Pengaruh Pentoxifylline Terhadap Perubahan Skor Forns Penderita Hepatitis Kronis B Penelitian Di Bagian /Smf Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Usu/ RS H Adam Malik Medan Februari 2008 – Juli 2008

(1)

PENGARUH PENTOXIFYLLINE TERHADAP PERUBAHAN

SKOR FORNS PENDERITA HEPATITIS KRONIS B

PENELITIAN DI BAGIAN /SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS H ADAM MALIK MEDAN

FEBRUARI 2008 – JULI 2008

TESIS

OLEH

F SAHAT H SITUMORANG

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H ADAM MALIK/ RSUD DR PIRNGADI

MEDAN 2008


(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARATUNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING TESIS

(Prof. Dr. LUKMAN HAKIM ZEIN SpPD, KGEH)

DISAHKAN OLEH :

KEPALA DEPARTEMEN KETUA PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU FAKULTAS KEDOKTERAN USU


(3)

DEWAN PENILAI

1. Prof dr Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH 2. Prof dr M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH 3. Dr. Adin A St. Bagindo, SpPD-KKV 4. Dr. Juwita Sembiring SpPD-KGEH 5. Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP 6. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat dan kasihNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul: “PENGARUH PENTOXIFYLLINE TERHADAP PERUBAHAN SKOR FORNS PENDERITA HEPATITIS KRONIS B”, yang berlangsung sejak Februari 2008 hingga Juli 2008. Tulisan ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Salli Rossefi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, dan Prof. Dr. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan periode 1997-2007 dimana penulis memulai pendidikan pada Januari 2003, yang telah memberikan kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan penulis.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD dengan sungguh-sungguh telah embmantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.


(5)

3. Khusus untuk karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH sebagai Kepala Devisi Gastroentero-Hepatologi dan selaku pembimbing tesis saya, yang penulis rasakan benar-benar dengan tulus membantu dan membimbing penulis menyelesaikan penelitian dan karya tulis ini, hanya doa yang dapat penulis berikan kiranya berkat berlimpah dari Yang Maha Kuasa selalu beserta beliau dan keluarga.

4. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD Dr Pirngadi/ RSUP H. Adam Malik Medan : Prof Dr Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Prof Dr T Renardi Haroen SpPD-KKV, MPH, Prof Dr Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM, Prof Dr Habibah Hanum, SpPD-Kpsi, Prof Dr Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof Dr Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI-SpMK, Prof Dr Kariman Sudin, SpPD-KPTI (alm), Prof Dr Pengarapen Tarigan, SpPD-KGEH, Prof Dr OK Moehadsjah, SpPD-KR, Prof Dr Lukman Hakim Zain, KGEH, Prof Dr M Yusuf Nasution, KGH, Prof Dr Azmi S Kar, KHOM, Prof Dr Gontar A Siregar, SpPD-KGEH, Prof Dr Harris Hasan SpPD-SpJP(K), Dr Rusli Pelly, SpPD-KP (alm), Dr Nur Aisyah SpPD-KEMD, Dr A Adin St Bagindo SpPD-KKV, Dr Lufti Latief, SpPD-KKV, Dr Syafii Piliang, SpPD-KEMD, Dr T Bachtiar Panjaitan, SpPD, , Dr H OK Alfien Syukran SpPD-KEMD (alm), Dr Betthin Marpaung, SpPD-KGEH, Dr Sri M Sutadi SpPD-KGEH, Dr Mabel Sihombing, SpPD-KGEH, Dr Salli R Nasution SpPD-KGH, Dr Rustam Efendi YS, SpPD, Dr Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Dr Abiran


(6)

Nababan, SpPD-KGEH, Dr Chairul Bahri, SpPD (alm), Dr Alwinsyah Abidin-SpPD-KP, Dr Juwita Sembiring, SpPD-KGEH, Dr Dharma Lindarto SpPD-KEMD, Dr Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr Yosia Ginting, SpPD-KPTI, Dr Refli Hasan SpPD-SpJP, Dr EN Keliat SpPD-KP, Dr Blondina Marpaung SpPD-KR, Dr Leonardo B Dairi SpPD-KGEH yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

5. Dr Armon Rahimi, SpPD, Dr Heriyanto Yoesoef SpPD, Dr R Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH, Dr Daud Ginting SpPD, Dr Tambar Kembaren SpPD, Dr Saut Marpaung SpPD, Dr Mardianto, SpPD, Dr Zuhrial SpPD, Dr Dasril Efendi SpPD, Dr Ilhamd SpPD, Dr Calvin Damanik SpPD, Dr Zainal Safri SpPD, Dr Rahmat Isnanta, SpPD, Dr Santi Safril, SpPD, Dr Dairion Gatot SpPD, Dr Jerahim Tarigan SpPD, Dr Endang Sembiring SpPD, Dr Abraham SpPD, Dr Soegiarto Gani SpPD, Dr Savita Handayani SpPD, Dr Franciscus Ginting SpPD sebagai dokter kepala ruangan/ senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

6. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

7. Kepada Manager RS Sri Pamela PTP Nusantara III Tebing Tinggi Dr Syukron Taufik serta konsultan di RS Pamela Dr Nazrin Bey Sitompul


(7)

SpPD, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama ditugaskan sebagai Konsultan Penyakit Dalam RS Sri Pamela PTP Nusantara III Tebing Tinggi dalam rangka pendidikan ini. 8. Kepada Direktur RS Umum Pematang Siantar, Kepala Dinas Kesehatan

TK I Departemen Kesehatan RI Propinsi Sumatera Utara, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

9. Para pasien yang telah dengan ikhlas menjadi “guru” sehingga memungkinkan saya mencapai gelar dokter spesialis dibidang Ilmu Penyakit Dalam.

10. Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini. 11. Para sejawat PPDS-Interna, perawat serta paramedis dan seluruh

karyawan/karyawati di lingkungan SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr Pirngadi / RSUP H Adam Malik Medan atas segala kerjasamanya yang baik selama ini.

12. Buat teman-temanku Dr Alwi, Dr Lili Syarief, Dr Anita, Dr Wika lubis, Dr Mahriani Silva, Dr Zainuddin, Dr Rudi M, Dr Risma, Dr Bistok, Dr. Zulfan, Dr. Haris P, Dr Eric Halim S yang penuh kesetiakawanan dan kebersamaan memberi bantuan, dorongan dan pengorbanan selama menjalani pendidikan sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.


(8)

13. Kepada yang mulia ayahanda Marulam Situmorang BAdan Ibunda Taraul Sitinjak yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasa ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan, dan kiranya ayahanda selalu tabah dan penuh semangat menghadapi penyakitnya dan pengobatan selama menjalani hemodialisis. Demikian juga kepada Bapak Mertua penulis, Ir. Japurba Sirait (alm) penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga dan sebagian amanahmu sudah penulis selesaikan, kepada ibu mertua Kartini br Gultom yang dengan ikhlas memberikan “bahunya” sebagai tempat sandaran penulis disaat suka duka, serta memberi dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesai pendidikan ini.

14. Kepada saudara-saudaraku: Kakanda JF Hasudungan SE,MM, adinda Romana R dan Florense N dan abang / adik ipar serta keluarga besarku telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

15. Kepada istriku tercinta Cristine Bunga Sinta br Sirait, tiada kata yang paling tepat selain terima kasih Tuhan atas istri yang Engkau karuniakan bagiku, selalu menjadi pendorong dan teman paling setia dalam suka maupun duka, selalu mendengarkan dan memberikan solusi yang baik dalam berbagai masalah yang dihadapi penulis. Juga putra-putri tersayang Tuan Apri, Dicky Arjuna dan Santi Aghata yang merupakan tempat curahan kasih sayang penulis, pendorong setia dan pelipur lara


(9)

bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini, rajin-rajin belajar anakku Papi berdoa dan berharap anak-anakku lebih bijak dan lebih pintar dari Papinya.

16. Sebenarnya masih banyak lagi kata ucapan terima kasih yang ingin penulis sampaikan buat berbagai pihak yang tidaklah mungkin disebutkan satu persatu, pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus secara menyeluruh.

Medan, September 2008 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar ……….... i

Daftar Isi ………... vii

Daftar Tabel dan Gambar ………... x

Daftar Singkatan ... xi

Abstrak ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ………... 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fibrosis hati dan hepatitis B ...………... 3

2.1.1. Pengertian... 3

2.1.2. Prevalensi... 3

2.1.3. Patogenesis dan Patofisiologi... 4

2.2. Penilain Fibrosis Hati 2.2.1. Biopsi Hati... 8

2.2.2. Radiologi... 9

2.2.3. Petanda Serum... 10

2.3. Skor Forns... 13

2.4.Terapi Fibrosis Hati... 15

2.5. Pentoxifylline... 20

2.5.1. Farmakokinetik Pentoxifylline... 21

2.5.2. Mekanisme kerja Pentoxifylline sebagai anti-fibrosis... 22


(11)

BAB III : PENELITIAN SENDIRI

3.1. Latar Belakang ... 27

3.2. Perumusan Masalah ... 28

3.3. Hipotesa ... 29

3.4. Tujuan Penelitian... 29

3.5. Manfaat Penelitian ... 29

3.6. Kerangka Konsepsional ... 29

3.7. Bahan dan Cara 3.7.1. Desain Penelitian ... 30

3.7.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

3.7.3. Populasi Terjangkau... 30

3.7.4. Besar Sampel ... 30

3.7.5. Kriteria Inklusi ... 31

3.7.6. Kriteria Eksklusi... 31

3.7.7. Cara Penelitian ... 31

3.7.8. Analisa Data ... 32

3.7.9. Definisi Operasional ... 32

3.7.10. Kerangka Operasional ... 34

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Karakteristik Subjek Peneltian ... 35

4.1.2. Efek Terapi Pentoxifylline selama 4 Minggu... 37


(12)

4.2. Pembahasan ... 40

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 45

5.2. Saran ... 45

BAB VI : DAFTAR PUSTAKA ... 46

LAMPIRAN 1. Master Tabel ... 55

2. Lembaran penjelasan kepada calon subjek... 56

3. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan ... 57

4. Form Data Peserta Penelitian ... 58

5. Persetujuan Komite Etik ... 60


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Skoring METAVIR pada fibrosis hati... 8

Tabel 2 : Petanda langsung deposit dan pembersihan MES... 12

Tabel 3 : Data dasar karakteristik pasien... 36

Tabel 4 : Respon terapi Pentoxifyllline... 38

Tabel 5 : Efek Pentoxifyllline pada kategori fibrosis... 39

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Komponen utama MES pada fibrosis hati manusia ... 4

Gambar 2 : Perubahan komposisi kolagen dan glikosaminoglikan normal dan sirosis hati manusia... 5

Gambar 3 : Ilustrasi patogenesis fibrosis hati ... 6

Gambar 4 : Intervensi Farmakologi anti-fibrosis berdasar patogenesis..16

Gambar 5 : Obat anti-fibrosis berdasar target...17

Gambar 6 : Obat antifibrosis berdasar target fibrolisis...20

Gambar 7 : Struktur Pentoxifyllline dan Hydroxypentoxifylline...22


(14)

DAFTAR SINGKATAN

MES : Matriks ekstraseluler HSC : Hepatic stellate cells MMP : Metalloproteinase

PINP : Procolllagen I carboxy terminal peptide PIIINP : Procollagen III amino terminal peptide TIMP : Tissue inhibitor of metalloproteinase TGF- : Transforming growth factor beta PDGF : Platelet-derived growth factor TNF-g : Tumor necrosis factor-g

ROS : Reactive oxygen species KC : Kupffer cells

IFN-g : Interferon-g

AST : Aspartate aminotranferase ALT : Alanine aminotranferase NPV : Negative predictive value PPV : Positive predictive value NASH : Nonalcoholic Steatohepatis IL : Interleukin

GGT : Gamma glutamyl transpeptidase

SGOT : Serum glutamic-oxaloacetic transaminase SGPT : Serum glutamic-pyruvic transaminase


(15)

Abstrak

Pengaruh Pentoxifylline Terhadap Perubahan Skor Forns Penderita Hepatitis Kronis B

F Sahat H Situmorang, Lukman Hakim Zain

Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – RSUP H Adam Malik , Medan Latar Belakang:

Hepatitis kronis B berlanjut menjadi fibrosis hati dan akhirnya berkembang menjadi sirosis hati dan penyakit hati tahap akhir. Fibrosis hati proses reversibel dan pemahaman patogenesis fibrosis telah membuka peluang penggunaan terapi anti fibrosis. Sekarang ini, belum tersedia terapi kuratif untuk fibrosis hati dan pasien tergantung transplantasi. Sehingga dibutuhkan farmakoterapi anti-fibrotik. Pentoxifylline telah dipostulatkan bekerja sebagai anti-fibrosis dengan menghambat proliferasi HSC dan sintesa kolagen pada invitro dan invivo.

