Efektifitas Kebijakan PBB Dalam Penegakan HAM di Myanmar

D. Efektifitas Kebijakan PBB Dalam Penegakan HAM di Myanmar

Sampai sejauh ini, dengan melihat berbagai fakta yang ada, masalah penegakan HAM di Myanmar masih jauh dari yang diharapkan, walaupun pada

Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, A/HRC/10/19, hlm. 5.

170 Op.Cit., UNHRC, “Human Rights Situation That Require Council’s Attention: Report of thae Special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Sergio Pinheiro”,

dokumen no. A/HRC/7/18, hlm. 9.

Op.Cit., 171 UNHRC, “Human Rights Situations That Require Council’s Attention; Report of the Special Rapporteur for stuation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, dokumen no. A/HRC/10/19, hlm. 4.

171

172 Ibid, hlm. 11.

dasarnya, keinginan pemerintah untuk memulai langkah-langkah menuju ke arah perubahan negara dan bangsa yang demokratik, prosesnya sudah dimulai oleh pemerintah. Dalam hal ini penegakan HAM, dalam konteks berbangsa dan bernegara, tidak dapat dipisahkan dari berdirinya sebuah pemerintahan yang demokratis. Hal ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya, dimana diketahui bahwa ternyata kendala terbesar dalam penegakan HAM di Myanmar adalah sikap dari Pemerintah Junta militer sendiri yang tidak mau sepenuhnya menjalankan berbagai rekomendasi yang diberikan oleh PBB melalui para Pelapor Khususnya, serta dengan setengah hati menanggapi berbagai permintaan dan desakan dunia internasional untuk segera mengakhiri berbagai bentuk pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap rakyat sipil.

Tentu saja sangat mudah untuk menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. Pemerintah Myanmar yang sudah puluhan tahun (sejak tahun 1962) berada di bawah kekuasaan militer, serta hidup di dalam isolasi dunia internasional, telah memiliki sebuah dasar yang kuat untuk memegang dan menggunakan kekuasaan negara. Di sisi lain, isloasi yang dilakukan oleh dunia internasional kepada Myanmar, dalam perjalanannya justru meningkatkan rasa tanggung jawab dari kelompok militer berkuasa, bahwa hanya melalui merekalah bangsa Myanmar bisa menjadi bangsa yang besar dalam pengertian tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Setelah kurang dari satu tahun, aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007 yang diorganisir oleh para biksu (kemudian dikenal oleh media internasional dengan sebutan Saffron Revolution) menjadi perhatian dunia Setelah kurang dari satu tahun, aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007 yang diorganisir oleh para biksu (kemudian dikenal oleh media internasional dengan sebutan Saffron Revolution) menjadi perhatian dunia

Munculnya tanggapan negatif secara umum dari dunia internasional terkait dengan pelaksanaan referendum di Myanmar, telah memberikan alasan bagi pemerintah untuk menekankan tidak inginnya Pemerintah Junta militer Myanmar mendapatkan intervensi dalam hal masalah dalam negerinya; memperkuat kembali pertahanan terhadap posisi pemerintah militer sebagai pemegang kekuasaan negara, dan menjadi alasan bagi sikap pemerintah yang enggan mempercepat dan membuka akses masuk ke Myanmar bagi berbagai agen internasional yang memebawa bantuan kemanusiaan bagi para korban bencana badai Nargis di Myanmar. Kekuatan-kekuatan barat, seperti AS dan Uni Eropa, bersama dengan negara anggota PBB lainnnya segera mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi dalam rangka memaksa Myanmar untuk membuka pelabuhan dan bandaranya bagi bantuan asing dan meminta PBB untuk bisa Munculnya tanggapan negatif secara umum dari dunia internasional terkait dengan pelaksanaan referendum di Myanmar, telah memberikan alasan bagi pemerintah untuk menekankan tidak inginnya Pemerintah Junta militer Myanmar mendapatkan intervensi dalam hal masalah dalam negerinya; memperkuat kembali pertahanan terhadap posisi pemerintah militer sebagai pemegang kekuasaan negara, dan menjadi alasan bagi sikap pemerintah yang enggan mempercepat dan membuka akses masuk ke Myanmar bagi berbagai agen internasional yang memebawa bantuan kemanusiaan bagi para korban bencana badai Nargis di Myanmar. Kekuatan-kekuatan barat, seperti AS dan Uni Eropa, bersama dengan negara anggota PBB lainnnya segera mendesak PBB untuk mengeluarkan resolusi dalam rangka memaksa Myanmar untuk membuka pelabuhan dan bandaranya bagi bantuan asing dan meminta PBB untuk bisa

Sikap tidak ramah pemerintah Myanmar terhadap berbagai bantuan asing yang masuk ini, memperlihatkan berlanjutnya pertikaian antara negara-negara barat dan Myanmar sejak munculnya gerakan perubahan dan tuntutan masyarakat untuk demokrasi pada tahun 1988. Bagi pemerintahan negara-negara barat, demokrasi merupakan masalah prinsip, idealisme, dan keyakinan; oleh karena itu membutuhkan ukuran-ukuran kunci dalam melihat perkembangan demokrasi, dimana masalah-masalah di negara-negara lain di luar wilayah Eropa dan Amerika Utara akan diidentifikasi dan diselesaikan. Landasan moral bagi prinsip- prinsep dan ide demokrasi, yang diidentifikasi oleh barat, mengacu kepada aturan yang menetukan perlunya terlibat dan mengatur di dalam hubungan-hubungan internasional, dan sewaktu-waktu dapat dijadikan dasar bagi dilakukannya

intervensi terhadap sebuah negara. 174 Sikap Pemerintah Junta militer Myanmar yang semakin “percaya diri”

dengan kemampuannya mengantarkan bangsa Myanmar menuju demokrasi semakin kuat sejalan dengan semakin kuatnya desakan internasional terhadap pemerintah Myanmar. Ironisnya, selama Pemerintah Junta militer Myanmar masih berkuasa, dapat dipastikan penegakan HAM di Myanmar tidak dapat

Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner’s mengajukan dikeluarkannya resolusi PBB untuk memaksa Myanmar membuka pelabuhan dan bandaranya dan menerima bantuan asing yang masuk, dalam hal ini, Rusia dan Cina sebagai anggota tetap DK PBB menolak usulan tersebut.

174 Xiaolin Guo, “Democracy in Myanmar and Paradox of International Politics”, Asian Paper, Februari 2009, Institute for Security and Development Policy, Stockholm-Sweden, hlm. 9,

www.isdp.eu/files/publications/ap/09/xg09democracymyanmar.pdf , diakses tanggal 7 Juni 2009.

dijalankan sepenuhnya. Oleh karena itu, proses transisi politik menuju demokrasi yang sedang dibangun oleh Pemerintah Junta militer Myanmar saat ini, menjadi kunci penting bagi usaha-usaha penegakan HAM di Myanmar.

Dengan melihat kenyataan yang ada, dapat dikatakan bahwa satu-satunya jalan untuk menegakan HAM di Myanmar adalah melalui pergantian kepemimpinan dan pemerintahan di Myanmar dari kelompok militer yang otoriter ke tangan kelompok-kelompok sipil yang demokratis. Untuk mencapai hal tersebut, dapat ditempuh dua jalan, yang pertama adalah dengan melakukan proses transisi politik dan konsolidasi demokrasi seperti yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Junta militer saat ini; dan yang kedua melalui aksi militer untuk menjatuhkan secara paksa rezim militer di Myanmar dan menggantinya dengan

kepemimpinan sipil yang demokratis, yang sempat diwacanakan oleh AS 175 . Sejalan dengan kebijakan PBB terhadap Myanmar saat ini, dalam bentuk

resolusi, pengawasan, dan negosiasi, yang pada tataran lapangan dikomunikasikan dan diawasi serta ditekan pelaksanaannya secara intensif oleh Pelapor Khusus PBB, memperlihatkan pendekatan yang digunakan oleh PBB dalam menyelesaikan permasalahan di Myanmar, khususnya dalam masalah penegakan HAM di Myanmar, tetap diarahkan kepada pendekatan mediasi dan negosiasi untuk melaksanakan proses transisi politik di Myanmar secara damai. Dalam hal ini, PBB secara prinsip mendukung proses transisi politik yang dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar yang terangkum di dalam 7-steps roadmap to democracy . Akan tetapi, mengingat berbagai temuan di lapangan yang

175 Ibid, hlm. 16 175 Ibid, hlm. 16

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terkait dengan adanya 4 elemen utama HAM Myanmar yang direkomendasikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk dipenuhi Pemerintah Myanmar sebelum dilaksanakannya pemilu tahun 2010, telah mulai dilakukan langkah-langkah oleh pemerintah untuk memenuhi penegakan keempat elemen utama HAM tersebut.

Selanjutnya, jika melihat kepada pelaksanaan implementasi resolusi- resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar poin-poin penting yang terdapat di dalam resolusi tersebut, tidak dilakukan atau dilaksanakan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar. Secara umum, poin- poin atau permintaan PBB melalui resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, dapat dirangkum menjadi beberapa poin utama, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, yaitu penghormatan dan penegakan terhadap HAM serta membawa para pelaku pelanggaran HAM khususnya pada peristiwa pembubaran demonstrasi damai pada tahun 2007 ke pengadilan; membebaskan dengan segera seluruh tahanan yang tidak bersalah, seluruh tahanan politik, seluruh tahanan yang ditangkap pada berbagai aksi demonstrasi anti pemerintah tanpa kecuali; menghapuskan segala bentuk larangan terhadap aktifitas politik masyarakat dan Selanjutnya, jika melihat kepada pelaksanaan implementasi resolusi- resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar poin-poin penting yang terdapat di dalam resolusi tersebut, tidak dilakukan atau dilaksanakan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar. Secara umum, poin- poin atau permintaan PBB melalui resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh UNHRC, dapat dirangkum menjadi beberapa poin utama, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, yaitu penghormatan dan penegakan terhadap HAM serta membawa para pelaku pelanggaran HAM khususnya pada peristiwa pembubaran demonstrasi damai pada tahun 2007 ke pengadilan; membebaskan dengan segera seluruh tahanan yang tidak bersalah, seluruh tahanan politik, seluruh tahanan yang ditangkap pada berbagai aksi demonstrasi anti pemerintah tanpa kecuali; menghapuskan segala bentuk larangan terhadap aktifitas politik masyarakat dan

Dalam permintaan yang pertama, yaitu penghormatan dan penegakan terhadap HAM serta membawa para pelaku pelanggaran HAM dalam aksi demonstrasi damai pada tahun 2007 ke pengadilan, tidak dijalankan sepenuhnya oleh Pemerintah Junta militer Myanmar. Bahkan hingga saat ini masih belum jelas siapa saja pihak yang bertanggung jawab atas tewasnya 31 orang pada pembubaran aksi damai tahun 2007 serta hilangnya ratusan orang. Pemerintah Myanmar sendiri tidak pernah melakukan tindakan apapun atau melakukan penyelidikan dengan melibatkan pihak-pihak independen dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Myanmar. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan keinginan Pemerintah Junta militer Myanmar untuk tetap menjaga stabilitas kekuasaannya sampai pemerintahan yang baru hasil pemilu 2010 terbentuk.

Dalam permintaan yang kedua, yaitu membebaskan dengan segera seluruh tahanan yang tidak bersalah, seluruh tahanan politik, dan seluruh tahanan yang ditangkap pada berbagai aksi demonstrasi pada tahun 2007, juga belum dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah Myanmar. Dari bulan September sampai Desember 2008, sekitar 300 tahanan tidak bersalah dijatuhi hukuman yang sanagt berat, termasuk lusinan tahanan yang dijatuhi hukuman 65 tahun penjara. Pelapor Khusus untuk situasi HAM di Myanmar, bersama dengan Pelapor Khusus untuk hakim dan pengacara independen, Pelapor Khusus untuk Dalam permintaan yang kedua, yaitu membebaskan dengan segera seluruh tahanan yang tidak bersalah, seluruh tahanan politik, dan seluruh tahanan yang ditangkap pada berbagai aksi demonstrasi pada tahun 2007, juga belum dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah Myanmar. Dari bulan September sampai Desember 2008, sekitar 300 tahanan tidak bersalah dijatuhi hukuman yang sanagt berat, termasuk lusinan tahanan yang dijatuhi hukuman 65 tahun penjara. Pelapor Khusus untuk situasi HAM di Myanmar, bersama dengan Pelapor Khusus untuk hakim dan pengacara independen, Pelapor Khusus untuk

penjara. 176 Saat ini di Myanmar masih terdapat sekitar 2,100 tahanan tidak bersalah yang masih belum dibebaskan oleh pemerintah myanmar. Sebagaian

besar dari mereka adalah mereka yang terlibat dalam berbagai aksi anti pemerintah. Para tahanan ini ditangkap tanpa dasar hukum yang jelas, dan ditahan tanpa terlebih dahulu menjalani proses pengadilan, bahkan jika ada proses pengadilan, maka pengadilan tersebut sudah dapat dipastikan bersifat tertutup dan tidak adil.

Dalam permintaan yang ketiga, yaitu menghapuskan segala bentuk larangan terhadap aktifitas politik masyarakat dan menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat di depan umum, Pemerintah Junta militer Myanmar juga belum dapat menlankan dengan sepenuhnya. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, sama halnya dengan kebebasan berserikat dan berkumpul, merupakan elemen penting dalam pelaksanaan pemilu 2010 dan telah diabadikan didalam Konstitusi baru Myanmar. Pada paragraf 8 pembukaan Konstitusi baru Myanmar dinyatakan tentang keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Pada Pasal 6 paragraf (d) Konstitusi baru Myanmar dinyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar

Op.Cit., UNHRC, “Human Rights Situations That Require Council’s Attention; Report of the Special Rapporteur for stuation of human rights in Myanmar, Tomas Ojea Quintana”, dokumen no. A/HRC/10/19, hlm. 4.

masih berada di dalam tahanan. 177 Dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kontitusi baru Myanmar

tersebut, dalam logika hukum, segala peraturan hukum yang bertentangan dengan Konstitusi baru harus dicabut atau direvisi ulang. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB mencatat ada beberapa peraturan hukum yang harus dicabut atau direvisi karena bertentangan dengan Konstitusi baru Myanmar dan dalam rangka menunjang usaha-usaha penegakan HAM. Beberapa peraturan hukum tersebut adalah: State Protection Act (1975); Emergency Provisions Act (1950); Printers and Publishers Act (1962); Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responbility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition (No. 5) (1996); Law Relating to Forming of Organizations (1998); Television and Video Law (1985); Motion Picture Law (1996); Computer Science Development Law (1996); Unlawful Association Act; Electronik Communication

177 Ibid, hlm. 11

Law 178 ; dan Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code. Dari keseluruhan peraturan hukum tersebut, belum ada satupun yang dicabut atau

dirubah oleh pemerintah, bahkan peraturan-peraturan hukum tersebut masih digunakan oleh pemerintah untuk melakukan tindakan penangkapan dan penahanan dengan lasan mengamankan proses transisi politik yang sedang dijalankan oleh pemerintah.

Untuk permintaan yang keempat, yaitu melakukan dialog nasional untuk mencari solusi atau melakukan perubahan melalui transisi politik menuju demokrasi, telah dilakukan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar melalui pembentukan Konvensi Nasional untuk Konstitusi baru Myanmar. Akan tetapi, dalam prosesnya, Konvensi Nasional sendiri tidak melibatkan kelompok- kelompok oposisi pro demokrasi seperti NLD dan afiliasinya, yang menjadi salah satu kelompok berpengaruh di Myanmar sejak pemilu tahun 1990. di dalam Konensi Nasional, Pemerintah Junta militer Myanmar juga berusaha untuk merangkul kelompok-kelompok etnis nasional yang selama ini terlibat konfik bersenjata berkepanjangan dengan pemerintah dan kelompok etnis mayoritas. Akan tetapi dalam kenyataannya, hanya kelompok-kelompok etnis nasional yang telah melakukan gencatan senjata dan mendukung pemerintah saja yang bergabung di dalam Konvensi Nasional, sedangkan yang lainnya, yaitu kelompok-kelompok etnis nasional garis keras, seperti NDF tetap menyatakan

Op. Cit., United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen no. A/63/341, hlm. 18.

Sedangkan untuk permintaan kelima, yaitu bekerjasama dengan berbagai organisasi internasional, yaitu organisasi-organisasi kemanusiaan dan pemantau HAM, Pemerintah Myanmar telah melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi kemanusiaan untuk memberikan bantuan kepada para korban bencana alam badai Nargis melalui perantara Tripartite Core Group, yang melibatkan ASEAN dan PBB.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, terlihat bahwa kebijakan PBB melalui UNHRC yang diaplikasikan dalam bentuk resolusi, pengawasan, dan negosiasi, belum dapat secara efektif menekan Pemerintah Junta militer Myanmar untuk dengan segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM. Hal ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bentuk tekanan- tekanan dari dunia internasional, termasuk PBB, dalam kenyataannya hanya justru membuat Pemerintah Junta militer Myanmar semakin menutup diri dari adanya usaha-usaha dialog dan negosiasi, baik dengan kelompok-kelompok pro demokrasi, maupun dengan dunia internasional.

Myanmar telah puluhan tahun mendapatkan sanksi ekonomi dan embargo senjata dari negara-negara barat, hal ini telah memperburuk kondisi perekonomian Myanmar yang pada akhirnya berdampak pada buruknya tingkat kesejahteraan masyarakat Myanmar dalam berbagai aspek, mulai dari aspek pemenuhan kebutuhan pokok, sampai dengan aspek-aspek pemenuhan kebutuhan pelengkap, seperti pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi dalam kenyataannya,

Pemerintah Junta militer Myanmar tetap tidak bergeming dengan adanya sanksi ekonomi dan embargo senjata yang dikenakan terhadapnya. Oleh karena itu, jika pendekatan tekanan ini terus dijalankan oleh komunitas internasional, maka pilihan penyelesaian permasalahan di Myanmar, termasuk penegakan HAM, hanya satu, yaitu melalui aksi militer, yang bisa dilakukan oleh DK PBB, atau AS yang telah lama mengajukan opsi dilakukannya aksi militer untuk menjatuhkan pemerintahan militer di Myanmar. Konsekuensi buruk dari penyelesaian masalah Myanmar melalui aksi-aksi militer, dalam kaitannya dengan penegakan HAM, semakin menjadi korbannya masyarakat sipil, yang selama ini sudah tercabut hak- haknya, kini harus menghadapi kondisi perang. Selain itu, jika terjadi aksi militer terhadap Myanmar, dalam kaitannya dengan perkembangan geopolitik dan geostrategi pada tataran global, Rusia dan Cina, yang selama ini menjadi garantor bagi pemerintahan militer di Myanmar, akan menentang keras tindakan tersebut, terlebih jika aksi ini ternyata dipaksakan dan dimulai oleh AS, maka situasi keamanan global yang sempat memanas, khususnya di Eropa akibat dari perang Rusia-Georgia pada tahun 2008 lalu, akan terbawa masuk ke kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara.

Rasionalisasi di atas telah menjadi pertimbangan mendasar bagi dunia internasional saat ini dalam melihat dan mencari solusi bagi Myanmar, dan oleh karena itu, pilihan untuk melakukan aksi militer terhadap Myanmar, masih dijadikan pilihan paling akhir untuk saat ini. Mulai berjalannya proses transisi politik di Myanmar yang ditandai dengan diterimanya Konstitusi baru Myanmar melalui referendum, menjadi ukuran tersendiri dalam melihat efektifitas kebijakan

PBB terhadap Myanmar. Dalam hal ini, resolusi tidak dilihat sebagai sebuah alat untuk menekan, akan tetapi sebagai alat untuk membuka dialog dan negosiasi dengan Pemerintah Junta militer Myanmar, sekaligus sebagai alat ukur sejauh mana perkembangan, khususnya perkembangan situasi penegakan HAM di Myanmar. Sehingga kebijakan PBB selama ini melalui UNHRC, berdasarkan fakta-fakta di lapangan, serta berdasarkan sudut pandang di atas, telah berjalan efektif dalam mendorong Pemerintah Junta militer Myanmar melakukan usaha- usaha berdasarkan model dan pendekatannya sendiri, untuk memulai dan menjalankan proses transisi politik di Myanmar menuju demokrasi. Pemerintahan demokratis yang nanti akan terbentuk paska pemilu 2010 di Myanmar, akan menjadi tolak ukur sebenarnya dalam melihat perkembangan penegkan HAM di Myanmar.