Perkembangan Politik dan Demokrasi di Myanmar Sejak Masa Pemerintahan Junta Militer

B. Perkembangan Politik dan Demokrasi di Myanmar Sejak Masa Pemerintahan Junta Militer

1. Aktor-aktor politik dominan di Myanmar sejak masa Pemerintahan Junta Militer

Sejak Pemerintah Junta militer berkuasa di Myanmar pada tahun 1962 melalui sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win, hanya ada dua kelompok aktor politik dominan di Myanmar, yaitu kelompok penguasa yang didominasi oleh militer dan kelompok oposisi yang didominasi oleh para aktifis pro-demokrasi. Kemunculan kelompok oposisi, sebagai sebuah kekuatan perlawanan terhadap rezim pemerintahan yang otoriter di Myanmar ditandai dengan gerakan protes dalam bentuk aksi demonstrasi yang dipelopori oleh para mahasiswa menuntut perubahan ke arah demokrasi politik pada tahun 1988 yang terkenal dengan istilah 8888 Uprising atau dikenal oleh dunia internasional

sebagai kemunculan people power di Myanmar. 93 Sejak tahun 1962, Myanmar dikuasai oleh rezim Burma Socialist

Programme Party sebagai satu-satunya partai legal di Myanmar, yang diketuai oleh Jendral Ne Win. Dasar negara yang dituangkan Jendral Ne Win dalam Burmese Way to Socialism telah membawa Myanmar menjadi salah satu negara

termiskin di dunia. 94 Hampir seluruh hal dinasionalisasi oleh Pemerintah Myanmar pada saat itu dan menerapkan sistem pemerintah gaya Soviet dengan

93 Yawnghwe , Chao-Tzang. Burma: Depoliticization of the Political. cited in Alagappa, Muthiah. (1995). Political Legitimacy in Southeast Asia: The Quest for Moral Authority. Stanford

University Press. ISBN 978-0804725606 (1995), hlm. 170 94 Tallentire, Mark. (2007). “The Burma road to ruin”, The Guardian, 28 September

2007, dikutip dari Wikipedia, “8888 Uprising”, http://en.wikipedia.org/wiki/8888_Uprising, diakses tanggal 6 Juni 2009.

sistem perencanaan terpusat dengan keyakinan terhadap hal-hal berbau takhayul. 95

Peristiwa 8888 uprising dimulai oleh mahasiswa di Yangon (Rangoon), pada tanggal 8 Agustus 1988, gerakan ini kemudian menyebar dengan cepat ke

seluruh negeri. 96 Ratusan ribu biksu berjbah kuning, anak-anak dan pemuda, para mahasiswa, para ibu rumah tangga, para dokter turun ke jalan untuk melakukan

demonstrasi melawan rezim pemerintah militer. 97 Peristiwa ini berakhir pada tanggal 18 September, setelah terjadinya kudeta militer berdarah yang dilakukan

oleh State Law and Order Restoration Council (SLORC). Ribuan orang, kebanyakan biksu dan masyarakat sipil, khususnya mahasiswa dibunuh oleh

tentara Myanmar. 98 Selama terjadinya krisis politik tersebut, Aung San Suu Kyi muncul

sebagai ikon nasional. Pada tanggal 26 Agustus 1988, Aung San Suu Kyi yang mengikuti terus perkembangan demonstrasi yang terjadi diseluruh wilayah Myanmar, mulai memasuki dunia politik, dengan berbicara di depan setengah juta

demonstran di Pagoda Shwedagon. 99 Pada saat itulah Suu Kyi menjadi simbol perjuangan di Myanmar, khususnya di mata dunia barat. 100

95 Woodsome, Kate. (2007). “Burmese Way to Socialism' Drives Country into Poverty”, VOA ,

“8888 Uprising ”, http://en.wikipedia.org/wiki/8888_Uprising , diakses tanggal 6 Juni 2009.

96 Ferrara, Federico. (2003). “Why Regimes Create Disorder: Hobbes's Dilemma during a Rangoon Summer”, The Journal of Conflict Resolution, 47(3), hlm. 313.

97 Steinberg, David. (2002). “Burma: State of Myanmar”, Georgetown University Press, ISBN 978-0878408931.

98 Op.Cit., Ferrara, Federico. (2003), hlm 313. 99 Fong, Jack. (2008), “Revolution as Development: The Karen Self-determination

Struggle Against Ethnocracy (1949 - 2004)”, Universal-Publishers. ISBN 978-1599429946, hlm 150. 100 Smith, Martin. (1999) “Burma - Insurgency and the Politics of Ethnicity”, Zed Books,

ISBN 978-1856496605, hlm. 9.

Pada saat peristiwa 8888 uprising, tidak hanya Aung San Suu Kyi yang muncul, tetapi juga mantan perdana menteri Myanmar pada masa pemerintahan demokrasi, U Nu, dan purnawirawan Brigjen Aung Gyi, juga masuk kembali ke dalam dunia politik yang sering digambarkan sebagai masa “berseminya demokrasi” ketika banyak pemimpin demokrasi terdahulu yang masuk kembali ke

dunia politik. 101 Dalam perkembangannya, hanya Aung San Suu Kyi bersama dengan NLD yang telah menjadi simbol perjuangan kelompok maupun partai-

partai pro-demokrasi di Myanmar. Bahkan seperti yang telah dijelaskan, hingga saat ini, hanya NLD, partai politik oposisi di Myanmar, yang kantor pusatnya di Rangoon masih diijinkan untuk melakukan berbagai aktifitas oleh pemerintah, sedangkan partai-partai lain di luar SPDC, seluruhnya sudah ditutup oleh pemerintah.

Dominasi pengaruh NLD bersama dengan Aung San Suu Kyi pada tataran masyarakat di Myanmar, dapat dilihat dari hasil pemilu legislatif di Myanmar, yang kemudian dianulir dan tidak diakui oleh SLORC. Hasil pemilu tahun 1990 tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Pemilu Legislatif di Myanmar tahun 1990 102

Partai

Perolehan

Perolehan Populasi Kursi

kursi (%) (%) National League for Democracy (NLD)

suara

392 58.7 79.7 Shan Nationalities League for Democracy (SNLD)

23 1.7 4.7 Minor Parties and Independents

12 12.1 2.4 Arakan feague for Democracy (AfG)

11 1.2 2.2 National Unity Party (UNP)

10 2.1 2.0 Mon National Democratic Front (MNDF)

Lintner, Bertil. (1989), “Outrage: Burma's Struggle for Democracy”, Hong Kong: Review Publishing Co., hlm. 126.

102 psephos.adam-carr.net , dikutip dari Wikipedia, “Government of Burma”, http://en.wikipedia.org/wiki/Politics_of_Burma , diakses tanggal 6 Juni 2009.

National Democratic Party for Human Rights

4 1.0 0.8 Chin National feague for democracy

3 0.4 0.1 Kachin State National Congress for Democracy

3 0.1 0.1 Party for National Democracy

3 0.5 0.1 Union Pa-O Organisation

3 0.3 0.1 Democratic Organisation for Kayah National Unity

2 0.1 - Kayah State Nationalities League for Democracy

2 0.1 - Naga Hills Regional Progressive Party

2 0.1 - Ta-ang (Palaung) National League for Democracy

2 0.1 - Zomi National Congress (ZNC)

Sehingga dapat dikatakan bahwa aktor politik dominan pada tingkatan nasional, adalah kelompok pro-demokrasi sebagai kelompok oposisi yang direpresentasikan oleh Aung San Suu Kyi bersama dengan NLD sebagai kendaraan politiknya.

Selain kelompok pro-demokrasi, di Myanmar juga dikenali adanya kelompok-kelompok etnis minoritas yang sejak awal kemerdekaan Myanmar telah melakukan berbagai gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Sejak ditandatanganinya Konstitusi Burma pada tahun 1948, etnis-etnis minoritas di Myanmar telah dihilangkan hak-haknya di dalam Konstitusi Burma tersebut, termasuk akses pengolahan lahan yang telah ditempati mereka sejak turun temurun dan dalam hal hak berpartisipasi di dalam pemerintahan. Berbagai macam kelompok etnis minoritas di Myanmar tidak hanya secara terus menerus mengalami tekanan mayoritas etnis dominan di Myanmar, yaitu etnis Bamar/Burma, tetapi juga telah mengalami penderitaan di tangan para pemimpin perang dan berbagai aliansi etnis kawasan yang melakukan perjuangan bersenjata melawan pemerintah. Dalam hal ini agama juga memainkan peranan di dalam konflik etnik di Myanmar. Agama-agama yang hidup dan berkembang di Myanmar adalah Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Perbedaan agama ini telah Selain kelompok pro-demokrasi, di Myanmar juga dikenali adanya kelompok-kelompok etnis minoritas yang sejak awal kemerdekaan Myanmar telah melakukan berbagai gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Sejak ditandatanganinya Konstitusi Burma pada tahun 1948, etnis-etnis minoritas di Myanmar telah dihilangkan hak-haknya di dalam Konstitusi Burma tersebut, termasuk akses pengolahan lahan yang telah ditempati mereka sejak turun temurun dan dalam hal hak berpartisipasi di dalam pemerintahan. Berbagai macam kelompok etnis minoritas di Myanmar tidak hanya secara terus menerus mengalami tekanan mayoritas etnis dominan di Myanmar, yaitu etnis Bamar/Burma, tetapi juga telah mengalami penderitaan di tangan para pemimpin perang dan berbagai aliansi etnis kawasan yang melakukan perjuangan bersenjata melawan pemerintah. Dalam hal ini agama juga memainkan peranan di dalam konflik etnik di Myanmar. Agama-agama yang hidup dan berkembang di Myanmar adalah Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Perbedaan agama ini telah

Myanmar), telah diusir secara paksa oleh tentara Myanmar. 103 Mereka kemudian menyeberangi perbatasan menuju ke Bangladesh, dimana mereka mendapatkan

status sebagai pengungsi dan mendapatkan bantuan dari komunitas internasional yang tidak pernah mereka dapatkan selama tinggal di dalam wilayah Myanmar.

Pengusiran paksa etnis-etnis minoritas di Myanmar tersebut telah menyebabkan terjadinya kekerasan/pelanggaran terhadap HAM, sama halnya dengan eksploitasi terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas oleh kelompok etnis dominan. Aktor-aktor utama di dalam perjuangan etnis di Myanmar adalah

Karen National Union 104 dan Mong Tai Army. Sebuah kesan lama yang menggambarkan Myanmar sebagai sebuah

negara yang pecah akibat konflik etnik dan kekerasan, dan oleh karena itu muncul sebuah bahaya besar bagi pecahnya negara Myanmar seperti yang terjadi di Yugoslavia, atau menghadapi perselisihan dan konflik berdarah antar etnis seperti yang terjadi di Bosnia.

Pembenaran tentang kesan Myanmar tersebut telah muncul semenjak militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 1962, dan telah menjadi alasan bagi Pemerintah Junta militer untuk mengambil alih kekuasaan negara sejak saat itu.

Selth, Andrew. Even Paranoids Have Enemies: “Cyclone Nargis and Myanmar’s Fears of Invasion.” Contemporary Southeast Asia 30.3 (2008), hlm. 385.

104 Wikipedia, “Government of Burma”, http://en.wikipedia.org/wiki/Politics_of_Burma , diakses tanggal 6 Juni 2009.

Kelompok militer mengklaim bahwa mereka mengambil alih kekuasaan karena adanya rencana pemisahan diri dari para pemimpin etnis nasional (atau “ras

nasional”, istilah yang digunakan oleh rezim yang berkuasa saat ini). 105 Pemerintah juga mengklaim bahwa tanpa adanya kehadiran militer yang kuat

maka akan terjadi pemisahan wilayah dan kekerasan konflik antar etnik. Bagaimana Mynamr sebagai sebuah negara yang multi-etnis tersebut bisa menjadi sebuah negara, dapat kita telusuri dari Panglong Accord tahun 1947, yaitu sebuah perjanjian antara Kementrian Burma dan wilayah-wilayah lain yang tidak masuk ke dalam wilayah Kementrian Burma – seperti Frontier Areas, termasuk di dalamnya Propinsi Shan. Perjanjian ini ditandatangani oleh Kepala Dewan Eksekutif Kementrian Burma, U Aung San, dan Putri Shan, kepala etnis Kachin dan Chin, dan para perwakilan masyarakat yang masuk ke dalam wilayah tersebut. Sedangkan para pemimpin etnis Karen, Mon, Rakhine, dan Karenni

hadir di Panglong sebagai pengamat. 106 Selanjutnya terdapat kesepakatan diantara organisasi-organisasi perlawan

berbasiskan etnis sejak awal tahun 1970an untuk menggunakan ide federalisme,

105 Istilah yang digunakan, yaitu “etnis nasional” lebih baik daripada menggunakan istilah “minoritas nasional” untuk menunjukan kelompok-kelompok etnik di Myanmar. Kelompok etnis

mayoritas di Myanmar adalah Burma, Shan, Karen, Kachin, Chin, Rakhine, Mon, dan Karenni. Terdapat persepsi bahwa etnis Burma merupakan etnis mayoritas, sedangkan yang lain merupakan etnis minoritas. Sementara itu etnis Burma sendiri mencakup sekitar 50% lebih dari total populasi penduduk di Myanmar, sedangkan di beberapa propisi di Myanmar terdapat beberapa etnis minoritas seperti di Propinsi Shan, Propinsi Chin, dan lain-lain. Keseteraan antar etnis menjadi masalah yang lebih kompleks ketika didalam sebuah propinsi di Myanmar ternyata terdiri dari banyak etnis, seperti pada Propinsi Shan, Propinsi Karen, dan lain-lain. Bagaimanapun juga, dalam bahasa Burma, dibuat sebuah peembedaan antara etnis minoritas dan etnis nasional – Lu Ne Zu bahasa untuk menyatakan etnis minoritas dan Lu Myo Zu untuk menyatakan etnis nasional.

Otive Igbuzor, “The Role of State Constitution in Protecting Minority Rights under Federalism: Dialog in Support of Democratic Transition in Burma”, Report to IDEA, 2002, hlm. 14 http://www.idea.int/asia_pacific/burma/upload/burma_report.pdf , diakses tanggal 3 Juni 2009.

dalam gerakan demokrasi bahwa federalisme menjadi tujuan bersama. 107 Sehingga dapat dikatakan bahwa terlepas dari kelompok militer, telah

terdapat konsensus dalam skala luas diantara para aktor politik di Myanmar dengan semangat dari Panglong Accord dan sebuah konsensus untuk membangun sebuah negara demokratik, negara federal.

2. Perkembangan HAM dan Demokrasi di Myanmar

Semenjak mencapai kemerdekaannnya pada tahun 1948, Myanmar tidak pernah mencapai tingkat stabilitas nasional. Berbagai permasalahan serius yang berimplikasi kepada seluruh masyarakat Myanmar selalu mengiringi perjalanan Myanmar sebagai sebuah bangsa dan negara. Pada awal kemerdekaannya, Myanmar dihadapkan kepada sebuah konfiik etnis yang berlanjut hingga saat ini. Konflik etnis yang terjadi ini didasarkan kepada rasa ketidakpuasan etnis-etnis minoritas di Myanmar akibat hegemoni dan dominasi etnis mayoritas (etnis Burma) yang telah meegasikan hak-hak mereka sebagai salah satu bagian dari negara Myanmar. Hal ini dapt ditelusuri dari Konstitusi Myanmar tahun 1947 yang dibuat secara terburu buru – hanya dalam beberapa bulan, dalam sebuah situasi yang sangat tidak stabil, sebuah periode traumatik setelah U Aung San dan sebagian besar anggota dari Dewan eksekutif sementara Myanmar, terbunuh pada

Hal ini mengacu kepada Bo Aung Gyaw Declaration tahun 1990 antara NLD dan UNLD untuk mendirikan sebuah negara federal-demokratik, dan Manerplaw Agreement tahun 1991 antara National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB) dan organisasi-organiasai kelompok etnis perlawanan bersenjata.

sebuah transaksi jual beli, dan mereka mengancam untuk melakukan sebuah revolusi bersenjata untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya. 109

Konstitusi Perserikatan tahun 1947, memberikan bentuk negara Myanmar sebagai sebuah negara semi-kesatuan: Kementrian Myanmar menduduki posisi sebagai unit “Negara Pusat” – Pyi-Ma. Terdapat juga tambahan, 4 unit sub-

ordinat 110 : Divisi Khusus Chin, Propinsi Kachin, Propinsi Shan, dan Propinsi Karenni, yang memiliki badan pemerintah dan badan legislatifnya sendiri, akan

tetapi tidak memiliki konstitusi sendiri. Kewenangan atau tanggun jawab dan otonomi masing-masing unit tersebut ditetukan dan dinyatakan di dalam Konstitusi Perserikatan tahun 1947 – yang secara praktek merupakan konstitusi

108 Op. Cit.,Otive Igbuzor, “The Role of State Constitutions in Protecting Minority Rights under Federalism; Dialogues in Support of a Democratic Transition in Burma”, report to International

IDEA, 2002, hlm. 14.

Kelompok komunis Myanmar saat itu menyatakan hak untuk melakukan sebuah revolusi bersenjata setelah kemerdekaan, membawa Myanmar ke dalam situasi perang sipil. Untuk semakin memperumit masalah, etnis Karen juga mengangkat senjata untuk melawan apa yang mereka sebut dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh para pemimpin etnis Burma (sebagian besar mereka yang menduduki jabatan di dalam pemerintahan) untuk menghilangkan eksistensi mereka. Hilangnya kepercayaan dan munculnya rasa permusuhan ini berakar pada masa ketika Jepang mengusir Inggris dari Myanmar pada saat perang dunia ke II. Etnis Karen sangat loyal kepada Inggirs dan menolak pendudukan Jepang pada saat itu. Sedangkan etnis Burma dan para pemimpinnya sangat berpihak kepada kemenanan Jepang atas Inggris. Terjadi beberapa kali pembantaian massal terhadap etnis Karen semasa terjadinya perang sipil di Myanmar, yang dilakukan oleh milisi-milisi etnis Burma. Setelah perang, usaha-usaha untuk melakukan perdamaian antara etnis Karen dan Burma, sudah dilakukan oleh kedua belah pihak, tetapi gagal pada atahapan proses. Hal ini kembali membuat etnis Karen mengangkat senjata untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai negara yang dodominasi oleh etnis Burma yang memiliki agenda untuk memusnahkan etnis Karen.

Sesungguhnya hanya terdapat 4 bagian negara (termasuk divisi khusus Chin). Pada tahun 1950, Propinsi Karen dibentuk dan ditambahkan di dalam struktur pemerintahan, dan secara paradoks, Propinsi Rakhine dan Mon dibentuk oleh Ne Win pada masa pemerintahannya.

Walaupun negara serikat Myanmar saat itu bersifat semi-kesatua, terdapat klausul di dalam Konstitusi Perserikatan tahun 1947 yang mengijinkan pemisahan

wilayah dari Myanmar. 112 Pemerintah negara bagian Kachin dalam faktanya pada pertengahan tahun 1950, mengumumkan berdirinya negara Kachin dan

mengklaim bahwa ketentuan hak unutk memisahkan diri dari negara serikat akan menjadi “duri” bagi kelompok militer. Hal ini membuat para pimpinan militer dan Jendral Ne Win melakukan tindakan: sebuah tugas untuk mencegah terjadinya pemisahan diri dan bubarnya negara serikat Myanmar secara keseluruhan.

Walaupun Konstitusi Negara Serikat Myanmar tahun 1947 tidak sejalan dengan semagat dari Panglong Accord yang ditandatangani pada bulan Februari 1947, hal tersebut dapat dimengerti bahwa konstitusi tersebut dapat dirubah di masa yang akan datang. Pada awal tahun 1960, negara-negara bagian yang dipimpin oleh Sao Shwe Thaike, berinisiatif untuk merubah Konstitusi Negara Serikat Myanmar, untuk membuat konstitusi tersebut benar-benar menjaddi konstitusi negara federal. Menanggapi hal tersebut, Jendral Ne Win melakukan kudeta terhadap kekuasaan, mengklaim bahwa kelompok militer harus melakukan langkah-langkah dalam rangka mencegah rencana pemisahan diri, dan untuk

Pengaturan ini sama dengan pengaturan yang berlaku antara Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia dengan Inggris yang memiliki posisi dominan sebagai Negara Pusat, samapai terjadinya perubahan terhadap konstitusi Inggris.

Klausul pemisahan wilayah tersbut dimasukan di dalam konstitusi karena U Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar, menyatakan bahwa Negara serikat yang dibentuk ini bersifat sementara dan Negara-negara bagian dapat keluar dari perserikatan ini setelah berjalan selama sepuluh tahun di bawah bendera yang sama, bendera Negara serikat Myanmar.

“membersihkan kotoran” yang dibuat oleh para politisi yang korup, tidak populis dan tidak kompeten. 113 Dengan naiknya Jendral Ne Win dan kelompok militer

sebagai penguasan dalam pemerintahan Myanmar, maka berakhirlah era demokrasi di Myanmar yang diikuti dengan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM sebagai konsekuensi logis berkuasanya pemerintahan militer yang otoriter di Myanmar hingga saat ini.

Berikut ini berbagai fakta seputar perkembangan HAM dan demokrasi di Myanmar:

1) Akibat konflik etnis dan diskriminasi etnis yang dilakukan oleh etnis mayoritas berkuasa, etnis burma, terhadap etnis-etnis minoritas sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, membuat banyak etnis minoritas yang pergi meninggalkan Myanmar ke negara-negara seperti Thailand, Bangladesh, Cina, dan Malaysia untuk mencari pekerjaan dan suaka politik. Sekitar 150,000 warga Myanmar hidup di sembilan kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar, dan sekitar 28,000 warga Myanmar terdaftar di dua kamp pengungsian di Bangladesh. Secara kasar terdapat sekitar 40,000 warga Myanmar (sebagian besar etnis Chin dan Rohingya) terdaftar di dalam United

Nations High Commissioner for Refugees 114 (UNHCR) di Malaysia.

Op. Cit., Otive Igbuzor, “The Role of State Constitutions in Protecting Minority Rights under Federalism; Dialogues in Support of a Democratic Transition in Burma”, report to International IDEA, 2002, hlm. 15.

US Bureau of East Asian and Pacifik Affairs, “Burma”, Desember 2008, hlm. 5, http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/35910.htm , diakses tanggal 27 Mei 2009.

2) Pada masa pemerintahan Jendral Ne Win bersama dengan BSPP, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti bisnis, media, produksi dan lain-lain, dinasionalisasi dan berada di bawah pengaturan dan pengawasan pemerintah. Hal ini membuat masyarakat Myanmar tidak memiliki hak dalam hal pengaturan ekonomi dan dalam melakukan usaha-usaha mandiri, selain itu kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan menyatakan pendapat juga tidak ada semasa pemerintahan Ne Win. Pemerintahan militer juga melaksanakan pemilu dengan sistem satu partai, yang menghalangi aspirasi-aspirasi

politik dari kelompok-kelompok oposisi. 115

3) Pada bulan Maret 1988, terjadi aksi demonstrasi mahasiswa di Rangoon untuk menyikapi buruknya situasi perekonomian negara dan menuntut terjadinya pergantian rezim pemerintahan. Aksi demonstrasi ini terus meluas dan berlangsung selama dua bulan lebih, yang kemudian direspon pemerintah melalui aksi pembubaran demonstrasi dengan menggunakan kekerasan. Sepanjang aksi demonstrasi yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988, militer Myanmar membunuh sekitar 1,000 demonstran. Aksi demonstrasi tersebut mengakibatkan pengunduran diri Jendral Ne Win. Paska pengunduran diri tersebut, militer yang dipimin oleh Jendral Saw Maung melakukan kudeta terhadap pemerintahan sementara yang didukung oleh kelompok pro

115 Op. Cit., Myint-U, Thant (2006). “The River of Lost Footsteps”, ISBN 0-374-16342- 1.

demokrasi dan membentuk pemerintahan militer yang disebut dengan State Law and Order Restoration Council (SLORC), yang dengan segera mengirimkan pasukan militer ke jalanan untuk membubarkan berbagai aksi demonstrasi yang masih berlangsung di seluruh negeri. Dalam peristiwa ini, sekitar 3,000 orang terbunuh akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasukan militer dan sekitar 10,000 mahasiswa lari menuju ke hutan dan pegunungan serta wilayah- wilayah perbatasan, dan sebagaian lagi pergi ke luar negeri untuk menghindari penangkapan dan tindakan kekerasan yang dilakukan

oleh pasukan militer. 116

4) Pada tahun 1990 SLORC melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya. Dalam pemilu ini NLD yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan sebagian besar kursi di parlemen. SLORC tidak mengakui hasil pemilu tersebut dan melakukan tindakan penangkapan dan penahanan kepada para aktifis politik pro-demokrasi, termasuk

Aung San Suu Kyi dengan alasan dan dasar hukum yang tidak jelas. 117

5) Pada tahun 1997 SLORC berubah nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC). Pada tahun 2000 SPDC mulai melakukan dialog dengan kelompok oposisi pro-demokrasi yang diwakili oleh Aung San Suu Kyi, serta membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan rumahnya dan memberikan sedikit kebebasan bagi

Op. Cit., US Bureau of East Asian and Pacifik Affairs, “Burma”, Desember 2008, hlm. 6.

117 Ibid.

NLD untuk melakukan aktifitas politknya. Pada tanggal 30 Mei 2003, ketika Aung San Suu Kyi beserta para pendukungnya melakukan konvoy mengelilingi negeri, rombongan tersebut diserang oleh kelompok milisi pro pemerintah yang mengakibatkan banyaknya anggota rombongan yang tewas, terluka, dan hilang. Akibat peristiwa ini dan dengan alasan mengganggu kedamaian dan ketertiban di masyarakat, Aung San Suu Kyi kembali ditangkap dan dijadikan tahnan rumah oleh pemerintah hingga saat ini, bersama dengan para

anggota NLD lainnya yang ditahan secara terpisah. 118

6) Sepanjang tahun 2004 sampai 2006 SPDC membebaskan beberapa tahanan politik dan ribuan aktifis politik pro-demokrasi. Dengan dibebaskannya para tahanan politik ini, kegiatan pengorganisiran masyarakat mulai dilakukan kembali oleh para tokoh dan aktifis politik pro-demokrasi. Dengan kenaikan harga minyak dan buruknya situasi perekonomian Myanmar pada tahun 2007, kelompok pro- demokrasi memanfaatkan momentum ini untuk melakukan aksi demonstrasi anti pemerintah yang dimulai pada tanggal 15 Agustus 2007. Menangggapi aksi ini pemerintah kembali melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 150 aktifis pro-demokrasi dari tanggal 15 Agustus sampai dengan 11 September 2007. Menanggapi aksi pemerintah ini, para biksu di Myanmar melakukan aksi demonstrasi damai anti pemerintah yang dimulai pada tanggal 18

118 Ibid.

September 2007. Menanggapi aksi tersebut, pemerintah kembali melakukan pembubaran demonstrasi dengan menggunakan kekerasan yang dilakukan pada tanggal 26 dan 27 September 2007 melalui tindakan pemukulan, penembakan, dan penangkpan secara brutal. Dalam peritiwa ini ribuan biksu dan demonstran ditangkap serta ditahan, biara-biara penting diseluruh Myanmar dijaga ketat dan ditutup oleh pasukan keamanan. Menurut laporan Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar, dalam peristiwa ini sedikitnya

31 orang tewas. 119 Tindakan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM dan demokrasi oleh

pemerintah militer Myanmar tersebut, dapat terus berlangsung tidak terlepas dari adanya berbagai peraturan hukum atau undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat maupun terhadap para oponen politiknya. Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar mencatat ada beberapa peraturan hukum atau undang-undang yang digunakan oleh pemerintah Myanmar sebagai dasar hukum bagi berbagai tindakan dan kebijakannya yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum HAM internasional, hingga saat ini. Peraturan-

peraturan hukum tersebut adalah sebagai berikut: 120

119 Ibid, hlm. 6-7.

United Nations General Assembly, “Situation of Human Rights in Myanmar”, dokumen

18, http://daccess- ods.un.org/TMP/2007607.html , diakses tanggal 7 Juni 2009.

no. A/63/341,

tanggal

5 September

hlm.

1) State Protection Act (1975); digunakan untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas nasional serta dijadikan dasar hukum bagi dilakukannya aksi-aksi militer terhadap berbegaia gerakan yang membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah;

2) Emergency Provisions Act (1950); sama halnya dengan State Protection Act , peraturan ini digunakan untuk melakukan berbagai aks-aksi militer terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membahayakan kedudukan dan kekuasaan pemerintah;

3) Printers and Publishers Act (1962); perturan yang digunakan untuk melakukan sensor terhadap berbagai bentuk publikasi tulisan yang dianggap melawan pemerintah atau bersifat menghasut publik utnuk melawan pemerintah, atau tulisan-tulisan yang hanya sekedar mengkritisi kebijakan pemerintah;

4) Law Protecting the Peaceful and Systematic Transfer of State Responsibility and the Successful Performance against Disturbance and Opposition (No. 5) (1996); digunakan oleh pemerintah untuk melawan gerakan dan mengahncurkan gerakan-gerakan politik kelompok oposisi;

5) Law Relating to Forming of Organizations (1998); diguakan oleh pemerintah untuk membatasi ruang lingkup gerakan kelompok oposisi, khususnya kelompok pro-demokrasi dalam hal pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik;

6) Television and Video Law (1985); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi dan melakukan sensor terhadap berbagai tayangan televisi dan pencitraan dalam bentuk video;

7) Motion Picture Law (1996); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi kebebasan bereskpresi dan berkesenian;

8) Computer Science Development Law (1996); digunakan oleh pemerintah untuk membatasi arus informasi dan telekomunikasi yang menggunakan media komputer;

9) Unlawful Association Act ; digunakan pemerintah untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam berasosiasi;

10) Electronic Communication Law ; sama halnya dengan Computer Science Development Law, peraturan hukum ini digunakan oleh pemerintah untuk membatasi penggunaan elektronik untuk kepentingan-kepentingan gerakan yang dapat membahayakan kepentiangn dan kekuasaan pemerintah; dan

11) Pasal 143, 145, 152, 505, 505(b), dan 295-A Penal Code; digunakan oleh pemerintah untuk mengidentikan gerakan-gerakan politik dan berbagai tindakan masyarakat yang cenderung mengkritisi dan anti pemerintah, ke dalam sebuah tindakan kriminal atau kejahatan.

3. Gerakan menuju transisi politik dan konsolidasi demokrasi di Myanmar serta kelompok-kelompok penggerak di dalamnya.

Sejak tahun 1990, Pemerintah Junta militer Myanmar telah menolak semua pilihan kecuali melaksanakan transisi politik (oleh militer) melalui jenis demokrasi “berdisiplin” atau “terpimpin”. Perdana Menteri Myanmar pada tahun 2003, Jendral Khint Nyunt, mengumumkan pada akhir Agustus 2003 bahwa pemerintah menjalankan kembali Konvensi Nasional, untuk membuat sebuah konstitusi baru. Hal ini tetap tidak membuat kelompok oposisi – atau sebagain besar negara-negara barat – yakin bahwa rezim militer di Myanmar memiliki komitmen terhadap transisi politik di Myanmar. Walaupun demikian, pernyataan Jendral Khin Nyunt tersebut menjadi sebuah gerakan penting dalam “permainan” politik yang kompleks, yang mungkin mengindikasikan bahwa kelompok militer memposisikan dirinya sendiri untuk berpartisipasi dalam sebuah proses transisi, keberhasilan dan keabsahan proses transisi tersebut yang mana akan tergantung kepada siapa saja yang berpartisipasi dalam proses penyusunan konstitusi baru, dan tergantung kepada kondisi-kondisi tertentu. Jika NLD dan pihak etnis-etnis nasional masuk ke dalam proses tersebut, maka hal tersebut akan menjadi langkah awal bagi dimulainya proses transisi politik.

Ketika NLD dan sebagian besar kelompok-kelompok pro-demokrasi di Myanmar secara konsisten meminta pengakuan terhadap hasil pemilu legislatif pada tahun 1990, di sisi lain mereka juga menerima pentingnya untuk melakukan kompromi dan dialog dengan SPDC. Bagaimanapun juga, usaha-usaha yang dilakukan Aung San Suu Kyi untuk memobilisasi para pendukungnya yang Ketika NLD dan sebagian besar kelompok-kelompok pro-demokrasi di Myanmar secara konsisten meminta pengakuan terhadap hasil pemilu legislatif pada tahun 1990, di sisi lain mereka juga menerima pentingnya untuk melakukan kompromi dan dialog dengan SPDC. Bagaimanapun juga, usaha-usaha yang dilakukan Aung San Suu Kyi untuk memobilisasi para pendukungnya yang

Dalam hal ini ada tiga set aktor politik di Myanmar, yang dirancang oleh PBB sebagai perantara proses perdamaian di Myanmar. Resolusi PBB tahun 1994 dan resolusi-resolusi PBB setelahnya terhadap Myanmar telah meminta adanya solusi tiga pihak bagi penyelesaian masalah di Myanmar, yang melibatkan pemerintah, NLD (dan partai-partai lainnya yang menjadi peserta pemilu pada tahun 1990), dan kelompok-kelompok etnis nasional.

Dalam perjalanannya, banyak kader etnis nasional yang waspada terhadap kepemimpinan di dalam NLD yang banyak terdiri dari mantan pejabat Tatmadaw, yang memiliki kesamaan budaya politik dan konsepsi tentang hubungan negara dan masyarakat yang berdasarkan kepada negara terpusat yang kuat. Akan tetapi, banyak para pemimpin etnis nasional yang telah percaya kepada Aung San Suu Kyi untuk memasukan permintaan/tuntutan mereka dalam berbagai negosiasi yang dilakukan oleh Aung San Suu Kyi dengan SPDC.

Hal ini merupakan sebuah strategi yang beresiko: jika tercapai kesepakatan antara NLD dan SPDC, komunitas internasional akan menanggapi hal tersebut dengan sangat antusias, dan proses transisi politik menemukan momentumnya, yang terjadi sebelum perwakilan etnis nasional muncul. Dalam kasus ini, kelompok etnis nasional memiliki resiko dipinggirkan dari ranah politik nasional, bahkan dipinggirkan untuk kesekian kalinya, kepentingan-kepentingan dan hak-hak politiknya, sehingga para pemimpinnya dihadapkan kepada dua Hal ini merupakan sebuah strategi yang beresiko: jika tercapai kesepakatan antara NLD dan SPDC, komunitas internasional akan menanggapi hal tersebut dengan sangat antusias, dan proses transisi politik menemukan momentumnya, yang terjadi sebelum perwakilan etnis nasional muncul. Dalam kasus ini, kelompok etnis nasional memiliki resiko dipinggirkan dari ranah politik nasional, bahkan dipinggirkan untuk kesekian kalinya, kepentingan-kepentingan dan hak-hak politiknya, sehingga para pemimpinnya dihadapkan kepada dua

Komunitas etnis nasional terdiri dari tiga elemen. Sebagian besar dari 65 kandidat “etnis” dalam pemilu tahun 1990 merupakan perwakilan dari United Nationalities Alliance (UNA, sebelumnya UNLD) yang selalu melakukan kerjasama erat dengan NLD. Kemudian terdapat 14 kelompok etnis bersenjata yang sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan Pemerintah Junta militer Myanmar sejak tahun 1989. Sektor ketiga dari komunitas etnis nasional adalah kelompok etnis yang hingga saat ini masih melakukan perlawan senjata terhadap pemerintah, yang merupakan anggota atau sekutu dari National Democratic Front (NDF).

Dalam hal ini posisi antara UNA dan NDF sudah dalam posisi bersatu, yang menjadi masalah justru posisi dari kelompok-kelompok etnis nasional yang telah menyepakati gencatan senjata dengan pemerintah. Kachin Independent Organisation (KIO), New Mon State Party (NMSP) dan sekutu-sekutu NDF lainnya telah berpartisipasi di dalam Ethnic Nationalities Solidarity and Coordination Committee (ENSCC; dibentuk pada tahun 2001), untuk menyepakati posisi bersama diantara kelompok-kelompok etnis nasional, dalam rangka persiapan negosiasi tiga pihak. Secara khusus NMSP memiliki peranan penting disini, dengan memiliki jaringan di ketiga elemen komunitas etnis nasional: ini merupakan akhir dari kelompok-kelompok yang melakukan gencatan senjata dibelakang NDF, dan juga mereka yang menikmati hubungan baik dengan Dalam hal ini posisi antara UNA dan NDF sudah dalam posisi bersatu, yang menjadi masalah justru posisi dari kelompok-kelompok etnis nasional yang telah menyepakati gencatan senjata dengan pemerintah. Kachin Independent Organisation (KIO), New Mon State Party (NMSP) dan sekutu-sekutu NDF lainnya telah berpartisipasi di dalam Ethnic Nationalities Solidarity and Coordination Committee (ENSCC; dibentuk pada tahun 2001), untuk menyepakati posisi bersama diantara kelompok-kelompok etnis nasional, dalam rangka persiapan negosiasi tiga pihak. Secara khusus NMSP memiliki peranan penting disini, dengan memiliki jaringan di ketiga elemen komunitas etnis nasional: ini merupakan akhir dari kelompok-kelompok yang melakukan gencatan senjata dibelakang NDF, dan juga mereka yang menikmati hubungan baik dengan

Sejak tahun 1989, Pemerintah Junta militer Myanmar telah berulang kali menyatakan bahwa pemerintah hanya akan melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok bersenjata secara masing-masing, menolak untuk mengakui berbagai macam front bersama, seperti NDF atau DAB. Taktik pemecahan yang dilakukan oleh pemerintah tekah berjalan dengan baik dan berhasil dijalankan di Rangoon, dan beberapa pengamat menduga SPDC akan memberikan penawaran sebagai konsesi dengan dilakukannya gencatan senjata dengan beberapa kelompok perlawanan, sebagai ganti bagi dukungan mereka terhadap usaha pemerintah dalam menyelesaikan Konvensi Nasional untuk Konstitusi baru. Sebagai alternatif, pemerintah akan berusaha untuk mengalihkan perhatian dari krisis politik yang sedang terjadi dengan melakukan usaha-usaha memerangi kelompok-kelompok yang terlibat di dalam perdagangan obat bius, dalam rangka untuk memobilisasi dukungan domestik, dan mungkin utnuk mendapatakan sedikit apresiasi dari Pemerintah Thailand dan AS.

Dalam hal ini partai-partai etnis nasional juga harus menghitung resiko mengasingkan diri dari gerakan demokrasi yang terjadi di wilayah kota di

Myanmar. Dengan mengumumkan adanya “inisiatif etnis” pada saat NLD sedang lemah, para politisi etnik nasional akan dituduh telah merusak apa yang sudah dikerjakan oleh Aung San Suu Kyi dan membiarkan kelompok-kelompok demokrasi berada di pembuangan/penjara.

Pada kenyataannya, paska peristiwa 8888 uprising pada tahun 1988 dan paska pecahnya dukungan kelompok-kelompok etnis nasional terhadap gerakan demokrasi, ternyata tidak emmbuat gerakan demokrasi di Myanmar dengan serta merta menjadi mati. Pada tahun 2007 kembali terjadi serangkaian aksi demonstrasi di Myanmar yang menuntut terjadi perubahan menuju ke arah demokrasi, penegakan HAM, dan perbaiak ekonomi serta taraf kehidupan masyarakat Myanmar. Rangkaian aksi demonstrasi ini dipicu oleh sebuah aksi protes pada tanggal 22 April 2007 yang dilakukan oleh 10 orang di daerah pinggiran kota Yangon, ditengah-tengah daerah militer. Para demonstran tersebut membawa plakat dan slogan-slogan yang meminta diturunkannya harga berbagai bahan kebutuhan pokok, peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, peningkatan pendidikan, dan pelayanan publik yang lebih baik. Para demonstran mengakhiri aksinya setelah berjalan selama 70 menit, akan tetapi polisi berpakaian preman segera menangkap 8 dari 10 demonstran. Beberapa orang yang ditahan ini sebelumnya juga pernah melakukan aksi demonstrasi di Yangon pada tanggal 22 Februari 2007. Para demonstran yang ditahan tersebut kemudian dibebaskan setelah menandatangani surat pernytaaan untuk tidak melakukan aksi Pada kenyataannya, paska peristiwa 8888 uprising pada tahun 1988 dan paska pecahnya dukungan kelompok-kelompok etnis nasional terhadap gerakan demokrasi, ternyata tidak emmbuat gerakan demokrasi di Myanmar dengan serta merta menjadi mati. Pada tahun 2007 kembali terjadi serangkaian aksi demonstrasi di Myanmar yang menuntut terjadi perubahan menuju ke arah demokrasi, penegakan HAM, dan perbaiak ekonomi serta taraf kehidupan masyarakat Myanmar. Rangkaian aksi demonstrasi ini dipicu oleh sebuah aksi protes pada tanggal 22 April 2007 yang dilakukan oleh 10 orang di daerah pinggiran kota Yangon, ditengah-tengah daerah militer. Para demonstran tersebut membawa plakat dan slogan-slogan yang meminta diturunkannya harga berbagai bahan kebutuhan pokok, peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, peningkatan pendidikan, dan pelayanan publik yang lebih baik. Para demonstran mengakhiri aksinya setelah berjalan selama 70 menit, akan tetapi polisi berpakaian preman segera menangkap 8 dari 10 demonstran. Beberapa orang yang ditahan ini sebelumnya juga pernah melakukan aksi demonstrasi di Yangon pada tanggal 22 Februari 2007. Para demonstran yang ditahan tersebut kemudian dibebaskan setelah menandatangani surat pernytaaan untuk tidak melakukan aksi

Selanjutnya pada tanggal 23 April 2007 pemerintah mengumumkan secara resmi maksud dari penangkapan para aktifis HAM tersebut. Pengumumkan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Junta militer Myanmar tersebut ditanggapi dengan munculnya permintaan dari kelompok-kelompok pendamping HAM, termasuk Amnesty International yang bermarkas di London, kepada pihak-pihak berwenang untuk menyelidiki serangan terhadap para aktifis HAM yang terjadi di Myanmar.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi perekonomian Myanmar, yang ditandai dengan dilakukannya serangkaian aksi demonstrasi oleh para aktifis pada bulan April 2007, meluas menjadi sebuah aksi demonstrasi anti pemerintah. Pada tanggal 15 Agustus 2007 aksi demonstrasi anti pemerintah dimulai. Pada tanggal 18 September 2007 ribuan biksu Budha mulai memimpin aksi protes yang juga diikuti oleh para biarawati pada tanggal 23 September 2007. Pada tanggal 24 September 2007, sekitar 20,000 biksu dan biarawati Budha memimpin sekitar 30,000 orang demonstran yang memulai perjlanannya dari Shwegadon Pagoda di Yangon, dan diakhiri di kantor NLD. Sebelumnya pada tanggal 22 September 2007, para biksu Budha ini telah menemui Aung San Suu Kyi di tahanan

International Herald Tribune,"Eight demonstrators detained for rare protest in military-ruled

Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November 2008.

Myanmar",

22 April

arsip

pada pada

Pada tanggal 25 september 2007, 2,000 orang pasukan militer Myanmar ditempatkan di Shwegadon Pagoda dan mendapat perintah dari Jendral Thura Myint Maung agar tidak melanggar aturan-aturan Budha dalam mengatasi aksi

demonstrasi. 123 Keesokan paginya beberapa aktifis terkemuka yang ikut dalam demonstrasi ditangkap, pasukan militer membuat barikade di Shwegadon Pagoda

dan menyerang 700 orang yang ada di dalam wilayah tersebut. Meskipun demikian 5,000 biksu Budha tersu melakukan aksi demonstrasi di Yangon. Pemerintah Junta mengumumkan bahwa 10 orang menimnggal dunia pada aksi pembubaran demonstrasi pada tanggal 27 September 2007. Pada tanggal 27 September 2007, pasukan keamanan mulai menjaga biara-biara di Myanmar dan melakukan penangkapan terhadap para biksu di seluruh negeri. Pasukan keamanan juga menembaki 50,000 orang demonstran di Yangon yang berakibat

kepada tewasnya 9 orang. 124 Terkait dengan aksi demonstrasi ini, akses internet di dalam negeri telah

diputus, dalam rangka mengurangi kesadaran dunia internasional terhadap situasi yang sedang terjadi di Myanmar. 125 Respon kekerasan Pemerintah Junta tehadap

122 THE ASSOCIATED PRESS " Tens of Thousands Said to March in Myanmar's Main City ", 24 September 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar ,

diakses tanggal 20 November 2008. 123 Guardian Unlimited, “ Troops sent in as Burmese protesters defy junta's threats” , arsip

pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November 2008. 124 Politiken ," Soldater dræber ni i Myanmar ", 27 September 2007, arsip pada Wikipedia,

“Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November 2008. 125 SMH.com.au, “Burma cuts web access ”, arsip pada Wikipedia, “Burma”,

http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November 2008.

aksi demonstrasi damai pada bulan September 2007 telah memunculkan berbagai kecaman dari dunia internasional dan meminta untuk segera menghentikan berbagai tindakan kekerasan di Myanmar. Secara khusus, Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fakuda telah meminta penjelasan atas terbunuhnya warga negara Jepang, Kenji Nagai, pada peristiwa pembubaran demonstrasi damai di Myanmar. Selanjutnya Ibrahim Gambari, Utusan Khusus Sekretaris Umum PBB seger aberangkat menuju Naypyidaw dan telah bertemu dengan Pemerintah Junta dan

Aung San Suu Kyi. 126 Meskipun tekanan dunia internasional terus meningkat meminta agar diciptakannya perdamaian di Myanmar, militer Myanmar terus

menyerang para Biksu dan menjaga biara-biara sepanjang tanggal 1 Oktober 2007. 127 Pada tanggal 2 Oktober 2007, diperkirakan terdapat ribuan biksu yang

tidak diketahui keberadaannya dimana. Dalam hal ini ada beberapa saksi mata yang menyatakan bahwa para demonstran yang ditangkap, termasuk para biksu yang hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya dimana, telah dibakar hidup-

hidup di krematoriun di Rangoon. 128 Sejak militer berkuasa di Myanmar pada tahun 1962 hingga saat ini,

gerakan menuju transisi politik dan konsolidasi demokrasi digerakan oleh beberapa kelompok, yaitu kelompok mahasiswa pada tahun 1988 yang menjadi

Mizzima News, “ Breaking News – Gambari meets Daw Aung San Suu Kyi ” 30 September 2007 , arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November 2008.

127 Reuters, India, “ Army barricades lifted around key Myanmar temple ” 1 Oktober 2007, arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November

2008. 128 U.S. Campaign for Burma website, “ Audio file describing atrocities committed by the

military regime, in Burmese with English translation ”. 29 September 2007 , arsip pada Wikipedia, “Burma”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar , diakses tanggal 20 November 2008.

cikal bakal berdirinya NLD, kelompok pro-demokrasi dari tahun 1988 hingga saat ini yang disimbolkan melalui NLD dan Aung San Suu Kyi, kelompok-kelompok etnis nasional yan melakukan perlawan bersenjata terhadap pemerintah menuntut kesetaraan hak-hak etnis di Myanmar serta federalisme sebagai solusi bagi bentuk pemerintahan negara Myanmar, dan yang terakhir adalah kelompok agama yang diwakili oleh para biksu Budha sebagai mayoritas agama di Myanmar.