (moderate-severe) (Bosquet et al, 2001).

Intermittens (kadang-kadang) berarti bahwa gejala yang ditemukan kurang dari 4 hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.

Persistent (menetap) berarti bahwa gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari setiap minggunya dan lebih dari 4 minggu.

Pada kelompok gejala ringan (mild), pasien ditemui dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.

Pada kelompok sedang-berat (moderate-severe) berarti ditemukan satu atau lebih gejala berikut: tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu (Bosquet et al, 2001).


(28)

2.7 Kekerapan

Populasi penderita rinitis alergi di dunia terus menerus meningkat dari waktu ke waktu. Di seluruh dunia populasi penderita rinitis alergi mencapai 10-25%, sehingga sampai saat ini masih merupakan penyakit yang mendapat perhatian khusus para penyelenggara kesehatan termasuk di negara tropis seperti Indonesia (Mulyarjo, 2006).

Penelitian epidemiologis yang dilakukan WHO tahun 2000 di Amerika Utara dan Eropa Barat,menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi penyakit rinitis alergi dari 13-16% menjadi 23-28%. Di Eropa Barat, menunjukkan pada anak usia sekolah, prevalensi rinitis alergi meningkat dua kali lipat. Di USA, prevalensi rinitis alergi musiman dan perenial mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahun, seperti yang dikutip Nugraha (2005). Rinitis alergi merupakan penyakit yang sering dan mempengaruhi sampai 40 % penduduk Australia dan New Zealand (ASCIA, 2004).

Di Indonesia, angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter (Mulyarjo, 2006). Prevalensi rinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun seperti yang dikutip Nugraha ( 2005). Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study of Asthma and

Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun

2001-2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18% (Suprihati, 2005). 2.7.1 Penyebab penyakit alergi THT

Penyebab penyakit alergi THT dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :Spesifik dan Non Spesifik,

1. Penyebab Spesifik

Yang paling berperan adalah alergen hirupan (inhalan).

Alergen inhalan merupakan alergen yang sering ditemukan dan sangat penting dalam kelompok alergen (Colman, 1992).

Alergen inhalan biasanya dibagi ke dalam 2 jenis berdasarkan kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan seasonal (Krouse, 2002).


(29)

Ada sepanjang tahun dan sulit dihindari. Contoh :

A. Debu rumah

1. Alergen gabungan yang terdiri dari tungau, kecoa, partikel kapas, serpih kulit manusia dan lain-lain.

2. Alergen udara >10 µm dan mengendap dengan cepat yang berasal dari seprei dan sarung furniture.

3. Sering pada ruang tertutup. B. Tungau debu rumah

1. Komponen alergi tersering adalah kotoran tungau debu rumah D.pteronyssimus dan D. farinae.

2. Hidup dari serpihan kulit manusia. 3. Lebih suka pada suhu 21,1-26,6 0C.

4. Tidak ada pada ketinggian lebih dari 5000 kaki. C. Serpihan kulit binatang

1. Serpihan kulit kucing

̇ Antigen Fel D1 diproduksi pada kelenjar sebasea kulit dan terdapat pada serpihan kulit kucing.

2. Serpihan kulit anjing

• Secara umum serpihan kulit anjing kurang kuat menyebabkan alergi dibandingkan dengan serpihan kulit kucing.

• Antigen serpihan kulit anjing lebih bervariasi dibandingkan serpihan kulit kucing.

3. Serpihan kulit binatang lainnya.

̇ Alergi terhadap serpihan kulit binatang lainnya bisa terjadi ketika manusia terpapar dengan hewan mamalia lainnya atau unggas pada keadaan normal.

̇ Sebagai contoh : alergi terhadap serpihan kulit kuda atau ternak sapi lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di kawasan pertanian dan peternakan.


(30)

1. Di dalam dan di luar ruangan.

2. Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab di atas barang yang busuk, ruang bawah tanah, tumpukan koran yang lama, debu kayu, tanaman di dalam ruangan.

