9 atau sebaliknya, mencari dan menemukan jalan keluar dari konflik yang terjadi.
Hal itu mewujudkan karya sastra yang hidup dengan adanya irama dalam rangkaian cerita. Begitu juga dengan latar, latar akan memunculkan imajinasi
pembaca untuk lebih mendalami setiap peristiwa pada karya sastra yang kemudian akan menemukan dan menyimpulkan tema yang mengikat keseluruhan unsur
dalam sebuah karya sastra. Dalam usaha meneliti hubungan intertekstual novel DO dan CKB, peneliti
akan melakukan analisis struktural terlebuh dahulu yang meliputi alur, tokoh- penokohan, latar, tema, dan sudut pandang. Dijelaskan oleh Teeuw 1983: 61,
dalam menganalisis sebuah karya sastra dari segi manapun, analisis struktural merupakan tugas prioritas yang oleh karenanya harus dilakukan terlebuh dahulu
sebelum analisis lainnya. Dengan kata lain, prinsip intertekstual memerlukan pendekatan struktural.
Struktur penceritaan dalam karya sastra sama halnya dengan gaya penceritaan sebuah karya sastra. Hal-hal yang mendukung struktur penceritaan
yaitu alur, tokoh dan penokohan, tema, latar dan sudut pandang. Dalam penelitian ini, analisis struktural akan dibatasi pada lima unsur intrinsik. Hal tersebut
dikarenakan keterkaitan antarunsur intrinsik di atas dianggap cukup dan sudah mencakup segala hal untuk diteliti sebagai unsur yang mendukung adanya
hubungan intertekstual pada kedua novel.
10
1.5.2.1.1 Alur
Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.
Alur memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya peristiwa yang susul- menyusul, tetapi ia lebih dari sekedar jalan cerita itu sendiri atau tepatnya: ia lebih
dari sekedar rangkaian peristiwa Nurgiyantoro, 2005: 110-111. Stanton 1965, lewat Nurgiyantoro, 2005: 111 mengemukakan bahwa alur
adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Alur dalam karya sastra memiliki tahapan sebagai berikut:
a. Pemaparan atau Pengenalan Situasi
Bagian ini merupakan awal yang berisi keterangan mengenai pengenalan tokoh serta latar. Bagian ini berfungsi mengantar pembaca
ke dalam persoalan utama yang menjadi isi cerita. b.
Penggawatan atau Timbulnya Konflik Tahapan ini muncul ketika ada kekuatan, kemauan, sikap atau
pandangan yang saling bertentangan. Peristiwa ini sering diakibatkan oleh munculnya satu peristiwa yang mengacaukan.
c. Peningkatan Konflik
Konflik semakin berkembang. Peristiwa menjadi dramatik dan semakin mencekam.
11 d.
Klimaks Tahapan ini merupakan puncak rumitan yang diikuti oleh krisis atau
titik balik. Konflik ditandai dengan perubahan alur cerita. e.
Penyelesaian Dalam tahapan ini ketegangan menurun. Tokoh-tokoh yang
meruncingkan persoalan telah meninggal atau menemukan jalan penyelesaian Nurgiyantoro, 2005: 149-150.
Alur terdiri dari banyak jenis. Jenis alur dapat dikelompokkan dengan menggunakan berbagai kriteria. Berikut ini akan dikemukakan jenis-jenis alur
berdasarkan kriteria urutan waktu. Alur Maju
Alur maju disebut juga alur kronologis, alur lurus atau alur progresif. Peristiwa-peristiwa ditampilkan secara kronologis, maju,
secara runtut dari tahap awal, tengah, hingga akhir. Alur Mundur
Alur mundur disebut juga alur tak kronologis, sorot balik, regresif, atau flash-back. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dari tahap
akhir atau tengah dan baru kemudian tahap awalnya. Alur Campuran
Alur campuran merupakan perpaduan alur maju atau progresif dan alur mundur atau regresif.
http:winawimala.wordpress.com20110324jenis-alur-drama.