Tujuan:

Untuk mengetahui penurunan skor Forns pada penderita hepatitis kronis B setelah pemberian pentoxifylline.

Metode :

14 pasien hepatitis kronis B dengan peningkatan GPT (>1.3 kali) dilakukan secara uji klinis dengan penilaian skor Forns sebelum dan sesudah pemberian pentoxifylline dengan dosis 3x400 mg selama 4 minggu.

Hasil :

Setelah 4 minggu terapi, penurunan berrmakna pada SGOT (65.1 ± 37.3 vs 51.0 ± 16.5 p=0.015), SGPT (79.6 ± 20.7 vs 67.4 ± 14.4, p=0.008), bilirubin total (1.68 ± 1.78 vs 1.12 ± 1.16, p=0.021). Peninggian tidak bermakna pada Albumin (4.39 ± 0.76 vs 4.51 ± 0.57), kolesterol (192.6 ± 53.1 vs 199.7 ± 62.4), trombosit (182.8 ± 77.0 vs 186.8 ± 75.9). Penurunan tidak bermakna skor Forns (5.98 ± 2.16 vs 5.79 ± 2.50, p= 0.124), Sebanyak 9 pasien kategori fibrosis ringan-sedang menjadi 4 orang kategori bukan fibrosis dengan nilai p=0.046.

Kesimpulan :

Terapi jangka pendek pentoxifylline sebagai anti-fibrosis pada terhadap penderita hepatitis kronis B berdasar skor Forns adalah tidak sepenuhnya bermakna. Namun efektif mencapai penurunan SGOT, SGPT dan bilirubin.

.


(16)

Abstract

Pentoxifylline impact for the alteration Forns score in Chronic Hepatitis B

F Sahat H Situmorang, Lukman Hakim Zain

Gastroentrologyhepatology devision, Internal Departement Faculty of Medicine University of Sumatera Utara-H.Adam Malik Hospital

Medan. Background:

Chronic Hepatitis B can lead to liver fibrosis and eventually evolve to cirrhosis hepatis and the end-stage liver disease. Hepatic fibrosis is reversible, and understanding the patogenesis of fibrosis had opened the use of anti-fibrotic therapies. To date, there is no appropriate treatment for liver fibrosis and patients depend on liver transplantation. Thus, Anti-fibrotic farmachoterapy was needed. Pentoxifylline was postulated acted as anti-fibrosis by inhibiting HSC proliferation and colllagen sintesis on invitro and invivo.

Aim :

To know the decreasing of Forns Score for pateints with chronic hepatitis B after pentoxifylline administration.

Method:

Fourteen patients with chronic hepatitis B with the elevation of GPT (>1.3 times) was done clinically assessment of Forns score before and after pentoxifylline administration with dose 3x400 mg for 4 weeks.

Results:

After 4 weeks of therapy, There were significant decreases on GOT (65.1 ± 37.3 vs 51.0 ±16.5 p=0.015), GPT (79.6 ± 20.7 vs 67.4 ± 14.4, p=0.008), Total Billirubine (1.68 ± 1.78 vs 1.12 ± 1.16, p=0.021). There were no significant increases on Albumin (4.39 ± 0.76 vs 4.51 ± 0.57), Cholesterol (192.6 ± 53.1 vs 199.7 ± 62.4), platelet (182.8 ± 77.0 vs 186.8 ± 75.9).Threre were no significant decreases Forns score (5.98 ± 2.16 vs 5.79 ± 2.50, p= 0.124). There were 9 patients who had fibrosis mild-moderate category led to non fibrosis with p value = 0.046.

Conclusions :

Short-term pentoxifylline therapy as anti-fibrotic for patients with chronic hepatitis B based on forns score is not fully significant. However it is effective to achieve the decreasing of GOT, GPT and Billirubin


(17)

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit hati kronis secara umum berkembang menjadi sirosis hati melalui mekanisme inflamasi dan respon penyembuhan. Fibrosis hati akibat viral merupakan salah satu penyebab kematian penting di dunia 1. Sehingga fibrosis hati sewajarnya dideteksi dan diterapi dengan anti-fibrosis yang efektif untuk mencegah berkembangnya penyakit hati tahap lanjut. Untuk menilai fibrosis hati biopsi merupakan baku emas, namun memiliki keterbatasan. Sehingga saat ini berkembang penilaian fibrosis hati secara non-invasif 1,2.

Hepatic stellate cells (atau disebut juga ito cells, perisinusoidal cells atau fat-storing cells) akan teraktivasi setelah sel hati mengalami injuri diikuti peningkatan proses proliferasi miofibroblas, produksi berlebihan matriks ekstraseluler (MES) dan endapan komponen MES, hal ini merupakan gambaran patologi hepatik fibrosis. Sehingga, hepatic stellate cells (HSC) dipertimbangkan sebagai peran kunci patogenesis fibrosis hati dan penekanan aktivasi HSC menjadi target terapeutik melawan fibrosis hati 3.

Bagaimanapun, injuri sel hati kronis tidak selalu sembuh dengan efektif, dan fibrosis adalah komplikasi utama dari penyakit hati kronis. Berbagai injuri kronis pada hati akibat viral hepatitis (terutama hepatitis B dan C), Alkohol, obat-obatan, penyakit metabolik dan autoimun 4. Hepatitis kronis B merupakan masalah kesehatan global penduduk diseluruh dunia, terutama dinegara berkembang. Hepatitis B berkembang menjadi sirosis hati dan penyakit hati


(18)

tahap akhir dan di Asia Pasifik, berperan pada 500.000-1,2 juta kematian pertahun karena sirosis hati dan karsinoma sel hati 5-6.

Fibrosis hati proses reversibel dan pemahaman patogenesis fibrosis khususnya keterlibatan HSC, secara invitro dan invivo telah membuka peluang penggunaan terapi anti fibrosis 7,8. Sekarang ini, belum tersedia terapi kuratif untuk fibrosis hati dan pasien tergantung pada transplantasi hati 1,7,8. Sehingga dibutuhkan farmakoterapi anti-fibrotik sebagai tantangan utama. Intervensi farmakologi terhadap anti-fibrosis adalah efektif melalui 3 mekanisme meliputi: pencegahan fibrosis, fibrostasis, dan fibrolisis 1,10. Telah dilaporkan, secara invivo dan invitro bahwa pentoxifylline sebagai anti-fibrosis bekerja sebagai fibrostasis pada HSC 8,11.

Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai fibrosis hati dan evaluasi dinamika fibrogenesis melalui pemeriksaan non-invasif 12. Skor Forns salah satu petanda non-invasif diagnosis fibrosis hati telah digunakan terhadap subjek hepatitis kronis B dan hepatitis kronis C 14,15.

Belum ada penelitian mengenai pengaruh pentoxifylline sebagai anti-fibrosis terhadap hepatitis kronis B sepengetahuan penulis selama ini di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin meneliti dampak jangka pendek terapi pentoxifylline terhadap hepatitis kronis B berdasar perubahan skor Forns.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. FIBROSIS HATI DAN HEPATITIS B 2.1.2. Pengertian

Menurut WHO 1978 fibrosis adalah kolagen berlebih akibat pembentukan jaringan ikat baru 10. Fibrosis hati adalah proses penyembuhan luka setelah injuri hati kronis, ditandai oleh aktivasi HSC dan produksi berlebihan komponen MES. HSC aktif meliputi transdiferensiasi dari keadaan quiscent (kurang aktif) menjadi sel miofibroblas dengan munculnya smooth muscle g-actin (SMA) dan hilangnya cadangan selular vitamin-A. Aktivasi HSC tergambar dengan peningkatan proliferasi dan produksi komponen MES 16. Radang hati kronis akibat berbagai penyebab seperti virus, autoimun, imbas obat, dan penyakit metabolik. Infeksi viral hepatitis, terutama hepatitis kronis B dan C merupakan penyebab utama fibrosis hati 17-19. Hepatitis kronis B adalah nekroinflammasi hati kronis karena infeksi persisten virus hepatitis B 20. Virus hepatitis B, merupakan virus “double-shelled” DNA (“deoxyribonucleic acid”) berukuran 42 nm, dari kelas Hepadnaviridae dan virus hepatotropic non citopatik 21,22.

2.1.2. Prevalensi

Hepatitis B merupakan masalah kesehatan global, menurut WHO virus hepatitis B adalah termasuk 10 penyebab kematian didunia 23. Sekitar 2 miliar penduduk diseluruh dunia terpapar virus hepatitis B, 400 juta orang penderita


(20)

hepatitis B kronis terutama terdapat dinegara berkembang. Hepatitis B berkembang menjadi sirosis hati dan penyakit hati tahap akhir dan di Asia-Pasifik berperan pada 500.000-1,2 juta kematian pertahun karena sirosis hati dan karsinoma sel hati 5,6,20. Prevalensi di Asia Tenggara 2-8% (Indonesia, Thailand, India) 24.

2.1.3. Patogenesis dan Patofisiologi

Konsep berdasar patofisiologi, bahwa kolagen dikenal sebagai komponen jaringan ikat paling lazim pada fibrosis hati. Patogenesis fibrosis merupakan produksi dan akumulasi berlebihan protein MES (fibrogenesis). Protein MES meliputi tiga kelompok besar protein yakni glikoprotein, kolagen, dan proteoglikan (gambar-1) 10,25.


(21)

Akumulasi MES lebih sering berawal pada ruang Disse perisinusoid terutama pada metabolic zone 3 di asinus hati (perivenous) menuju fibrosis pericentral. Fungsi biologi sel hepatosit terganggu oleh pengaruh dari perubahan komposisi dan jumlah MES selama fibrogenesis. Akumulasi matriks diruang Dise perisinusoid membentuk kapilarisasi inkomplet sehingga menghalangi pertukaran aliran diantara hepatosit dan aliran darah sinusoid. Kemudian mengganggu fungsi clearence dan fungsi biosintesis sel jaringan parenkim. Penyempitan lumen sinusoid oleh fibrosis perisinusoid merupakan faktor penyedia resistensi hemodinamik intraparenkim (hipertensi portal). Perbandingan distribusi topografi dari MES dan peningkatan jumlah konsentrasi pada sirosis hati diperlihatkan pada gambar-2 10,25.

Gambar-2. Perubahan komposisi kolagen dan glikosaminoglikan normal dan sirosis hati 10


(22)

Patogenesis fibrosis hati diawali destruksi sel parenkim (nekrosis lebih banyak daripada apoptosis), kemudian mekanisme inflamasi mengaktifkan HSC, yang berperan penting secara patofisiologi terhadap fibrogenesis dan fibrolisis 10. Injuri di hati mengakibatkan kerusakan sel hepatosit dan reaksi inflamasi. Sel hepatosit rusak, komponen membran, metabolik zat toksik dan infiltrasi inflamasi akan mengaktifkan sel Kupffer. Kemudian sel Kupffer melepas zat terlarut meliputi sitokin, transforming growth factor (TGF- ), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF-g), reactive oxygen species (ROS), dan faktor lainnya (gambar-3) 16,26.

Gambar-3. Ilustrasi patogenesis fibrosis hati. 16

Sitokin akan mempengaruhi HSC, dimana HSC secara normal adalah quiscent dan memproduksi sedikit komponen MES seperti laminin, kolagen tipe I, tipe III dan tipe IV untuk pembentukan basement membrane. HSC keadaan aktif akan kehilangan lipid (retinyl palmitate), dan mengalami transisi morfologi menjadi sel


(23)

miofibroblas. Transisi ini ditandai produksi sejumlah besar komponen MES dan penurunan degradasi MES oleh metalloproteinase (MMP) dimana kerja MMP dihambat tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP). Kolagen, MMP dan TIMP dihasilkan oleh sel Miofibroblas. Pada penyakit sirosis akumulasi komponen MES dapat meningkat sampai 10 kali lipat. Injuri kronis mengakibatkan fibrosis, gangguan arsitektur dan fungsi hati, akhirnya bermanifestasi sebagai sirosis dan komplikasinya10. Patogenesis fibrosis hati bagaimanapun juga dihubungkan dengan berbagai etiologi dan faktor yang mendasari penyakit hati 16,26,27.