3. Penyebab tersering Alternaria, Aspergillus, Pullularia, Hormodendrum, Penicillium dan Cephalosphorium.

E. Kecoa

1. Beberapa dekade terakhir peran kecoa terhadap sumber alergen inhalan sangat penting.

2. Alergi terhadap kecoa berhubungan dengan asma terutama terhadap anak-anak.

3. Alergen berasal dari sekresi serangga, terdapat pada badan dan sayap.

4. Sulit dihilangkan .

5. Sering terdapat pada rumah yang kotor (Krouse, 2002; Lee, 2003). 2. Alergen seasonal

a. Biasanya dari serbuk sari tanaman.

b. Postulat Thommen menyatakan alergen yang efektif, serbuk sari harus :

1.Dapat diterbangkan angin.

2.Ringan, dapat terbawa sampai jarak jauh (umumnya diameter lebih kecil dari 38 µm )

3.Terdistribusi luas 4.Bersifat alergenik.

c. Tipe dari alergen seasonal adalah :

1. Pohon : pada musim dingin dan musim semi ; Februari sampai Mei 2. Rumput : pada musim semi,musim panas dan musim gugur ; April

sampai Desember.

3. Rumput liar : pada musim panas, dan musim gugur ; Juli sampai Desember (Krouse, 2002; Lee, 2003).


(31)

a. Iklim

Udara lembab, perubahan suhu, angin.

Iklim ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga, disamping memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.

b. Hormonal

Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya kalau sedang hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid. c. Psikis

Meningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang berbakat alergi memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.

d. Infeksi

Infeksi memudahkan kambuhnya alergi demikian juga sebaliknya. e. Iritasi

Rangsangan dapat pula menyebabkan kambuhnya alergi misalnya : asap rokok, bahan-bahan polusi.

f. Genetik

Tak diragukan lagi besarnya faktor genetik terhadap penyakit alergi, karena banyak penderita berasal dari keluarga yang juga menderita penyakit alergi. Risiko untuk menderita penyakit alergi adalah sebayak 30 % bila satu orang tua yang atopi dan lebih dari 30 % bila kedua orang tua atopi. Demikian pula ibu yang atopi berperan lebih besar secara bermakna daripada ayah yang atopi (Harmadji, 1993; Rusmono, 1993).

2.7.2 Gejala

Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu beringus, bersin-bersin, dan hidung tersumbat disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung. Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada palatum, gatal pada tenggorok serta asma dapat menyertainya apabila reaksi alergi terjadi juga pada


(32)

organ-organ lain. Gejala-gejala tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh obat (Sumarman, 2001; Chanda et al, 2002).

Gambaran klinis pada rinitis alergi disebabkan oleh terpaparnya mukosa hidung setelah terhirup zat alergen dimana individu tersebut telah tersensitisasi. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa bersin-bersin, iritasi hidung, hidung beringus dan hidung tersumbat. Intensitas dari gejala rinitis alergi ini tergantung oleh kombinasi pejamu dan antigen faktor seperti derajat sensitisasi individu dan alergen ( Katalaris, 1997).

2.8 Patofisiologi

Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap efektor (Suprihati, 2006).

2.8.1 Fase sensitisasi

Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T (TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi sitokin (Suprihati, 2006 ).

Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas


(33)

dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.


(34)

2.8.2. Patogenesis rinitis alergi


(35)

(36)

2.8.3 Fase elisitasi

2.8.1 Tahap aktifasi

Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006).

Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G) protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam sitoplasma langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-calmodulin yang

engak

eflek arasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala

itu histamin juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena enyeb

m tifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors

(PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula

sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan bradikinin (Suprihati, 2006). Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin, rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi r p

rinore yang seros. Selain

m abkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Gejala yang segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera


(37)

(RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamin N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel maupun pada endotel (Suprihati, 2006).

2.8.2 Tahap efektor

Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi

nderita rinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan sebagian kecil sel darah (1%) dan

eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung endotel seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).

Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan di mukosa hidung pe


(38)

berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP), eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang mempunyai efek menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel,

2.8.3

Reaksi

ditandai oleh gejala bersin, beringus, tersebut diakibatkan kinerja histam

g)

pidermis atau mukosa, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuron sensoris yang kecil di dalam ner

s

alergi secara khas m histam

dapat terjadi langsung pasca provokasi berperan namun hanya kec

Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membran mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan alergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas (Suprihati, 2006).

Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis alergi

alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada rinitis alergi gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-gejala in dan berbagai mediator lain (Sumarman, 2001). 1. Bersin-bersin (sneezin

Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin (Sumarman, 2001).

2. Gatal-gatal (pruritus)

Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal,e

dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang

vus spinalis ke talamus dan korteks ensoris. Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rinitis enimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat in berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan

histamin.Mungkin juga prostaglandin il saja (Sumarman, 2001).


(39)

domi

molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pemb

or H1.

atropin pre-treatm

trien dan bradikinin juga menyebabkan berin

rer akibat kongesti sementara yang bersifat vasod

nan sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan plasma dan

uluh darah hidung.

Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada resept

Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh

ent.

Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.

Pacuan hidung dengan leuko

gus melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar. Mediator lain yang juga berperan pada proses beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP) (Sumarman, 2001).

4. Buntu hidung (nasal congestion)

Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang tidak menetap, tetapi terjadi tempo

ilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung juga menambah sumbatan hidung.

Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin, bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4, PAF.

Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat saja, tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran histamin


(40)

terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran leukotrien (LTC4, LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat dibanding histamin. Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung. Demikian tonin-gene related dapat menimbulkan

infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang dip

agai sitokin tipe 2, antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan GMCF

diproduksi oleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien, dapat dideteksi

juga neuropeptida substance P dan calci

vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung (Sumarman, 2001).

2.8.4 Peran sitokin pada rinitis alergi

Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda.

Berdasarkan jenis produk sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi sel Th1 dan sel Th2. Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi

oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat, lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T serta faktor genetik. Pada

roduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN- dan IL-2. Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN-∂dianggap sebagai prototipe sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan

protipe sitokin Th2.

Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami

polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin yang

disebut pula seb

yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu menginduksi sel limfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu: IFN-dan IL-2.


(41)

dalam w

IL-12 dan I

sdusikan oleh toll-like-receptor

aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4.

Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.

Sitokin IFN- selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel NK

dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK

sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF-a dan

FN-sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN-∂

dan IL-12 terlibat dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.

Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-makrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang merupakan sumber utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naive dan dapat dikatakan sel dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th1.

Peran tersebut terutama setelah dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan endositosisnya, sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan mengubah ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi sitokin imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditran

(TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya ini cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk memproduksi

sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.

Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan produksi IL-12 adalah IFN-dan TNF-ß, sedangkanyang menghambat produksinya adalah

IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-mediator tersebut IFN-∂ merupakan

stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara itu diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-, meskipun secara invitro untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-. Produksi IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara langsung oleh lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme


(42)

patogen. Dengan demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN-∂ oleh

sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan

monosit oleh IFN- sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feedback positif.

Ganggua

onosit, tetapi pre-inkubasi

cu IFN- yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil sitokin d

respon imun Th1 telah didemonstrasikan baik secara in vitro maupun in vivo . Secara

in-n kerja sitokiin-n IL-12 mein-ngakibatkain-n tidak ada respoin-n Th1 yang persisten,

sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel Th2.

Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara sitokin

Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13 akan menekan

produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat stimulasi m

yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting pada penyakit alergi, yaitu PGE2

dan histamin, ternyata juga mempunyai efek menekan produksi IL-12.

Heterogenitas sel Th(Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas karena

perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan timbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai akibat produksi berlebihan oleh sel Th2. Sementara itu diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN-∂) dapat menghambat produksi sitokin Th2 (IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat

menghambat produksi sitokin Th1 (IFN-∂). Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah

mengalami diferensiasi penuh menjadi sel efektor Th1 atauTh2 akan memproduksi sitokin

yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan tetapi sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian sel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang

merupakan pemi

ari populasi sel memori relatif fleksibel dan dapat dirubah (reprogrammed) merupakan suatu konsep penting dan mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi.