12 Berdasarkan kriteria cara pengakhirannya, alur terbagi dalam dua jenis
berikut ini. Alur tertutup
Alur yang memiliki penyelesaian yang jelas, penampilan kisahnya diakhiri dengan kepastian atau secara jelas.
Alur terbuka Alur yang memiliki penyelesaian yang tidak jelas atau
menggantung. Penampilan kisahnya diakhiri secara tidak pasti, tidak jelas, serba mungkin. Jadi akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi
pembaca atau penonton. http:winawimala.wordpress.com20110324jenis-alur-drama.
1.5.2.1.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di
dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Menurut Abrams 1981, lewat Nugiyantoro, 2005: 165, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Luxemburg lewat Nurgiyantoro, 2005: 180, tokoh dapat dikategorikan protagonis jika tokoh tersebut diberi lebih
banyak kesempatan untuk mengemukakan visi, sikap, atau pandangan sehingga memungkinkan memperoleh simpati dan empati pembaca. Dengan kata lain,
13 tokoh protagonis dapat membuat pembaca mengidentifikasi diri dengannya dan
melibatkan diri secara emosional terhadapnya. Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi atau bertentangan dengan tokoh protagonis sehingga
memunculkan konflik. Berdasarkan peran, tokoh dalam karya sastra dibedakan sebagai berikut:
a. Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang berprakarsa dan berperan sebagai penggerak alur. Biasanya hanya ada satu atau dua tokoh
protagonis yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat dalam lakuan. Tokoh protagonis adalah tokoh yang pertama yang
menghadapi masalah dan terbelit kesulitan. Tokoh protagonis sangat berkaitan erat dengan tokoh cerita. Tidak ada “ia” maka tidak ada
cerita. Pengarang “menaruh hati” dan pembaca “bersimpati” kepadanya. Nurgiyantoro, 2005: 178-181.
b. Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis berfungsi sebagai penghalang dan masalah bagi tokoh protagonis. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh
protagonis baik fisik maupun batin. Biasanya seorang tokoh antagonis dan
beberapa orang
tokoh yang
ikut berperan
sebagai penghalangmasalah bagi tokoh protagonis. Penyebab terjadinya
konflik dalam cerita adalah tokoh antagonis, kekuatan antagonis, tidak harus orangtokoh, bisa juga suasana, bencana yang direspon oleh
tokoh protagonis, atau keduanya. Nurgiyantoro, 2005: 178-181.
14 c.
Tokoh Tritagonis Tokoh yang berpihak pada protagonis atau antagonis atau
berfungsi menjadi
penengah antara
kedua tokoh
tersebut Nurgiyantoro, 2005: 178-181.
Penokohan adalah hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, meliputi siapa tokoh cerita, pelukisan tokoh, dan karakterisasi Nurgiyantoro, 2005: 164-165.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, yaitu pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan
oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan
yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.
1.5.2.1.3 Latar
Abrams 1981, lewat Nurgiyantoro, 2005: 216 menjelaskan latar atau setting
yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian, pengenalan
terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya, pengenalan tokoh, alur, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan
waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita Nurgiyantoro, 2005: 217.
15 Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu sebagai
berikut: a.
Latar tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi Nurgiyantoro, 2005: 227-234. b.
Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu
yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah Nurgiyantoro, 2005: 227-234.
c. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,
cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga
behubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas Nurgiyantoro, 2005: 227-234.
16
1.5.2.1.4 Tema
Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan
sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita Nurgiyantoro, 2005: 70.
Dalam sebuah cerita, tema dapat berjumlah lebih dari satu. Tema dapat dibagi menjadi dua, yakin tema mayor tema utama dan tema minor tema
tambahan. Tema minor sebagai makna-makna tambahan yang ada dalam sebuah cerita bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak berkaitan dengan makna
pokok. Dengan demikian tema mayor memiliki makna sebagai rangkuman dari tema-tema minor Nurgiyantoro, 2005: 82-83.
