Beberapa Aspek Ekologi Jamur Endofit pada Mentigi (Vaccinium varingiaefolium) di Kawah Gunung Sinabung Sumatera Utara

(1)

BEBERAPA ASPEK EKOLOGI JAMUR ENDOFIT PADA

MENTIGI (

Vaccinium varingiaefolium)

DI KAWAH GUNUNG

SINABUNG SUMATERA UTARA

THESIS

Oleh

107030008

RAHMAD LINGGA

PASCA SARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

BEBERAPA ASPEK EKOLOGI JAMUR ENDOFIT PADA

MENTIGI (

Vaccinium varingiaefolium)

DI KAWAH GUNUNG

SINABUNG SUMATERA UTARA

THESIS

Oleh

107030008

RAHMAD LINGGA

PASCA SARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Beberapa Aspek Ekologi Jamur Endofit Pada Mentigi (Vaccinium varingiaefolium) Di Kawah Gunung Sinabung Sumatera Utara

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Biologi pada Program Pascasarjana Fakultas MIPA

Universitas Sumatera Utara

Oleh

107030008/BIO RAHMAD LINGGA

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(4)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : Beberapa Aspek Ekologi Jamur Endofit pada Mentigi Vaccinium varingiaefolium) di Kawah Gunung Sinabung Sumatera Utara

Nama Mahasiswa : RAHMAD LINGGA

Nomor Pokok : 107030008

Departemen : BIOLOGI

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed.)

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr.Retno Widhiastuti, M.S.)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed.) (Dr. Sutarman, M.Sc.)


(5)

PERNYATAAN ORISIONALITAS

BEBERAPA ASPEK EKOLOGI JAMUR ENDOFIT PADA MENTIGI (Vaccinium varingiaefolium) DI KAWAH GUNUNG SINABUNG SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil karya kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar

Medan, Februari 2013

RAHMAD LINGGA NIM. 107030008


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : RAHMAD LINGGA

NIM : 107030008

Program Studi : Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Beberapa Aspek Ekologi Jamur Endofit Pada Mentigi (Vaccinium varingiaefolium) Di Kawah Gunung Sinabung Sumatera Utara

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelolah dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Februari 2013

RAHMAD LINGGA NIM. 107030008


(7)

Telah diuji pada

Tanggal : 7 Februari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dwi Suryanto. M.Sc

Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S

2. Prof. DrErman Munir. M.Sc


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam kepada junjungan nabi besar Muhammad Rasullulah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian dengan judul Identifikasi Parasit Dari Feses Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Liar, Rehabilitasi, Dan Reintroduksi Di Sumatera Utara. Penelitian ini diajukan dalam rangka memenuhi Kurikulum Program Magister Biologi pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Untuk menyelesaikan penelitian ini banyak pihak yang telah membantu saya hingga penelitian ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Prof. Dr.Retno Widhiastuti M.S selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saya kesempatan melakukan penelitian ini dan telah membimbing serta mengarahkan saya dari awal penelitian saya sampai saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Bapak Dr. Salomo Hutahaean M.Si dan Bapak Dr. Miswar Budi Mulya M.Si selaku dosen dan penguji yang telah banyak memberikan masukan saran untuk penyelesaian tesis ini agar lebih baik, terima kasih buat dukungannya.

3. Kepada Beasiswa Unggulan DIKNAS, terimakasih atas beasiswa yang telah diberikan, sehingga penulis dapat melaksanakan perkuliahan dan penelitian ini dengan baik. 4. Kepala Laboratorium Sistematika Hewan Biologi FMIPA USU dan Laboratorium

Entomologi Depkes Sumatera Utara yang telah bersedia mengizinkan penulis melakukan penelitian di laboratorium tersebut.


(9)

5. Bapak dan Ibu dosen penulis di Program Studi Biologi Magister SPs USU, terima kasih untuk ilmu yang sudah diberikan selama ini.

6. Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran Mikrobiologi, Ibu Roslina Ginting, Pak Herois dan Bang Erwin selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU. Adik-adik dan rekan Biologi USU; B’ Mahya, B’ Gigi, kak mugi, B’ Riski, Misel, Ria, Umri, Marzuki, Margareth, Juju, Gilang, Ika, Riwil, Meika, Nia, Nila, Aini, teman-teman Bio ’05 dan adik-

adik, Bio’06 Bio ’07, Bio ’08, Bio’09, terima kasih atas bantuannya dan doanya selama di penelitian ini.

7. Pengelola dan seluruh staff Taman Hewan Pematangsiantar, terimakasih atas ijin penelitian dan pengambilan sampel feses orangutan yang telah diberikan.

8. Ayahanda H. Yazid Busatami Dalimunthe yang sudah memberikan banyak doa, harapan & dorongan sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini, dan Ibunda Hj. Hamidah Sayuthi yang tiada pernah berhenti memberi penulis doa, semangat dan harapan dalam hidup ini.

9. Kakanda yang sangat penulis banggakan dan sayangi Zulfadli Dalimunthe dan Nurmayani, Jalilah Ilmiha Dalimunthe dan Dodie, Kamalia Fitri Dalimunthe, Nazir Kahfi Dalimunthe, Faisal Afif Dalimunthe, Rini ndut, kepada para keponakan yang paling ku sayangi (Fira dan Fadhil), penulis mengucapkan ribuan terima


(10)

kasih atas segala cinta, kasih sayang, pengorbanan moril maupun materil, motivasi, kesabaran serta doa yang tak akan pernah bisa penulis balas sampai kapanpun 10. Temanku tersayang di S2 Biologi 2010, Pak Hamdani, Kak Lili, Bang Novri, Angel,

Arman, Ronald, Kak Sri, Kak Wirdah. Rekan-rekan di S2 Bio 2011; B’mahya, Zulfan, Ummi, Dwi, saputri, yanti, bu elvi, bu teti, mama fatma, bu ratna dan semuanya stambuk 2011 terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

11. Adik kostku, Lisna, Imah, Ani, dan sepupuku Sri Hidayati, kalian saudaraku yang selalu memberi banyak bantuan dan doa, terimakasih atas doanya.

12. Kepada Rahmad Lingga yang selalu memberi bantuan dan dukungan setiap saat, terimakasih sebesar-besarnya untuk mu.

13. Melalui kesempatan ini, saya sampaikan semoga Allah SWT selalu memberikan pahala, nikmat dan limpahan rahmat yang tiada taranya.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan Penelitian ini serta berharap penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian berikutnya.

Medan, Februari 2013


(11)

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak i

Abstract ii

Daftar Isi iii

Daftar Lampiran iv

Daftar Gambar v

Daftar Tabel Vi

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka 5

2.1 Biodiversitas Jamur Endofit 5

2.2 Jamur Asidofilik 6

2.3 Vaccinium varingeafolium 7

2.4 Ekologi Jamur Endofit 8

Bab 3 Bahan dan Metoda 10

3.1 Deskripsi Area 10

3.2 Penentuan Area Sampling dan Pengambilan Sampel Pohon 10 3.3 Pengambilan sampel dan pengukuran faktor fisik-kimia

lingkungan

11

3.4 Identifikasi Jamur Endofit 11

3.5 Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan 12

3.6 Analisis Data 12

3.6 Analisis Keanekaragaman Jamur Endofit 12 3.7 Analisis Pengaruh pH dan konsentrasi H2SO terhadap

pertumbuhan jamur endofit

13 Bab 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Karakteristik Jamur Endofit 14

4.2 Derajat Kolonisasi Jamur Endofit 24

4.3 Keanekaragaman Jamur Endofit 26


(12)

4.5 Faktor Fisik-kimia Lingkungan 29

4.6 Pertumbuhan In Vitro Jamur Endofit 31

Bab 5 5.1 Kesimpulan 32

5.2 Saran 32

Daftar Pustaka 33

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Isolasi Jamur Endofit 15

2 Lokasi Penelitian (Kawasan Hutan Gunung Sinabung Kabupaten Karo).

16

3 Karakteristik isolat jamur endofit Vaccinium varingiaefolium

36


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1 Foto jamur taksa Dematophora sp1. 15

2 Foto jamur taksa Dematophora sp2. 16

3 Foto jamur taksa Aspergiillus sp1. 17

4 Foto jamur taksa Aspergillus sp2. 18

5 Foto jamur taksa Aspergillus sp3. 19

6 Foto jamur taksa Aspergillus sp4. 20

7 Foto jamur taksa Penicillium sp1 21

8 Foto hifa jamur taksa Penicillium sp2 22

9 Foto jamur penampang koloni jamur taksa Yeast 23

10 Foto jamur taksa Verticiliastrum sp 23

11 Foto jamur taksa Sp1 24

12 Derajat kolonisasi jamur endofit pada tanaman Vaccinium varingiaefolium

25


(14)

DAFTAR TABEL

Gambar Judul Halaman

4.1 Keanekaragaman jamur endofit bagian akar Vaccinium varingiaefolium

26

4.2 Keanekaragaman jamur endofit bagian daun Vaccinium varingiaefolium.

27

4.3 Perbandingan radius pada akar tanaman Vaccinium varingiaefolium dengan Indeks Jaccard

28

4.4 Perbandingan radius pada daun tanaman Vaccinium varingiaefolium dengan Indeks Jaccard

29

4.5 Faktor fisik-kimia lingkungan pada tanaman Vaccinium varingiaefolium di kawah Gunung Sinabung


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Penelitian mengenai jamur endofit telah dilakukan lebih dari 20 tahun yang lalu (Clay dan Schardl, 2002). Hampir setiap bagian tanaman telah berhasil ditemukan jamur endofit, baik pada daun, batang dan akar (Bayman et al. 1997, Gamboa et al. 2002, Arnold et al. 2003). Pertanyaan tentang mengapa jamur endofit tersebut berada dalam jaringan inangnya, serta bagaimana mekanisme dan cara masuknya jamur endofit tersebut belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini. Ada beberapa hipotesis yang berkembang mengenai fungsi ekologi dan fisiologi jamur endofit beserta interaksinya dengan tumbuhan inangnya. Akan tetapi, sebagian besar hipotesis tentang fungsi ekologis dan fisiologis dari jamur endofit tersebut bersifat sangat spesifik dan biasanya tidak dapat diaplikasikan pada kelompok tanaman yang lebih luas. Jamur endofit mungkin memberikan perlindungan pada tanaman inang dari serangan patogen atau faktor biotik yang mengganggu inangnya (Ramsey, 2005).

Bukti tentang toleransi terhadap cekaman lingkungan yang diberikan oleh beberapa endofit telah diketahui mampu menjelaskan fenomena tentang proses adaptasi habitat. Curvularia protuberata telah ditemukan mengkolonisasi Dichanthelium lanuginosum, yang memberikan toleransi panas pada tanaman


(16)

yang tumbuh di tanah geotermal, Taman Nasional Yellowstone, USA. Ketika ditumbuhkan secara terpisah, jamur dan tumbuhan tidak dapat bertahan hidup pada suhu >380 C (Redman et al. 2002). Lebih jauh lagi, isolat C. protuberata dari tanaman non geotermal tidak dapat memberikan toleransi terhadap panas (Rodriguez et al. 2008). Contoh lain melibatkan Leymus mollis, yang tumbuh pada pantai berbatu di Puget Sound, Washington, USA, yang umumnya dikolonisasi oleh Fusarium culmorum. Endofit tersebut memberikan toleransi terhadap kadar garam kepada tanaman inangnya. Dengan membandingkan isolat Fusarium culmorum dari pantai dengan non pantai, diperoleh hasil bahwa hanya isolat pantai memberikan toleransi terhadap kadar garam pada tanaman inangnya (Rodriguez et al. 2008). Penjelasan yang mungkin melibatkan proses dinamika evolusioner dalam proses pengambilan tempat pada habitat yang berbeda yang menghasilkan adaptasi jamur pada cekaman habitat yang khusus. Oleh sebab itu, dihipotesiskan bahwa simbiosis adaptasi habitat memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh dan bertahan pada cekaman lingkungan yang tinggi (Rodriguez dan Redman 2008).

Pengetahuan tentang biologi dasar dari jamur endofit, khususnya endofit hutan sampai saat ini sangat sedikit. Seperti kebanyakan jamur, kehidupan jamur endofit juga tergantung pada faktor-faktor lingkungan seperti cahaya, pH, kelembaban, nutrisi, kompetisi, dan suhu. Keberadaan jamur endofit pada tumbuhan yang beradaptasi pada lingkungan tertentu tentunya juga dipengaruhi oleh faktor abiotik lingkungan tempat inangnya berada.

Gunung Sinabung merupakan gunung api aktif yang terakhir meletus pada tahun 2010. Efek erupsi tersebut dapat dilihat pada rusaknya vegetasi yang tumbuh di sekitar kawah. Konsentrasi gas sulfur di udara yang dipengaruhi air hujan terdeposisi menjadi asam sulfat. Di dalam tanah, asam sulfat terionisasi menjadi H+ dan SO42- yang menyebabkan tanah semakin asam. Hal ini mungkin mempengaruhi keberadaan vegetasi dan mikroorganisme yang hidup di sekitar kawah. Vaccinium varingiaefolium merupakan jenis tumbuhan yang memiliki


(17)

kemampuan adaptasi yang sangat baik pada kondisi tanah yang asam di sekitar kawah gunung berapi. Studi ini ditujukan untuk mengetahui aspek ekologi dari jamur endofit pada tumbuhan Vaccinium varingiaefolium yang hidup di sekitar kawah yang mengandung tanah asam akibat kadar sulfur tinggi di Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

1.2 Permasalahan

Rodriguez dan Redman (2008) menjelaskan tentang proses dinamika evolusioner dalam proses pengambilan tempat pada habitat berbeda yang menghasilkan kemampuan adaptasi jamur endofit pada cekaman habitat yang spesifik. Oleh sebab itu, hal ini dihipotesiskan bahwa simbiosis adaptasi habitat memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh dan bertahan pada cekaman lingkungan yang tinggi (Rodriguez dan Redman 2008), akan tetapi sampai saat ini belum diketahui aspek ekologi jamur endofit pada tanaman Vaccinium varingiaefolium di sekitar kawah Gunung Sinabung serta bagaimana kemampuan jamur endofit beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis yang terdapat pada akar dan daun Vaccinium varingaefolium di sekitar kawah Gunung Sinabung

b. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur endofit pada kondisi in vitro.

1.4 Hipotesis

a. Ada perbedaan keanekaragaman jamur endofit pada akar dan daun Vaccinium varingiaefolium di sekitar kawah Gunung Sinabung


(18)

b. Ada pengaruh pH dan asam sulfat terhadap pertumbuhan jamur endofit pada kondisi in vitro.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi kepada peneliti selanjutnya tentang ekologi jamur endofit pada tumbuhan Vaccinium varingiaefolium di sekitar kawah Gunung Sinabung


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiversitas Jamur Endofit

Jamur endofit merupakan mikroorganisme yang tertinggal dalam jaringan tanaman hidup tanpa menyebabkan pengaruh yang merugikan bagi tanaman tersebut (Bacon dan White, 2000), tetapi mungkin bisa menjadi pathogen selama proses penuaan (Rodriguez dan Redman 2008). Mayoritas endofit berpindah secara horizontal ke inangnya melalui spora dari udara. Sebaliknya, beberapa endofit mungkin juga berpindah secara vertikal ke generasi selanjutnya melalui biji (Hartley dan Gange 2009).

Pencarian mengenai keanekaragaman mikroorganisme merupakan tantangan bagi mikrobiologi modern (Gamboa et al. 2002). Berbeda dengan organisme lainnya, mikroba mencakup semua relung di permukaan bumi (Gunatilaka 2006). Sampai saat ini, diyakini ada sekitar 300.000 spesies tumbuhan yang setidaknya memiliki satu jenis bahkan ratusan jenis strain endofit (Strobel dan Daisy 2003; Huang et al. 2007a).

Secara tradisional, endofit diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi yang kemungkinan jumlahnya berada di bawah perkiraan dari jumlah tipe endofit


(20)

yang sebenarnya, khususnya yang berada di bawah tingkat jenis, misalnya tingkat genotip. Studi mengenai diversitas dan spesifisitas inang endofit berkaitan dengan kepentingan ekologi inang dalam biodiversitas tanaman berkayu telah dilakukan di kepulauan Madrean, endofit diisolasi dari bagian tanaman yang sehat, daun dewasa dari Quercus sp. (Fagaceae), Pinus ponderosa (Pinaceae), Cupressus arizonica (Cupressaceae), dan Platycladus orientalis (Cupressaceae) di dekat Tucson, Arizona, USA.

