Iluminansi Cahaya yang
datang Luminansi
Cahaya yang pergi
Luminansi Cahaya yang
pergi
Sumber : Fisika Bangunan, 2008
Gambar 3.3. Iluminansi dan Luminansi
3.3. Iluminansi di Ruang Kerja
3
Iluminansi minimum yang direkomendasikan menurut Kepmenkes Nomor 1405MENKESXI2002 dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Iluminansi di Ruang Kerja Jenis Kegiatan
Iluminansi Minimal Lux
Keterangan
Pekerjaan kasar dan tidak terus-menerus
100 Ruang
penyimpanan ruang peralatan instalasi
yang memerlukan pekerjaan yang kontinu
Pekerjaan kasar terus menerus
200 Pekerjaan dengan mesin dan
perakitan kasar Pekerjaan rutin
300 R.
administrasi, ruang
kontrol, pekerjan mesin perakitan penyusun
3
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No 1405MENKESXI2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.1. Iluminansi di Ruang Kerja Lanjutan Jenis Kegiatan
Iluminansi Minimal Lux
Keterangan
Pekerjaan agak halus 500
Pembuatan gambar
atau bekerja
dengan mesin
kantor pekerja pemeriksaan atau
pekerjaan dengan
mesin Pekerjaan halus
1000 Pemilihan
warna, pemrosesan
tekstil, pekerjaan mesin halus
perakitan halus Pekerjaan amat halus
1500 Tidak menimbulkan
bayangan Mengukir dengan tangan,
pemeriksaan pekerjaan
mesin dan perakitan yang sangat halus
Pekerjaan terinci 3000
Tidak menimbulkan bayangan
Pemeriksaan pekerjaan,
perakitan sangat halus
Sumber : Kepmenkes Republik Indonesia No 1405MENKESXI2002
3.4. Pengukuran Pencahayaan 3.4.1. Pengukuran Iluminansi
4
Iluminansi untuk bidang kerja diukur secara horizontal sejauh 75 centimeter diatas permukaan lantai, sedangkan untuk luasan tertentu iluminansi
4
Standar Nasional Indonesia. Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja. SNI 16-7062- 2004
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa titik pengukuran SNI 03-6575-2001.
Penentuan titik pengukuran iluminansi diatur dalam SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja. Adapun penentuan
titik pengukuran pada pencahayaan adalah sebagai berikut: 1. Penerangan setempat: obyek kerja, berupa meja kerja maupun peralatan.Bila
merupakan meja kerja, pengukuran dapat dilakukan di atas meja yang ada. 2. Penerangan umum: titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan
pada setiap jarak tertentu setinggi satu meter dari lantai. Jarak tertentu tersebut dibedakan berdasarkan luas ruangan sebagai berikut:
a. Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi: titik potong horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 meter.
Gambar 3.6. Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum Dengan Luas Lebih Dari 100 m
2
6 m 6 m
6 m 6 m
6 m
6 m
6 m
Universitas Sumatera Utara
3.4.2. Pengukuran Luminansi
5
Luminansi untuk bidang kerja diukur dengan menggunakan lix meter. Pengukuran luminansi dilakukan dengan meletakkan sensor cahaya menghadap ke
permukaan objek yang akan diukur tingkat luminansinya pada jarak 2 sampai 4 inchi hingga angka pembacaan pada layar lux meter stabil. Posisi sensor harus
diatur sedemikian rupa untuk menghindari jatuhnya bayangan alat ataupun operator pada area yang akan diukur. Posisi alat ukur pada pengukuran tingkat
luminansi ditunjukkan pada Gambar 3.7.