Penentuan tema dapat dilakukan dengan memahami cerita secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwa-peristiwa dan konflik, dan latar. Tema disaring dari motif-motif yang ada dalam cerita. Empat kriteria dalam usaha menemukan tema sebuah novel
ditemukan oleh Stanton Nurgiyantoro, 2005: 87. Pertama, dengan mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kedua, tidak bertentangan
dengan tiap detil cerita. Ketiga, tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang
bersangkutan, tema tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, imajinasi, atau informasi lain yang diragukan. Keempat, dengan mendasarkan diri
pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan.
17 Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi haruslah disimpulkan dari
keseluruhan cerita. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak sengaja disembunyikan, karena justru hal itulah yang ditawarkan kepada pembaca.
Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Jika dilihat
dari sudut pengarang, dasar cerita dipakai sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya. Berdasarkan cerita yang
dibeberkan itulah pembaca berusaha menafsirkan apa dasar utama cerita itu, apa tema cerita itu, dan hal itu akan dilakukan berdasarkan detil-detil unsur yang
terdapat dalam karya yang bersangkutan Nurgiyantoro, 2005: 68-70.
1.5.2.1.5 Sudut Pandang
Sudut pandang disebut juga sebagai strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya
Nurgiyantoro, 2005: 248. Unsur intrinsik sudut pandang akan diteliti pada novel DO dan novel CKB karena sudut pandang merupakan salah satu hal yang
penting dalam unsur intrinsik. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya
artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca Nurgiyantoro, 2005: 249. Sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
Nurgiyantoro, 2005: 248.
18 Sudut pandang secara garis besar dapat dibedakan dalam dua macam yaitu
persona pertama, first-person, gaya “aku”, dan persona ketiga third-person, gaya
“dia”. Jadi dari sudut pandang “aku” atau “dia” dari berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing menyaran dan
menuntut konsekuensinya sendiri. Oleh karena itu, wilayah kebebasan dan keterbatasan perlu diperhatikan secara objektif sesuai dengan kemungkinan yang
dapat dijangkau sudut pandang yang dipergunakan Nurgiyantoro, 2005: 249. Pentingnya sudut pandang dalam karya fiksi tidak lagi diragukan. Sudut
pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan Nurgiyantoro, 2005: 250. Sebelum pengarang menulis cerita, mau tak mau, ia
harus telah memutuskan memilih sudut pandang tertentu. Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tidak hanya berhubungan dengan masalah
gaya saja. Namun, biasanya pemilihan bentuk-bentuk tersebut bersifat sederhana, di samping hal itu merupakan konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang
tertentu. Pemilihan sudut pandang membutuhkan konsekuensi disamping ada berbagai kemungkinan teknis penyajian sudut pandang yang dapat dimanfaatkan
dan sekaligus dapat dikreasikan oleh pengarang Nurgiyantoro, 2005: 250. Penggunaan sudut pandang “aku” atau pun “dia”, biasanya juga berarti
tokoh “aku” atau tokoh “dia”, dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yang dimaksudkan pengarang. Ada beberapa macam
sudut pandang dalam buku Nurgiyantoro 2005: 256-271 yaitu:
19 1.
Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang menggunakan pengisahan sudut pandang
persona ketiga “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata
gantinya; ia, dia, dan mereka. Sudut pandang “dia” terbagi dalam dua golongan, yaitu:
a. Sudut Pandang “Dia” Mahatahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, tetapi pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-
hal yang menyangkut tokoh “dia” dan narator bersifat mahatahu. b.
Sudut Pandang “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat Dalam sudut pandang ini, pengarang melukiskan apa yang
dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, tetapi terbatas hanya pada seorang tokoh saja Nurgiyantoro, 2005:
259.
2. Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”
Sudut pandang ini, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita.
Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang
diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta sikapnya terhadap orang lain. Sudut pandang persona pertama digolongkan menjadi dua
yaitu:
20 a.
“Aku” Tokoh Utama Dalam sudut pandang ini, si “aku mengisahkan berbagai peristiwa
dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, serta hubungannya dengan sesuatu yang diluar
dirinya. Si “aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang diluar diri si “aku”, peristiwa, tindakan, dan orang,
diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau dipandang penting.
b. “Aku” Tokoh Tambahan
Sudut pandang ini, “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh “aku” hadir untuk
membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai
pengalamannya.
3. Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang bersifat campuran mungkin saja berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia”
mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebgai saksi, bahkan
dapat b erupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku”
dan “dia” sekaligus. Sudut pandang campuran digolongkan menjadi:
21 a.
Campuran “Aku” dan “Dia” Penggunaan kedua sudut pandang tersebut dalam sebauh novel
terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca.
b. Teknik “kau”
Penggunaan teknik kau untuk menyebut dan melihat dirinya sendiri, baik oleh tokoh yang disudutpandangi “aku” maupun “dia”.
1.5.2.2 Kajian Intertekstual
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis berarti
tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Teks-
teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk
menemukan hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak
semata-mata sebagai persamaan melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik parodi maupun negasi Ratna, 2012: 172-173.
Intertekstualitas merupakan hasil dari proses kreatif pengarang yang antara lain mengolah bahan-bahan yang berasal dari teks lain, melakukan modifikasi,
perubahan, pengurangan, penambahan terhadap teks-teks yang menjadi bahannya Faruk, 2012: 54.
22 Intertekstualitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh peneliti
Prancis Julia Kristeva. Julia Kristeva lebih dikenal sebagai pelopor teori interteks. Kristeva mendiskonstruksi hegemoni kebudayaan Barat dengan menampilkan teks
sebagai material produksi Ratna, 2012: 199. Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan,
mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan
karyanya. Untuk
lebih menegaskan
pendapat itu,
Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak
bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya
penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan Worton, 1990: 1. Setiap teks sebagai mosaik kutipan-kutipan yang diserap dan
ditransformasikan dari teks-teks lain Teeuw, 1984: 120. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa
sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau
kutipan Noor, 2007: 4-5. Rachmat Djoko Pradopo dalam Pengkajian Puisi 2009: 223, karya sastra
tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain, yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, karya sastra itu meneruskan konvensi yang sudah ada ataupun menyimpanginya meskipun tidak seluruhnya. Hal ini mengingat bahwa karya
23 sastra itu karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan, tetapi tentu tidak baru
sama sekali, sebab bila sama sekali menyimpang dari konvensi, maka ciptaan itu tidak akan dikenal ataupun tidak dapat dimengerti oleh masyarakatnya.
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niat pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini intertekstualitas sama halnya
menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada
konvensi sastra dan bahasa serta dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual diawali dari pengertian bahwa kapan pun karya tulis
dibuat, tidak mungkin lahir dari situasi tanpa budaya. Unsur budaya termasuk semua tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks sastra
yang ditulis sebelumnya. Karya sastra yang ditulis biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpang. Dalam kajian interteks dikenal istilah hypogram. Hypogram adalah teks
yang secara metodologis dibayangkan sebagai sumber interteks. Hypogram merupakan landasan untuk menciptakan karya-karya yang baru, baik dengan cara
menerima maupun menolaknya Ratna, 2012: 172-176. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang lain disebut sebagai hipogram. Adanya
pengaruh dari suatu karya terhadap penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah
karya dengan karya lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya mungkin disadari atau mungkin juga tidak disadari
24 oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya
mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan atau sebaliknya, menolak. Dalam kaitannya dengan hipogram, tiap teks merupakan sebuah kutipan-
kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan perubahan dari teks-teks lain. Hal itu berarti, bahwa tiap teks mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik
dari teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun sebuah
karya mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitasnya sendiri dengan konsep estetika dan
pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya.
1.6 Metode dan Teknik Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif berpijak dari pandangan yang menekankan karya
sastra sebagai struktur yang sedikit banyak bersifat otonom Teeuw, 1984: 100. Pendekatan intertekstual menekankan bahwa dalam usaha mendapatkan makna
penuh dari teks sastra harus didasarkan pada teks lain yang menjadi latar belakang penciptaannya Teeuw, 1984: 120. Dalam penelitian ini unsur alur, tokoh
penokohan, latar, tema, dan sudut pandang yang menjadi jembatan untuk mendapatkan analisis struktural dalam novel Drop Out dengan novel Cintaku di
Kampus Biru yang kemudian akan mempermudah dalam pengkajian intertekstual.
25
1.6.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, yaitu peneliti membaca serta mempelajari buku-buku yang berkaitan. Penelitian ini
menggunakan teknik catat, yaitu mencatat data-data berupa kata, kalimat, dan paragraf yang mengungkapkan makna karya sastra Moleong, 1989: 167-176.
Penelitian ini menganalisis data novel Drop Out karya Arry Risaf Arisandi yang terbit pada tahun 2006 oleh penerbit Gagas Media, Jakarta dengan novel
Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar terbitan tahun 1974 oleh penerbit
PT Gramedia, Jakarta.
1.6.3 Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan tahap ketika data diberi arti atau makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian Nazir, 1985: 405. Dalam
penelitian ini digunakan metode formal dan metode analisis isi. Metode formal menganalisis unsur-unsur karya sastra dengan totalitasnya
Ratna, 2012: 49-51. Metode ini digunakan untuk menganalisis struktur dalam novel Drop Out dengan novel Cintaku di Kampus Biru.
Metode komparasi atau perbandingan digunakan dalam kajian sastra perbandingan. Metode ini diterapkan untuk membandingkan dua karya sastra atau
lebih. Metode ini digunakan untuk menganalisis kajian intertekstual dalam novel Drop Out
dengan novel Cintaku di Kampus Biru.
26
1.6.4 Penyajian Hasil Analisis Data
Analisis data disajikan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu hasil analisis data berupa pemaknaan karya sastra yang disajikan secara
desrkriptif. Hasil analisis penelitian ini berupa penafsiran mengenai isi cerita yang saling berkitan dalam bentuk deskriptif.
1.7 Sumber Data
1.7.1 Judul Novel : Drop Out DO
Pengarang : Arry Risaf Arisandi
Penerbit : Gagas Media, Jakarta
Tahun Terbit : 2006, cetakan pertama Tebal
: 190 halaman 1.7.1
Judul Novel : Cintaku di Kampus Biru CKB Pengarang
: Ashadi Siregar Penerbit
: PT Gramedia, Jakarta Tahun Terbit : 1974, cetakan pertama
Tebal : 127 halaman
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Sistematika penelitian ini dirinci sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi sembilan sub bab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan
27 penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II berisi kajian struktural dalam novel Drop Out karya Arry Risaf
Arisandi dengan novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar yang menjadi dasar analisis intertekstual.
Bab III berisi deskripsi analisis intertekstual dalam novel Drop Out karya Arry Risaf Arisandi dengan novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar.
Bab IV berupa penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
28
BAB II ANALISIS STRUKTURAL NOVEL DROP OUT KARYA
ARRY RISAF ARISANDI DENGAN NOVEL CINTAKU DI KAMPUS BIRU KARYA ASHADI SIREGAR
2.1 Pengantar
Bab ini berisi pembahasan mengenai kajian struktural novel Drop Out karya Arry Risaf Arisandi yang selanjutnya akan disingkat menjadi DO dengan
novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar yang selanjutnya akan disingkat menjadi CKB, yang menjadi dasar analisis intertekstual. Analisis
struktural merupakan kajian untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam sebuah karya sastra dan menggambarkan hubungan antarunsur tersebut
untuk mendapatkan kesatuan makna. Peneliti akan menganalisis struktur novel DO
terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan analisis struktur novel CKB
.
2.2 Analisis Struktur Novel Drop Out
Dalam penelitian ini, analisis struktural yang dilakukan pada novel DO meliputi unsur alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan sudut pandang.
Analisis alur akan dilakukan terlebih dahulu supaya didapatkan pemahaman cerita. Dari analisis alur tersebut, dapat dianalisis tokoh dan penokohan yang
dimunculkan. Analisis alur dan penokohan akan mengerucut pada bagian tema. Analisis latar atau setting menjadi pelengkap pembahasan secara struktur,
29 sedangkan sudut pandang akan memperjelas bagaimana alur dapat berjalan dan
siapa saja yang menjadi penggeraknya. Berikut analisis keempat unsur tersebut secara berurutan.
2.2.1 Analisis Alur Novel Drop Out
Novel DO terdiri dari 190 halaman, secara keseluruhan menceritakan bagaimana lika-liku kehidupan mahasiswa dalam memperjuangkan kelulusan
dalam perkuliahan yang telah mencapai semester empat belas. Perjuangan akademik yang kemudian menjalar pada kisah cinta antara mahasiswa dan
dosennya. Berikut uraian alur yang dibagi menjadi lima tahapan sesuai dengan urutan cerita yang ada.
2.2.1.1 Pemaparan atau Pengenalan Situasi
Pada bagian awal diceritakan mengenai pengenalan situasi, keterkaitan masing-masing tokoh, serta latar. Cerita novel DO dimulai perkenalan tokoh Jemi,
seorang mahasiswa jurusan Akuntansi PTN Bandung Perguruan Tinggi Negeri. Jemi divonis akan drop out seandainya ada nilai E dalam salah satu mata kuliah
yang harus diselesaikannnya dalam dua semester. Jemi memiliki julukan mahasiswa abadi karena sampai semester tiga belas ia belum juga lulus dari
perguruan tinggi. Sejak kecil Jemi tidak memiliki cita-cita. Jemi yang menginjak semester empat belas di tuntut untuk mengubah cara hidupnya yang pemalas.
Sejak kecil Jemi memang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Sosok Jemi berkembang menjadi sosok yang semaunya sendiri. Kebiasaannya
30 bersenang-senang dan menghabiskan waktunya secara percuma tanpa disadari
membuat dirinya semakin terpuruk. Kebiasaan Jemi dari hobi menonton film kartun, menghabiskan waktunya untuk tidur, bermain kartu di tetangga kosnya.
Jemi juga doyan minum minuman beralkohol, Jemi semakin tidak terkontrol karena kehidupannya yang jauh dari orang tua dan tinggal di lingkungan kos. Jemi
yang berkuliah di Bandung sedangkan orang tuanya berada di Jakarta membuat kurangnya pengawasan dan perhatian terhadap Jemi. Kehidupan kos Jemi yang
dipenuhi kehidupan kaum muda yang liar membuatnya semakin sulit untuk berubah. Teman-teman kos Jemi yang memang terbilang anak nakal karena ada
yang menjadi bandar narkoba, ada yang suka mengutil barang teman satu kostnya, bahkan mencuri mobil. Dalam situasi tersebut Jemi masih terbilang anak yang
alim karena ia tidak terbawa oleh banyaknya keburukan teman-teman satu kosnya. Leah, bekas senior Jemi, kini telah menjadi dosen Akuntansi, mata kuliah
yang saat itu diambil oleh Jemi. Kemunculan tokoh Leah diceritakan sebagai pendukung dan membantu Jemi terhindar dari DO. Kehidupan Jemi yang yang
semula kacau menjadi sedikit berubah dengan kehadiran Leah. Jemi diketahui sudah sejak lama menaruh perasaan suka dengan Leah, tetapi perasaan itu hilang
saat Leah lulus dari kuliahnya dan melanjutkan studi S2 di Inggris. Jemi berniat melanjutkan rasa cintanya terhadap Leah, mengingat Leah telah kembali meski
dengan status yang sudah berbeda yaitu sebagai dosennya. Pola pikir dan pola laku Jemi merupakan sisi jelek yang sangat sulit untuk diubah. Sifat malas adalah
alasan atas kebodohannya.