(43)

vitro diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE oleh monosit darah tepi. Penelitian lain menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4 dan IL-10 secara spesifik dan

si IFN-padasel T CD4+ pada penderita rinitis alergi.

ginya kadar IgE spesifik . Secara umum paparan ulang trhadap antigen tertentu

gambar

n, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan asuknya antigen asing ke dalam tubuh, terjadi reaksi yang secara garis be

1.

. Reaksi ini bersifat non esifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya ihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

kkan

meningkatkan produk

2.9 Antigen

Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen. Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia yang terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara kronik. Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor penting yang akan menentukan ting

diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopi terhadap antigen bersangkutan (Kresno, 2001).

Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan alami, karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu sendiri, mungkin dalam epitop yang dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada struktur protein khusus yang dapat digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa protein itu alergenik, ada beberapa

an khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran itu menyangkut berat molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh (Kresno, 2001).

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campura

rinitis alergi. Dengan m sar terdiri dari: Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag) sp


(44)

Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pa

2.

da tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau ada defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi

3.

yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh

).

dan ngkap mengenai riwayat penyakit, dan diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamne dan pemeriksaan penunjang diagnostik (Irawati, 2002).

ifik meliputi gejala hidung, termasuk keterangan

me gejala rinitis

alerg

ngan) ak

telinga r dan kemerahan

t nasal drip atau batuk kronik memang sudah respons tertier. Respon tertier Reaksi imunologi (Irawati, 2001 2.10 Diagnosis

Pengenalan terhadap rinitis alergi dimulai dengan anamnesis yang cermat le

sis, pemeriksaan fisik

2.10.1 Anamnesis

Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spes

ngenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan penderita. Gejala-i yang perlu dGejala-itanyakan adalah:

1. Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali sera 2. Rinore (ingus bening, encer) dan bany

3. Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau 4. Gatal di mata, berai

5. Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti) 6. Hiposmia/anosmia

7. Sekret belakang hidung /pos

8. Adakah variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari dan membaik saat malam hari)


(45)

9. Penyakit penyerta : sakit kepala berhubungan dengan tekanan pada hidung dan sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan

akit,

nore dan kadang-kadang hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat gejala

arga serta manifestasi penyakit alergi lain sebelum

ta memperberat gejala rinitis. Riwayat pengobatan yang pernah dilakukan dan hasil dari pengobatan serta kepatuhan berobat juga perlu

ipertanyakan (Irawati, 2002).

konsentrasi, gejala radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak nafas / asma.

10.Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya peny efeknya pada kualitas hidup seperti adakah gangguan pada pekerjaan, sekolah, berolah raga, bersantai dan melakukan aktivitas sehari-hari. Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin, gatal, ri

yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia (Irawati, 2002).

Perlu ditanyakan riwayat atopi di kelu

atau bersamaan dengan rinitis seperti asma brokial, dermatitis atopi, urtikaria dan alergi terhadap makanan (Irawati, 2002).

Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga dipertanyakan sebagaimana kualitas udara dan sistem ventilasi di rumah maupun di lingkungan kerja,adanya binatag peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang bawah tanah sebagai gudang (bila ada). Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu dipertanyakan seperti lingkungan di rumah, kamar tidur, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat memicu terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk di dalam rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga dipicu bila pasien membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam. Bila alergi terhadap jamur , gejala dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk pada lingkungan dengan kelembaban tinggi dan pada sore hari. Adanya keadaan hiperreaktivitas hidung terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum, masakan dan polutan juga dapat memicu ser


(46)

2.10.2 R

. WHO initiative ARIA (2000) membedakan kedua tip rsebut sebagai berikut :

iwayat Penyakit

Riwayat klinis penyakit masih merupakan alat esensial bagi akuratnya diagnosa rinitis alergi, pengukuran tingkat beratnya penyakit, dan respon pengobatan. Pasien rinitis sering juga dibagi menjadi tipe “sneezers and runners” dan tipe “blockers”. Pasien rinitis alergi biasanya tipe “sneezers and runners”

e rinitis te

T abel 1. Perbedaan Rinitis Alergi tipe Sneezers and Runners dengan Blockers

an adanya krusta dan kulit yang kasar di daerah nostril / lubang hidung (Irawati, 2002).