2.2 Jamur Asidofilik

Kebanyakan jamur hidup pada habitat yang asam sebagai jamur toleran-asam, sedangkan sebagian kecil disebut asidofilik karena memiliki kemampuan tumbuh pada suasana yang asam. Lingkungan asam alami memiliki pH sekitar 3 sampai 4 yang relatif umum di tanah, danau, rawa dan gambut. Komunitas jamur di tanah asam telah dipelajari secara ekstensif. Lingkungan asam yang ekstrim, nilai pH sampai <3, ditemukan pada beberapa bagian bumi baik buatan atau alami. Habitat asam alami dengan pH sekitar 1 sampai 3 utamanya ditemukan pada tanah solfatara dan banyak dipelajari di Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Italia, Esldania dan Selandia baru, sedangkan komunitas pada lingkungan asam buatan manusia seperti tambang minyak, batubara, dan limbah industri telah memperoleh perhatian yang besar dekade ini. Sejumlah besar organisme prokariot, utamanya arkaeobakter, telah dipelajari dengan alasan bioteknologi. Aplikasinya meliputi desulfurisasi batubara, perlakuan limbah industri, dan bioakumulasi logam (Rossi dan Torma, 1983; Rawlings, 1997).

Mekanisme hiperasidofilik seperti pada mantel jamur dengan lingkungannya masih membutuhkan penelitian lanjut. Jamur mungkin umum ditemukan pada lingkungan asam karena pengaturan pH internalnya. Organisme diketahui mengatur pH yang relatif netral dengan memompa proton keluar dari selnya dan menjaga permeabilitas membran rendah proton (Nicolay et al., 1987).


(21)

dengan penuntun identifikasi atau kompilasi itu untuk menduga kemungkinan luas dari tingkat variabilitasnya. Dalam upaya perbaikan kondisi lingkungan pada air buangan pertambangan, diperlukan adanya daftar jamur asidofilik dan jamur toleran asam, terutama di tanah, sebagai acuan (Raven, 1990).

2.3 Vaccinium varingiaefolium

Secara taksonomis, Vaccinium varingiaefolium memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom

Divisio

Kelas :

Ordo :

Family

Subfamily

Tribe

Genus

Spesies : Vaccinum varingiaefolium

Genus

pada pegunungan tropis Asia dan Amerika Tengah dan Selatan, serta sedikit spesies di Afrika dan Madagaskar, 92 spesies terdapat di China (51 jenis endemik). Batasan dariVaccinium sangat tidak jelas. Dari penelitian molekular terbaru, serta didukung oleh ciri morfologi dan anatomi, menunjukkan bahwa genus tersebut mirip seperti spesies yang di China yang memiliki 10 ovarium pseudolokula, yang berkerabat dengan Agapetes (Cheng dan Peter, 2009)

Ciri morfologi

pohon kecil, teresterial dan epifit. Daunnya selalu hijau atau desidous, jarang pseudoverticillate, memiliki petiolus, tepi daun serratus. Bunga influoressensia terminal atau aksilar, racemosa, fasciculata atau soliter. Braktea dan brakteola


(22)

persisten dan caducous, bagian belakang kecil, basal, jarang apikal, tangkai bunga meluas ke arah ujung atau tidak, articulata, jarang bersambung. Jumlah bunga 5, jarang 4, kelopak bunga berlekuk atau bergerigi. Korola urceolate atau tubular, berlekuk atau bergerigi, biasanya di dasar dahan, berlekuk tegak atau recurved, kebanyakan lebih pendek dari tabung, jarang lebih panjang dan petal kelihatan bebas. Stamen jarang berjumlah 4, biasanya mencakup anther dengan 2 taji pada filamentum atau tidak, theca dengan tabung terbuka dengan pori terminal atau celah. Cakram berbentuk anular, ovarium inferior, biasanya 8 atau 10 pseudoloculed dengan sekat palsu, locula dengan banyak ovula, stigma tidak mencolok. Buah dengan beberapa biji globose, biji berbentuk ovoid, kecil, testa keras dan berlendir (Cheng dan Peter, 2009)

Di Pegunungan Dieng, di sekitar kawah biasanya hanya terdapat beberapa jenis tumbuhan yang berhasil bertahan hidup. Vaccinium varingiaefolium menunjukkan toleransinya yang sangat tinggi dengan penampilan habitus yang sangat baik. Beberapa jenis tumbuhan lain seperti Ischaemum, Panicum dan Histiopteris, cukup dominan tetapi dengan penampilan habitus yang lebih buruk, seperti daun menguning kecoklatan, nekrotik atau tepi daunnya mongering (Nasir, 1994). Menurut Nasir (1994), adanya gradien gas belerang dan keasaman habitat memungkinkan terjadinya gradien toleransi dari jenis-jenis tumbuhan dominan penyusun vegetasi di sekitar kawah di Dataran Tinggi Dieng. Nasir et al. (1994) menyatakan bahwa laju deposisi kering tergantung pada konsentrasi SO2 dan H2S, turbulensi atmosfer dan afinitas permukaan. Deposisi basah dipengaruhi oleh curah hujan, kelembaban tanah maupun udara. Gas belerang akan terdeposisi menjadi asam sulfat dan jatuh ke tanah sebagai hujan asam. Di tanah, asam sulfat akan terionisasi menjadi ion H+ dan SO42-, sehingga menyebabkan tanah menjadi lebih asam.


(23)

Tanaman biasanya berhadapan dengan faktor lingkungan yang berbeda berdasarkan keberadaannya pada kondisi geografis khusus (Arnold 2007; Higgins et al. 2007). Kondisi lingkungan mungkin membentuk keanekaragaman endofit yang hidup di dalam inangnya (Vega et al. 2010). Derajat variabilitas yang pasti dari komposisi endofit dari individu tanaman inang berdasarkan tingkat takson yang diberikan biasanya diamati berdasarkan pengaruh terhadap kondisi fisiologis inangnya, bahkan dalam daerah pengamatan yang sama sekalipun (Sieber dan Hugentobler 1987; Ghimire et al. 2011; González dan Tello 2011). Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa endofit mungkin meningkatkan keberadaan, keanekaragaman, luasnya inang sebagai akibat dari ketinggian (Arnold 2007; Arnold dan Lutzoni 2007). Dalam studi tersebut, sebanyak 1.202 strain jamur endofit berhasil diisolasi dari tumbuhan inang dari taksa yang berbeda, diambil dari 6 lokasi berbeda, yang berada di kawasan hutan dataran rendah (Barro Colorado Isldan, Panama) sampai ke Northern Boreal Forest (Schefferville, Québec, Canada). Keanekaragaman endofit menurun secara linear dari daerah tropis sampai ke northern boreal forest. Komunitas endofit dari ketinggian yang lebih tinggi dicirikan dengan jumlah yang sedikit dan hanya mewakili beberapa kelas dari Ascomicotina. Endofit pada daerah tropis didominasi oleh sedikit kelas tetapi dengan jumlah jenis yang sangat besar (Arnold dan Lutzoni 2007).

Perbedaan metode isolasi, mencakup pemilihan media pertumbuhan, ukuran potongan jaringan tanaman inang, waktu sejak pengambilan jaringan, mungkin memberikan pengaruh besar dari frekwensi infeksi endofit, demikian juga keanekaragaman endofit dan komposisi jenisnya (Arnold 2007; Sun et al. 2011). Hal tersebut ditunjukkan dari jumlah morfospesies jamur endofit yang diambil dari bagian jaringan daun meningkat secara signifikan ketika sampel daun dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, dibdaningkan dengan isolasi dari bagian yang lebih besar. Untuk memperkirakan nilai keanekaragaman jamur endofit yang realistis, biasanya disarankan untuk mengurangi ukuran dan meningkatkan jumlah potongan daun (Gamboa et al. 2002).


(24)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Deskripsi Area

Gunung Sinabung terdapat di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Area pengambilan sampel berada di sekitar kawah Gunung Sinabung pada ketinggian 2400 mdpl (Lampiran 2). Vegetasi yang umum ditemukan adalah lumut, paku-pakuan, serta beberapa tanaman tingkat tinggi berperawakan kecil dan berdaun sempit seperti dari famili Melastomataceae dan Ericaceae

3.2Penentuan Area Sampling dan Pengambilan Sampel Pohon

Semua sampel diambil pada bulan Maret 2011. Pemilihan plot sampel dilakukan sesuai dengan Hoff et al. (2004) yang dimodifikasi. Area pengambilan sampel ditentukan berdasarkan jarak/radius dari kaldera. Setiap lokasi dibagi berdasarkan jarak/radius masing-masing, yaitu 20 meter dari titik pusat kaldera. Satu tumbuhan sampel dari lokasi tersebut digunakan untuk menentukan plot investigasi (ditentukan posisinya dengan GPS). Tumbuhan sampel terdekat dengan kaldera ditetapkan sebagai jarak/radius 0-20 meter. Sampel tumbuhan secara acak diambil pada jarak/radius tersebut sebanyak 4 tumbuhan pada bagian


(25)

akar dan daunnya. Sampel akar dan daun dimasukkan ke dalam plastik klep dan diberi label penomoran. Selanjutnya, plastik tersebut dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium untuk diisolasi jamur endofitnya. Prosedur yang sama dilakukan pada area dengan jarak/radius 20-40 meter, 40-60 meter, 60-80 meter, dan 60-80-100 meter dari pusat kawah. Lokasi pengambilan sampel dipetakan dengan GPS Garmin.