2 to 4 in
Instrumen dalam posisi menghadap
tanpa adanya bayangan Sinar Pantul
Dinding
Sumber : Concepts in Architectural Lighting, 1983
Gambar 3.7. Posisi Pengukuran Luminansi
3.4.3. Pengukuran Reflektansi
6
Metode pengukuran reflektansi terbagi menjadi dua cara, yaitu metode perbandingan sampel diketahui dan metode cahaya dating-cahaya pantul. Metode
perbandingan sampel diketahui menggunakan suatu kartu pengukur reflektansi
5
M. David Egan. Concepts in Architectural Lighting. New York: McGraw Hill School Education Group, 1983, h.87
6
Ibid., h.85
Universitas Sumatera Utara
dan digunakan untuk mengukur reflektansi pada permukaan yang memantulkan cahaya secara difusi menyebar. Metode cahaya dating-cahaya pantul digunakan
untuk menentukan reflektansi dalam persen pada permukaan yang memantulkan cahaya atau tidak mengkilap. Metode ini terdiri dari tiga langkah, yaitu sebagai
berikut : 1. Mengukur intensitas cahaya yang jatuh ke permukaan objek
2. Mengukur intensitas cahaya yang dipantulkan dari permukaan objek 3. Mengukur reflektansi permukaan objek dengan cara membagi angka intensitas
cahaya pantul dengan intensitas cahaya yang diterima
2 to 4 in
Instrumen dalam posisi menghadap
tanpa adanya bayangan Sinar Pantul
Dinding Dinding
Instrumen Sinar Datang
Sumber: Concepts in Architectural Lighting, 1983
Gambar 3.8. Posisi Pengukuran Reflektansi Objek
3.5. Pencahayaan Buatan
3.5.1. Klasifikasi Pencahayaan Buatan
7
Menurut IES, terdapat 5 klasifikasi sistem pancaran cahaya dari sumber cahaya, yaitu: penerangan tak langsung, penerangan setengah tak langsung,
7
Drs. Muhaimin, MT. Teknologi Pencahayaan. Bandung: PT. Grafika Aditama, 2001, h.138-142
Universitas Sumatera Utara
penerangan menyebar difus, penerangan setengah langsung, dan penerangan langsung.
1. Penerangan tak langsung Pada penerangan tak langsung, 90 hingga 100 cahaya dipancarkan ke langit-
langit ruangan sehingga yang dimanfaatkan pada bidang kerja adalah cahaya pantulan. Penerangan tak langsung digunakan pada ruang gambar, perkantoran,
rumah sakit, dan hotel 2. Penerangan setengah tak langsung
Pada penerangan setengah tak langusng, 60 hingga 90 cahaya diarahkan ke langit-langit. Penggunaan penerangan setengah tak langsung pada : toko buku,
ruang baca, dan ruang tamu. 3. Penerangan menyebar difus
Pada penerangan difus, distribusi cahaya ke atas dan bawah relatif merata yaitu berkisar 40 hingga 60. Penggunaan penerangan difus antaralain pada tempat
ibadah 4. Penerangan setengah langsung
Penerangan setengah langsung 60 hingga 90 cahayanya diarahkan ke bidang kerja selebihnya diarahkan ke langit-langit. Pemakaian penerangan setengah
langsung antaralain: kantor, kelas, toko, dan tempat kerja lainnya. 5. Penerangan langsung
Pada penerangan langsung 90 hingga 100 cahayanya dipancarkan ke bidang kerja. Kelebihan pada penerangan langsung adalah efisiensi penerangan tinggi
Universitas Sumatera Utara
dan memerlukan sedikit lampu untuk bidang kerja yang tinggi. Kelemahannya adalah bayangannya gelap.
Sumber: www.ieslightlogic.org
Gambar 3.9. Klasifikasi Pencahayaan Buatan
3.5.2. Pemilihan Jenis Lampu
8
Secara umum lampu digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu lampu pijar incandescent, lampu fluorescent, lampu HID High-Intensity Discharge, dan
lampu LED sebagai berikut: 1. Lampu pijar incandescent : cahaya yang dihasilkan oleh filament dari bahan
tungsten titik lebur 2200
o
C yang berpijar karena panas sehingga disebut lampu tungsten. Efikasi lampu pijar rendah, hanya 8-10 energi menjadi
cahaya dan sisanya terbuang sebagai panas. Lampu tungsten diisi gas halogen iodine, chlorine, bromine, dan fluorine untuk memperbaiki efikasinya
8
Prasasto Satwiko. Fisika Bangunan. Yogyakarta: A NDI, 2008 h. 200-206
Universitas Sumatera Utara
sehingga disebut lampu tungsten-halogen yang efikasinya mencapai 17,5 lmwatt.
2. Lampu fluorescent : cahaya dihasilkan oleh pendaran bubuk fosfor yang melapisi bagian dalam tabung lampu. Fosfor berpendar karena menyerap
gelombang pendek cahaya ungu-ultra sebagai akibat lecutan listrik terbentuk oleh loncatan elektron antar katoda didalam tabung yang berisi uap merkuri
bertekanan rendah dan argon. Jenis bubuk fosfor menentukan warna cahaya yang dihasilkan. Efikasi lampu fluorescent antara 40-85 lmwatt dimana 25
energi dijadikan cahaya. Pada 100 jam pertama, terjadi penyusutan besar pada intensitas cahaya lumen. Efikasi lumen per watt lampu fluorescent 2-3 kali
lebih baik dari lampu pijar. 3. Lampu HID High-Intensity Discharge Lamps : cahaya dihasilkan oleh
lecutan listrik melalui uap zat logam. Lampu merkuri menghasilkan cahaya dari lecutan listrik dalam tabung kaca atau kuarsa berisi uap merkuri
bertekanan tinggi. Efikasi lampu HID antara 40-60 lmwatt. Dibutuhkan waktu antara 3-8 menit untuk menguapkan merkuri sebelum menghasilkan cahaya
maksimal. Perlu selang 5-10 menit sebelum dihidupkan kembali. Halida logam thalium, indium, dan sodium ditambahkan pada lecutan listrik untuk
memperbaiki efikasi dan warna sehingga disebut lampu metal-halida. Walau efikasi bias mencapai 70 lmwatt, umurnya berkurang hingga separuh.
Perkembangan selanjutnya dari lampu HID adalah lampu uap sodium bertekanan tinggi high pressure sodium vapor lamp. Salah satunya adalah
Universitas Sumatera Utara
dengan membuat tabung lecutan dari keramik yang berisi xenon, merkuri, dan sodium. Efikasi lampu HID mencapai lebih dari 95 lmwatt.
4. Lampu LED Light Emitting Diode : cahaya dihasilkan oleh dioda semikonduktor yang mengeluarkan energi cahaya ketika diberikan tegangan.
Semikonduktor merupakan material yang dapat menghantarkan arus listrik, meskipun tidak sebaik konduktor listrik. Semikonduktor umumnya dibuat dari
konduktor lemah yang diberi material lain. Pada LED digunakan konduktor dengan gabungan unsur logam aluminium, gallium, dan arsenit. Konduktor
AlGaAs murni tidak memiliki pasangan elektron bebas sehingga tidak dapat mengalirkan arus listrik. Oleh karena itu dilakukan proses doping dengan
menambahkan elektron bebas untuk mengganggu keseimbangan konduktor tersebut, sehingga material yang ada menjadi semakin konduktif.
3.5.3. Persamaan untuk Menentukan Faktor Pencahayaan Buatan
9
Untuk menghitung penerangan di satu titik oleh suatu sumber cahaya, rumus yang digunakan adalah :
E = ϕ A
Dengan E = penerangan rata-rata lux
Φ = total arus cahaya di bidang bersangkutan, lumen A = luas area, m
2
Dalm kenyataannya, perhitungan penerangan dipengaruhi distribusi intensitas cahaya luminer, efisiensi, bentuk, dan ukuran ruang, pemantulan
9
Ibid.,h.225-229
Universitas Sumatera Utara
permukaan, dan ketinggian lampu dari bidang kerja. Untuk itu, perlu ditambahkan faktor CU coefficient of utilization. Sehingga, rumusnya menjadi :
E = ϕ. CU A
Selama penggunaan lampu, intensitas cahayanya akan berkurang oleh timbunan debu dan nilai lumennya akan menyusut. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan faktor LLF light-loss factor. Sehingga, rumusnya menjadi : E =
ϕ.CU.LLFA Nilai CU sangat bergantung pada bilangan pantul permukaan. Semakin
tinggi bilangan pantul permukaan langit-langit, ruang dan lantai maka nilai CU akan semakin tinggi. Bila permukaan-permukaan ruang memiliki bilangan pantul
yang berbeda-beda maka harus dicari bilangan pantul rata-rata : ρ = ρ
1
A
1
+ ρ
2
A
2
+ … + ρ
n
A
n
A
1
+ A
2
+ … + A
n
Langkah selanjutnya adalah mencari bilangan pantul rongga efektif effective cavity reflectance. Bilangan pantul rongga efektif untuk setiap
permukaan ruang adalah : ρ
cc
= billangan pantul rongga langit-langit efektif effective ceiling cavity reflectance
ρ
rc
= billangan pantul rongga ruang efektif effective wall cavity reflectance ρ
fc
= billangan pantul rongga lantai efektif effective floor cavity reflectance Setelah menemukan CU, kemudian nilai LLF light-loss factor dihitung.