2.10.3 Pemeriksaan Fisik

Gejala spesifik pada anak adalah adanya bayangan gelap di kelopak mata bawah akibat sumbatan vena di daerah orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap akibat bocornya hemosiderin (Allergic shiners), Dennie-Morgan lines adalah garis pada kulit di kelopak mata bawah, Allergic salute adalah kebiasaan anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan telapak tangan kearah atas yang akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (Allergic crease). Pada anak dengan sumbatan hidung kronik dapat menimbulkan facies adenoid karena sering bernafas lewat mulut. Hal ini akan menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan gigi sehingga terjadi penonjolan ke depan dari gigi seri atas. Pasien sering mengerak-gerak mulut dan gigi saat tidur terutama pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa penuh di telinga akibat sumbatan tuba. Kadang-kadang ditemuk


(47)

Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior atau media pucat/livid, diliputi sekret hidung seromukoid, udem (boggy) atau hipertrofi. Perhatikan juga daerah septum nasi (lurus, deviasi, spina/krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan nasoendoskopi, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah meatus medius serta keadaan kompleks osteomeatal (Irawati, 2002).

Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic tongue (permukaan lidah sebagian licin dan sebagian kasar) yang bisanya akibat alergi makanan, adenoiod yang membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (Cobble stone

appereance) dan penebalan lateral pharyngeal bands akibat sekret mengalir ke

tenggorok yang kronik (Irawati, 2002) .

2.10.4 Pemeriksaan Penunjang

2.10.4.1 Pemeriksaan in vitro

Pemeriksaan in vitro merupakan pemeriksaan diagnostik secara laboratorium untuk mendeteksi dan mengidentifikasi penyebab. Kelebihan pemeriksaan ini dibandingkan tes kulit adalah aman dan nyaman bagi penderita sehingga dapat dilakukan pada bayi dan anak kecil serta dapat dilakukan pada pasien dimana tes kulit tidak dapat dilakukan yaitu penderita tidak dapat bebas dari antihistamin, antidepresan trisiklik atau penderita dengan kelainan kulit (dermatografisme dan dermatitis atopi berat) (Irawati, 2002).

2.10.4.2 Pemeriksaan IgE total serum

Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE


(48)

dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostik (Irawati, 2002).

2.10.4.3 Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode

RAST/Radioallergosorbent test)

Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu alergen. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik (>85%), akurat dapat diulang dan bersifat kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan alergen terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada tes kulit. Cara lain adalah Modified RAST dengan sistem scoring (Irawati, 2002).

2.10.5 Pemeriksaan lain

Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik (Irawati, 2002).

1. Hitung jenis sel darah tepi

Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rinitis alergi, tetapi kurang bermakna secara klinik.

2. Pemeriksaan sitologi sekret dan mukosa hidung

Bahan pemeriksaan diperoleh dari sekret hidung secara langsung (usapan), kerokan, bilasan dan biopsi mukosa. Pengambilan sediaan untuk pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan alergen atau saat bergejala berat dan biasanya hanya untuk keperluan penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih.

3. Tes provokasi hidung / nasal challenge test (bila fasilitas tersedia).

Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil pemeriksaan diagnostik primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum tes ini lebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik. Tes


(49)

provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk terjadinya reaksi anafilaksis.

4. Tes fungsi mukosillier (menilai gerakan silia). Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian.

5. Pemeriksaan aliran udara hidung

Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri (anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik, misalnya pasca tes provokasi hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.

6. Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun MRI ( bila fasilitas tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, tetapi untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rinitis alergi terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi), perselubungan homogen serta gambaran batas udara cairan di sinus maksila. 7. Pemeriksaan lain yaitu: fungsi penghidu dan pengukuran kadar NO (nitric oxide)

(Irawati, 2002).

2.10.6 Tes kulit

Tes kulit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: tes gores, tes kulit cukit,tes suntik intradermal dan skin endpoint titration (SET). Untuk menjamin akurasinya, tes kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa ’wash out’ antihistamin. Masa ini berkisar antara 2-4 hari pada antihistamin sedatif dan satu minggu pada antihistamin non sedatif, kecuali asetamizol 6-8 minggu, sedangkan masa wash out untuk kortikosteroid berkisar antara 2-3 bulan (Sumarman, 2001).

Tes kulit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak alergen merupakan alat diagnostik yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase sensitisasi oleh alergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat komplek Ig E-sel mast (Sumarman, 2001) .


(50)

Tes kulit telah digunakan secara luas sebagai salah satu alat utuk menegakkan dignosis alergi terhadap alergen dan merupakan indikator yang aman, mudah dilakukan, hasil cepat didapat, biaya yang relatif murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Tes kulit cukit dapat mendiagnosis rinitis alergi akibat alergen inhalan berderajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita dengan sensitifitas rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi dengan gejala klinik. Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes kulit negatif, tindakan yang perlu dilakukan adalah :

1. Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes 2. Periksa adakah penyebab hasil negatif palsu

3. Observasi pasien selama adanya paparan alergen yang tinggi

4. Lakukan tes provokasi atau tes intradermal (bila fasilitas tersedia) (Irawati, 2002)

Tes kulit cukit (skin prick test) memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan alergen dapat dikerjakan pada satu kali tes. Tes dilakukan pada bagian volar lengan bawah dengan penusukan sedalam epikutan sehingga tidak melewati membran basalis yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak akurat. Tes ini menggunakan jarum tuberkulin no 26G, atau 26Gx1/2’’. Tes kulit cukit ini

hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai pasien. Hasil tes dapat dievaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25 – 30 alergen. Alergen yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan, larutan histamin sebagai kontrol positif, serta larutan saline atau buffer phosfat sebagai kontrol negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama saja (housedust mite 2-3 spesies, pollen, mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk alergen hirup lebih memiliki nilai klinis yang berharga daripada makanan (King, 1998; Sumarman, 2001).

Beberapa metode yang dilakukan untuk menginterpretasikan hasil tes kulit cukit: 1. Mengukur diameter bintul (wheal) yang terjadi dengan menggunakan planimeter.

Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya wheal yang mempunyai ukuran diameter ≥ 9 mm di atas kontrol negatif (saline) (Jackola et al, 2003).


(1)

Lampiran 1

PERSETUJUAN UNTUK CALON PERSERTA PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Apakah tujuan penelitian ini ?

Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui distribusi alergen (bahan/zat pemicu reaksi alergi) pada penderita rinitis alergi (penyakit alergi pada hidung yang ditandai dengan gejala bersin-bersin,beringus, hidung tersumbat) di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Apa saja yang akan anda lakukan pada penelitian ini ?

Pada hari pemeriksaan, saya akan mencatat indentitas anda (No. Urut Penelitian, Tgl berobat, No. Rekam Medik, Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Pekerjaan, Pendidikan, Alamat, No. Telepon,) gejala dan tanda penyakit yang anda derita pada lembaran penelitian. Selanjutnya saya akan melakukan suatu pemeriksaan test kulit cukit pada anda 1 set alergen inhalan terdiri dari 14 macam alergen inhalan termasuk kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer) yang biasa dijumpai di lingkungan anda sehari – hari dengan menggunakan jarum kecil berurukuran 26G (Terumo) pada lengan bawah anda dan akan menginterprestasi hasil yang diperoleh setelah 15 menit. Dengan adanya hasil interprestasi dari test kulit cukit ini anda akan mengetahui bahan (alergen) yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada diri anda sehingga anda dapat menghindari alergen tersebut. Dalam megikuti penelitian ini, anda tidak akan dikenakan biaya apa-apa.

Bagaimana jika tidak ingin berpartisipasi ?

Partisipasi anda pada penelitian ini bersifat sukarela. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter anda bila anda tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Anda tetap akan mendapatkan pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan.

Bagaimana kerahasiaan hasil dari penelitian ini ?

Pada penelitian ini identitas anda akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data anda sepenuhnya akan dijamin. Bila data anda dipublikasikan kerahasiaan akan tetap dijaga.


(2)

Lampiran 2

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan memahaminya, maka dengan sepenuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan besedia berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya akan bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.

Dokter Peneliti, Medan, 2007 Peserta Penelitian,

dr. Patar L.H.Lumbanraja Nama :

Dep. THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Telp : 0812 650 3907


(3)

Lampiran 3

Status Penelitian I.Identitas Penderita

No. Urut Penelitian : Tanggal berobat :

No. MR :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Suku :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Alamat :

Telp/HP :

II. Anamnesis (The Allergy Quiz)

1. Apakah anda mempunyai problem pada HIDUNG?

Ya Tidak

Ya Tidak 2. Beri tanda gejala yang paling mengganggu :

- rasa gatal……….

- bersin- bersin ……….

- hidung tersumbat………....

- keluar cairan dari hidung …………...

- penciuman berkurang……….

3. Pada umur berapa anda mendapat keluhan pada hidung ?... 4. Apakah mata anda gatal ?... 5. Apakah anda bersin - bersin lebih dari 5 kali dalam satu serangan ?... 6. Dalam 1 hari berapa kali anda mendapat serangan ?...


(4)

7. Apakah hidung ada keluhan :

- di dalam ruangan……….

- di luar ruangan………

- pagi hari (pukul 05.00-11.00 Wib) - siang hari (pukul 11.00-14.00 Wib) - sore hari (pukul 14.00- 18.00 Wib) - malam hari (Pukul 18.00-05.00 Wib) - sepanjang hari

8. Apakah pernah anda kontak erat sehingga faktor tersebut sebagai faktor pencetus jika “ya” jelaskan :

rumput ……….. Bunga……… Pohon………. binatang : anjing ………..

kucing………..

lain – lain (jelaskan)……….. debu……….. lain – lain (jelaskan) ……….. 9. Apakah ada riwayat penyakit alergi pada keluarga ...

III. Pemeriksaan THT Rutin

Telinga Kanan Kiri

- daun telinga : Normal/abnormal Normal/abnormal

- liang telinga : Normal/abnormal Normal/abnormal

- membran timpani : Utuh/Perforasi :... Utuh/Perforasi :...

Bulging Bulging

Hiperemis Hiperemis

Hidung Kanan Kiri

Rinoskopi Anterior


(5)

Mukosa :... Mukosa :...

- Konka inferior : Normal/edema/hipertropi Normal/edema/hipertropi Mukosa :... Mukosa :...

- Septum nasi : Normal/deviasi Normal/deviasi

Orofaring : Kanan Kiri

- Tonsil : T – 1/T – 2/T – 3 T – 1/T – 2/T - 3

Tenang /hiperemis tenang / hiperemis

- Faring : tenang / Hiperemis

Granul

Diagnosa : ...

V. UJI KULIT CUKIT (SKIN PRICK TEST)

Hasil : Positif / Negatif

Positif pada alergen : 1. ... 2. ... 3. ... 4. ... 5. ... 6. ...


(6)

Lampiran 4

SKIN PRICK TEST (TEST ALERGI)

Nama :

Umur :

Hari / Tgl :

1. Histamin 8. Jamur Campuran

2. Kontrol Buffer 9. Serbuk Sari Jagung 3. Serpih Kulit Ayam 10. Serbuk Sari Padi

4. Serpih Kulit Kuda 11. Serbuk Sari Rumput 5. Serpih Kulit Kucing 12. Serpih Kulit Manusia 6. Serpih Kulit Anjing 13. Tungau Debu Rumah

7. Kecoa 14. Debu Rumah

Medan, 2007

Dep. THT-KL FK USU / RSUP. H.Adam Malik Medan