2. Kondisi Ekonomi Makro Tahun 2009 dan Perkiraan Tahun 2010
P
ERTUMBUHAN
E
KONOMI
. Dalam tahun 2009, perekonomian tumbuh 4,5 persen melambat
dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6,0 persen. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga yang
masing-masing tumbuh 15,7 persen dan 4,9 persen. Sementara itu, pembentukan modal tetap bruto tumbuh sebesar 3,3 persen, ekspor barang dan jasa serta impor barang dan jasa masing-
masing tumbuh negatif sebesar 9,7 persen dan 15,0 persen.
Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor pertambangan dan penggalian yang tumbuh sebesar 4,4 persen serta sektor tersier terutama pengangkutan dan
komunikasi; listrik, gas dan air bersih; serta bangunan yang masing-masing tumbuh sebesar 15,5 persen; 13,8 persen, dan 7,1 persen. Adapun sektor pertanian dan sektor pengolahan non-migas
masing-masing tumbuh 4,1 persen dan 2,5 persen .
Dengan ditingkatkannya koordinasi dan efektivitas kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil terutama dalam mengatur permintaan agregat, perekonomian dalam tahun 2010 diperkirakan
mencapai 5,5 persen. Dari sisi pengeluaran, investasi dan ekspor diharapkan tetap menjadi penggerak utama perekonomian dengan didorong oleh konsumsi masyarakat. Sedangkan dari sisi
produksi, industri pengolahan non-migas diharapkan mampu tumbuh tinggi seiring dengan perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Resiko pertumbuhan ekonomi
yang lebih rendah dari 5,5 persen masih ada apabila terjadi gejolak eksternal serta lambatnya penguatan daya beli masyarakat dan peningkatan investasi.
M
ONETER
Tekanan eskternal berupa melemahnya permintaan dan harga komoditas di pasar dunia dan merebaknya dampak krisis keuangan global berpengaruh pada stabilitas moneter. Dengan
koordinasi kebijakan Pemerintah dan BI, diarahkan untuk menurunkan tekanan inflasi dengan tetap mendorong kegiatan perekonomian.
Dari sisi moneter, diupayakan serangkaian kebijakan sebagai upaya menjaga stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan sekaligus mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi
yang lebih besar. Krisis keuangan dunia di akhir tahun 2008 berdampak pada meningkatnya risiko penempatan aset di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kondisi ini telah
mendorong para investor asing menariknya dananya secara berarti dan ditampatkan di negara- negara dan instrumen yang dipandang lebih aman. Hal ini mendorong tekanan yang cukup berat
terhadap nilai tukar rupiah, dari Rp 10.950,-USD pada Desember 2008 menjadi Rp 11.980,-USD pada bulan Februari 2009 dan berangsur menurun menjadi Rp10.225,-USD pada
Juni 2009. Untuk mengantisipasi tekanan tersebut, diupayakan kebijakan pengelolaan pasokan dan permintaan valuta asing, termasuk intervensi di pasar valas secara terbatas. Sejalan dengan
semakin terjaganya kondisi makro ekonomi seperti penurunan inflasi yang cukup berarti dan meningkatnya kepercayaan pasar, nilai tukar rupiah kembali menguat dari Rp10.060,-USD pada
Agustus 2009 menjadi Rp9.400,-USD pada akhir tahun 2009 dan sedikit menguat menjadi Rp9.335,-USD pada Februari 2010.
Sebagai dampak penurunan harga komoditas internasional, kebijakan pengendalian inflasi bahan pangan pokok dan barang dan jasa yang harganya dapat dikendalikan Pemerintah
dan kebijakan moneter yang melonggar, inflasi IHK pada tahun 2009 menurun drastis dari 11,06
I.3-2
persen y-o-y pada Desember 2008 menjadi 2,78 persen y-o-y pada Desember 2009. Sebagai dampak eksternal penurunan harga BBM internasional pada tahun 2008, Pemerintah menurunkan
harga BBM domestik pada akhir tahun 2008 dan pada awal tahun 2009. Hal tersebut mendorong semakin menurunnya tekanan inflasi pada tahun 2009. Upaya pengendalian pasokan bahan pokok
khususnya bahan pangan pokok, dan terjaganya distribusi bahan pangan pokok, menurunkan inflasi bahan pangan pokok yang harganya mudah bergejolak dari 16,49 persen y-o-y pada
tahun 2008 menjadi 3,95 persen y-o-y pada tahun 2009.
Kebijakan moneter pada tahun 2009 ditempuh melalui pelonggaran suku bunga seperti tercermin dari penurunan suku bunga acuan BI rate dari 9,25 persen pada Desember 2008
menjadi 6,50 persen pada Agustus 2009, kemudian ditetapkan tidak berubah sampai dengan akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 Maret 2010.
Meskipun demikian pada awal tahun 2010, seiring dengan terjadi perubahan musim yang menggeser musim tanam padi, kenaikan harga gabah pembelian Pemerintah HPP dan ekspektasi
kenaikan harga pupuk mendorong kenaikan harga beras dan beberapa komoditas pangan lainnya. Inflasi mulai meningkat menjadi 3,81 persen y-o-y pada bulan Februari 2010.
N
ERACA
P
EMBAYARAN
. Dalam keseluruhan tahun 2009, total ekspor mencapai US 119,5 miliar, atau turun 14,4 persen. Penurunan penerimaan ekspor tersebut didorong oleh ekspor migas dan
non-migas yang turun masing-masing sebesar 35,5 persen dan 8,2 persen. Selanjutnya, dalam tahun 2009, impor juga menurun menjadi US 84,3 miliar, turun 27,7 persen dibandingkan tahun
2008. Penurunan ini disebabkan oleh impor migas dan non-migas yang masing-masing turun sebesar 49,4 persen dan 22,2 persen. Dengan defisit jasa-jasa yang meningkat menjadi US 24,6
miliar, surplus neraca transaksi berjalan pada tahun 2009 mencapai sekitar US 10,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan tahun 2008.
Sementara itu neraca modal dan finansial dihadapkan pada terbatasnya investasi langsung asing neto serta tingginya pembayaran utang luar negeri swasta. Hingga akhir tahun 2009,
investasi langsung asing neto mengalami surplus sebesar US 2,3 miliar, investasi portfolio neto surplus sebesar US 10,1 miliar, dan arus modal lainnya defisit sebesar US 8,8 miliar.
Dengan perkembangan ini neraca modal dan finansial dalam keseluruhan tahun 2009 mengalami surplus US 3,7 miliar. Pada akhir Desember 2009, cadangan devisa mencapai US 66,1 miliar,
meningkat sebesar US 14,5 miliar dibandingkan tahun 2008.
Dalam keseluruhan tahun 2007, kinerja ekspor diperkirakan tetap terjaga. Ekspor non- migas dalam tahun 2010 diperkirakan meningkat xx persen. Meningkatnya kegiatan ekonomi
akan mendorong kebutuhan impor dan meningkatkan defisit jasa-jasa pada tahun 2010. Impor non-migas dalam tahun 2010 diperkirakan meningkat sebesar xx persen. Surplus neraca transaksi
berjalan pada tahun 2010 diperkirakan sebesar xx miliar.
Selanjutnya, meningkatnya investasi langsung asing neto dan terjaganya investasi portfolio, diperkirakan mampu meningkatkan surplus neraca modal dan finansial. Dalam
keseluruhan tahun 2010, surplus neraca modal dan finansial diperkirakan mencapai US xx miliar dan cadangan devisa mencapai US xx miliar, cukup untuk membiayai kebutuhan xx bulan
impor.
K
EUANGAN
N
EGARA
. Dalam upaya untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dalam negeri dari resesi dunia, kebijakan APBN pada tahun 2009 diarahkan lebih bersifat ekspansif dengan
memberi stimulus fiskal dalam kemampuan negara untuk membiayainya. Upaya tersebut
I.3-3
diwujudkan dengan dikeluarkannya paket kebijakan stimulus fiskal sebesar Rp73,3 triliun, yang ditujukan untuk 1 memelihara danatau meningkatkan daya beli masyarakat; 2 menjaga daya
tahan perusahaansektor usaha menghadapi krisis global; serta 3 meningkatkan daya serap tenaga kerja dan mengatasi PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Di
sisi lain, pemerintah juga melakukan efisiensi dan penghematan dalam belanja untuk menjaga defisit anggaran dalam batasan yang aman.
Dengan berbagai kebijakan tersebut, realisasi belanja negara hingga 31 Desember 2009 hanya mencapai Rp 954,0 triliun 17,9 persen terhadap PDB atau turun sebesar Rp31,7 triliun
bila dibandingkan dengan realisasi APBN Tahun 2008. Penurunan tersebut terutama didorong oleh turunnya belanja pemerintah pusat, dari sebelumnya Rp693,4 triliun 14,0 persen PDB di
tahun 2008 menjadi Rp645,4 triliun 12,1 persen PDB di tahun 2009. Dengan demikian, meskipun transfer ke daerah mengalami peningkatan dari Rp293,4 triliun 6,9 persen PDB di
tahun 2008 menjadi Rp308,6 triliun 5,8 persen PDB di tahun 2009, secara keseluruhan belanja negara mengalami penurunan.
Dari sisi pendapatan negara dan hibah, sampai dengan 31 Desember 2009, realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2009 hanya mencapai Rp866,8 triliun 16,3 persen PDB atau
turun sebesar Rp114,8 triliun dibandingkan dengan realisasinya di tahun 2008. Realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun 2009 ini sangat dipengaruhi oleh resesi ekonomi dunia.
Salah satu faktor yang berdampak cukup besar adalah lebih rendahnya harga minyak Indonesia di pasar internasional karena turunnya permintaan global yang mengakibatkan menurunnya
penerimaan dari sumber daya alam minyak bumi dan gas SDA Migas. Selain itu, melambannya aktivitas perekonomian domestik telah menurunkan kinerja penerimaan pajak bila dibandingkan
tahun sebelumnya.
Sementara itu, sejalan dengan upaya untuk mendorong perekonomian domestik, defisit APBN ditingkatkan menjadi 1,6 persen PDB, dari sebelumnya sebesar 0,1 persen PDB pada
tahun 2008. Walau defisit cukup tinggi, pemerintah mampu menjaga surplus pada keseimbangan primer sebesar Rp6,6 triliun 0,1 persen PDB sehingga tingkat stok utang pemerintah di akhir
tahun 2009 berkurang menjadi sekitar 30 persen PDB.
Pada tahun 2010, perekonomian domestik diperkirakan mulai pulih dari pengaruh krisis ekonomi global. Mulai pulihnya perekonomian domestik diperkirakan akan memberikan dampak
positif terhadap kinerja APBN. Pendapatan negara dan hibah diperkirakan meningkat menjadi Rp949,7 triliun 15,9 persen PDB di tahun 2010 atau lebih tinggi Rp82,9 triliun dibandingkan
realisasinya di tahun 2009. Sementara itu dari sisi pengeluaran negara, alokasi belanja negara pada APBN Tahun 2010 diperkirakan meningkat sebesar Rp93,7 triliun dibanding realisasi
APBN Tahun 2009.
Dengan perkembangan tersebut, defisit APBN tahun 2010 ditetapkan sebesar 1,6 persen PDB. Dengan defisit anggaran sebesar 1,6 persen PDB, APBN diharapkan mampu memberikan
stimulus terhadap aktivitas perekonomian domestik. Peningkatan defisit tersebut sebagian besar akan dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Negara. Namun demikian, stok utang
pemerintah diharapkan akan turun secara bertahap menjadi lebih rendah dari 30 persen PDB di akhir tahun 2010.
S
EKTOR
K
EUANGAN
. Setelah melewati periode krisis global pada akhir tahun 2008 dan awal 2009, selama tahun 2009 ketahanan sektor keuangan relatif cukup stabil. Pada tahun 2009,
ketahanan perbankan yang ditunjukkan oleh rasio kecukupan modal capital adequacy ratio – CAR bank umum dapat mencapai 17,4 persen, jauh di atas ketentuan batas minimal yang sebesar
8,0 persen. Selanjutnya, potensi kredit macet non performing loan – NPL bank umum yang
I.3-4
sempat meningkat hingga mencapai 4,1 persen pada bulan Mei 2009 berhasil ditekan kembali menjadi 3,3 persen pada akhir tahun 2009, jauh di bawah persyaratan NPL yang sebesar 5,0
persen. Sementara itu, indeks harga saham gabungan IHSG BEI yang sempat terpuruk hingga mencapai 1.241,5 pada bulan November 2008 seiring dengan makin memburuknya krisis
keuangan global, secara bertahap membaik sehingga mencapai 1.332,7 pada bulan Januari 2009. Hal ini dikarenakan oleh adanya sinergi kebijakan berbagai negara yang terkena krisis. Walaupun
pada bulan Februari 2009 sempat turun kembali menjadi 1.285,5 yang dikarenakan oleh munculnya sentimen negatif atas prospek pemulihan ekonomi global, namun secara bertahap
meningkat hingga mencapai 2.534,3 pada bulan Desember 2009 seiring dengan proses pemulihan ekonomi global.
Di sisi penyaluran kredit bank, dampak dari krisis ekonomi dunia menyebabkan pertumbuhan kredit perbankan nasional melambat. Sampai dengan Desember 2009 kredit hanya
tumbuh sebesar 10,1 persen dengan nilai Rp1.446,8 triliun, jauh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan tahunan 2008 sebesar 30,8 persen yoy. Pada penghimpunan dana, simpanan
masyarakat pada bank tumbuh sebesar 13,8 persen yoy dari Rp1.682,1 triliun pada akhir 2008 menjadi Rp1.913,6 triliun pada akhir 2009, lebih lambat dibandingkan akhir 2008 yang tumbuh
sebesar 15,0 persen yoy. Seiring dengan perkembangan tersebut, rasio pinjaman terhadap simpanan loan to deposit ratio – LDR turun dari 74,6 persen pada tahun 2008 menjadi 72,9
persen pada akhir 2009.
Ketangguhan perekonomian Indonesia dalam menghadapi resesi global, prospek pertumbuhan ekonomi jangka pendek yang sehat, dan perbaikan dalam manajemen ekonomi
makro telah meningkatkan peringkat kredit Indonesia. Hal ini tercermin dari peningkatan peringkat kredit Moody’s Investors Service dan Standard Poor’s SP.
Selain kedua kebijakan tersebut, sampai saat ini perangkat hukum, organisasi, SDM, dan penganggaran, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan RUU Otoritas
Jasa Keuangan OJK, seperti Undang-Undang Pasar Modal, Undang-Undang Usaha Perasuransian, Undang-Undang Dana Pensiun terus dilakukan. Pembahasan dengan Tim Panitia
Antar Kementerian tengah dilakukan dan diharapkan semester I Tahun 2010 draft RUU OJK dapat disampaikan ke DPR, untuk segera dilakukan pembahasan.
B. Masalah dan Tantangan Pokok Pembangunan Tahun 2011