3.3 Pengambilan sampel dan pengukuran faktor fisik-kimia lingkungan Sampel akar diambil dengan menggali bagian akar dari tanaman sampel dengan menggunakan borer. Beberapa bagian ujung akar lateral dipotong sepanjang 5 cm dari ujung. Selanjutnya sampel tersebut akan disimpan dalam plastik dan disimpan kotak pendingin untuk menjaga kondisi sampel tersebut, sedangkan sampel berupa ranting dan daun diambil secara bersamaan pada bagian tanaman.

Pengukuran faktor fisik-kimia lingkungan dilakukan pada masing-masing area plot pengambilan sampel. Adapun faktor fisik-kimia lingkungan yang diukur adalah pH tanah, suhu udara dan tanah, kelembaban udara, serta ketinggian lokasi.

3.4 Identifikasi Jamur Endofit

Sampel berupa ranting dan akar awalnya dibelah menjadi bagian yang lebih kecil (panjang 2,0 mm) dan disterilisasi permukaan dengan larutan Clorox (perbandingan 2 clorox : 1 air) diikuti dengan pencucian dengan air steril masing-masing 60 detik. Hal ini akan mengurangi organisme yang mengkontaminasi permukaan yang ada pada bagian luar akar. Setelah sterilisasi permukaan, semua potongan akar diletakkan ke dalam petri 100 x 20 mm yang mengdanung media selektif PDA dan 100 mg Streptomicin sulfat per liter. Petri diinkubasi di ruang gelap pada suhu 27 – 300 C selama 7 hari (Lampiran 1).


(26)

Tujuh hari setelah isolasi, kultur murni pada cawan petri dikelompokkan ke dalam morfotaksa masing-masing berdasarkan bentuk koloni, tinggi koloni serta warna hifa aerial, warna dasar, pertumbuhan rata-rata, tepi koloni, tekstur permukaan dan dalamnya pertumbuhan ke dalam media (Arnold, 2002). Selanjutnya fungi diidentifikasi dengan mikroskop medan terang dan mikroskop stereo. Buku identifikasi jamur seperti Brown dan Smith (1975), Amos Barnet (1966), Kendrick (1994), Watanabe (2011) digunakan untuk mendeterminasi keberadaan jamur endofit yang ditdanai berdasarkan warna koloni miseliumnya dan struktur serta ukuran konidianya.

3.5 Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan

Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur endofit adalah keasaman (pH). Di lingkungan alaminya, keasaman sangat dipengaruhi oleh keberadaan H2SO4. Sehingga, dalam penelitian ini pH media divariasikan dengan menggunakan H2SO4 0,5M. Setelah ditambahkan H2SO4, pH media diukur dengan menggunakan indikator universal atau pH meter. Adapun perlakuan pH media tersebut adalah 3, 4, 5, dan 6. Sebagai kontrol digunakan media tanpa penambahan H2SO4 (pH netral). Selanjutnya, isolat jamur endofit yang telah diidentifikasi, ditumbuhkan dalam media yang memiliki variasi pH berbeda tersebut. Setelah umur biakan 7 hari, diukur diameter pertumbuhan jamur tersebut.

3.6 Analisis Keanekaragaman Jamur Endofit

Penghitungan keberadaan jamur endofit dilakukan dengan menentukan derajat kolonisasi.

Jumlah segmen yang terinfeksi ≥ 1 isolat Derajat kolonisasi = ______________________________________

Jumlah total segmen pada masing-masing bagian

Jenis isolat pada masing-masing jarak dengan sumber belerang dijumlahkan dan dipisahkan berdasarkan jarak untuk melihat hubungan antara


(27)

jarak dengan sumber belerang dengan jenis jamur endofit. Uji One-way ANOVA digunakan untuk mendeterminasi apakah pertumbuhan rata-rata setiap genus berbeda (p ≤ 0.05) pada masing -masing jarak dengan sumber belerang (Zar, 1999).

Keanekaragaman dari kultur endofit diukur dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Weiner (H'). Keseragaman komunitas endofit diukur dengan menggunakan Koefisien Jaccard (JI) (Arnold et al , 2001). Nilai keseragaman dibdaningkan dengan uji nonparametrik Wilcoxon (Sall dan Lehman,1996).

• Shannon indeks (H’) = -Σj (pj ln pj), j =1……… Np, Di mana: Ni : Jumlah total individu

Np: Jumlah jenis yang teridentifikasi dari antara isolat pj : Proporsi individu di dalam jenis j

• JI = a/ (a+b+c)

Di mana: a : jumlah spesies yang terdapat pada ke dua sampel b : jumlah spesies yang terdapat pada sampel pertama c : jumlah spesies yang terdapat pada sampel ke dua Nilai JI berkisar antara 0 (tidak ada kesamaan) sampai 1 (kesamaan mutlak).

3.7 Analisis Pengaruh pH dan konsentrasi H2SO4 terhadap pertumbuhan

jamur endofit

Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur endofit dilakukan uji ANOVA dengan signifikansi p < 0,05. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.


(28)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Jamur Endofit

Hasil isolasi yang diperoleh dari tanaman Vaccinium varingiaefolium adalah sebanyak 11 taksa berbeda (Lampiran 1). Dari bagian akar, diperoleh sebanyak 10 taksa jamur endofit. Sedangkan pada bagian daun, diperoleh sebanyak 3 taksa jamur endofit. Diantara 11 taksa tersebut, terdapat dua taksa yang tidak berhasil diidentifikasi sampai pada tingkat genera atau jenis. Taksa tersebut adalah yeast dan sp1.

Dari semua sampel pada bagian akar, ada 8 taksa yang hanya ditemukan pada bagian tersebut. Sebanyak 2 taksa yaitu Dematophora sp1 dan Aspergillus sp2 ditemukan juga pada bagian daun tanaman Vaccinium varingiaefolium, sedangkan dari 3 taksa pada bagian daun tanaman Vaccinium varingiaefolium, sebanyak 1 sampel yaitu sp1 hanya ditemukan pada bagian daun. Dua taksa lainnya yaitu Dematophora sp1 dan Aspergillus sp2 juga ditemukan pada bagian akar tanaman. Yeast merupakan satu-satunya taksa yang tidak menunjukkan ciri berupa jamur berfilamen, melainkan memperlihatkan ciri yeast atau ragi. Identifikasi jamur endofit tersebut didasarkan pada ciri makroskopik koloni dan


(29)

ciri mikroskopik berupa struktur hifa, konidiofor, serta konidia. Berikut ini karakteristik isolat jamur endofit yang diisolasi dari akar Vaccinium varingiaefolium


(30)

Sebagai bahan perbandingan, penelitian Khan et al. (2007) berhasil mengisolasi 8 spesies dari 118 bagian sampel daun dan 355 bagian sampel batang dari 9 individu tanaman Calotropis procera. Isolat tersebut meliputi Candida albicans, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus sp., Penicillium sublateritium, Phoma chrysanthemicola, Phoma hedericola, Phoma sp. Dari delapan spesies tersebut, ditemukan juga satu spesies yeast (Kelas Ascomycetes) yaitu Candida albicans, sedangkan 7 isolat lainnya berasal dari Kelas Deuteromycetes, karena hanya menghasilkan miselia steril.

1. Dematophora sp1.

Miselium dalam kultur berwarna dasar putih dan pink, warna pink memudar selama proses subkultur. Hifa mengalami pembengkakan pada bagian ujungnya. Sporulasi terjadi pada bagian yang berpigmen pada kultur tua. Konidiofor tegak, berwarna cokelat, bercabang satu atau dua, bantalan konidia terdiri ari 2 baris pada bagian ujung yang menghasilkan spora (fertil). Konidia simpodulosporus, hialin, elips memanjang, bersel 1, mudah terlepas dari konidiofor. Dimensi: Konidiofor dengan tinggi 500µm, bagian fertil 30-65 x 7-8 µm. konidia 3,5-5,5 x 1,6-2,3 µm, sklerotium berdiameter 50 µm. Hifa dengan bagian ujung membengkak memiliki lebar 7,5-10 µm (Gambar 1)


(31)

2. Dematophora sp2.

Miselium dalam kultur berwarna dasar putih dan pink, warna pink memudar selama proses subkultur. Hifa tidak mengalami pembengkakan pada bagian ujungnya. Sporulasi terjadi pada bagian yang berpigmen pada kultur tua. Konidiofor tegak, berwarna cokelat, bercabang satu atau dua, bantalan konidia terdiri ari 2 baris pada bagian ujung yang fertil. Konidia simpodulosporus, hialin, elips memanjang, bersel 1, mudah terlepas dari konidiofor. Dimensi: Konidiofor dengan tinggi 500µm, bagian fertil 30-65 x 7-8 µm. konidia 3,5-5,5 x 1,6-2,3 µm. sklerotium berdiameter 50 µm. hifa dengan bagian ujung membengkak memiliki lebar 7,5-10 µm (Gambar 2).

Gambar 2. Foto jamur taksa Dematophora sp2.: (a) koloni (b) hifa

3. Aspergillus sp1.

Konidiofor cokelat pucat, tegak, sederhana, halus pada bagian permukaannya, bantalan massa spora bulat berwarna cokelat abu-abu yang tersusun atas konidia dengan berbentuk catenulate yang terbentuk dari uniseriate phialid yang berkembang pada vesicle berwarna cokelat pucat. Konidia phialosporous, cokelat kekuningan, bulat atau elips, dan permukaannya kasar.


(32)

Dimensi: Ukuran konidiofor 365x5µm, diameter vesikel 12,5x20µm, phialid 6-6,5x2 µm, diameter konidia 3,6-5,1 µm (Gambar 3).

Gambar 3. Foto jamur taksa Aspergillus sp1. : (a) hifa (b) koloni

4. Aspergillus sp2.

Konidiofor tegak, sederhana, permukaan kasar, dengan sel kaki pada bagian basal, bagian ujung menggembung menghasilkan vesikel bulat, bantalan konidia melingkar menghasilkan konidia catenulate yang muncul pada phialid uniseriate atau biseriate. Kepala konidia cokelat kekuningan, menyebar, berbentuk kolumnar. Konidia phialosporous, pucat, bulat dan echinulate Dimensi: Ukuran konidiofor lebih dari 400x10,5-13,5 µm, diameter vesikel 24-40 µm, phialid 6,2-16,3 x 3,5-4,3 µm, diameter kepala konidia 160-250 µm, konidia 3,7-5,5 µm (Gambar 4).


(33)

Gambar 4. Foto jamur taksa Aspergillus sp2. : (a) hifa (b) koloni

5. Aspergillus sp3.

Koloni berbulu, berwarna cokelat dengan filamen berwarna putih. Konidiofor tegak, sederhana, permukaan kasar, dengan sel kaki pada bagian basal, bagian ujung menggembung menghasilkan vesikel speris, bantalan konidia melingkar menghasilkan konidia catenulate yang muncul pada phialid uniseriate atau biseriate. Sterigmata primer dan sekunder. Kepala konidia cokelat kekuningan, menyebar, berbentuk kolumnar. Konidia phialosporous, pucat, bulat dan echinulate (Gambar 5).


(34)

Gambar 5. Foto jamur taksa Aspergillus sp3. : (a) hifa (b) koloni

6. Aspergillus sp4.

Koloni berwarna putih-cokelat dengan permukaan kasar. Massa spora berwarna putih dan menyebar tidak merata. Konidiofor tegak, sederhana, permukaan kasar, dengan sel kaki pada bagian basal, bagian ujung menggembung menghasilkan vesikel speris, bantalan konidia melingkar menghasilkan konidia catenulate yang muncul pada phialid uniseriate atau biseriate. Sterigmata primer dan sekunder. Kepala konidia cokelat kekuningan, menyebar, berbentuk kolumnar. Konidia phialosporous, pucat, bulat dan echinulate (Gambar 6).


(35)

Gambar 6. Foto jamur taksa Aspergillus sp4. : (a) hifa (b) koloni

7. Penicillium sp1.

Koloni berwarna hijau gelap, permukaan koloni kasar, tepi tidak rata. Konidiofor hialin, tegak, bercabang penicillate pada ujung dengan 2-3 metula, phialid verticillate pada metula masing-masing, agak menyatu, padat, kepala konidia terdiri dari konidia catenulate pada tiap phialid. Phialid meruncing bertahap atau silinder dengan ujung meruncing. Konidia phialosporus, hialin, berwarna cokelat, bentuk elips atau bulat telur, bersel 1, kasar dan echinulate pada permukaan. Dimensi: Panjang konidiofor 120-200 µm, percabangan utama 10-12,5x 2,5 µm, phialid 10-12,5 µm, konidia 2,7-3,5x2,2-2,3 µm (Gambar 7).


(36)

Gambar 7. Foto jamur taksa Penicillium sp1. : (a) hifa (b) koloni

8. Penicillium sp2.

Konidiofor hialin, tegak, bercabang penicillate pada ujung dengan 2-3 metula, phialid verticillate pada metula masing-masing, agak menyatu, padat, kepala konidia terdiri dari konidia catenulate pada tiap phialid. Phialid meruncing bertahap atau silinder dengan ujung meruncing. Konidia phialosporus, hialin, berwarna cokelat, bentuk elips atau bulat telur, bersel 1, kasar dan echinulate pada permukaan. Dimensi: Panjang konidiofor 120-200 µm, percabangan utama 10-12,5x 2,5 µm, phialid 10-12,5 µm, konidia 2,7-3,5x2,2-2,3 µm (Gambar 8).


(37)

Gambar 8. Foto hifa jamur taksa Penicillium sp2.

9. Yeast

Permukaan koloni berwarna putih, tekstur halus mirip koloni bakteri. Pertumbuhan diameter koloni sangat lambat dalam media PDA yang dipakai sebagai media pertumbuhan. Permukaan bawah berwarna cokelat kemerahan. Pada permukaaan koloni ditemukan adanya alur membujur pada permukaan koloni. Pengamatan mikroskopik menunjukkan bentuk sel mirip sel ragi pada umumnya (Gambar 9).


(38)

Gambar 9. Foto penampang koloni jamur taksa Yeast. : (a) koloni atas, (b) koloni bawah

10. Verticiliastrum sp.

Koloni berwarna hijau gelap, tepi berwarna putih. Permukaan koloni kasar, konidiofor tegak, halus, bercabang tiga atau dua. Percabangan yang fertile memiliki fialid yang membentuk konidia pada bagian ujung. Konidia berbentuk globose, hialin. Ukuran diameter konidia 3-4 µm (Gambar 10).


(39)

11. Sp1.

Koloni kering berwarna kehijauan. Tepi koloni bergerigi dan tidak rata. Koloni dalam media PDA tipis, pertumbuhan lambat. Hifa bersekat, konidiofor tegak, bercabang dua. Bentuk konidia bulat sampai oval (Gambar 11).

Gambar 11. Foto jamur taksa Sp1.: (a) hifa (b) koloni

4.2 Derajat Kolonisasi Jamur Endofit

Berdasarkan hasil isolasi yang dilakukan pada 45 sampel akar Vaccinium varingiaefolium diperoleh sebanyak 27 isolat jamur endofit, sedangkan jumlah isolat dari 45 sampel daun Vaccinium varingiaefolium adalah 10 isolat. Sehingga diperoleh sebanyak 37 isolat dari 90 sampel bagian tanaman Vaccinium varingiaefolium.

Jumlah taksa pada bagian akar tanaman Vaccinium varingiaefolium sebanyak 10 taksa, sedangkan pada bagian daun ditemukan sebanyak 3 taksa berbeda. Komunitas pada bagian akar tanaman Vaccinium varingiaefolium didominasi oleh Aspergillus sp1. (20%), diikuti oleh Aspergillus sp3. (15,56 %) dan Penicillium sp1. (6,67 %). Pada bagian daun, komunitas endofit didominasi oleh Aspergillus sp2. (17,78 %), diikuti oleh Dematophora sp1. dan sp1.


(40)

masing-masing 2,22%. Derajat kolonisasi jamur endofit pada tanaman Vaccinium varingiaefolium dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Derajat kolonisasi jamur endofit pada tanaman Vaccinium varingiaefolium

Persen kolonisasi antara tiap radius pengambilan sampel akar dari pusat kawah memperlihatkan adanya perbedaan nyata (p<0,05). Perbedaan nyata terlihat antara R2 dengan R3(dengan perbedaan 10). Sedangkan pada sampel daun, persen kolonisasi tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf signifikansi 0,05.

Jumlah taksa yang diperoleh dari hasil isolasi ini dibandingkan dengan beberapa jenis tanaman yang telah diisolasi oleh beberapa peneliti sebelumnya. Kumar and Hyde (2004) mengisolasi 343 isolat dari 500 sampel Tripterygium wilfordii, dan dikelompokkan ke dalam 60 taksa berbeda berdasarkan karakteristik morfologinya. Sedangkan Bharathidasan and Panneerselvam (2011) berhasil mengisolasi 10 taksa berbeda dari 220 sampel tumbuhan Avicenia marina. Khan et al. (2010) mengisolasi jamur endofit dari Withania somnifera. Hasilnya diperoleh sebanyak 20 spesies dari 12 genera berbeda dari 643 segmen sampel tumbuhan tersebut. Jumlah isolat yang sedikit tersebut kemungkinan berhubungan

0 5 10 15 20 25


(41)

dengan sedikitnya jumlah, umur, ukuran sampel tumbuhan yang dianalisis. Arnold et al. (2003) menyimpulkan dalam hasil penelitiannya bahwa kekayaan jenis isolat dapat meningkat secara signifikan sesuai dengan umur bagian tanaman sampel, yaitu 4.48 ± 0.46 to 6.23 ± 0.45 dan 8.69 ± 0.31 untuk masing-masing bagian

muda, dewasa dan tua (χ2

= 37.35, P < 0.0001). Meskipun faktor biotik dan abiotik berbeda pada masing-masing tempat isolasi, kekayaan jenis endofit yang diperoleh tidak berbeda secara nyata pada tiap tempat isolasi yang berbeda tersebut (F4,10 = 2.34, P = 0.1256).

4.3 Keanekaragaman Jamur Endofit

Ekologi komunitas jamur endofit pada tanaman Vaccinium varingiaefolium dapat dilihat dari beberapa aspek seperti kerapatan, frekwensi, indeks keanekaragaman, indeks jaccard. Tabel 4.1 berikut ini menunjukkan tentang aspek ekologi komunitas jamur endofit pada Vaccinium varingiaefolium bagian akar:

Tabel 4.1 Keanekaragaman jamur endofit bagian akar Vaccinium varingiaefolium

Taksa K KR(%) F FR(%) INP H'

Dematophora sp1 0.11 3.70 0.07 7.14 0.18 1.77389 Aspergillus sp1 1.00 33.33 0.27 28.57 1.27

Aspergillus sp2 0.22 7.41 0.13 14.29 0.36 Aspergillus sp3 0.89 29.63 0.13 14.29 1.02 Aspergillus sp4 0.11 3.70 0.07 7.14 0.18 Dematophora sp2 0.11 3.70 0.07 7.14 0.18 Peniciliium sp1 0.33 11.11 0.07 7.14 0.40 Verticiliastrum 0.11 3.70 0.07 7.14 0.18

Yeast 0.11 3.70 0.07 7.14 0.18


(42)

Indeks keanekaragaman jamur endofit pada akar tanaman Vaccinium varingiaefolium dapat dilihat pada Tabel 4.1. Indeks Shannon-Weiner (H’) sebesar 1,77389. Kerapatan total komunitas jamur endofit pada bagian akar adalah 3,00 dan frekwensi total 0,93. KR tertinggi diperoleh dari taksa Aspergillus sp1. (33,33 %) dan Aspergillus sp2. (29,63 %). FR tertinggi diperoleh dari taksa Aspergillus sp1. (28,57 %), Aspergillus sp2. dan Aspergillus sp3. masing-masing 14,29 %. INP tertinggi ditemukan pada taksa Aspergillus sp1. (1,27) dan Aspergillus sp3. (1,02). INP tertinggi ditemukan pada taksa Aspergillus sp1. (1,27) dan diikuti oleh Aspergillus sp3. (1,02).

Indeks Shannon-Weiner dari komunitas jamur endofit Vaccinium varingiaefolium pada penelitian ini cukup rendah. Sebagai bahan perbandingan indeks Shannon Weiner dari komunitas jamur endofit tumbuhan Tripterygium wilfordii yang diisolasi oleh Kumar and Hyde (2004) adalah 2,99 yang kemungkinan disebabkan oleh jumlah yang lebih besar dari jenis yang jarang dan jumlah individu yang sedikit.

Tabel 4.1 berikut ini menunjukkan tentang aspek ekologi komunitas jamur endofit pada Vaccinium varingiaefolium bagian daun:

Tabel 4.2 Keanekaragaman jamur endofit bagian daun

Taksa K KR(%) F FR(%) INP H'

Dematophora sp1 0.11 9.09 0.07 14.29 0.18 0.7595 Aspergillus sp2 0.89 72.73 0.27 57.15 1.16

Sp1 0.22 18.18 0.13 28.58 0.36

Total 1.22 0.47

Indeks keanekaragaman jamur endofit pada daun tanaman Vaccinium varingiaefolium dapat dilihat pada tabel 4.2. Indeks Shannon-Weiner (H’) sebesar 0,7595. Kerapatan total komunitas jamur endofit pada bagian akar adalah 1,22 dan frekwensi total 0,47. KR tertinggi diperoleh dari taksa Aspergillus sp2. (72,73 %) dan Penicillium sp2 (18,18 %). FR tertinggi adalah pada taksa Aspergillus sp2.


(43)

(57, 15 %), Penicillium sp2. (28,58%). INP tertinggi ditemukan pada taksa Aspergillus sp2. (1,16) dan INP terendah Dematophora sp1. (0,18).

Indeks Shannon Weiner dari komunitas jamur endofit bagian daun Vaccinium varingiaefolium lebih rendah jika dibandingkan dengan bagian akar. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan proses penyebaran jamur endofit yang terjadi secara induktif, jamur endofit tersebar secara bebas melalui udara ataupun air. Keberadaan spora jamur di tanah kemungkinan lebih tinggi jika dibandingkan dengan udara. Selanjutnya jalur masuknya jamur endofit ke dalam tubuh tanaman lebih memungkinkan jika melalui bagian akar.

4. 4 Jaccard Index

Indeks jaccard digunakan untuk melihat kesamaan jenis atau taksa pada masing-masing radius sampel dari pusat kawah Gunung Sinabung. Perbandingan Indeks Jaccard pada masing-masing radius (R) dapat dilihat pada tabel 4.3, sedangkan pada bagian daun dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.3 Perbandingan radius pada akar tanaman Vaccinium varingiaefolium dengan Indeks Jaccard

R1 R2 R3 R4 R5

R1 1

R2 0.22 1

R3 0 0 1

R4 0.27 0.18 0 1


(44)

Perbandingan Indeks Jaccard pada bagian akar tanaman Vaccinium varingiaefolium berdasarkan radius berbeda dapat dilihat pada tabel 4.3 Indeks tertinggi ditemukan pada R2 dan R5 yaitu 0,47. Diikuti oleh R4 dan R5 yaitu 0,40. Sedangkan indeks terendah ditemukan antara R1, R2, R4, R5 dengan R3 yaitu 0,00. Hal ini memperlihatkan bahwa kesamaan komunitas pada masing-masing radius tersebut cukup rendah.

Tabel 4.4 Perbandingan radius pada daun tanaman Vaccinium varingiaefolium dengan Indeks Jaccard

R1 R2 R3 R4 R5

R1 1

R2 0.45 1

R3 0 0 1

R4 0.43 0.5 0 1

R5 0.29 0.42 0 0.38 1

Indeks Jaccard pada bagian daun tanaman Vaccinium varingiaefolium berdasarkan radius berbeda dapat dilihat pada tabel 4.4 Indeks tertinggi ditemukan antara R2 dengan R4 yaitu 0,50 dan R1 dengan R2 yaitu 0,45. Sedangkan nilai terendah ditemukan pada R1, R2, R4, R5 dengan R3 yaitu 0,00. Hal ini memperlihatkan bahwa kesamaan komunitas pada masing-masing radius tersebut cukup rendah.

4.5 Faktor Fisik- Kimia Lingkungan

Faktor fisik kimia lingkungan habitat tanaman Vaccinium varingiaefolium diukur pada saat bersamaan dengan proses pengambilan sampel tanaman yaitu pukul 13.00 dampai dengan 15.00 WIB.


(45)

Hasil pengukuran faktor lingkungan tersebut ditampilkan dalam tabel 4.5 berikut ini:

Tabel 4.5 Faktor fisik kimia lingkungan pada tanaman Vaccinium varingiaefolium di Kawah Gunung Sinabung

Faktor

Radius

1 2 3 4 5

pH tanah 4 4.9 5.5 6.3 5.6

Suhu udara(°c) 21 21 22 22 21

Kelembaban(%) 70 70 75 75 70

C-organik (%) 16.03 16.03 16.03 16.03 16.03 N-total (%) 0.52 0.52 0.52 0.52 0.52 P-bray 2 (%) 37.78 37.78 37.78 37.78 37.78 K-tukar (me/100) 0.134 0.134 0.134 0.134 0.134 Na-tukar (me/100) 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 Ca-tukar (me/100) 2.022 2.022 2.022 2.022 2.022

Mg-tukar (me/10) 0.355 0.355 0.355 0.355 0.355

Dari tabel 4.5 dapat kita lihat bahwa faktor fisik dan kimia pada area penelitian relative memiliki kesamaan (tidak berbeda secara nyata). Baik dilihat dari suhu, kelembaban, sampai pada komposisi nutrisi tanah tempat sampel tanaman Vaccinium varingiaefolium tumbuh. Dilihat dari faktor klimatik seperti suhu dan kelembaban udara menunjukkan nilai yang relatif sama. Suhu udara berkisar antara 21-22 0 C, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 70-75 %.

