Prospek Penegakan HAM di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan HAM PBB

E. Prospek Penegakan HAM di Myanmar Dengan Adanya Kebijakan HAM PBB

Proses transisi politik yang terjadi di Myanmar tidak akan berjalan dengan lancar. Strategi berikutnya dari proses transisi politik di Myanmar akan melibatkan pembagian kekuasaan antara SPDC dan kelompok oposisi, atau proses “reformasi rezim” secara bertahap, dengan kecilnya keterlibatan secara langsung dari masyarakat luas atau kekuatan oposisi. Meskipun taktik yang digunakan kelompok oposisi akan berubah-ubah tergantung kepada kenyataan yang terjadi, beberapa strategi yang digunakan oleh kelompok oposisi ini terlihat sama.

Bagaimanapun juga dan kapanpun perubahan tersbut dijalankan, seluruh kelompok-kelompok sosial di Myanmar harus siap untuk bertindak.

Secara umum, strategi kelompok oposisi telah dipusatkan kepada tingkat elit politik, dibandingkan melakukan proses demokratisasi pada tataran akar rumput. Bagaimanpun juga, kedua pendekatan tersebut sama pentingnya. Perubahan pada tataran nasional sangat dibutuhkan dengans egera, akan tetapi proses transisi menuju demokrasi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika disertai dengan partisipasi lokal dan “pembangunan dari bawah”.

Diantara ketiga pihak dalam negosiasi tripartite di Myanmar (SPDC, NLD/kelompok oposisi pro demokrasi, dan kelompok etnis nasional), kelompok etnis nasional secara khusus bisa mendapatkan manfaat dari kombinasi pada tingkatan elit, dalam rangka penguatan masyarakat sipil. Walaupun berdasarkan kepada para aktifis dan pengamat Myanmar di luar negeri, terdapat asumsi yang menyatakan bahwa tidak ada masyarakat sipil di Myanmar, hal ini jauh dari kebenaran. Kemunculan kembali jaringan lokal didalam dan diantara komunitas- komunitas etnis nasional selama beberapa dekade terakhir, telah menjadi salah satu aspek paling berpengaruh dalam situasi politik dan sosial di Myanmar. Usaha-usaha dalam membangun demokrasi lokal saat ini sedang berjalan – di dalam wilayah-wilayah pengawasan pemerintah, di beberapa populasi etnis nasional yang telah melakukan gencatan senjata dengan pemerintah dan di daerah perang, dan di negara-negara tetangga. Bagaimanapun juga inisiatif ‘bottom-up’ ini tidak akan membawa perubahan yang substansial tanpa disertai adanya reformasi ‘top-down’ pada tataran nasional.

Komunitas etnis nasional terdiri dari tiga elemen. Sebagaian besar 65 calon wakil legislatif yang mewakili kelompok-kelompok etnis nasional, dicalonkan melalui United Nationalities Alliance (UNA, sebelumnya bernama United Nationalities League for Democracy ), yang telah melakukan kerjasama erat dengan NLD. Kemudian terdapat 14 kelompok etnik bersenjata yang telah sepakat melakukan gencatan senjata dengan pemerintah sejak tahun 1989 (ditambah 10 kelompok lagi dan beberapa bekas kelompok pemberontak yang telah melakukan kesepakatan lokal dengan Tatmadaw). Elemen ketiga dari etnis nasional adalah komunitas-komunitas etnis nasional yang terdiri dari kelompok- kelompok pemberontak yang masih melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, yang merupakan anggota atau sekutu dari National Democratic Front (NDF). Dalam hal ini, banyak sekutu dari NDF, seperti The Kachin Independence Organisation (KIO), dan New Mon State Party (NMSP), telah berpartisipasi dan bergabung di dalam Ethnic Nationalities Solidarity and Coordination Committee (ENSCC), yang dibentuk pada tahun 2001, sebagai perwakilan dari kelompok etnis nasional dalam negosiasi tiga pihak dalam rangka pembentukan Konvensi

Nasional. 179 Sampai sejauh ini, serta berdasarkan fakta yang ada, bahwa penegakan

HAM di Myanmar tidak akan sepenuhya tercapai sebelum pemerintahan militer di Myanmar jatuh. Untuk menuju ke arah tersebut, telah tercapai kesepakatan, baik pada tataran domestik, maupun pada tataran internasional (antara Pemerintah

Ashley South, “Roadmaps and Political Transition in Burma: The need for two-way traffic”,

179

artikel pada http://www.burmalibrary.org/docs/Ashley-South_Political_Transition.htm , diakses tanggal 7 Juni 2009.