Pada hepatitis kronis B, patogenesis fibrosis dihubungkan dengan sitokin TNF-g, interferon- (IFN- ), interleukin-4 (IL-4) dan TGF- berdasar studi biopsi hati 28. Infeksi kronis virus hepatitis B mengakibatkan kerusakan hepatosit yang berkembang menjadi fibrosis, sirosis dan karsinoma sel hati 29,30. Penyakit hepatitis B bervariasi tingkat keparahan pada masing-masing individu ada yang dapat mengontrol infeksi secara efisien dan virus bersih dari aliran darah tanpa bukti klinis penyakit hati. Sebagian gagal membersihkan virus dan berkembang menjadi infeksi kronis. Penderita umumnya asimtomatik tanpa penyakit hati yang mengancam, namun 10-30% virus hepatitis B menjadi sirosis hati dan karsinoma sel hati akibat proses nekroinflamasi kronis 29. Pada hepatitis kronis B, terapi antiviral dengan viral clearence telah dihubungkan dengan pengurangan fibrosis secara bermakna 31. IFN-g atau lamividune, keduanya menghasilkan remisi viral, biokemikal dan histologikal sekitar 30-45%. Bahkan kombinasi IFN-g dan analog nucleoside/nucleotide dihubungkan dengan rekurensi yang tinggi, efek samping


(24)

yang serius, dan biaya sangat mahal sehingga obat-obatan ini tidak digunakan secara luas di negara-negara berkembang 32.

2.2. PENILAIAN FIBROSIS HATI 2.2.1. Biopsi Hati

Biopsi hati merupakan metode tradisional untuk menilai, mendeteksi dan memonitoring fibrosis hati. Berbagai jenis sistem skoring telah dipakai untuk menilai stadium fibrosis hati seperti skor METAVIR oleh Poynard dkk, Knodell dkk, skor Ishak’s, dan analisis biopsi dengan morfometri komputer menggunakan pewarnaan jaringan. Pada saat ini skor METAVIR direkomendasikan untuk menilai fibrosis hati (Tabel-1) :

Tabel -1. Skoring METAVIR pada fibrosis hati 34

Stage Gambaran F0 Tanpa fibrosis

F1 Fibrosis portal tanpa fibrosis septa

F2 Fibrosis portal dengan sedikit fibrosis septa F3 Fibrosis septal tanpa sirosis

F4 Sirosis

Fibrosis portal adalah pembesaran stellate pada traktus portal tanpa bridging fibrosis. Sedikit fibrosis septa adalah sedikitnya satu fibrosus septal pada inti biopsi. Fibrosis septal adalah biopsi hati melewati beberapa septa; transisi antara F2 dan F3, dimulai bila fibrosis septa lebih banyak dari traktus portal. Sirosis adalah jaringan hati menggondong dengan fibrosis nodular yang


(25)

digambarkan nodule hepatosit. Sistem skoring memiliki berbagai kelemahan antara lain tingginya kemungkinan sampling error dan tidak dapat menentukan dinamika fibrogenesis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa stage fibrosis hati menurut Poynard berhubungan secara non-linear dengan akselerasi dan progresi fibrosis hati 33,34.

Biopsi hati merupakan baku emas namun memiliki beberapa keterbatasan seperti keengganan pasien dilakukan biopsi, biaya lebih mahal, kesalahan sampel, kesalahan interpretasi, risiko yang dimiliki pasien, sirosis makronodular cenderung perdarahan, dan keterbatasan pemahaman fibrosis bila sampel minimal. Beberapa studi menyarankan sampel adekuat bila panjang sedikitnya 15 mm dan berisi lebih dari 5 traktus portal. Guide dkk menyarankan tingkat dan stadium fibrosis lebih adekuat dengan panjang 20 mm dan berisi lebih dari 11 traktus portal. Bagaimanapun biopsi hati bukan merupakan baku emas yang sempurna karena hasil tergantung ukuran sampel dan variabilitas interpretasi antara peneliti yang dapat mencapai 33 % 33.

2.2.3. Radiologi

CT, MRI dan ultrasound mampu merinci gambar dari hati dan struktur sekitarnya, namum tidak cukup menentukan stadium dini dari fibrosis. Studi melaporkan ultrasound mampu mendeteksi sirosis dengan akurasi diantara 82-88%13,33.Fibroscan suatu tehnologi elastografi, mampu untuk menentukan stadium fibrosis hati lebih sensitif dengan mengukur rerata kekakuan hati dimana kekakuan hati dihubungkan terhadap derajat fibrosis. Sudi melaporkan akurasi


(26)

diagnosa terhadap stadium fibrosis F1, F2, F3, dan F4 masing-masing adalah 90%, 88%, 91% dan 99%. Keuntungan fibroscan adalah cepat, tidak mahal, tidak ada rasa sakit dan kesalahan interpretasi lebih sedikit dibanding biopsi hati 13.

2.2.4. Petanda Serum

Dengan keterbatasan biopsi hati, petanda fibrosis non invasif sangat dibutuhkan untuk melihat progresifitas penyakit dan fibrosis hati sebelum dan sesudah pengobatan. Adapun petanda non invasif fibrosis hati harus memenuhi persyaratan seperti; spesifik untuk hati, mudah dilakukan dilaboratorium klinik, menggambarkan stadium dari fibrosis, tidak mahal, pemeriksaan terstandarisasi dilaboratorium 18,33,34.

Petanda serum untuk fibrosis hati dibagi atas 2 kelompok: petanda langsung dan tidak langsung. Petanda tidak langsung bertanggung jawab terhadap perubahan fungsi hati tetapi tidak secara langsung bertanggung jawab pada metabolisme MES. Petanda langsung menunjukkan pergantian MES secara langsung. Sehingga kombinasi kedua petanda ini adalah pilihan yang menjanjikan terhadap pasien fibrosis hati 13,33.

a. Petanda tidak langsung (inderect marker).

Studi-studi sebelumnya telah mengevaluasi petanda non-invasif untuk memprediksi keberadaan fibrosis atau sirosis pada penderita hepatitis kronis, seperti:


(27)

1. Rasio Aspartate aminotransferase (AST)/ Alanine aminotransferase (ALT) atau (indeks AAR: Rasio AST/ALT lebih besar dari 1 dengan kuat menyarankan sirosis dengan sensitiviti 78% dan spesificiti 97%.

2. Skor PGA: Kombinasi pengukuran indeks protrombin, gamma glutamyl transpeptidase (GGT) dan apolipoprotein A1. Akurasi diagnosa skor PGA untuk mendeteksi sirosis dilaporkan antara 66%-72%.

3. Fibrotest, pemeriksaan melibatkan alfa2-makroglobulin, alfa2-globulin, globulin, apolipoprotein A1, GGT, dan billirubin total. Hasil formula ditentukan dalam 3 kelompok: ringan (METAVIR F 0-1), fibrosis bermakna (METAVIR F 2-4), dan indeterminate.

4. Acti Test, pemeriksan memodifikasi Fibrotest dengan menyertakan ALT. 5. Skor Forns (indeks Forns), berdasar 4 variabel yang umum dijumpai

diklinik meliputi jumlah trombosit, umur, level kolesterol, dan GGT. Skor ini memperlihatkan 96% NPV terhadap pasien pasien dengan fibrosis dini tetapi hanya 66% PPV untuk bermakna pada (F2-4).

6. Rasio AST/ trombosit (indeks APRI), model ini konsinten dan objektif pada laboratorium rutin pasien-pasien dengan penyakit hati kronis.

7. Fibroindex menggunakan variabel trombosit, AST dan Globulin. 8. Kombinasi AST, INR, trombosit (indeks GUCI) 25,29,33.

b. Petanda langsung (direct marker)

Fibrosis hati mengakibatkan petanda MES berubah secara kualitatif dan kuantitatif karena petanda MES menggambarkan fibrogenesis dan regresi fibrosis. Petanda langsung yang potensial meliputi produksi sintesa atau


(28)

degradasi kolagen, enzim yang terlibat pada biosintesa atau degradasi glikoprotein MES, proteoglikan dan glikosaminoglikan. Belum ada petanda langsung yang ideal melibatkan pembentukan dan pembersihan MES. Pada umumnya, petanda langsung yang telah dilaporkan terhadap pergantian MES ditunjukkan pada tabel-2. Kombinasi biomarker meliputi European Liver Fibrosis (ELF), Fibrospect, indeks SHASTA (kombinasi serum asam hyaluronat, AST, dan albumin) 13,33.

Tabel-2. Petanda langsung terhadap deposit dan pembersihan MES 33 Petanda deposit MES

Procollagen I C terminal Procollagen III N terminal Tenascin

Tissue inhibitor of metalloproteinase TIMP

TGF-Petanda pembersihan MES • Procollagen IV C peptide

Procollagen IV N peptide (7-S collagen) Collagen IV

Undulin

Metalloproteinase MMP

Urinary demosine dan hydroxylysylpyridinoline Belum pasti

Hyaluronan Laminin

YKL-40 (chonrex)

2.3. SKOR FORNS

Skor Forns merupakan petanda fibrosis hati non invasif 35, pertamakali dikemukakan oleh Forns dkk, dengan menggunakan variabel umur pasien, GGT, kolesterol dan jumlah trombosit terhadap 351 pasien hepatitis C kronis. Rumus untuk menghitung skor adalah:


(29)

7,811– 3,131.ln (jumlah trombosit) + 0,781.ln (GGT) + 3,467. ln (umur) – 0,014 (kolesterol).

Nilai cutoff dipilih adalah skor <4,21 sebagai tanpa fibrosis (dengan NPV 96%, PPV 61%, Sensitivitas 94% spesifisitas 60%) , dan skor >6,9 sebagai fibrosis (NPV 80%, PPV 66%, Sensitivitas 62%, spesifisitas 95%). Area under reseiver operator curve (AUROC) adalah 0,86 (95% confidence interval) untuk fibrosis bermakna. Bukan fibrosis sesuai dengan sistem skor METAVIR F0 dan F1 sebaliknya fibrosis bermakna sesuai dengan sistem skor METAVIR F2, F3, dan F4 36.

Pada penelitian Forns dkk ada 4 variabel sebagai prediktor fibrosis, yakni: umur (P=0,0001), GGT (P=0,0001), jumlah trombosit (P=0,0001), jumlah kolesterol (P=0,008). Umur sebagai petanda fibrosis karena progresifitas fibrosis tergantung waktu. Umur terinfeksi menunjukkan dan mempengaruhi outcome penderita hepatitis dan pasien-pasien terinfeksi setelah dekade 40 memiliki risiko progresifitas penyakit lebih tinggi. Hal ini membuktikan bahwa durasi terinfeksi hepatitis akan lebih tepat sebagai indikator fibrosis dari pada umur, namun secara umum populasi penderita tidak mengetahui kapan awal terinfeksi, sehingga lama infeksi sulit ditentukan 36. Alex Yui Hui dkk terhadap 235 penderita hepatitis B kronis melaporkan ada hubungan jumlah umur (tahun) dengan fibrosis, yakni: fibrosis negatif/ ringan (37,4 ± 1,1) dan fibrosis bermakna (44,1 ± 1,4) dengan nilai P=0,001 15. Pada penelitian Kim dkk (2007) terhadap 346 penderita hepatitis B didapat umur (P= 0,000) sebagai prediktor terhadap sirosis hati 15,37.


(30)

Nilai prognosis jumlah trombosit rendah sebagai petanda fibrosis telah dilaporkan 36. Wai dkk terhadap 218 penderita hepatitis B melaporkan jumlah trombosit secara independen berhubungan dengan fibrosis dan sirosis (P=0,001), trombosit cenderung menurun dengan meningkatnya fibrosis 38. Alex Yui Hui dkk terhadap 235 penderita hepatitis B kronis didapat ada hubungan jumlah trombosit (109/L) dengan fibrosis, yakni: pada fibrosis negatif/ ringan (192 ± 5) dan fibrosis bermakna (156 ± 7) dengan nilai P=0,00115. Kim dkk (2007) terhadap 346 penderita hepatitis B dilaporkan jumlah trombosit sebagai faktor independen terhadap sirosis hati dengan nilai P=0,000 37. Meningkatnya fibrosis dan memberatnya hipertensi portal mengakibatkan meningkatnya sequestrasi dan destruksi trombosit oleh limpa yang membesar. Selain itu progresifitas fibrosis dihubungkan dengan menurunnya produksi thrombopoietin oleh hepatosit sehingga mengakibatkan produksi trombosit berkurang 37,39.

Hubungan antara kolesterol dan fibrosis hati karena penurunan jumlah kolesterol pasien fibrosis hati disebabkan oleh berkurangnya sintesa kolesterol

36. GGT sebagai petanda fibrosis telah digambarkan sebelumnya. Myers RP dkk

(2003), GGT merupakan prediktor terhadap aktivitas penyakit hati ringan sampai dengan berat (P=0.005) 36,40. Zeng dkk melaporkan petanda GGT memprediksi fibrosis hati pada pasien hepatitis kronis B dengan AUROC: 0,84 41. Penelitian lain menggunakan skor Forns sebagai petanda fibrosis hati:

1. Bourliere M dkk terhadap 235 penderita hepatitis C kronik dengan fibrosis bermakna diperoleh AUROC adalah 0,76 (95 % confidence interval: 0,70-0,82). Tidak ada fibrosis (skor <4,2); NPV 79%, PPV 56%, sensitivitas


(31)

80%, spesifisitas 54%, akurasi diagnosa 65%. Sedangkan fibrosis bermakna (skor >6,9); NPV 65%, PPV 83%, sensitivitas 60%, spesifisitas 96%, akurasi diagnosa 68%. Untuk diagnosa fibrosis hati skor Forns memiliki spesifisitas yang baik dan sensitivitas yang rendah 42.

2. Sebastini dkk (2007); terhadap 110 pasien penderita hepatitis kronik B dengan rerata umur (42,6±11,3), dinilai skor Forns dan petanda non invasif lainnya pada saat bersamaan dilakukan biopsi hati. Hasilnya sangat memuaskan yakni 100% PPV untuk fibrosis bermakna 43.

2.4. TERAPI FIBROSIS HATI

Meningkatnya pemahaman patogenesis terjadinya fibrosis hati khususnya keterlibatan HSC baik secara invivo dan invitro, telah membuka peluang berkembangnya penggunaan terapi anti-fibrosis. Intervensi farmakologi bekerja efektif pada tiga mekanisme berbeda (gambar-4) yakni 10,26,44,46 :


(32)

a. Pencegahan fibrosis (Fibroprevention)

Pencegahan injuri sel hati dapat dicapai dengan efektif bila penyakit dasar karena viral, metabolik, autoimun, penyakit hati karena obat, hemokromatosis, penyakit wilson’s dan schistomiasis dapat dihilangkan atau diminimalisasi. Contoh pantangan alkohol pada alkoholik, pembersihan virus pada hepatitis kronis B dan hepatitis kronis C. Mengurangi kerusakan sel hati dapat dilakukan dengan pemberian obat hepatoprotektif 10,45.

b. Fibrostasis.

Menghambat sintesis, sekresi, proses, dan deposit protein MES. Obat-obatan termasuk golongan fibrostasis (gambar-5) dampak klinis dapat dinilai dengan ketersediaan parameter non-invasif yang dapat memonitor proses dinamik dari fibrogenesis 10.


(33)

Pendekatan teraupetik berdasar patogenese jalur fibrogenesis hepatik (a dan b) adalah sangat potensial 45. Obat-obatan yang berperan sebagai fibrostatis adalah:

1. Pada HSC. PPAR- agonis dan farnesoid X reseptor agonis menekan aktivasi HSC telah diuji klinis pada pasien Nonalcoholic Steatohepatis (NASH) dan penyakit fibrosis hati lainnya. Smad7 dan Smad3 dan halofuginone menghambat signaling TGF- menurunkan aktivasi HSC. Trichostatin A, selain menghambat aktivasi HSC juga menekan sintesa kolagen (pada binatang percobaan). Penghambat Angiotensin- converting enzyme (ACE-Inhibitor) dan antagonis reseptor angiotensin sebagai anti-fibrosis. Angiotensin-II (AT-II) merupakan sitokin vasokonstriktor pada sistem renin-angiotensin dihubungkan dengan fibrosis karena menimbulkan peningkatan kontraksi dan proliferasi HSC. Pada binatang percobaan pemberian losartan, olmesartan dan penghambat angiotensin-converting enzyme memiliki efek anti-fibrosis dan anti-inflamasi. Pentoxifylline akan dibahas pada halaman berikutnya.

2. Pada reseptor sitokin. TGF- inhibitor menghambat produksi dan mempercepat degradasi MES (pada binatang percobaan). PDGF inhibitor menghambat aktivasi HSC dengan menurunkan proliferasi selular (pada binatang percobaan). Endotelin-reseptor antagonis; sebab endotelin berperan pada kontraksi HSC (pada binatang percobaan). IL-10 dan IL-1Ra menekan proses inflamasi dan sintesa


(34)

kolagen (pada binatang percobaan). IFN-g; menekan aktivasi HSC, anti-inflamatori, dan menekan sintesa kolagen (pada binatang percobaan dan manusia). Leptin antagonis digunakan sebagai anti-fibrosis terutama dihubungkan dengan NASH. Hepatocyte growth factor (HGF); menghambat sitokin TGF- (memperbaiki level AST pada hepatits C).

3. Pada ROS. Vitamin E, N-acetylcysteine,S-adenosyl-Lmethionin sebagai anti-oksidan menekan aktivasi selular dan produksi kolagen. 4. Sintesa kolagen. HOE 077, colchicine (alkoholik serosis) selain

menghambat sintesa kolagen berperan sebagai antioksidan, anti-inflamatori. Sho-saiko-to dan herbal medicine telah digunakan sebagai anti-fibrosis di negara-negara Asia 10,45,46.

c. Fibrolisis

Pendekatan keadaan reversibel fibrosis dapat juga dicapai secara klinis, melalui resolusi MES dan merangsang fibrolisis dengan target nekrosis dan apoptosis sel miofibroblas (gambar-6)10. TIMP berperan menetralkan anti-fibrotik tubuh, Gliotoxin dan antagonis TIMP merangsang apoptosis miofibroblas. MMP, antagonis TIMP dan penghambat TGF- meningkatkan degradasi matriks 10,44-46.


(35)

Problema umum penggunaan terapi anti-fibrosis terbatas oleh spesifikasi organ (jaringan) maupun aktifitas penyakit. Dan efek samping penggunaan obat tidak dapat dihindari selama pemberian jangka panjang10,46,47.

Gambar-6. Obat antifibrosis berdasar target fibrolisis. 10

2.5. PENTOXIFYLLINE

Pentoxifylline,1-(5-oxohexyl)-3,7-dimethylxanthine, adalah derivat dari methylxanthine theobromine (BM 278.31) (Mohler dkk 1966) dan merupakan inhibitor fosfodiesterase 48. Pentoxifylline adalah suatu hemorheological agent dengan berbagai efek farmakologi meliputi: Menghambat produksi sitokin pro-inflamatori, efek anti-oksidan, meningkatkan deformalitas sel darah merah, menurunkan viskositas darah, telah digunakan terhadap penyakit peripheral vascular dan penyakit cerebrovaskular. Pentoxifylline dapat memperbaiki perfusi


(36)

jaringan hati sehingga disarankan untuk pasien hipertensi portal 48,49, dan pasien transplantasi hati 50. Selain itu pentoxifylline mempunyai efek mengurangi kerusakan hepatoselular dan respon inflamasi 51,52.

Pada studi experimental, pentoxifylline menurunkan kolagen hati dari peningkatan diatas 20 kali menjadi diatas 2,5 kali jaringan hati normal tikus dan memperbaiki parameter klinis AST, ALT, dan fibrosis selama 6 minggu 53. Studi lain melaporkan penurunan massenger Ribonucleid acid (mRNA) kolagen setelah 24 jam pemberian pentoxifylline, melalui hambatan sitokin TGF dan IL-6 54.

Pada studi klinikal, pentoxifylline menunjukkan perbaikan mortalitas pada pasien hepatitis alkohol 55. Pentoxyfillin telah digunakan sebagai anti fibrosis hati melalui efek antifibrogenesis dengan mengurangi transdiferensiasi HSC menjadi miofibroblas dan menghambat proliferasi HSC 55,56.

2.5.1. Farmakokinetik Pentoxifylline

Pemberian pentoxifylline secara oral sangat cepat diabsorbsi, dan dosis 400 mg dicapai konsentrasi serum puncak 1900 µg/l metabolik hydroxy pentoxifilline (HPTX), pemberian oral bioavabilatas 20-30%. Sebagian besar dimetabolisme di hati. Ada 7 metabolit pentoxifylline diketahui tetapi HPTX dan carboxypentoxifylline merupakan 2 metabolit utama di sirkulasi. Namun HPTX merupakan metabolit utama yang berperan sebagai efek farmakologi (gambar-7). Metabolit diekskresi terutama melalui melalui urine 44.


(37)

Pada gangguan fungsi hati (sirosis hati), konsentrasi metabolit HPTX di plasma meningkat 8 kali dibanding orang sehat. Efek samping pentoxifylline menurut sejumlah studi adalah aman pada pemberian jangka panjang. Pemberian pentoxifylline selama 1 tahun diamati sedikit menimbulkan efek samping. Gangguan saluran cerna 2,6 % (mual dan muntah); efek neurologi, dan dermatologi adalah lebih kecil dari 0,25% 44. Pada penelitian Bharucha (2000), pemberian Pentoxifylline 3 x 400 mg selama 1 tahun terhadap pasien primary sclerosing cholangitis (PSC), efek samping pentoxifylline dapat ditoleransi ditemukan nausea 2 pasien dalam 3 bulan pertama 51.

Gambar-7. Struktur Pentoxifylline dan Hydroxypentoxifylline 44

2.5.2. Mekanisme kerja Pentoxifylline sebagai anti-fibrosis.

Pentoxifylline sebagai anti-fibrosis adalah potensial dan telah digunakan pada manusia 41. Secara umum bersifat fibrostasis dengan menghambat akitivasi


(38)

HSC 55, efek lain menghambat sintesa MES dan fibrolisis dengan meningkatkan resolusi matriks melalui sifat penghambat TGF- . Efek antifibrosis melalui 3 jalur (gambar-8) yakni:

1. Menghambat transdiferensiasi HSC menjadi myifibroblast (MFB) dengan menghambat stimulasi TNFg dan TGF- .

2. Menghambat proliferasi HSC dan MFB melalui jalur PDGF

3. Menghambat sintesa MES, melalui jalur PDGF dan TGF- . 44 Menekan sintesa prokolagen PINP dan PIIINP. Pada sudi lain dilaporkan aktivasi kerja kolagenase, namun tidak mempengaruhi glikosaminoglikan dan fibronektin 44,55,56.

Gambar-8. Efek anti-fibrosis PTX, melalui 3 jalur: penghambatan transdiferensiasi, proliferasi HSC dan sintesa MES. (PTX= Pentoxifylline) 44.


(39)

2.5.3. Studi Pentoxifylline pada penyakit hati kronis:

1. Eleftheriadis E, dkk (1998), Pemberian pentoxifyllin dosis 1,4 mg/Kg.BB terhadap 10 pasien sirosis hepatis dengan varises esofagus dibandingkan dengan plasebo menghasilkan penurunan viskositas aliran darah dan hipertensi portal secara bermakna 49.

2. Akriviadis E dkk (2000), Studi pada 101 pasien dengan hepatitis alkohol berat didapat mortaliti secara bermakna turun 4 minggu pada group pentoxifylline, dan mamfaat yang terlihat berkurangnya risiko sindroma hepatorenal 57.

3. Austin AS dkk (2004) meneliti pemberian pentoxifylline (1800 mg/hari) bertujuan menilai tekanan hipertensi portal selama 2 Minggu terhadap 12 penderita alkoholik sirosis kompensata. Penelitian tersebut melaporkan kenaikan jumlah trombosit (109/L) selama terapi dari 76 (56–131) menjadi 80 (66–243). Dan penurunan kadar TNF-g (pg/mL) selama terapi dari 295 (211–841) menjadi 210 (181–884). Efek samping selama penelitian adalah nausea, anoreksia dan sakit kepala dan pasien dapat ditoleransi dengan pengurangan dosis menjadi 1200 mg/hari 58.