Faktor edafik seperti pH tanah, memperlihatkan adanya peningkatan nilai pH seiring dengan meningkatnya jarak dari sumber belerang (kawah Gunung Sinabung), terkecuali pada R5 dimana pH tanah sedikit menurun dari R4. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya konsentrasi gas belerang di sekitar kawah yang akhirnya terdeposisi ke dalam tanah, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan nilai pH. Keberadaan nutrisi tanah sangat mempengaruhi keanekaragaman mikroorganisme tanah. Dari tabel dapat dilihat bahwa kadar nitrogen total tanah yaitu 0,52 %.


(46)

4.6 Pertumbuhan In Vitro Jamur Endofit

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan jamur endofit pada Vaccinium varingaefolium bias meliputi faktor iklim (klimatik) seperti suhu, kelembaban udara. Faktor lainnya berupa faktor edafik seperti pH tanah dan kandungan nutrisinya.

Gambar 13. Pertumbuhan In Vitro Jamur Endofit

Berdasarkan uji kesamaan varian diperoleh nilai sign.0,891>0,05 yang berarti keempat pH pertumbuhan tidak berbeda secara nyata (identik). Sedangkan dengan uji ANOVA diperoleh nilai p 0,891>0,05 yang berarti diameter pertumbuhan koloni jamur endofit pada masing-masing pH tidak berbeda (identik). Pola pertumbuhan jamur endofit pada variasi pH tersebut menunjukkan tidak ada pola berbeda. Dari hasil juga diperoleh bahwa ada dua isolat yang tidak mengalami pertambahan diameter pertumbuhan pada pH 3 yaitu Penicillium sp1 dan penicillium sp2., sedangkan Dematophora sp2 tidak memperlihatkan pertambahan diameter pertumbuhan pada pH 6. Hal kemungkinan erat kaitannya dengan toleransi pertumbuhan jamur tersebut pada pH tertentu.

0 5 10 15 20 25 30 35


(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Diperoleh sebanyak 11 taksa jamur endofit dari Vaccinium varingiaefolium, 10 taksa ditemukan pada bagian akar dan 3 taksa ditemukan pada bagian daun. b. Komunitas pada bagian akar tanaman Vaccinium varingiaefolium didominasi oleh Aspergillus sp1. (20%), diikuti oleh Aspergillus sp3. (15,56 %) dan penicillium sp1. (6,67 %). Sedangkan pada bagian daun, komunitas endofit didominasi oleh Aspergillus sp2. (17,78 %), diikuti oleh Dematophora sp1. dan sp1. masing-masing 2,22 %.

c. Kerapatan total komunitas jamur endofit pada bagian akar adalah 3,00 dan frekwensi total 0,93 sedangkan kerapatan total komunitas jamur endofit pada bagian akar adalah 1,22 dan frekwensi total 0,47.

d. Indeks Shannon-Weiner (H’) pada bagian akar sebesar 1,77389 sedangkan pada bagian daun sebesar 0,7595

5.2 Saran

a. Sebaiknya penelitian komunitas jamur endofit dilakukan dengan memperbanyak jumlah ulangan, sehingga diharapkan jumlah isolate yang diperoleh juga semakin besar.

b. Sebaiknya isolasi jamur endofit dilakukan pada bagian lain dari tanaman seperti batang, bunga dan biji.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, G. M., 1921. Studies in the physiology of the fungisulfur nutrition, the use of thiosulphate as influenced by hydrogen ion concentration. Ann missouri Bot Garden 8: 237–248.

Arnold, AE. 2002. Neotropical fungal endophytes: diversity dan ecology [Doctoral dissertation]. Tucson: University of Arizona. 337 p.

Arnold AE, Lutzoni F. 2007. Diversity dan host range of foliar fungal endophytes: are tropical leaves biodiversity hotspots? Ecology 88:541–549

Arnold AE, Maynard Z, Gilbert GS, Coley PD, Kursar TA. 2001. Fungal endophytes in dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance dan diversity. Mycol Res 105:1502–1507

Cheng F.R, Peter F.S. 2009. Vaccinium. Flora of China Vol. 14 Page 476. Published by Science Press (Beijing) dan Missouri Botanical Garden Press.

Gamboa, MA, Laureano S, Bayman P. 2002. Measuring diversity of endophytic fungi in leaf fragments: does size matter? Mycopathologia 156:41–45

Ghimire SR, Charlton ND, Bell JD, Krishnamurthy YL, Craven KD .2011. Biodiversity of fungal endophyte communities inhabiting switchgrass (Panicum virgatum L.) growing in the native tallgrass prairie of northern Oklahoma. Fungal Divers 47:19–27

González V, Tello ML. 2011. The endophytic mycota associated with Vitis vinifera in central Spain. Fungal Divers 47:29–42

Gunatilaka, AAL. 2006. Natural products from plant-associated microorganisms: distribution, structural diversity, bioactivity, dan implication of their occurrence. J Nat Prod 69:509–526

Higgins KL, Arnold AE, Miadlikowska J, Sarvate SD, Lutzoni F. 2007. Phylogenetic relationships, host affinity, dan geographic structure of boreal dan arctic endophytes from three major plant lineages. Mol Phylogenet Evol 42:543–555 Huang W-Y, Cai Y-Z, Hyde KD, Corke H, Sun M. 2007.Endophytic fungi from Nerium

oledaner L (Apocynaceae): main constituents dan antioxidant activity. World J Microbiol Biotechnol 23:1253–1263

Joffe, J. S., 1922. Preliminary studies on the isolation of sulfur bacteria from sulfur floats-soil composts. Soil Sci. 13: 161–172. Abbott, E. J., 1923. The occurrence dan action of fungi in soils. Soil Sci 16: 207–216.


(49)

Khan, R., Choudary MI, Khan SA, Ahmad A. 2007. Biodiversity of Endophytic Fungi Isolated From Calotopis procera (AIT.) R. BR. University of Karachi. 75270 Pakistan

Lackey, J. B., 1938. The flora dan fauna of surface waters polluted by acid mine drainage. Publ Health Rept. 53: 1499–1507.

Nicolay, K., Veenhuis M, Douma A. C dan Harder W, 1987. A 31P NMR study of the internal pH of yeast peroxisomes. Arch Mikrobiol. 147: 37–41.

Nixdorf, B., K. Wollmann dan R. Deneke, 1998. Ecological potentials for planktonic development dan food web interactions in extremely acidic mining lakes in Lusatia, Chapter 8. In Geller, W., H. Klapper dan W. Salomons (eds), Acidic Mining Lakes. Springer, New York, 147–167.

Ramsey, A.C. 2005. Ecology of fungal endophytes in Douglas-fir dan ponderosa pine roots in eastern Washington. University of Washington

Rao, S. S. (ed.), 1989. Acid Stress dan Aquatic Microbial Interactions. CRC Press, Boca Raton (FL): 176 pp.

Raven, J. A., 1990. Sensing pH? Plant Cell Environ 13: 721–729.

Rawlings, D. E. (ed.), 1997. Biomining: Theory, Microbes dan Industrial Processes. Springer-Verlag, New York: 302 pp

Rossi, G. dan A. E. Torma (eds), 1983. Recent Progress in Biohydrometallurgy. Ass. Mineraria Sarda, Iglesias (Italy): 752 pp.

Sall J, Lehman A. 1996. JMP Start Statistics. Cary, NC: SAS Institute.

Sieber T, Hugentobler C. 1987. Endophytic fungi in leaves dan twigs of healthy dan diseased beech trees (Fagus sylvatica L.). Eur J For Pathol 17:411–425

Strobel G, Ford E, Worapong J, Harper JK, Arif AM, Grant DM, Fung PCW, Chau RMW. 2002. Isopestacin, an isobenzofuranone from Pestalotiopsis microspora, possessing antifungal dan antioxidant activities. Phytochemistry 60:179–183

Sun X, Guo L-D, Hyde KD. 2011. Community composition of endophytic fungi in Acer truncatum dan their role in decomposition. Fungal Divers 47:85–95

Vega FE, Simpkins A, Aime MC, Posada F, Peterson SW, Rehner SA, Infante F, Castillo A, Arnold AE. 2010. Fungal endophyte diversity in coffee plants from Colombia, Hawai’i, Mexico dan Puerto Rico. Fungal Ecol 3:122–138


(50)

Lampiran 1

Isolasi Jamur Endofit pada Vaccinium

Tanaman Vaccinium

Dipotong akar lateral dan daunnya Dicuci (menghilangkan kotoran) Dikeringkan

Dibungkus dengan kertas koran atau plastik Dimasukkan ke dalam plastik yang berisi es

Sampel akar dan daun

Dibawa ke laboratorium

Dicuci dengan air mengalir selama 20 menit

Disterilisasi permukaan akar dengan merendam dilarutan alkohol 70 % selama 2 menit

Direndam dengan larutan sodium hipoklorit 5,3 selama 5 menit

Direndam dengan larutan etanol 75 % selama 30 detik Dibilas dengan aquades steril

akar dan daun steril

Dikeringkan dengan kertas steril Dipotongkan ujung kanan dan kiri akar Dipotong membujur/dibelah

Diletakkan permukaan dalam akar ke permukaan media PDA + Streptomycin

diinkubasi selama 7 hari

Koloni jamur endofit

Disubkultur pada media PDA untuk dimurnikan


(51)

Lampiran 2. Lokasi Penelitian (Kawasan Hutan Gunung

Sinabung Kabupaten Karo).


(52)

(1)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Diperoleh sebanyak 11 taksa jamur endofit dari Vaccinium varingiaefolium, 10 taksa ditemukan pada bagian akar dan 3 taksa ditemukan pada bagian daun. b. Komunitas pada bagian akar tanaman Vaccinium varingiaefolium didominasi oleh Aspergillus sp1. (20%), diikuti oleh Aspergillus sp3. (15,56 %) dan

penicillium sp1. (6,67 %). Sedangkan pada bagian daun, komunitas endofit didominasi oleh Aspergillus sp2. (17,78 %), diikuti oleh Dematophora sp1. dan sp1. masing-masing 2,22 %.

c. Kerapatan total komunitas jamur endofit pada bagian akar adalah 3,00 dan frekwensi total 0,93 sedangkan kerapatan total komunitas jamur endofit pada bagian akar adalah 1,22 dan frekwensi total 0,47.

d. Indeks Shannon-Weiner (H’) pada bagian akar sebesar 1,77389 sedangkan pada bagian daun sebesar 0,7595

5.2 Saran

a. Sebaiknya penelitian komunitas jamur endofit dilakukan dengan memperbanyak jumlah ulangan, sehingga diharapkan jumlah isolate yang diperoleh juga semakin besar.

b. Sebaiknya isolasi jamur endofit dilakukan pada bagian lain dari tanaman seperti batang, bunga dan biji.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, G. M., 1921. Studies in the physiology of the fungisulfur nutrition, the use of thiosulphate as influenced by hydrogen ion concentration. Ann missouri Bot Garden 8: 237–248.

Arnold, AE. 2002. Neotropical fungal endophytes: diversity dan ecology [Doctoral dissertation]. Tucson: University of Arizona. 337 p.

Arnold AE, Lutzoni F. 2007. Diversity dan host range of foliar fungal endophytes: are tropical leaves biodiversity hotspots? Ecology 88:541–549

Arnold AE, Maynard Z, Gilbert GS, Coley PD, Kursar TA. 2001. Fungal endophytes in dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance dan diversity. Mycol Res 105:1502–1507

Cheng F.R, Peter F.S. 2009. Vaccinium. Flora of China Vol. 14 Page 476. Published by Science Press (Beijing) dan Missouri Botanical Garden Press.

Gamboa, MA, Laureano S, Bayman P. 2002. Measuring diversity of endophytic fungi in leaf fragments: does size matter? Mycopathologia 156:41–45

Ghimire SR, Charlton ND, Bell JD, Krishnamurthy YL, Craven KD .2011. Biodiversity of fungal endophyte communities inhabiting switchgrass (Panicum virgatum L.) growing in the native tallgrass prairie of northern Oklahoma. Fungal Divers 47:19–27

González V, Tello ML. 2011. The endophytic mycota associated with Vitis vinifera in central Spain. Fungal Divers 47:29–42

Gunatilaka, AAL. 2006. Natural products from plant-associated microorganisms: distribution, structural diversity, bioactivity, dan implication of their occurrence. J Nat Prod 69:509–526

Higgins KL, Arnold AE, Miadlikowska J, Sarvate SD, Lutzoni F. 2007. Phylogenetic relationships, host affinity, dan geographic structure of boreal dan arctic endophytes from three major plant lineages. Mol Phylogenet Evol 42:543–555

Huang W-Y, Cai Y-Z, Hyde KD, Corke H, Sun M. 2007.Endophytic fungi from Nerium oledaner L (Apocynaceae): main constituents dan antioxidant activity. World J Microbiol Biotechnol 23:1253–1263

Joffe, J. S., 1922. Preliminary studies on the isolation of sulfur bacteria from sulfur floats-soil composts. Soil Sci. 13: 161–172. Abbott, E. J., 1923. The occurrence dan


(3)

Khan, R., Choudary MI, Khan SA, Ahmad A. 2007. Biodiversity of Endophytic Fungi Isolated From Calotopis procera (AIT.) R. BR. University of Karachi. 75270 Pakistan

Lackey, J. B., 1938. The flora dan fauna of surface waters polluted by acid mine drainage. Publ Health Rept. 53: 1499–1507.

Nicolay, K., Veenhuis M, Douma A. C dan Harder W, 1987. A 31P NMR study of the internal pH of yeast peroxisomes. Arch Mikrobiol. 147: 37–41.

Nixdorf, B., K. Wollmann dan R. Deneke, 1998. Ecological potentials for planktonic development dan food web interactions in extremely acidic mining lakes in Lusatia, Chapter 8. In Geller, W., H. Klapper dan W. Salomons (eds), Acidic Mining Lakes. Springer, New York, 147–167.

Ramsey, A.C. 2005. Ecology of fungal endophytes in Douglas-fir dan ponderosa pine roots in eastern Washington. University of Washington

Rao, S. S. (ed.), 1989. Acid Stress dan Aquatic Microbial Interactions. CRC Press, Boca Raton (FL): 176 pp.

Raven, J. A., 1990. Sensing pH? Plant Cell Environ 13: 721–729.

Rawlings, D. E. (ed.), 1997. Biomining: Theory, Microbes dan Industrial Processes. Springer-Verlag, New York: 302 pp

Rossi, G. dan A. E. Torma (eds), 1983. Recent Progress in Biohydrometallurgy. Ass. Mineraria Sarda, Iglesias (Italy): 752 pp.

Sall J, Lehman A. 1996. JMP Start Statistics. Cary, NC: SAS Institute.

Sieber T, Hugentobler C. 1987. Endophytic fungi in leaves dan twigs of healthy dan diseased beech trees (Fagus sylvatica L.). Eur J For Pathol 17:411–425

Strobel G, Ford E, Worapong J, Harper JK, Arif AM, Grant DM, Fung PCW, Chau RMW. 2002. Isopestacin, an isobenzofuranone from Pestalotiopsis microspora, possessing antifungal dan antioxidant activities. Phytochemistry 60:179–183

Sun X, Guo L-D, Hyde KD. 2011. Community composition of endophytic fungi in Acer truncatum dan their role in decomposition. Fungal Divers 47:85–95

Vega FE, Simpkins A, Aime MC, Posada F, Peterson SW, Rehner SA, Infante F, Castillo A, Arnold AE. 2010. Fungal endophyte diversity in coffee plants from Colombia, Hawai’i, Mexico dan Puerto Rico. Fungal Ecol 3:122–138


(4)

Lampiran 1

Isolasi Jamur Endofit pada Vaccinium

Tanaman Vaccinium

Dipotong akar lateral dan daunnya Dicuci (menghilangkan kotoran) Dikeringkan

Dibungkus dengan kertas koran atau plastik Dimasukkan ke dalam plastik yang berisi es Sampel akar dan daun

Dibawa ke laboratorium

Dicuci dengan air mengalir selama 20 menit

Disterilisasi permukaan akar dengan merendam dilarutan alkohol 70 % selama 2 menit

Direndam dengan larutan sodium hipoklorit 5,3 selama 5 menit

Direndam dengan larutan etanol 75 % selama 30 detik Dibilas dengan aquades steril

akar dan daun steril

Dikeringkan dengan kertas steril Dipotongkan ujung kanan dan kiri akar Dipotong membujur/dibelah

Diletakkan permukaan dalam akar ke permukaan media PDA + Streptomycin

diinkubasi selama 7 hari Koloni jamur endofit

Disubkultur pada media PDA untuk dimurnikan Hasil


(5)

Lampiran 2. Lokasi Penelitian (Kawasan Hutan Gunung

Sinabung Kabupaten Karo).


(6)