Junta militer Myanmar dengan PBB sebagai representasi dunia internasional) untuk melakukan sebuah transisi politik yang akan berujung kepada pengalihan kekuasaan dari kelompok militer ke tangan kelompok masyarakat sipil dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Dalam hal ini, PBB melalui UNHRC telah menjalankan kebijakan dan pendekatan yang dapat diterima oleh pemerintah Myanmar, sehingga membuka pintu negosiasi dan asistensi bagi berjalannya proses transisi politik di Myanmar. 7-steps roadmaps to democracy yang dijalankan oleh pemerintah Myanmar, merupakan perkembangan positif sekaligus kunci keberhasilan penegakan HAM di Myanmar. Selain itu usulan Pelapor Khusus PBB mengenai pemenuhan empat elemen utama HAM Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu 2010, yang kemudian ditanggapi secara positif oleh pemerintah Myanmar (walaupun belum dijalankan secara maksimal), menunjukan sikap pemerintah Myanmar yang mulai terbuka terhadap masukan- masukan dari dunia internasional melalui PBB.

Jika mengacu kepada pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa kendala utama penegakan HAM di Myanmar adalah sikap tertutup pemerintah Myanmar terhadap berbagai masukan, permintaan, terlebih lagi tekanan-tekanan yang datrang dari luar. Dan diketahui juga, bahwa ternyata sikap pemerintah Myanmar yang demikian sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tekanan dan kecaman yang mereka terima dari dunia internasional, sekaligus dipengaruhi oleh perkembangan situasi geopolitik global yang pada ahkirnya memposisikan Pemerintah Junta militer Myanmar sebagai the true decision maker dalam penyelesaian masalah di Myanmar.

Berdasarkan perkembangan dan pandangan yang demikian, maka prospek penegakan HAM di Myanmar dalam sepuluh tahun ke depan akan berjalan secara positif, jika faktor-faktor berikut ini dipertahankan, yaitu:

1) PBB tetap memposisikan diri sebagai jembatan antara Myanmar dengan dunia internasional, dan mampu menyuarakan dan menggambarkan berbagai perkembangan positif yang dicapai pemerintah Myanmar dalam proses transisi politik yang sedang dijalankan. Di sisi lain, pemerintah Myanmar terus membuka diri terhadap berbagai masukan dari PBB terkait dengan proses transisi politik yang sedang dijalankan;

2) Penurunan tekanan dari dunia internasional terhadap Pemerintah Junta militer Myanmar terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dijalankannya;

3) Terus terkonsolidirnya seluruh elemen kekuatan nasional di Myanmar yang mendukung berjalannya proses transisi politik di Myanmar, dengan PBB sebagai penjamin sekaligus pengawas independen proses transisi politik di Myanmar (atas dasar kesepakatan seluruh pihak);

4) Terbukanya akses masuk dan keamanan bagi pihak-pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang akan memberikan bantuan kemnusiaan sekaligus melakukan pembangunan demokrasi masyarakat sipil pada tataran lokal dalam rang mempersiapkan masyarakat Myanmar memasuki iklim demokrasi serta dalam rangka mempersiapkan dasar-dasar penegakan HAM pada tataran lokal; dan

5) Terbangunnya komitmen dan kesepakatan yang erat atas dasar saling menghormati dan rasa saling percaya antara Pemerintah Junta militer Myanmar dengan PBB untuk melakukan proses transisi politik yang sebenarnya di Myanmar, dalam kerangka tindak lanjut berbagai hasil- hasil yang sudah dicapai oleh pemerintah (ex., pencabutan dan perubahan berbagai peraturan hukum yang bertentangan dengan Konstitusi baru Myanmar).

Jika faktor-faktor tersebut di atas, yang saat ini sudah terpenuhi, dapat terus dipertahankan eksistensinya, maka proses transisi politik di Myanmar akan dapat berjalan dengan baik, yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar. Myanmar telah melewati beberpa perubahan penting dalam beberpa tahun terakhir dan akan terus menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Pelaksanaan dan perlindungan terhadap HAM di Myanmar akan terus menjadi tantangan utama bagi Myanmar di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, konsep tradisional tentang saling ketergantungan dan tak terpisahkan antara hak-hak masyarakat sipil dalam budaya, ekonomi, politik, dan sosial, masih relevan untuk diterapkan. Transisi dari pemerintahan militer ke pemerintahan sipil yang demokratis membutuhkan beberapa perubahan struktural untuk menjamin keterlibatan seluruh sektor masyarakat Myanmar

dalam proses transisi politik tersebut 180 .