4. Adams LA dkk (2004); meniliti pemberian pentoxifylline (3x400 mg) selama 12 bulan pada 20 penderita NASH. Hasil: Tidak ada efek samping serius yang terjadi, ALT dan AST secara bermakna lebih rendah bulan ke 12 59.

5. Satapathy K dkk (2004), terhadap 18 pasien NASH dengan peningkatan ALT >1,5 kali batas atas normal diterapi dengan pentoxifylline (3x400 mg)


(40)

selama 6 bulan. Setelah 6 bulan terapi; fatiq diperbaiki (55.6 vs 20%, p=0.016), rerata AST (66 ± 29 vs 33 ± 11 IU/L, p <0.0001) dan ALT (109 ± 44 vs 47±20 IU/L, p <0.0001) adalah berkurang secara bermakna. Pada bulan ke-1 ALT normal sejumlah 23% (p=0.125), 35 % (p=0.125) pada bulan ke-2, dan 60 % (p=0.008) pada bulan ke-6. Serum TNF-g berkurang secara bermakna setelah terapi (22.15±2.49 vs 17±2.58 pg/ml, p=0.011). Efek samping yang terjadi dapat ditoleransi dan tidak bermakna. Nyeri ulu hati ditemukan pada 3 (16%) pasien, dan membutuhkan obat oral proton pump inhibitor. Seluruh pasien menyelesaikan penelitian tanpa pengurangan dosis 60.

6. Satapathy KS dkk (2007), terhadap 9 pasien NASH, dengan peningkatan ALT (>1,5 batas atas normal). Terapi jangka panjang pentoxifylline (3x400mg/hari) selama 12 bulan adalah efektif memperbaiki parameter biokimia dan resolusi secara histologis, masing-masing ALT (111 ± 53 IU/L vs 45 ±19 IU/L, p=0.003), AST (61 ± 27 IU/L vs 33 ±12 IU/L, p=0.005). Steatosis dan inflamasi lobular masing-masing berkurang sebanyak 55% dan 67%, dimana p=0,009 56.

7. Tanikella R dkk (2008), pemberian pentoxifylline (400 mg tiap 8 jam) selama 2 minggu terhadap 9 pasien sirosis hepatis dengan sindroma hepatopulmoner disebabkan hepatitis C kronis dan alkoholik (55%), menghasilkan penurunan kadar TNF-g dengan bermakna, tidak ada perubahan bermakna pada PaO2, efek samping dapat ditoleransi dimana nausea (100%) adalah paling dominan 61.


(41)

8. Fontaine H dkk (2008) di Paris, terapi pentoxifylline (2x400 mg) kombinasi dengan tocopherol (2x500 mg) selama 12 bulan terhadap 100 pasien hepatitis C kronis yang intoleran dan kontra indikasi terhadap terapi kombinasi interferon alfa dan ribavirin. Tujuan penelitian menilai efikasi dan keamanan kombinasi pentoxifylline dan tocopherol sebagai antifibrosis. Penelitian baru selesai dan hasil belum dipublikasikan 62.


(42)

BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. Latar Belakang

Penyakit hepatitis viral kronis paling sering ditimbulkan oleh virus hepatitis B. Hepatitis kronis B adalah penyakit nekro inflamasi hati kronis yang disebabkan oleh infeksi persisten virus hepatitis B 20. Hepatitis B merupakan masalah kesehatan yang global, diperkirakan 2 miliar penduduk diseluruh dunia terpapar virus hepatitis B, sekitar 400 juta orang menderita hepatitis B kronis dan terutama terdapat dinegara berkembang. Hepatitis B berkembang menjadi sirosis hati dan penyakit hati tahap akhir dan di Asia-Pasifik berperan pada 500.000-1,2 juta kematian pertahun karena sirosis hati dan karsinoma sel hati

5,6,20

. Prevalensi di Asia Tenggara 2-8% (Indonesia, Thailand, India) 24.

Injuri kronis dengan berbagai etiologi terhadap sel hati menghasilkan fibrosis hati yang ditandai akumulasi berlebih dari protein MES. Kerusakan sel hati kronis mengakibatkan sintesa protein MES meningkat (fibrogenesis) dan menurun degradasi protein MES (fibrolisis). Sel yang paling berperan terhadap fibrogenesis hati adalah HSC. Fibrogenesis diawali kerusakan sel hepatosit dan diikuti keadaan aktif sel inflamasi menghasilkan sitokin fibrogenesis untuk mengaktifkan HSC.

Fibrosis hati proses reversibel dan pemahaman patogenesis fibrosis khususnya keterlibatan HSC, secara invitro dan invivo, telah membuka peluang penggunaan terapi anti fibrosis. Sekarang ini, belum tersedia terapi kuratif untuk


(43)

fibrosis hati dan pasien tergantung pada transplantasi hati 1,7,8. Sedangkan transplantasi hati membutuhkan organ, biaya mahal, problema serius dan gagal hati setelah transplantasi merupakan beban mortaliti tinggi 9. Sehingga dibutuhkan farmakoterapi anti-fibrotik sebagai tantangan utama. Intervensi farmakologi terhadap anti-fibrosis efektif melalui 3 mekanisme meliputi: Pencegahan fibrosis, fibrostasis, dan fibrolisis 1,10. Telah dilaporkan, secara invivo dan invitro bahwa pentoxifylline berfungsi sebagai anti-fibrosis melalui mekanisme fibrostasis pada HSC dan sebagai fibrolisis pada MES dengan menghambat sitokin inflamasi TNF-g, TGF- dan PDGF 7,8,11.

Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai fibrosis hati, dan pemeriksaan non invasif semakin dibutuhkan karena risiko dan beberapa kelemahan biopsi hati 12. Dimana skor Forns salah satu petanda non invasif diagnosis fibrosis hati telah diuji klinis pada subjek hepatitis kronis B dan hepatitis kronis C. Skor dihitung berdasar 4 variabel yakni jumlah trombosit, umur, jumlah kolesterol, GGT 13,14.

Belum ada penelitian mengenai pengaruh pentoxifylline sebagai anti-fibrosis terhadap hepatitis kronis B sepengetahuan penulis selama ini di Indonesia Oleh karena itu penulis ingin meneliti pengaruh pentoxifylline terhadap hepatitis kronis B berdasar perubahan skor Forns.

3.2. Perumusan masalah

Apakah terdapat perbedaan skor Forns pada penderita hepatitis kronis B sebelum dan sesudah pemberian pentoxifylline selama 4 minggu.


(44)

Terdapat penurunan skor Forns pada penderita hepatitis kronis B empat minggu sesudah pemberian pentoxifyllin

3.4. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui penurunan skor Forns pada penderita hepatitis kronis B setelah pemberian pentoxifylline.

3.5. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui penurunan skor Forns pada penderita hepatitis kronis B, dapat menentukan manfaat pentoxifylline sebagai salah satu alternatif anti-fibrotik pada penderita hepatitis kronis.


(45)

3.7. Bahan dan Cara 3.7.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara uji klinis dengan perlakuan ulang (pre dan post test design).

3.7.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari-Juli 2008 di poliklinik rawat jalan dan rawat inap di berbagai rumah sakit dan laboratorium klinik di Medan.

3.7.3. Populasi terjangkau

Penderita hepatitis kronis B dengan pemeriksaan HBsAg positif yang dirawat jalan ataupun rawat inap dilakukan pemeriksaan klinis, darah rutin, fungsi hati, ureum, kreatinin, kadar GGT, SPE dan kolesterol, USG hati. 3.7.4. Besar sampel

Perkiraan besar sampel :

Rumus yang digunakan :

2 d S ) Z ( ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = α

zα = nilai baku normal berdasarkan α = 0,05 å Zα = 1,96 S = simpangan baku kadar trombosit = 7 33

d = tingkat ketepatan (presisi) = 3,5 2 5 , 3 ) 7 . 96 , 1 ( ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ =

η= 15,4 ≈ 15 Jadi besar sampel minimal 15 orang


(46)

1. Penderita hepatitis kronis B 2. Jenis kelamin pria dan wanita 3. Usia diatas 37 tahun

4. Bersedia mengikuti penelitian 5. Tidak mendapat hepatoprotektif 3.7.6. Kriteria eksklusi:

1. Penderita hepatitis kronis B dengan : 2. Riwayat perdarahan serebral

3. Riwayat perdarahan retina 4. Riwayat angina pektoris

5. Riwayat pasca operasi 2 minggu

6. Tidak sedang menggunakan obat–obat golongan theophylline dan cimetidine.

7. Demam Berdarah

8. Idiopatik trombositopenia purpura (ITP) 9. Sirosis hati dekompensata.

3.7.7. Cara penelitian:

a. Dilakukan skrining untuk kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian subyek penelitian diminta untuk menandatangani persetujuan tertulis, setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan, termasuk anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan USG dan laboratorium yang meliputi fungsi hati, HbsAg, darah perifer lengkap, GGT, kolesterol, ureum,


(47)

kreatinin, dan SPE. Data hasil pemeriksaan dicantumkan didalam kuesioner penelitian. Kemudian dihitung skor Forns.

b. Subyek penelitian mendapat pentoxifylline 3x400 mg/ hari selama 4 minggu.

c. Evaluasi efek samping dan pengunaan tablet pentoxifylline. Penggunaan tablet pentoxifylline dengan sistim pill count yaitu pasien diberi tablet untuk 1 minggu dan evaluasinya dengan cara menghitung tablet yang tersisa. Serta anamnese efek samping malaise, flushing, nausea, muntah, nyeri ulu hati, diare, chepalgia, dizzines dan dicatat dalam kuesioner. Pasien dengan mual, muntah medapat obat domperidon, dengan nyeri ulu hati mendapat obat omeperazole.

d. Setelah 4 minggu pemakaian tablet, dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang terhadap subyek meliputi darah perifer lengkap, fungsi hati, ureum, kreatinin, GGT, kolesterol, SPE dan dihitung skor Forns.

3.7.8. Analisa data

Untuk membandingkan penurunan skor Forns sebelum dan sesudah 4 minggu pemberian pentoxifylline dengan menggunakan uji t berpasangan. 3.7.9. Definisi Operasional

a. Hepatitis Kronis B

Adalah hepatitis B dengan HBsAg menetap lebih dari 6 bulan dan serta pemeriksaan USG abdomen didapatkan gambaran hati membesar atau normal, permukaan reguler atau ireguler,


(48)

bertambahnya densitas gema parenkim hati dari homogen sampai heterogen dengan peningkatan serum Glutamic-pyruvic transaminase (SGPT) diatas 1,3 kali nilai batas atas normal.

b. Sirosis hati (SH)

Kriteria diagnosis SH yang dipakai adalah pada pemeriksaan USG didapatkan permukaan hati iregular, tepi hati tumpul, pelebaran vena porta, vena lienalis, splenomegali, permukaan hati noduler, ekogenitas yang inhomegen dan kasar, vena hepatika berkelok-kelok. Sirosis dekompensata bila sirosis hati disertai asites dengan atau tanpa edema tungkai, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, ensefalopati hepatik, muntah darah dan atau melena.

c. Pentoxifylline:

Tablet trental (pentoxifylline) oral mengandung

1. bahan aktif 1-(5-oxohexyl)-3,7-dimethylxanthine 400 mg 2. bahan tidak aktif :

̇ FD&C Red No. 3 ̇ Hypromellose USP ̇ Magnesium stearate NF ̇ Polyethylene glycol NF ̇ Povidone USP

̇ Talc USP

̇ Titanium dioxide USP


(49)

d. Skor Forns:

Dihitung dengan menggunakan variabel umur, GGT, kolesterol dan jumlah trombosit. Rumus untuk menghitung skor adalah :

7,811– 3,131.ln (jumlah trombosit) + 0,781.ln(GGT) + 3,467. ln (umur) – 0,014 (kolesterol).

Skor < 4,21 adalah bukan fibrosis, skor antara 4,21 - 6,9 adalah fibrosis ringan sampai sedang dan skor >6,9 adalah fibrosis berat. Skor diatas 4,21 ikut dalam penelitian.

3.7.10. Kerangka Operasional

SUBYEK Hepatitis Kronis B

Skor FORNS

Pentoxifylline 3 X 400 mg / hari Selama 4 minggu

BAB IV


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

4.1.1. Karateristik subjek penelitian

Peserta yang menandatangani informed consent untuk mengikuti penelitian berjumlah 15 orang. Kemudian 1 orang peserta mengundurkan diri pada hari kedua setelah mendapat terapi pentoxifilline. Alasan tidak melanjutkan penelitian adalah gejala nyeri ulu hati dan mual dialami sehingga tidak berkeinginan melanjutkan penelitian.

Resume klinis pasien yang keluar dari penelitian adalah: Seorang perempuan berumur 52 tahun, telah menderita hepatitis B selama 2 tahun dengan keluhan mual dan malaise. Hasil laboratorium: Hb 10 g/dL, trombosit (248.103/ul), SGOT (1.594 U/L), SGPT (758 U/L), bilirubin total (1.99 mg/dL), GGT (165 U/L), albumin (3.45 g/dL), kolesterol (136 mg/dL), kreatinin (1.34 mg/dL), skor Forns (5.87). Akhirnya seluruh peserta yang menyelesaikan penelitian berjumlah 14 orang.

Pada penelitian ini derajat fibrosis penderita hepatitis kronis B dibagi menjadi 3 kategori berdasar nilai skor Forns: Bukan fibrosis (skor <4.21), fibrosis ringan-sedang (skor antara 4,21 dan 6,90), dan fibrosis berat (skor >6,90). Pada tabel-3 diperlihatkan data dasar seluruh penderita hepatitis kronis B yang ikut penelitian. Peserta berumur rerata 51.9±7.1 tahun dimana umur termuda 42


(51)

tahun dan umur tertua 68 tahun, 11 orang laki-laki dan 3 orang perempuan, rerata IMT (kg/m2): 20.8 ± 1.6 dan IMT dibawah 18.1 adalah 14.3%.

Tabel-3. Data dasar karakteristik pasien.

Parameter Rerata

x ± SD

Range % Abnormal

(n=14) Jenis kelamin (Laki-laki:Perempuan) 11: 3

Umur ± SD (tahun) 51.9 ± 7.1 42.0 - 68.0

IMT (18.5-24.9 kg/m2) 20.8 ± 1.6 18.1 - 22.7 14.3% (2)

Haemoglobin (L=14-18 P=12-16 gr/dL) 12.9 ± 1.8 10.0 - 16.3 71.4% (10) Trombosit (150-450.103 /µL) 182.8 ± 77.0 49 - 308 35.7 (5)

SGOT (<30.U/L) 65.1 ± 37.3 40 - 178 100 (14)

SGPT (<50.U/L) 79.6 ± 20.7 66 - 135 100 (14)

Bilirubin total (<1.30 mg/dL) 1.68 ± 1.78 0.15 - 7.39 42.9 (6) Bilirubin direk ( < 0.30 mg/dL) 0.83 ±1.21 0.16 - 4.21 78.6 (11)

GGT (8-61.U/L) 78.2 ± 69.9 11 - 240 28.6 (4)

Albumin (4.6-5.4 g/dL) 4.39 ± 0.76 2.84 - 5.49 64.3 (9) Kolesterol (<200 mg/dL) 192.6 ± 53.1 112 - 278 42.9 (6) Kreatinin (0.7-1.2 mg/dL) 1.01 ± 0.51 0.58-2.67 7.1 (1) Skor Forns (<4.21) 5.98 ± 2.16 4.23 - 9.92 100(14) Kategori Fibrosis

a.Tanpa fibrosis (< 4.21)

b.Fibrosis ringan-sedang (4.21-6.90) c.Fibrosis berat ( >6.90)

0 9 5

Rerata Haemoglobin (g/dL) adalah 12.9 ± 1.8 dengan range antara 10.0-16.3 dimana didapatkan anemia sebanyak 71.4%. Seluruh peserta memiliki nilai SGOT (U/L) dan SGPT (U/L) abnormal dengan masing-masing rerata adalah


(52)

65.1 ± 37.3 dan 79.6 ± 20.7. Hiperbilirubinemia sebanyak 42.9% dengan nilai rerata 1.68 ± 1.78 mg/dl.

Skor fibrosis seluruh penderita diatas 4.21, kategori fibrosis ringan-sedang: 9 orang dan fibrosis berat: 5 orang dengan hipoalbuminemia sebanyak 64.3% dimana rerata dan range albumin (g/dL) adalah: 4.39 ± 0.76 (2.84-5.49). Skor Fibrosis dihitung berdasar selain variabel umur juga kolesterol (mg/dL), trombosit (103/µL) dan GGT (U/L) dengan masing-masing nilai rata-rata dan range adalah: 192.6 ± 53.1 (112-278), 182.8 ± 77.0 (49-308), dan 78.2 ± 69.9 (11 – 240).

4.1.2. Efek Terapi Pentoxifylline selama 4 minggu.

Perubahan parameter klinis selama 4 minggu terapi pentoxifylline ditunjukkan pada tabel-4. Analisa statistik variabel skor Forns meliputi, trombosit, kolesterol dan GGT setelah terapi pentoxifylline terlihat pada tabel-4. Terjadi peningkatan rerata trombosit dan kolesterol masing-masing (182.8±77.0 vs 186.8±75.9) dan (192.6±53.1 vs 199.7±62.4), dan penurunan rerata GGT (78.2±69.9 vs 78.1±72.0) adalah tidak bermakna secara statistik dengan masing-masing nilai p adalah 0.564, 0.352, dan 0.814.

Hal yang menarik pada penelitian ini terjadi penurunan nilai rerata SGPT, SGOT, dan bilirubin total dan peningkatan rerata jumlah albumin setelah terapi pentoxifylline selama 4 minggu.

Persentasi abnormal SGOT dan SGPT sedikit mengalami penurunan, masing-masing (100% vs 92.9%) dan (100% vs 85.7%). Sedangkan penurunan rerata jumlah SGPT dan SGOT mengalami penurunan bermakna secara


(53)

statistik, masing-masing nilai p adalah (79.6±20.7 vs 67.4±14.4, nilai p=0.008), (65.1±37.3 vs 51.0±16.5, nilai p=0.015).

Tabel-4. Respon terapi pentoxifylline.

Parameter klinis Pre-Pentoxifylline Post-pentoxifylline Nilai P Trombosit a)

a. Mean b. Range c. % abnormal

182.8 ± 77.0 43-308 35.7 (5)

186.8 ± 75.9 60-294 35.7 (5)

0.564

SGOT b) a. Mean b. Range c. % abnormal

65.1 ± 37.3 47-178 100 (14)

51.0 ± 16.5 28-92 92.9 (13)

0.015*

SGPT b) a. Mean b. Range c. % abnormal

79.6 ± 20.7 66-135 100 (14)

67.4 ± 14.4 39-94 85.7 (12)

0.008*

Bilirubin total a) a. Mean b. Range c. % abnormal

1.68 ± 1.78 0.15-7.39 42.9 (6)

1.12 ± 0.77 0.12-3.22 21.4 (3)

0.021*

Bilirubin direk b) a. Mean b. Range c. % abnormal

0.83 ± 1.20 0.16 - 4.92 78.6 (11)

0.54 ± 0.48 0.01-1.98 64.3 (9)

0.084

GGT b)

a. Mean b. Range c. % abnormal

78.2 ± 69.9 11-240 28.6 (4)

78.1 ± 72.0 11-230 35.7 (5)

0.814

Albumin a) a. Mean b. Range c. % abnormal

4.39 ± 0.76 2.84-5.49 64.3 (9)

4.51 ± 0.57 3.21- 5.24 42.9 (6)

0.371

Kolesterol a) a. Mean b. Range c. % abnormal

192.6 ± 53.1 112-278 42.9 (6)

199.7 ± 62.4 106-350 42.9 (6)

0.352

Kreatinin b) a. Mean b. Range c. % abnormal

1.01 ± 0.51 0.58 – 2.67 7.1 (1)

0.98 ± 0.42 0.51-2.25 14.3 (2)

0.861

Skor Forns b) a. Mean b. Range c. % abnormal

5.98±2.16 4.23-9.92 100 (4)

5.79 ± 2.30 3.23-9.54 71.4 (10)


(54)

Penurunan rerata bilirubin total diperlihatkan dari 1.68 ± 1.78 menjadi 1.12 ± 1.16 adalah bermakna secara statistik dimana nilai p=0.021. Hasil ini didukung perubahan persentasi abnormal pada hasil penelitian, dimana terjadi penurunan hiperbilirubinemia dari 42.9% menjadi 21.4%.

Efek terapi pentoxifylline juga memperlihatkan penurunan persentasi hipoalbuminemia dari 64.3% menjadi 42.9%, namun sangat disayangkan peningkatan rerata albumin dari 4.39 ± 0.76 menjadi 4.51 ± 0.57 adalah tidak bermakna secara statistik dimana nilai p=0.371.

Penilaian efek jangka pendek terapi pentoxifylline sebagai anti-fibrosis terhadap hepatitis kronis B berdasar penilaian skor Forns menghasilkan penurunan rerata skor dari 5.98 ± 2.16 menjadi 5.79 ± 2.30 adalah tidak bermakna secara statistik dengan nilai p=0.124. Sebaliknya, penurunan derajat fibrosis secara kategorikal setelah terapi pentoxifylline adalah berbeda. Dimana, dari 9 orang penderita hepatitis kronis B yang mengalami fibrosis ringan-sedang setelah terapi pentoxifylline mengalami perbaikan sebanyak 4 orang menjadi kategori bukan fibrosis. Perbaikan ini adalah bermakna secara statistik dimana nilai p=0.046 berdasar analisis uji Wilcoxon (tabel-5).

Tabel-5. Efek Pentoxifylline pada perubahan kategori fibrosis.

Perubahan Kategori Fibrosis

Pre-Pentoxifylline Post-Pentoxifylline N % P

Fibrosis ringan-sedang Bukan Fibrosis 4 28.6 Fibrosis ringan-sedang Fibrosis ringan-sedang 5 35.7

Fibrosis berat Fibrosis berat 5 35.7

Jumlah 14 100

0.046*

* Signifikan dengan uji Wilcoxon


(55)

4.1.3. Efek samping Pentoxifylline

Efek samping pemberian pentoxifylline dapat ditoleransi masing-masing pasien dan tidak dilakukan penyesuaian dosis selama 4 minggu. Nausea dialami 8 (57.1%) pasien, nyeri ulu hati dialami 12 (85.7%), cefalgia dialami 1 (7.1%), dizzenes 1 (7,1%), sedangkan gejala diare tidak ditemukan. Pasien yang mengalami gejala nyeri ulu hati dan nausea mendapat obat omeperazole dan domperidon.

Pentoxifylline diekskresi melalui ginjal terdapat penurunan rerata serum kreatinin (1.01 ± 0.51 vs 0.98 ± 0.42) adalah tidak bermakna secara statistik dimana nilai p=0.861, kreatinin bernilai abnormal pre-pentoxifylline dan post-pentoxifylline masing-masing adalah 1 orang (2.67) dan 2 orang (2.25 dan 1.26). Pada master tabel diperlihatkan masing-masing kreatinin pasien sebelum dan sesudah penelitian adalah 2.67 menjadi 2.25 dan 1.15 menjadi 1.26.

4.2. PEMBAHASAN.

Trombositopenia adalah komplikasi umum penyakit hati kronis dihubungkan dengan memberatnya hipertensi portal mengakibatkan peningkatan sequestrasi dan destruksi trombosit oleh limpa yang membesar. Selain itu progresifitas fibrosis dihubungkan dengan menurunnya produksi trombopoietin oleh hepatosit sehingga mengakibatkan produksi trombosit berkurang 37,39. Pengaruh terapi pentoxifylline sebagai anti-fibrosis pada penelitian ini memperlihatkan peningkatan rerata jumlah trombosit (182.8 ± 77.0 vs 186.8 ± 75.9) namun tidak bermakna secara statistik dimana p=0.564.


(56)

Fungsi biologi sel hepatosit tidak bisa dihindari oleh pengaruh dari perubahan komposisi dan jumlah MES selama fibrogenesis. Akumulasi matriks diruang Dise perisinusoid membentuk kapilarisasi inkomplet sehingga menghalangi pertukaran aliran diantara hepatosit dan aliran darah sinusoid. Kemudian mengganggu fungsi biosintesis sel hepatosit10,25. Hubungan antara kolesterol dan fibrosis hati adalah penurunan jumlah kolesterol pasien fibrosis hati disebabkan berkurangnya sintesa kolesterol 36. Hasil yang menarik diperlihatkan pada penelitian ini dimana terjadi peningkatan rerata jumlah albumin (g/dL) (4.39 ± 0.76 vs 4.51 ± 0.57) selama 4 minggu pemberian pentoxifylline, namun sangat disayangkan tidak bermakna secara statistik dimana p=0.371. Demikian juga dengan kolesterol (mg/dL) diperlihatkan kenaikan rerata jumlah (192.6 ± 53.1 vs 199.7 ± 62.4) adalah tidak bermakna secara statistik dimana p=0.352.

Fibrosis hati merupakan proses reversibel dan pemahaman patogenesis fibrosis khususnya keterlibatan HSC, secara invitro dan invivo, telah membuka peluang penggunaan terapi anti-fibrosis 7,8. Intervensi farmakologi sebagai anti-fibrosis efektif terhadap 3 mekanisme meliputi: Pencegahan anti-fibrosis, fibrostasis, dan fibrolisis 1,10. Telah dilaporkan, secara invivo dan invitro bahwa pentoxifylline sebagai anti-fibrosis 8,11. Secara umum bersifat fibrostasis dengan menghambat aktivasi HSC dan sintesa MES 44,55, efek lain meningkatkan resolusi matriks (fibrolisis) melalui inhibisi sitokin TGF- 44-46. Pada studi eksperimental, pada stage awal injuri, pentoxifylline mampu mengurangi propilerasi fibrosis, transdiferensiasi miofibroblas dan mengurangi kerusakan hepatoselular dan


(57)

respon inflamasi 52. Hasil penelitian Satapathy dkk (2004) pada penyakit hati kronis akibat NASH, dilaporkan penurunan jumlah SGPT dan SGOT pada bulan pertama setelah terapi pentoxifylline 60.

Pada penelitian ini menunjukkan perbaikan signifikan SGPT, SGOT, dan bilirubin total masing-masing (79.6 ± 20.7 vs 67.4 ± 14.4, p=0.008), (65.1 ± 37.3 vs 51.0 ± 16.5, p=0.015) dan (1.68 ± 1.78 vs 1.12 ± 0.77, p=0.021). Perbaikan level SGPT, SGOT dan bilirubin total karena efek pentoxifylline menekan proses inflamasi melalui inhibisi sitokin-sitokin inflamasi. Pada hepatitis kronis B, patogenesis fibrosis dihubungkan dengan inhibisi sitokin inflamatori TNF-g,

IFN-, IL-4 dan TGF- berdasar studi biopsi hati 28.

Hepatitis kronis terutama hepatitis kronis B akan berkembang menjadi sirosis dan kanker sel hati 20. Sekarang ini, masih sedikit tersedia terapi kuratif dan belum tersedia obat anti-fibrotik yang efektif mencegah progresifitas penyakit dan pasien masih tergantung pada transplantasi hati1,7,8. Kami ingin membuktikan hipotesis penelitian, bahwa terjadi penurunan skor fibrosis dengan terapi pentoxifylline selama 4 minggu namun hasil ini tidak bermakna secara statisitik dimana nilai p=0.124 berdasar uji-t berpasangan. Analisis berdasar uji wilcoxon terhadap perubahan kategori pasien fibrosis ringan-sedang menjadi bukan fibrosis sejumlah 4 (28.6%) pasien. Perbaikan ini adalah bermakna secara statistik dimana nilai p=0.046.

Pentoxifylline merupakan obat yang menjanjikan dan telah dipostulatkan sebagai anti-fibrosis 44,56,59,60, bekerja dengan menghambat proliferasi HSC dan sintesa kollagen 10,11,44 serta bersifat fibrolisis melalui jalur penghambat TGF-


(58)

10,44-46

. Studi sebelumnya, terapi pentoxifylline jangka panjang adalah efektif mencapai parameter biokimia, dan resolusi histologi pada pasien NASH dengan pemberian pentoxifylline (3x400 mg) selama 12 bulan 56. Studi jangka pendek menyarankan bahwa pentoxifylline memiliki efek bermanfaat pada binatang percobaan 54 dan pada penderita NASH 63. Pada penelitian ini terapi pentoxifylline jangka pendek tidak sepenuhnya menghasilkan efek anti-fibrosis secara bermakna. Meskipun menunjukkan hasil perbaikan SGOT, SGPT dan bilirubin total secara bermakna. Hal yang menarik ditemukan, adalah selain peningkatan rerata trombosit juga rerata albumin dari 4.39 ± 0.76 menjadi 4.51 ± 0.57 tetapi sayang hasil ini tidak bermakna secara statistik dimana nilai p = 0.371.

Efek samping yang ditimbulkan pentoxifylline selama penelitian ini dapat ditoleransi seluruh pasien tanpa ada pengurangan dosis. Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Bahwa pentoxifylline aman dan berguna pada pemakaian jangka panjang terhadap penyakit peripheral vascular disease, ischemic heart disease, cerebrovascular disease. Hanya sedikit dijumpai efek samping flushing, weakness, nausea, perut gembung, sakit kepala, dan muntah yang dilaporkan 58,60. Pada penelitian Satapathy ditemukan minimal efek samping dan hanya pada sebagian pasien 51.


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN

5.1.1. Penelitian ini menghasilkan bahwa terapi jangka pendek pentoxifylline sebagai anti-fibrosis terhadap penderita hepatitis kronis B berdasar skor Forns adalah tidak sepenuhnya bermakna.

5.1.2. Parameter rerata SGOT, SGPT, Bilirubin total mengalami perbaikan secara bermakna pada penderita hepatitis kronis B setelah terapi Pentoxifylline dosis 3x400 mg selama 4 minggu. Sedangkan rerata albumin menunjukkan perbaikan tetapi tidak bermakna secara statistik. 5.1.3 Efek samping pentoxifylline dapat ditoleransi seluruh pasien tanpa ada

penyesuaian dosis. 5.2. SARAN

Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jangka lebih lama, sampel lebih banyak untuk menilai efikasi pentoxifyllline sebagai anti-fibrosis pada penyakit hati kronis.


(60)

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Bovenkamp VM , Groothuis G M M, Meijer D K F, Olinga P. Liver slices as a model tostudy fibrogenesis and test the effects of anti-fibrotic drugs on fibrogenic cells in human liver. Toxicology in vitro 2008; 22:771-8

2. Shin W G, Park S H, Jang M K, Hahn T H, Kim J B, Lee M S etal. Aspartate aminotransferase to platelet ratio index (APRI) can predict liver fibrosis in chronic hepatitis B. Digestive and Liver Disease 2008; 40;267-74

3. Lee M K, Ha N R, Yang H, Sung S H, Kim G H, Kim Y C. Antiproliferative activity of triter penoids from eclipta prostrata on hepatic stella cells. Phytomedicine 2008; 15:775-80

4. Guyot C, Lepreux S, Combe C, Doudnikoff E, Sage PB, Balabaud C etal. Hepatic fibrosis and crrhosis: The (myo)fibroblastic cell subpopulations involved. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 2006; 38:135-51.

5. Sharma SK, Saini N and Chwla Y. Hepatitis B virus: Inactive carriers. Virology Journal 2005; 2 82:1-5.

6. Aggarwal R, Ranjan P. Preventing and treating hepatitis B infection. BMJ 2004; 329:1080-86.

7. Friedman SL. Molecular regulation of hepatic fibrosis, an integrated cellular response to tissue Injury. J Biol Chem 2000; 275:2247-50.


(61)

8. Lotersztajn S, Julien B, Clerc FT, Grenard P, Mallat A. Hepatic fibrosis: molecular mechanisms and drug targets. Annu Rev Pharmacol Toxicol 2005; 45:605-28.

9. Gonzalo T, Talman E G, Van den Ven A , Temming K, Greupink R, Beljaars L etal. Selective targeting of pentoxifylline to hepatic stellate cells using a novel platinum-based linker technology. Journal of controlled Release 2006; 111:193-203).

10. Gressner AM, Weiskirchen R. Modern pathogenetic concepts of liver fibrosis suggest stellate cells and TGF- as major players and therapeutic targets. J. Cell. Mol. Med. 2006; 10:76-99.

11. Salam OME, Baiuomy AR, El-Shenawy SM, Hassan NS. Effect of pentoxifylline on hepatic injury caused in the rat by administration of carbon tetrachloride or acetaminophen. Pharmacological Reports 2005; 57:596-603 12. Kelleher TB, Afdhal N. Assessment of liver fibrosis in co-infected patients. J

Hepatol 2000; 44:126-31

13. Kelleher TB, Afdal N. Noninvasive assesment of liver fibrosis. Clin Liver Dis 2005; 9: 667-83.

14. Poynard T, Imbert F, Munteanu M, et al. Biomarkers as non-invasive assessment of hepatic fibrosis in chronic hepatitis C. J Gastroenterol Hepatol 2004;19: 236-45.

15. Hui AY, Chan HLY, Wong VWS, et al. Identification of chronic hepatitis B patients without significant liver fibrosis by a simple noninvasive predictive model. Am J Gastroenterol 2005; 616-23.

16. Prosser CC, Yen RD, Wu J. Molecular therapy for hepatic injury and fibrosis: Where are we?. Word J Gastroenterol 2006;12: 509-15.


(62)

17. Bataller R, Brenner DA. Liver fibrosis. J Clin Invest 2005; 115:209-18 46:381–386.

18. Mardini H, Record C. Detection assessment and monitoring of hepatic fibrosis: biochemistry or biopsy. Ann Clin Biochemistry 2005; 42:441-47. 19. Fabris C, Smirne C, Toniutto P, et al. Assessment of liver fibrosis

progression in patients with chronic hepatitis C and normal alanin aminotransferase values: The role of AST to the platelet ratio index. Clini Biochem 2006; 39:339-43.

20. Lok ASF, McMahon BJ. AASLD Practice Guidelines Chronic Hepatitis B. Hepatology 2001; 34(6):1225 – 1241

21. Ganem D, Prince AM. Mechanisms of disease : Hepatitis B virus Infection-natural history and clinical consequences. N Engl J Med 2004; 350:1118-29 22. Bertoletti A, Gehring AJ. The immune response during hepatitis B virus

infection. J Gen Virol 2006; 87:1439–49.

23. Gish RG. Current treatment and future direction in the management of chronic hepatitis B viral infection. Clin Liver Dis 2005;9:541-65.

24. Lesmana LA, Leung NWY, Mahachai V, et al . Hepatitis B: overview of the burden of disease in the Asia-Pacific region. Liver International 2006; 26:3-10

25. Tsukada S, Parsons CJ, Rippe RA. Mechanisms of liver fibrosis. Clinica Chimica Acta 2006; 364:33–60.

26. Sato M, Suzuki S, Senoo H. Hepatic stellae cells: Unique characteristics in cell biology and phenotype. Cell Structure and function. 2003; 28:105-12.


(63)

27. Schuppan D, Porov Y. Hepatic fibrosis: from bench to bedside. J Gastroenterol Hepatol 2002; 17:300-5.

28. Akpolat N,Yahsi S, Godekmerdan A, Demerbag K,Yalniz M. Relatioship betweenserum cystokine levels and histopatological changes of liver in patients with hepatitis B. World J Gastroenterol 2005; 11:3260-63.

29. Hung CH, Lu SN, Wang JH, et al. Correlation between ultrasonographic and pathologic diagnoses of hepatitis B and C virus-related cirrhosis. J Gastroenterol 2003; 38:153–157.

30. Poynard T, Mathurin P, Lai CL, et al. A comparison of fibrosis progression in chronic liver diseases. J Hepatol 2003; 38:257–65.

31. Reyes GG. Ruiz M C G. Kershenobich D. Liver fibrosis and chronic viral hepatitis. Archive of medical research 2007; 38:644-51

32. Liu J, McIntosh H, Lin H. Chinese medical herbs for chronic hepatitis B : a systemic review. Liver 2001; 21:280-6.

33. Afdhal NH, Nunes D. Evaluation of liver fibrosis: a concise review. Am J Gastroenterol 2004; 99: 1160-74.

34. Sebastiani G, Alberti A. Non invasive fibrosis biomarkers reduce but not substitute the need for liver biopsy .Gastroenterol 2006; 12: 3682-94

35. Koda M, Matunaga Y, Kawakami M, Kishimoto Y, Suou T, Murawaki Y.

FibroIndex a practical index for predicting significant fibrosis in patients with chronic hepatitis C. Hepatology 2007; 45:297-306.


(64)

36. Forns X, Ampurdan`es S, Llovet JM, et al. Identification of chronic hepatitis C patients without hepatic fibrosis by a simple predictive model. Hepatology 2002; 36:986-92.

37. Kim BK, Kim SA, Park YN, et al. Noninvasive models to predict liver cirrhosis in patients with chronic hepatitis B. Liver International 2007; 969-76.

38. Wai C-T, Cheng CL, Wee A, et al. Non-invasive models for predicting histology in patients with chronic hepatitis B. Liver International 2006: 26: 666–72.

39. Karasu Z, Tekin F, Ersoz G,et al. Liver fibrosis is associated with decreased peripheral platelet count in patients with chronic hepatitis B and C. Dig Dis Sci 2007; 52:1535-39.

40. Myers RP, Tainturier MH, Ratziu V, et al. Prediction of liver histological lesions with biochemical markers in patients with chronic hepatitis B. J Hepatology 2003;39:222–30.

41. Zeng MD, Lu GL, Mao YM, Qiu DK, Li JQ, Wan MB.et al. Prediction of

significant fibrosis in HBeAg-positive patients with chronic hepatitis B by a Noninvasive Model. Hepatol 2005; 42:1437-45.

42. Bourliere M, Penaranda G, Renou C, Fridlund DB,Tran A, Portal I et al. Validation and comparison of indexes for fibrosis and cirrhosis prediction in chronic hepatitis C patients: proposal for a pragmatic approach classification without liver biopsies. Journal of Viral Hepatitis, 2006. 1-12.


(65)

43. Sebastiani G, Vario A, Guido M, Alberti A. Sequential algorithms combining non-invasive markers and biopsy for the assessment of liver fibrosis in chronic hepatitis B. World J Gastroenterol 2007; 13: 525-31

44. Windmeier C,Gressner AM. Pharmacological aspect of pentoxifylline with emphasis on Its inhibitory action on hepatic fibrogenesis. Gen. Pharmac 1997; 29:181-96.

45. Rockey DC. New therapies in hepatitis C virus and chronic liver disease: antifibrotics . Clin Liver Dis 2006; 10:881-900

46. Friedman SL. Hepatic fibrosis-overview. Toxicol 2008; xxx:1-10.

47. Friedman SL. Liver fibrosis-from bench to bedside. J Hepatol 2003; 38: 38– 53.

48. Raoul JM, Peterson MR, Peterson TC. A novel drug interaction between the quinolone antibiotic ciprofloxacin and a chiral metabolite of pentoxifyllin. Biochemical pharmacology 2007; 74:639-46.

49. Eleftheriadis E, Kotzampassi K, Koufogians D. Modulation of Intravarisel Pressure with pentoxifylline : A Possible New Approach in the treatment of portal Hypertension. The American Journal of Gastroenterology 1998; 93:2431-5

50. Kozaki K, Egawa H, Bermudez L, Keefe E B, So S K, Esquivel C O. Effect of pentoxifyllline pretreatment on Kupffer cells in rat liver transplantation. Hepatology 1995; 21:1079-82


(66)

51. Bhrarucha A E, Jorgensen R, Lichtman S N, LaRusso N F, Lindor K D. A Pilot Study of Pentoxifylline for the treatment of Primary Sclerosing Cholangitis. The Am J of Gastroenterol 2000; 95:2238-42

52. Desmouliere A, Xu G, Costa A M A, Yousef I M, Gabbiani G, Tuchweber B. Effect Pentoxifylline on early proliferation and phenotypic modulation of fibrogenic cells in two rat models of liver fibrosis and cultured hepatic stellate cells. Journal of Hepatology 1999; 30:621-31

53. Raetsch C, Dia JD, Boigk G, Bauer M, Hahn EG, Riecken EO. Pentoxifylline downregulation profibrogenic cytokines and procollagen I expression in rat secondary billiary fibrosis. Gut 2002; 50: 241-247.

54. Hernandez E, Correa A, Bucio L, Souza V, Kershenobich D, Ruiz G. Pentoxifylline diminished acetaldehyde-inducedcollagen production in hepatic stellate cellls by decreasing interleukin-6 expression. Pharmacol Research 2002; 46:435-43.

55. Koppe S W P, Sahai A, Malladi P, Witington P F, Green R M. Pentoxifyllien attenuates steatohepatitis induced by the methionine choline deficient diet. Journal of Hepatology 2004; 41:592-8.

56. Gonzalo T,Talman EG,Temming K,Greupink R, et al. Selective targeting of pentoxifylline to hepatic stellate cells using a novel platinum-based linker technology. Journal of Controlled Release 2006; 111:193–203

57. Bissell M. Chronic liver injury, TGF- , and cancer. Experimental and molecular medicine 2001; 33:179-90.


(1)

(2)

LAMPIRAN 5. DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI

Nama : Fransiskus Sahat Halomoan Situmorang

NIP : 140344493

Pangkat /Golongan : Penata Muda Tk.I / IIIb

Tempat/ tgl lahir : Tapanuli Utara,31 Januari 1968

Agama : Katolik

Alamat : Jl Pembangunan 101 Dr Mansur P. Bulan

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri 1 Perdagangan : jazah tahun 1980 2. SMP Negeri 1 Perdagangan : Ijazah tahun 1983 3. SMA Negeri 1 Perdagangan : Ijazah tahun 1986 4. Fak.Kedokteran USU Medan : Ijazah tahun 1994

III. PENGALAMAN KERJA

1. Dokter Jaga Klinik Medica di Medan 1994

2. Staf Medis Pertamina Offshore Jakarta 1994-1995

3. Ka Puskesmas Lahusa Kab.Nias 1995-1998

4. Staf Medis RSU P.Siantar 1998-2002

5. Staf Medis RSU Vita Insani P. Siantar 1998-2002

6. Dokter Jaga RS Sari Mutiara Medan 2006-2008

IV. KEANGGOTAAN PROFESI


(3)

2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI)

V. KARYA ILMIAH DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM.

1. F Sahat H Situmorang, Abdur Rahim Lubis. Secondary Hypertension

caused by Pheochromocytoma .PERNEFRI, 24-27, November 2005.

2. F Sahat H Situmorang, Habibah Nasution. Pendekatan Terapi Kognitifpada gangguan psikosomatik: KOPAPDI Palembang, 6-10 Juli 2006

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH.

1. Peserta PIT PAMKI, PETRI, PERPARI, dan PERALMUNI Medan, 19-20

Juli 2003.

2. Panitia dan peserta Simposium Gastroenterohepatologi Update 2003. Medan, 18-19 Oktober 2003.

3. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan V 2004. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU. Medan, 4-6 Maret 2004.

4. Peserta simposium Putting Patients First : A New Paradigm in Treatment of Erectile Dysfunction. Medan, 14 Maret 2004.

5. Peserta simposium overactive bladder : Exposing The Hidden Problem.Medan, 20 Maret 2004.

6. Peserta simposium Infections Update 2004. “Strategi Pengenalan Infeksi Menuju Indonesia Sehat 2010”. Medan, 24 Juli 2004.

7. Panita dan peserta Gastroentero-Hepatologi Update 2004. Medan, 17-18

September 2004.

8. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU “Dengan Penyegaran Ilmu Penyakit Dalam kita meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang Lebih Profesional”. Medan, 3-5 Maret 2005.

9. Panitia dan peserta Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Ilmu Penyakit Dalam. “Awareness of Emerging and Reemerging Infectious Diseases”. Medan, 4-6 Maret 2005.


(4)

10. Peserta simposium The 3rd New Trend Cardiovascular Management. Medan, 6 -8 Juni 2005.

11. Panitia dan peserta workshop USG. Gastroentero-Hepatologi Update III. Medan, 5 Agustus 2005.

12. Pembicara free oral presentation 9th of InaSN & Annual Meeting of NEPHROLOGY 2005. Bali, 24-27 Novemver 2005.

13. Peserta pada 9th of InaSN & Annual Meeting of NEPHROLOGY 2005. Bali, 24-27 Novemver 2005.

14. Peserta seminar Peranan VCT dan CST dalam Penanganan Kasus

HIV/AIDS (Peringatan Hari Aids Sedunia 1 Desember 2005). Medan, 3 Desember 2005.

15. Panitia dan peserta Gastroentero-Hepatologi Update III 2005. Medan, 16. Peserta Lounching Symposium Olmetec, experience the zone. Medan 14

Januari 2006.

17. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VII 2006 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 2-4 Maret 2006.

18. Peserta Temu Ilmiah Mini-Simposia Nyeri 2006. Medan, 8 April 2006.

19. Panitia dan Peserta 15th Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association. “Better Understanding in The Management of Cardiovascular Disease”. Medan, 19-20 April 2006.

20. Peserta simposium IDI Cabang Medan dan Singapore Medicine “ Partnership in Healthcare : A Continual Sharing Relationship”. Medan, 13 Mei 2006.

21. Panitia dan peserta workshop “ Management of Chronic Hepatitis C in Daily Practice”. Medan, 10 Juni 2006.

22. Pembicara free oral presentation 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII). Palembang, 6-9 Juli 2006.

23. Peserta 13th National Congress of the Indonesian Society of Internal


(5)

24. Panitia dan Peserta Kongres Nasional PETRI XII, PERPARI VIII, PKWI IX, Simposium Infections Update III 2006 PETRI-PERPARI-PKWI Cabang SUMUT. Medan, 28-29 Juli 2006.

25. Peserta workshop USG pada Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 7 September 2006.

26. Panitia dan Peserta Simposium Gastroentero-Hepatologi Update IV. Medan 8-9 September 2006.

27. Peserta simposium Integrated Clinical Management of Patients at High Risk of Vascular Events, Departemen Neurologi FK USU – RS H.Adam Malik Medan. Medan, 25 Nopember 2006.

28. Peserta workshop ECG in Daily Practice. Medan, 14 April 2007. 29. Peserta Road Show PAPDI 2007. Medan 14 April 2007.

30. Peserta simposium “Era Baru Penggunaan Probiotic”. Medan 28 April 2007. 31. Peserta simposium Meningkatkan Peran Trombosis-Hemostasis Dalam

Multi Disiplin Ilmu Kedokteran. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan –Sumatera Utara. Medan, 1-2 Mei 2007.

32. Peserta The 3rd Simposium on Critical Care and Emergency Medicine.

Medan, 4-5 Mei 2007.

33. Peserta simposium Diabetes, The Vitamin dan Mineral Antioxidans Connection. Medan, 26 Mei 2007.

34. Peserta simposium “ Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy”. PPHI, PEGI, PGI Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik. Medan, 9 Juni 2007.

35. Peserta simposium The 4th New Trend in Cardiovascular Management.

Medan, 15-16 Juni 2007.

36. Peserta simposium “New hope for smokers” Ikatan dokter Indonesia Wilayah Sumatera Utara. Medan, 1 September 2007.

37. Peserta workshop Hepatitis & simposium Gastroentero-Hepatologi update V 2007. Medan, 9-10 Nopember 2007.

38. Peserta simposium “New Paradigm in Maintenance Fluid Therapy” Medan, 17 Nopember 2007.


(6)

39. Panitia dan peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VIII 2007 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU. Medan, 8-10 Maret 2007.

40. Peserta simposium Road Show 2008 Eli Lilly Insulin Training for Excellence Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) & Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI). Medan, 26 Januari 2008.

41. Peserta workshop “Hemostasis & Thrombosis Dan Penatalaksanaan Demam Dengue” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 14 April 2008.

42. Peserta simposium “How to Choose an Appropriate OAD” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 15 April 2008.

43. Peserta simposium “New Era in Therapeutic Options” Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX 2008 Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan, 17-19 April 2008.

44. Peserta The 4th Symposium on Critical Care and Emergency Medicine.

Medan, 9-10 Mei 2008.

45. Peserta workshop Disfungsi Tiroid Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Cabang Medan. Medan, 24-25 Mei 2008.

46. Peserta simposium “Fucoidan, Nature’s Way for Faster Peptic Ulcer Healing”. Medan, 14 Juni 2008.

47. Peserta simposium ” Symposium of Venous Thromboembolism”. Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Medan/ Sumatera Utara. Medan, 26 Juli 2008