LLF terdiri atas nonrecoverable factor dan recoverable factor. Nonrecoverable factor terdiri atas :
Universitas Sumatera Utara
1. LAT luminaire ambient temperature, suhu disekitar lampu. Jika lampu beroperasi dilingkungan normal sesuai desain pabrik, maka LAT = 1.
2. VV voltage variation, variasi tegangan listrik. Jika lampu dioperasikan pada voltase sesuai desainnya maka VV = 1
3. LSD luminaire surface depreciation, depresiasi permukaan luminer. Permukaan luminer akan mengalami penurunan kualitas, seperti penutup
berubah warna, reflector tergores, dan sebagainya. 4. BF ballast factor, faktor kehilangan yang ikut berperan dalam
ketidakmampuan lampu untuk beroperasi pada level daya tertentu . Sedangkan recoverable factor meliputi:
1. LDD luminaire dirt depreciation, depresiasi cahaya akibat penimbunan kotoran pada luminer. LDD dipengaruhi oleh tipe luminer, kondisi atmosfer
lingkungan dan waktu antara pembersihan luminer berkala. 2. RSDD room surface dirt depreciation, depresiasi cahaya akibat
penumpukan kotoran di permukaan ruang. LLD lamp lumen depreciation, faktor depresiasi lumen yang tergantung pada jenis lampu dan waktu
penggantianny Tabel 3.6.
Room Surface Dirt Depreciation Jenis Pencahayaan
Nilai RSDD
Pencahayaan langsung 0,92 ± 5
Pencahayaan semilangsung 0,87 ± 8
Pencahayaan langsung-tak-langsung 0,82 ± 10
Pencahayaan semi-tidak-langsung 0,77 ± 12
Pencahayan tak-langsung 0,72 ± 17
Sumber : Fisika Bangunan, 2008
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.7. Lamp Lumen Depreciation
Jenis Lampu Penggantian
Bersamaan Penggantian Berdasar
Lampu yang Mati
Lampu pijar 0,94
0,88 Tungsten-halogen
0,98 0,94
Fluorescent 0,90
0,85 Mercury
0,82 0,74
Metal-Halide 0,87
0,80 High-Pressure Sodium
0,94 0,88
Sumber : Fisika Bangunan, 2008
3. LBO lamp burnout, perkiraan jumlah lampu yang mati sebelum waktu penggantian yang direncanakan. Bila lampu diganti seluruhnya, LBO = 1.
Bila penggantian hanya pada lampu yang mati maka LBO = 0,95. Sehingga, nilai light loss factor LLF dapat dihitung dengan mengalikan
semua faktor tersebut : LLF = LAT X VV X BF X LSD X RSDD X LDD X LLD X LBO
3.7. Produktivitas dan Cahaya
10
Ketegangan pada alat visual bias membuahkan dua jenis kelelahan yaitu lelah visual dan lelah saraf. Lelah visual terjadi oleh ketegangan yang intensif
pada sebuah fungsi yang tunggal dari mata. Ketegangan yang terus-menerus pada otot siliar terjadi pada waktu menginspeksi benda kecil yang berkepanjangan; dan
10
Ir. Suyatno Sastrowinoto. Meningkatkan Produktivitas dengan Ergonomi. Jakarta: PT. Pertja, 1985, h.187-189
Universitas Sumatera Utara
ketegangan pada retina dapat timbul oleh kontras cerah yang terus-menerus menimpa secara local. Lelah visual membuahkan :
1. Gangguan, berair, dan memerah pada konjunktiva mata 2. Pandangan dobel
3. Sakit kepala 4. Menurunnya kekuatan akomodasi
5. Menurunnya tajam visual, peka kontras, dan kecepatan persepsi Gejala tersebut terjadi umumnya bila penerangan tidak mencukupi dan bila
mata mempunyai kelainan refraksi namun tak dibetulkan dengan kacamata. Lelah saraf membuahkan waktu reaksi yang memanjang, melambatnya gerakan serta
terganggunya fungsi psikologis dan motor lainnya. Apabila kondisi itu tetap beraksi, lelah kronis akan terjadi dengan gejala:
1. Kelesuan-umum dan pendengaran 2. Sakit kepala dan vertigo pusing kepala
3. Sukar tidur dan hilang selera makan
Universitas Sumatera Utara
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian