A. Latar Belakang Dan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pada tanggal 4 Januari 1948 Myanmar memperoleh kemerdekaannya dari tangan kolonial Inggris yang menjajah Myanmar sejak tahun 1824, dengan nama Union of Burma . Presiden pertama saat itu adalah Sao Shwe Thaik dan U Nu sebagai Perdana Menterinya. Tidak seperti bekas negara jajahan Inggris lainnya, Burma saat itu tidak menjadi anggota dari negara persemakmuran Inggris. Diawal kemerdekaannya Burma menjalankan sebuah pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokratis ini berakhir pada tahun 1962 ketika Jendral Ne Win sukses memimpin sebuah kudeta militer. Ne Win berkuasa selama 26 tahun dan memerintah Burma dalam sebuah kebijakan yang terkenal dengan nama “Jalan Burma Menuju Sosialisme (Burmese Way to Socialism)” . Diantara tahun 1962 sampai 1974, Burma dipimpin oleh sebuah Dewan Revolusi dengan Ne Win sebagai ketuanya. Pada periode ini, hampir seluruh aspek dan aset masyarakat

dinasionalisasi (bisnis, media, dan produksi). 1 Sejak awal perjalanannya Pemerintah Junta Militer ini tidak terlepas dari

berbagai protes dan aksi demonstrasi yang bersifat sporadis. Sebagian besar aksi diawal pemerintahan Junta ini diorganisir oleh para mahasiswa. Pada tanggal 7 Juli 1962, pemerintah Junta membubarkan aksi demonstrasi mahasiswa pada

1 Myint-U, Thant (2006). The River of Lost Footsteps. ISBN 0-374-16342-1, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

Universitas Rangoon yang menewaskan 15 mahasiswa 2 . Pada tahun 1974, kekerasan militer kembali terjadi terhadap kelompok anti pemerintah pada saat

prosesi pemakaman U Thant, Perwakilan Tetap Union of Burma di PBB, sekaligus Sekretaris Perdana Menteri pada masa Pemerintahan Demokratis U Nu. Aksi protes mahasiswa yang terjadi pada tahun 1975, 1976, dan 1977, dengan

cepat ditumpas oleh pemerintah melalui kekuatan militer. 3 Pada tahun 1988, terjadinya kemandegan ekonomi akibat dari kesalahan manajemen dan opresifitas

politik pemerintah, menyebabkan terjadinya gelombang demonstrasi yang tersebar ke seluruh negeri yang kemudian dikenal dengan sebutan “8888

Uprising” 4 . Pasukan keamanan Myanmar saat itu membunuh ribuan demonstran. Hal ini memicu dilakukannya sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal

Saw Maung yang kemudian membentuk Dewan Hukum Negara dan Restorasi Pemerintah atau State Law and Order Restoration Council (SLORC). Segera setelah SLORC terbentuk, pemerintah mendeklarasikan Martial Law pada tahun 1989, dan menyelenggarakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal

31 Mei 1989. 5 Berdirinya pemerintahan Junta Militer baru yang dipimpin oleh Jenderal

Saw Maung, mengindikasikan bahwa demokrasi masih belum menjadi sebuah jalan dan norma yang seharusnya digunakan untuk menentukan kebijakan dan

2 Myint-U, Thant (2006). The River of Lost Footsteps. ISBN 0-374-16342-1, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

3 Fink, Christina (2001). Living Silence:Burma under Military Rule. ISBN 1-8564-9926- X, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

4 http://my.wikipedia.org/ Myanmar Wikipedia Official Site, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

5 PYITHU HLUTTAW ELECTION LAW, State Law and Order Restoration Council. iBiblio.org (1989-05-31). Diakses tanggal 17 Agustus 2008.

keputusan yang berkaitan dengan nasib jutaan rakyat Myanmar, walaupun terlihat bahwa keran yang selama ini menyumbat perlawanan kelompok pro demokrasi sedikit dibuka. Pada bulan Mei 1990, SLORC menyelenggarakan pemilihan umum bebas untuk pertama kalinya dalam 30 tahun terakhir. Liga Demokrasi Nasional atau National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi memenangkan 392 kursi dari 489 kursi yang diperebutkan, tetapi dengan segera hasil pemilihan tersebut kemudian dianulir oleh SLORC yang

menolak untuk lengser dari kekuasaan tertinggi negara. 6 Kekerasan kembali dan terus dilakukan oleh pemerintah Junta militer

terhadap para penentangnya. Pada bulan Agustus 2007, kembali terjadi aksi demonstrasi yang dipimpin oleh para tokoh anti pemerintah seperti Min Ko Naing, Su Su Nway dan yang lainnya. Aksi ini dengan segera dilumpuhkan oleh militer Myanmar, pemerintah sendiri tidak mengijinkan Palang Merah Internasional untuk mengunjungi salah satu pemimpin demonstrasi yang ditahan di penjara Insein, Min Ko Naing, setelah terjadinya beberapa kekerasan terhadap para demonstran. Berdasarkan laporan yang beredar, satu orang aktivis, Win

Shwe meninggal pada saat interograsi di penjara Insein. 7 Selanjutnya pada tanggal

19 September 2007 terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ribuan biksu di Kota Sittwe. Aksi ini meluas hingga ke kota Rangoon dan beberapa kota lainnya di Myanmar, yang menyebabkan aparat keamanan Myanmar bekerja ekstra keras,

6 Khin Kyaw Han (2003-02-01). "1990 MULTI-PARTY DEMOCRACY GENERAL ELECTIONS". National League for Democracy. iBiblio.org., diakses tanggal 17 Agustus 2008.

News (2006-03-27), http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

7 "Burma's

new

capital

stages

parade",

BBC BBC

tanggal 28 September 2007, akses internet di Myanmar diputus 8 dan para jurnalis tidak diperbolehkan untuk meliput berbagai aksi protes yang dilakukan oleh

masyarakat, biksu, dan mahasiswa. Akhirnya pada tanggal 7 Februari 2008, untuk meredam berbagai aksi demonstrasi yang terus terjadi, Pemerintahan Junta Militer Myanmar atau State Peace and Development Council (SPDC), mengumumkan bahwa akan dilaksanakan referendum untuk menentukan konstitusi dan pemilihan umum pada tahun 2010. Referendum Konstitusi Burma akhirnya dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2008, dan pemerintah berjanji untuk menerapkan demokrasi mengalir yang disiplin, “Discipline-flourishing Democracy” di masa depan.

Apa yang terjadi di Myanmar saat ini telah menimbulkan keprihatinan, tidak hanya pada negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga dunia. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dan beranggotakan hampir seluruh negara-negara di dunia, dalam hal ini merasa perlu untuk melakukan tindakan-tindakan khusus dalam menyelesaikan krisis HAM dan demokrasi di Myanmar. Hal ini merupakan sebuah hal yang wajar, ketika PBB yang mengedepankan perdamaian, penegakan HAM dan demokrasi memiliki kewajiban untuk ikut membantu pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan krisis yang sedang terjadi di Myanmar. Dalam kasus ini ada tiga aspek penting yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban PBB,

Unlimited (2007-09-28), http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

8 "Internet access cut

off

in Burma",

Guardian Guardian

Sampai dengan sejauh ini, PBB telah mengeluarkan dua resolusi terkait dengan perkembangan kekerasan yang terjadi di Myanmar. Resolusi tersebut

yaitu : 9

1) Resolusi yang pertama yaitu Resolusi S-5/1 tanggal 2 Oktober 2007. Dalam resolusi tersebut, Dewan HAM PBB meminta Pelapor Khusus PBB terhadap situasi HAM di Myanmar untuk melaporkan situasi HAM terkini dan mengawasai pelaksanaan dari resolusi yang dikeluarkan PBB tersebut, termasuk di dalamnya menemukan hal-hal yang harus segera ditindaklanjuti dalam kunjungan tersebut, dan melaporkan kepada DEWAN HAM PBB, serta mendesak Pemerintah Myanmar agar mau bekerjasama dengan Utusan/Pelapor Khusus PBB. Utusan/Pelapor Khusus PBB mengunjungi Myanmar dari tanggal 11-

15 November 2007 dan menyerahkan laporan kunjungannya (no laporan : A/HRC/6/14) kepada Dewan HAM PBB tanggal 7 Desember 2007.

2) Resolusi yang kedua adalah Resolusi 6/33. Seperti resolusi sebelumnya, dalam resolusi ini pun meminta kepada Utusan Khusus PBB untuk melaporkan perkembangan situasi HAM di Myanmar, mengawasi pelaksanaan resolusi PBB, dan meminta kepada

9 Dewan HAM PBB, Human Rights SituationsThat Require Council’s Attention : Report of the special Rapporteur on the situation of human rights in Myanmar, Paulo Srgio Pinheiro by

resolution 6/33 of the Human Rights Council , United Nations General Assembly, 7 Maret 2008.

Pemerintah Myanmar agar bekerjasama penuh dengan Utusan Khusus PBB. Pada tanggal 30 Januari 2008, Utusan Khusus PBB mengirimkan surat pemberitahuan kepada Pemerintah Myanmar untuk melanjutkan misi PBB terkait dengan masalah HAM di Myanmar, akan tetapi pada tanggal yang telah ditentukan dalam resolusi, Pemerintah Myanmar tidak memberikan akses masuk kepada Utusan Khusus PBB.

Selanjutnya PBB juga mengirimkan utusan khususnya Ibrahim Ghambari yang bertugas untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah junta militer seputar rekonstruksi dan rekonsiliasi menuju demokrasi. Selain itu PBB juga telah mengirimkan pelapor khusus untuk urusan HAM yang baru, Thomas Ojea Quintana yang menggantikan Paulo Sergio Pinheiro yang telah habis masa tugasnya pada bulan Mei 2008.

Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tidak hanya terbatas pada aspek politik dan demokrasi saja, tetapi telah menyentuh aspek-aspek lain, seperti tenaga kerja, eksploitasi seks dan anak-anak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh dibungkamnya saluran politik dan demokrasi masyarakat, sehingga tidak ada kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah junta militer. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan tidak tegaknya supremasi hukum, karena monopoli pemerintah, sehingga batas-batas tindakan legal dan ilegal menjadi kabur, dan yang ada hanyalah konspirasi. Pada bulan November 2006, Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO), menyatakan bahwa mereka akan menuntut beberapa pejabat Junta Militer Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tidak hanya terbatas pada aspek politik dan demokrasi saja, tetapi telah menyentuh aspek-aspek lain, seperti tenaga kerja, eksploitasi seks dan anak-anak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh dibungkamnya saluran politik dan demokrasi masyarakat, sehingga tidak ada kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah junta militer. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan tidak tegaknya supremasi hukum, karena monopoli pemerintah, sehingga batas-batas tindakan legal dan ilegal menjadi kabur, dan yang ada hanyalah konspirasi. Pada bulan November 2006, Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO), menyatakan bahwa mereka akan menuntut beberapa pejabat Junta Militer

Myanmar. 10 Dalam pergaulan internasional saat ini, yang ditandai dengan unipolaritas

AS, penegasian terhadap HAM dan demokrasi di Myanmar dalam sebuah pemerintahan yang opresif dan otoriter, dianggap sebagai sebuah anomali. Tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap warganya secara massif, pada akhirnya akan menjadi sebuah permasalahan internasional, ketika isu tersebut telah menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan kemanusiaan. Hal terjauh yang mungkin terjadi adalah ketidakpercayaan dunia internasional terhadap pemerintah Junta militer, sehingga pemerintah Junta militer, secara de facto, akan kehilangan legitimasi keluar. Sejauh ini telah dilakukan beberapa pemboikotan terutama dari AS, Perancis, Jepang, dan Cina terhadap pemerintah Junta di Myanmar. Bahkan pada bulan Januari 2007, sebelum UN Security Council atau Dewan Keamanan PBB memanggil pemerintah Junta Myanmar, Rusia dan Cina telah menggunakan hak vetonya dan meminta pemerintah Junta Myanmar untuk menghormati HAM dan

memulai sebuah pemerintahan transisi. 11

10 “ ILO cracks the whip at Yangon”, http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

10 United Nations Security Council Document 14 S-2007-14 on 12 January 2007 , http://en.wikipedia.org.wiki/Myanmar, diakses tanggal 17 Agustus 2008.

Seperti pada kasus-kasus internasional lainnya, Irak, Afghanistan, dan Iran, DK PBB terkesan lambat dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM di Myanmar. Sebagai sebuah Dewan Keamanan, yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas kemanan dunia, PBB seharusnya bertindak cepat dan tegas dalam menyikapi kasus pelanggaran HAM di Myanmar, karena jika ditilik dari dimensi yang lain, misalnya dari dimensi ekonomi, stabilitas keamanan regional, tentu saja negara-negara yang berkepentingan terhadap adanya stabilitas di Myanmar bisa saja bertindak mendahului PBB. Walaupun sampai dengan saat ini PBB telah beberapa kali mengirimkan utusan khususnya untuk urusan demokrasi dan HAM, untuk berunding dengan pemerintah Junta Myanmar terkait dengan krisis dalam negeri Myanmar, akan tetapi PBB perlu segera melakukan langkah-langkah strategis dalam penyelesaian krisis HAM di Myanmar.

Untuk itu, melalui proposal penelitian ini, peneliti mengajukan rencana judul penelitian, yaitu : “KEBIJAKAN PBB DI MYANMAR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PROSES PENEGAKAN HAM DI MYANMAR”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dan gambaran pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1) Bagaimanakah mekanisme kerja PBB dalam mengatasi permasalahan HAM yang terjadi pada level negara ?

2) Bagaimanakah gambaran rill kasus pelanggaran HAM di Myanmar sehingga akhirnya dikategorikan menjadi permasalahan dan isu internasional ?

3) Kebijakan seperti apa yang dikeluarkan PBB sebagai tanggapan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Myanmar ?

4) Bagaimana implikasi kebijakan PBB di Myanmar terhadap proses penegakan HAM di Myanmar ?

1. Pembatasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini akan dibatasi pada beberapa aspek, yaitu :

1) Aspek ruang lingkup tema atau masalah-masalah yang diidentifikasi akan dibatasi pada bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB dalam menanggapi berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah juta militer di Myanmar, serta seberapa jauh implikasi yang muncul dari penerapan kebijakan PBB tersebut terhadap proses penegakan HAM di Myanmar.

2) Aspek ruang lingkup waktu penelitian akan dibatasi dari mulai meningkatnya aksi protes dan demonstrasi di Myanmar pada bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Agustus 2008 yang berimplikasi terhadap peningkatan perhatian dunia internasional terhadap krisis HAM di Myanmar.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan kepada pembahasan sebelumnya, yaitu identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai acuan untuk membuat hipotesis, sebagai berikut : Bagaimana kebijakan yang

dikeluarkan oleh PBB sebagai bentuk tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar berimplikasi terhadap proses penegakan HAM di Myanmar ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui mekanisme kerja PBB yang memiliki kewajiban untuk menegakan HAM dan demokrasi dalam rangka menjaga stabilitas keamanan internasional dalam menyelesaikan krisis HAM di Myanmar.

2) Mendeskripsikan dan menganalisa gambaran rill peningkatan kasus pelanggaran HAM di Myanmar, sehingga menjadi isu dan permasalahan internasional.

3) Mendeskripsikan dan menganalisa kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB sebagai tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.

4) Mendeskripsikan dan Menganalisa implikasi kebijakan PBB di Myanmar terhadap proses penegakan HAM di Myanmar

2. Kegunaan Penelitian

1) Sebagai masukan dalam khasanah keilmuan HI dalam mendeskripsikan dan menganalisa secara operasional konsep HAM dan organisasi internasional, dalam hal ini adalah peranan PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam menyelesaikan krisis HAM di Myanmar.

2) Dapat dijadikan pembanding dan tolak ukur bagi kegiatan penelitian ke depan yang mengangkat tema atau masalah seputar implikasi penerapan kebijakan PBB dan implikasi yang timbul terhadap proses penegakan HAM.

3) Sebagai sebuah prasyarat bagi peneliti untuk menyelesaikan Studi Strata-1 (S1) dan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) pada Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Pasundan, Bandung.

D. Kerangka Teoritis dan Hipotesis

1. Kerangka Teoritis

Pergaulan internasional yang sudah tidak lagi mengenal batas, membawa pengaruh yang sangat signifikan bagi setiap negara. Pergaulan internasional dalam konteks hubungan internasional meliputi beberapa segi hubungan. Dalam hal ini Holsti memberi deskripsi tentang pengertian hubungan internasional seperti dibawah ini :

Hubungan internasional adalah segala bentuk interaksi diantara masyarakat negara-negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau warga negara. Dan meliputi segala segi hubungan diantara berbagai negara Hubungan internasional adalah segala bentuk interaksi diantara masyarakat negara-negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau warga negara. Dan meliputi segala segi hubungan diantara berbagai negara

internasional, dan perkembangan nilai dan etika internasional. 12

Hubungan Internasional merupakan hubungan yang terjadi antara bangsa- bangsa yang berbeda, dimana hubungan tersebut didasarkan beberapa faktor yang menunjang terjadinya proses hubungan antara negara tersebut. Mochtar Mas’oed memberikan gambaran mengenai hubungan internasional, sebagai berikut:

Hubungan Internasional itu sangat kompleks karena didalamnya terlibat bangsa-bangsa yang berdaulat, sehingga memerlukan mekanisme yang lebih rumit dari pada hubungan kelompok manusia didalam suatu negara. Hubungan internasional juga sangat kompleks karena setiap segi hubungan

itu melibatkan berbagai seni lain yang koordinasinya tidak sederhana. 13

Secara sepesifik, Suwardi Wiriaatmadja dalam buku pengantar hubungan internasional, mengemukakan bahwa :

Hubungan Internasional lebih sesuai untuk mencakup segala macam hubungan antar bangsa dan kelompok kelompok bangsa dalam masyarakat dunia dan kekuatan kekuatan, tekanan – tekanan, proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak dan cara berfikir manusia, meskipun fokus masih tetap dalam sistem Negara kebangsaan dan hubungan antar bangsa, tetapi hubungan antar berbagai macam organisasi

dan kelompok juga harus diperhatikan. 14

Dalam hubungan internasional, terdapat beberapa aktor atau subjek pelaku, diantaranya yang paling umum adalah aktor negara-bangsa. Seiring dengan internasionalisme dan globalisasi yang terjadi saat ini, eksistensi institusi- institusi internasional semakin memiliki peranan penting dalam kajian HI.

12 K.J. Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis (Terjemahan Wawan Djuanda) (Bandung: Binacipta, 1987), hlm.26.

13 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodelogi ( Jakarta : LP3S, 1987 ), hlm.27

14 Suwardi Wiriaatmadja, Pengantar Hubungan Internasional (Jakarta; Pustaka Tinta Mas;1984), hal 39.

Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-institusi tersebut dan mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan Internasional, seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri).

Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi berbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi berbagai masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan berbagai bentuk institusi lokal Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi berbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi berbagai masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan berbagai bentuk institusi lokal

Interaksi antara aktor yang tidak hanya terdiri atas negara saja, dalam ilmu hubungan internasional dijabarkan melalui Paradigma Pluralis. Adapun asumsi dasar dari Paradigma Pluralis tersebut adalah :

1) Aktor non-negara merupakan entitas penting.

2) Negara bukan kesatuan aktor.

3) Negara bukan aktor yang rasional.

4) 16 Meluasnya pembahasan dalam agenda politik internasional. Suatu organisasi internasional memiliki karakter-karakter khusus yang

berguna untuk membedakan lingkup kerja dan kegunaan organisasi tersebut di dalam sistem.

Klasifikasi yang paling sering digunakan untuk organisasi internasional biasanya didasarkan pada tiga hal, yaitu :

1) Berdasarkan keanggotaannya, dimana organisasi internasional harus terdiri dari setidaknya dua atau lebih negara yang berdaulat. Meskipun keanggotaannya tidak terbatas pada negara atau perwakilan yang sah.

17 tipe keanggotaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Inter

15 http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_internasional, diakses tanggal 24 Juli 2008 16 Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, International Relations Theory: realism, Pluralism,

Globalism. (Macmillan Publishing Company, 1990) hlm. 192-193. 17 Theodore A. Couloumbis & James H. Wolfe, Op.Cit. hlm. 279-280.

Governmental Organization (IGO”s) dan International Non- Governmental Organization 18 (INGO”s).

2) Berdasarkan tujuan organisasi dimana sebuah organisasi didirikan dengan tujuan untuk pencapaian kepentingan umum seluruh anggotanya.

3) Berdasarkan struktur organisasi, dimana sebuah organisasi harus memiliki struktur formal yang telah disepakati atau disetujui dalam

traktat pada saat pendiriannya. 19 Organisasi internasional sebagai badan formal yang didirikan berdasarkan

persetujuan anggota-anggotanya, baik yang berasal dari pemerintah ataupun non- pemerintah secara umum memiliki tiga kategori, yaiu :

1) Organisasi antar pemerintah / Inter Governmental Organization (IGO”s).

2) Organisasi non-pemerintah / International Non-Governmental Organization (INGO”s).

3) Organisasi trans pemerintahan / Trans Governmental Organization (TGO”s).

Organisasi Internasional sendiri bila dilihat dari sudut keanggotaannya dan sifat hukum yang mengatur kegiatan organisasi dapat dikategorikan dalam

dua kelompok besar yaitu: 20

18 Clive Archer, International Organizations (London : George Allen & UNWIN, 1983) hlm. 66

19 Ibid, hlm. 34-35

1) Organisasi Internasional antar pemerintah atau IGO (Inter Governmental Organization ), dimana keanggotaannya meliputi pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu negara secara resmi.

2) Organisasi Internasional non-pemerintah atau INGO (International Non-Governmental Organization ), dimana keanggotaannya meliputi warga negara atau kelompok-kelompok swasta atau keduanya yang bekerjasama pada tingkat nasional dan internasional.

Menurut disiplin ilmu organisasi internasional, ada 3 kategori peranan dari organisasi internasional, yaitu:

1) Sebagai instrumen : sebagai alat untuk memenuhi kepentingan anggotanya walau mungkin secara konstitusional ada pembatasan kekuasaan negara untuk bertindak secara otonom (sebagai sarana untuk mecapai tujuan para anggotanya).

2) Wadah atau arena : tempat pertemuan bagi negara-negara untuk secara bersama-sama berdiskusi, berargumentasi dan bekerjasama.

3) Sebagai aktor : sebagai independent actor, sehingga ia dapat bertindak tanpa dipengaruhi secara signifikan oleh aktor lain.

Hal ini diperlukan untuk melihat apakah organisasi internasional tersebut ikut aktif berperan dalam suatu peristiwa atau mereka hanya sekedar menjadi

20 R. Soeprapto, Hubungan Internasional Sistem, Interaksi, dan Perilaku. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm 36.

instrumen pencapaian tujuan bagi aktor-aktor lainnya. 21 Tujuan dan aktifitas yang dilakukan oleh organisasi menunjukkan makna sesungguhnya pembentukan suatu

organisasi dan menunjuk pada kegiatan apa yang harus mereka lakukan. Dalam upaya mencari solusi dari suatu permasalahan global kerjasama internasional terkadang tidak hanya melibatkan negara, tetapi juga aktor non- negara seperti organisasi internasional. Menurut Pierre Gerbert, organisasi internasional didefinisikan sebagai berikut,

“The idea of an international organizations is the outcome of anAttempt to bring order into relations by establishing lasting bonds across frontiers between governments or social groups wishing to defend their common interest, within the context of permanent bodies, distinct from national characteristic, cpable of expressing their own will and whose role it is to

perform certain functions of international importance (Gerbert, 1977).” 22

Organisasi internasional secara sederhana dapat didefinisikan sebagai Any Cooperative arrangement instituted among state, usually by basic agreement, to perform some mutually advantageous functions implemented through periodic meetings and staf activities (Pengaturan bentuk Kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik yang diaplikasikan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf

secara berkala). 23

21 Pierre Gibbert dalam buku karangan Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, Op.Cit., hlm. 130-131.

22 Clive Archer, Op.Cit., hlm. 34. 23 Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional (Bandung: PT. Refika

Aditama, 1998), hlm. 2.

Tolak ukur suatu organisasi internasional, apakah dia sudah berperan atau belum dapat dilihat dari tiga hal:

1) Instrumen (alat), organisasi internasional digunakan sebagai alat bagi anggotanya untuk mencapai kepentingannya.

2) Arena (forum), organisasi internasional menyediakan tempat untuk melakukan rapat, berkumpul, kerjasama atau saling berbagi pendapat antara anggota.

3) Aktor, organisasi internasional adalah aktor yang independen, dimana ia dapat bertindak tanpa dipengaruhi oleh kekuatan luar. Selain itu, manusia mengidentifikasikan diri dan kepentingannya melalui organisasi, bukan lagi melalui negara bangsa. Hal ini diperlukan untuk melihat apakah Organisasi Internasional tersebut ikut aktif berperan dalam suatu peristiwa atau mereka hanya sekedar menjadi instrumen

pencapaian tujuan bagi aktor lainnya. 24 Salah satu peranan organisasi internasional yang ada saat ini adalah

peranannya dalam masalah penegakan HAM dan Demokrasi. Walapun ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah

24 Clive Archer, International Organization (New York: Routledge, 1997), hlm. 130-146.

soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teoritisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini.

Namun kalau kita menganggap bahwa Deklarasi Universal dan Perjanjian Internasional secara umum mewakili pandangan kontemporer mengenai hak asasi manusia, meskipun dapat mengatakan bahwa pandangan tentang hak asasi manusia saat ini memiliki tiga perbedaan dibanding konsepsi-konsepsi sebelumnya, terutama yang berlaku pada abad kedelapan belas. Hak asasi manusia yang ada saat ini bersifat lebih egalitarian, kurang individualistis, dan memiliki fokus internasional.

Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis

ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia. 25 Perbedaan antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak

kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi. 26 Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara

internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam

25 Perihal hak-hak perempuan dalam konteks intemasional, lihat Margaret K. Bruce, "Work of the United Nations to the Status of Women" Human Rights Journal 4 (1971): 365-412

Margaret E. Galey, "International Enforce ment of Women's Rights," Human Rights Quarterly 6 (1984): 463490; Terry Ellen Polson, " The Rights of Working Women: An International Perspective," Virginia Journal of International Law 14 (1974): 729-746; dan Jane P. Sweeney, "Promoting Human Rights Through Regional Organizations: Women's Rights in Western Europe," Human Rights Quarterly 6 (1984): 491-506.

26 Lihat Louis Henkin, The Rights of Man Today ( Boulder, Colo: Westview Press, 1978), xi-xiii.

kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap. 27

Di dalam Deklarasi Universal, salah satu hak yang dinyatakan adalah hak- hak sipil dan politik yang terdiri dari : hak untuk bebas dari diskriminnasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Sedangkan hak-hak sosial dan ekonomi mencakup : hak untuk menikah dart membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau

tua. 28 Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam

martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. “standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak

27 Tentang intervensi, lihat Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, "How Effective in Causing Compliance with Human Bights Law Are Coercive Measures That Do Not Involve the Use of

Armed Force?" dalam Lillich dan New man, ed., International Human Rights: Problems of Law and Policy (Boston: Little, Brown, 1979),1979, 3tS8-482; atau Richard B. Lillich, "Intervention to Protect Human Rights," McGill Law Journal 15 (1969) 205-219.

28 John P. Humphrey, Human Rights and the United Nations: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnational Publishers, 1984), hlm. 6 28 John P. Humphrey, Human Rights and the United Nations: A Great Adventure (Dobbs Ferry, New York Transnational Publishers, 1984), hlm. 6

berlaku secara universal (universal moral rights). 29 Salah satu organisasi internasional yang memiliki fokus perhatian

terhadap permasalahan penegakan HAM dalam tataran global adalah United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai sebuah organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di dunia, maka PBB dapat dikategorikan sebagai Inter Governmental Organization (IGO). Dalam kaitannya dengan penegakan HAM secara global, PBB melalui Dewan HAM PBB memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap sebuah negara yang melakukan tindakan pelanggaran HAM, walaupun ada batas-batas tertentu, seperti misalnya masalah kedaulatan negara, akan tetapi atas nama perdamaian dan kemanusiaan maka PBB dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam usahanya melakukan penegakan HAM di suatu negara dalam bentuk intervensi dan fasilitasi. Hal ini sejalan dengan konsep HAM Internasional yang menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan HAM dan kemanusiaan, faktor kedaulatan negara dapat dinegasikan. Adanya hak yang dimiliki oleh PBB tersebut berimplikasi terhadap

29 Ibid 29 Ibid

Jika melihat hubungan antara adanya organisasi internasional sebagai salah satu aktor internasional yang strategis, dalam arti menentukan isu di tataran internasional dan global (dengan tanpa melihat fenomena unipolaritas AS), dengan adanya konsep HAM Internasional, maka dapat kita bahwa dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar, ketika sudah menyentuh hal-hal yang terkait dengan kemanusiaan, kemudian memiliki ekses terhadap stabilitas keamanan, baik regional maupun internasional, maka dalam hal ini PBB memiliki hak sekaligus kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam kebijakan-kebijaknnya terhadap pemerintah Junta militer Myanmar sebagai aktor pelanggar HAM dalam rangka membantu proses penegakan HAM di Myanmar.

2. Hipotesis

Mengacu kepada identifikasi dan perumusan masalah, serta kerangka teori dalam proposal penelitian ini, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

“Jika kebijakan PBB berupa resolusi dan fasilitasi dapat diterapkan secara optimal, maka akan memberikan implikasi positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar, ditandai dengan terbangunnya kembali peta jalan damai di Myanmar.”

3. Operasionalisasi Variabel dan Indikator

Tabel 1. Operasionalisasi Variabel dan Indikator

Variabel dalam

Verifikasi Hipotesis

Indikator

(Analisis) (Teoritik)

(Empirik)

a) Adanya mekanisme

a) Dikeluarkannya resolusi S-

5/1 dan resolusi 6/33 sebagai Jika kebijakan PBB berupa

Variabel Bebas :

penjatuhan resolusi sebagai

tanggapan terhadap resolusi dan fasilitasi dapat

bentuk intervensi PBB

perkembangan situasi HAM diterapkan secara optimal,

terhadap masalah

pelanggaran HAM di

yang terjadi di Myanmar;

Myanmar;

b) Pelapor Khusus yang dikirim

b) Adanya usaha PBB untuk

PBB dengan masa kerja

mengakomodir seluruh

selama 3 bulan memiliki

kepentingan, baik dari pihak

tugas tidak hanya

pemerintah Myanmar,

menginventarisir masalah di

maupun dari pihak

Myanmar, tetapi juga

kelompok pro demokrasi

melakukan berbagai dialog

dalam bentuk dialog,

dengan pemerintah Myanmar

sebagai bentuk fasilitasi

dan juga kelompok-

pihak-pihak yang

kelompok prodemokrasi dan

berkepentingan;

para elit partai di Myanmar;

c) Diutusnya utusan khusus

c) Utusan Khusus Ibrahim

PBB untuk urusan

Gambari sebagai negosiator,

demokrasi dan HAM yang

melakukan tugas utamanya,

baru pada bulan Mei 2008

yaitu membuka dialog

dalam rangka melakukan

dengan pemerintah Myanmar

perundingan dengan

untuk mencari jalan keluar

pemerintah Junta militer di

bersama dari permasalahan

Myanmar untuk

HAM di Myanmar.

menyelesaikan krisis HAM di Myanmar. a) Terbukanya dialog antara

a) Pernyataan pemerintah

Variabel Terikat :

Myanmar yang bersedia Maka akan memberikan

pemerintah Myanmar dan

melakukan dialog dengan implikasi positif terhadap

kelompok pro demokrasi

Aung San Suu Kyi, tokoh proses penegakan HAM di

paska kunjungan utusan

demokrasi dan perdamaian, Myanmar, ditandai dengan

khusus PBB, untuk

yang difasilitasi oleh Utusan terbangunnya kembali peta

menjembatani perbedaan

Khusus PBB; jalan damai di Myanmar.

diantara kedua pihak serta

untuk mencapai sebuah

b) Pernyataan pemerintah

rekonsiliasi menuju

Myanmar, paska pertemuan

demokrasi;

dengan Ibrahim Gambari,

b) Akan dilaksanakannya

yang akan menggelar

pemilu dan penyusunan

konvensi nasional untuk

konstitusi baru Myanmar,

menentukan wakil-wakil

yang akan melibatkan peran

yang akan menyusun

serta perwakilan kelompok

konstitusi baru, serta janji

pro demokrasi di Myanmar.

pemerintah Myanmar yang akan menggelar pemilu pada tahun 2010.

4. Skema Kerangka Teoritis

Alur Pemikiran Kebijakan PBB dan Implikasinya Terhadap Proses Penegakan

HAM di Myanmar

Gagasan tentang HAM Peningkatan tindak kekerasan aparat di Internasional yang

Myanmar diidentifikasi sebagai krisis menjadikan Negara sebagai

HAM di Myanmar objek dari pemaksaan dunia internasional untuk penegakan HAM

Krisis HAM di Myanmar dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Dibungkamnya saluran politik dan PBB sebagai Organisasi

demokrasi masyarakat Myanmar Internasional yang memiliki

selama puluhan tahun kewajiban untuk menegakan

b) Tindakan represif dari aparat HAM dan Demokrasi dalam

militer Myanmar dalam mengatasi rangka menjaga stabilitas

berbagai aksi demonstrasi selama keamanan internasional,

puluhan tahun telah hadir sebagai salah satu aktor

mengakibatkan ribuan orang atau subjek pelaku pemaksa

sehingga menciderai kemanusiaan atau garantor penegakan

c) Penangkapan dan sweeping HAM dalam skala

terhadap para biksu di Myanmar internasional

akibat dari aksi demonstrasi ribuan biksu sepanjang tahun 2007-2008, menunjukan pemerintah Junta

Kebijakan PBB dalam bentuk militer anti demokrasi dan resolusi dan fasilitasi sebagai

mengabaikan hak menyampaikan tanggapan terhadap

pendapat serta menentukan jalan perkembangan situasi HAM

hidup masyarakat Myanmar di Myanmar

Bagaimana implikasi kebijakan PBB di Myanmar terhadap proses penegakan HAM di Myanmar ?

Gambar 1. Skema Kerangka Teoritis

E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

1. Tingkat Analisis

Dalam penelitian ini dimuat variabel-variabel yang memiliki tingkat analisis yang berbeda. Variabel independen (unit eksplanasi) memiliki tingkat analisa sistem atau organisasi internasional, yaitu Jika PBB mengeluarkan kebijakan dalam bentuk resolusi dan fasilitasi sebagai tanggapan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar . Dalam hal ini variabel independen adalah bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh PBB yang merupakan organisasi internasional atau aktor dalam hubungan internasional pada tataran internasional.

Sedangkan variabel dependen (unit analisa) dalam penelitian ini memiliki tingkat analisa negara, yaitu Maka akan memberikan implikasi positif terhadap proses penegakan HAM di Myanmar . Dalam hal ini yang menjadi variabel terikat (dependen) adalah implikasi-implikasi positif dalam proses penegakan HAM di Myanmar, sehingga tingkat analisanya dikategorikan pada tingkat analisa negara. Karena tingkat analisa unit eksplanasi lebih tinggi daripada unit analisanya, maka penelitian ini menggunakan Analisa Deduksionis.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian yang ada pada masa sekarang. Metode deskriptif mengumpulkan, Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian yang ada pada masa sekarang. Metode deskriptif mengumpulkan,

Metode deskriptif dalam penelitian tentang peranan PBB dalam mengatasi krisis HAM di Myanmar menjelaskan bentuk-bentuk implikasi positif yang muncul dalam proses penegakan HAM di Myanmar sebagai implikasi dari diterapkannya kebijakan PBB dalam bentuk intervensi dan fasilitasi., menginterpretasi dan menguji hipotesa. Sehingga gambaran dan penjelasan dalam penelitian ini akan diarahkan kepada bagaimana implikasi positif yang bisa muncul dalam proses penegakan HAM dari penerapan kebijakan PBB.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam mencari dan mengumpulkan data seputar objek penelitian ini adalah :

1) Studi Kepustakaan : data yang dibutuhkan sesuai dengan operasionalisasi variabel dan indikator penelitian mengenai kebijakan PBB di Myanmar dan implikasinya terhadap proses penegakan HAM di Myanmar, dilakukan melalui penelaahan data terhadap buku teks, jurnal ilmiah, dokumen, majalah berita, surat kabar, laporan lembaga pemerintah dan non-pemerintah, maupun data-data yang terdapat dalam website/internet.

2) Wawancara: data yang dibutuhkan didapatkan melalui pelaksanaan wawancara terhadap pakar, pelaku, yang terkait secara tidak langsung kepada tema penelitian ini.

F. Lokasi dan Lamanya Penelitian

1. Lokasi Penelitian

1) Perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jl. Tanah Abang III/23-27, Jakarta.

2) Perpustakaan Universitas Pasundan, Jl. Lengkong Besar. Bandung.

3) Perpustakaan Universitas Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit, Bandung.

2. Lamanya Penelitian

Penelitian ini akan menghabiskan waktu selama satu bulan (4 Minggu), terhitung dari Minggu III Agustus – Minggu III September 2008.

G. Sistematika Penulisan

Merupakan susunan dan materi dalam penulisan usulan atau proposal yang harus mengikuti ketentuan sistematika sebagai berikut:

Tabel 2 Sistematika Penulisan

Bab I

Berisi mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan hipotesis, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, lokasi dan lamanya penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II

Merupakan uraian mengenai variabel bebas di dalam penelitian yaitu seputar bagaimana mekanisme kerja PBB dalam menyelesaikan atau menanggapi berbagai permasalahan pelanggaran HAM serta bagaimana bentuk kebijakan PBB yang dikeluarkan dalam rangka menanggapi pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.

Bab III

Merupakan uraian mengenai variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu seputar proses dan perjalanan penegakan HAM di Myanmar hingga hari ini.

Bab IV

Analisis bentuk-bentuk implikasi positif dalam proses penegakan HAM di Myanmar dari penerapan kebijakan PBB dalam bentuk intervensi dan fasilitasi terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.

Bab V

Kesimpulan

BAB II

KEBIJAKAN PBB DALAM MENANGGAPI KASUS PELANGGARAN HAM

YANG TERJADI DI MYANMAR

A. PBB Sebagai Organisasi Internasional Yang Memiliki Perhatian Terhadap Penegakan HAM

1. Gambaran umum Organisasi PBB

PBB adalah organisasi internasional yang mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah yang memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional, perkembangan ekonomi, dan kesetaraan sosial”.

PBB berdiri pada tahun 1945 sebagai metamorfosa dari Liga Bangsa- Bangsa yang pada waktu itu tidak mampu mencegah terjadinya perang dunia ke

II. Paska perang dunia ke II, masyarakat dunia dihadapkan kepada sebuah kondisi traumatik paska perang, oleh karena itu, atas dasar keinginan untuk menghindari terjadinya perang, maka atas prakarsa negara-negara barat dibentuklah PBB.

Saat ini PBB telah menjadi pusat usaha-usaha global untuk mengatasi berbagai tantangan kemanusiaan. Terdapat sekitar 30 organisasi yang berafiliasi di dalam PBB dalam rangka usahanya untuk mengatasi berbagai tantangan kemanusiaan. PBB bersama-sama dengan organisasi yang berafiliasi dengannya bekerja untuk mempromosikan HAM, perlindungan terhadap lingkungan hidup, memerangi wabah-wabah penyakit dan mengatasi kemiskinan. Agen-agen PBB juga ikut ambil bagian dalam menentukan standar perjalanan udara yang aman Saat ini PBB telah menjadi pusat usaha-usaha global untuk mengatasi berbagai tantangan kemanusiaan. Terdapat sekitar 30 organisasi yang berafiliasi di dalam PBB dalam rangka usahanya untuk mengatasi berbagai tantangan kemanusiaan. PBB bersama-sama dengan organisasi yang berafiliasi dengannya bekerja untuk mempromosikan HAM, perlindungan terhadap lingkungan hidup, memerangi wabah-wabah penyakit dan mengatasi kemiskinan. Agen-agen PBB juga ikut ambil bagian dalam menentukan standar perjalanan udara yang aman

185 negara yang aktif dalam PBB. 30 Dalam menjalankan berbagai aktifitasnya, PBB memiliki struktur

organisasi utama sebagai berikut: