BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS TANAH MASYARAKAT
ADAT YANG BERADA DALAM REGISTER 40 PASCA PUTUSAN PERKARA PIDANA NO. 2642 KPID 2006 AN.
TERPIDANA D.L SITORUS
A. Hak Ulayat
Dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk keperluan pembangunan, sementara tanah negara dapat dikatakan hampir tidak tersedia lagi, isu tentang
eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional. Hubungan antara masyarakat adat dengan sumber daya alamnya atau hak
ulayat merupakan kondisi konstitutif bagi eksistensi masyarakat adat. Hubungan antara masyarakat dengan tanah atau sumber daya alamnya adalah inti dari konsep
hak ulayat. Konsep hak ulayat lahir dari hukum alamiah natural rights dikonversi menjadi natural law di dalam hukum positif. Adopsi ulayat sebagai hukum dalam
hukum positif merupakan suatu upaya mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan dengan hukum asli yang ada di dalam komunitas
masyarakat.
57
Hak ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disertai 2 syarat yaitu mengenai eksistensi dan mengenai pelaksanaannya sepanjang menurut kenyataannya
masih ada Pasal 3 UUPA. Di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat,
tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Dalam pelaksanaannya hak ulayat diatur di dalam Pasal 3 yaitu : Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
57
Yance, Mengintip Hak Ulayat dalam Konstitusi di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Juli 2010 www.Goggle.Com
Universitas Sumatera Utara
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Ketentuan dalam Pasal 3 UUPA berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional, yang sebagaimana dinyatakan dalam uraian
diatas merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat tertentu atas tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya.
Tanah itu sekaligus merupakan wilayah daerah kekuasaan masyarakat hukum yang bersangkutan. Hak ulayat diakui eksistensinya, bilamana menurut kenyataannya di
lingkungan kelompok warga masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan memang masih ada. Jika masih ada, pelaksanaannya pun tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Demikian dinyatakan dalam Pasal 3 dan dijelaskan dalam Penjelasan Umum II angka 3.
58
Ada dua pandangan sikap terhadap isu tersebut, yakni : disatu pihak terdapat kekhwatiran bahwa hak ulayat yang semula sudah tidak ada, kemudian dinyatakan
hidup kembali dan dipihak lain, ada kekhawatiran, bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, akan semakin mendesak hak ulayat yang
keberadaannnya dijamin Pasal 3 UUPA. Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar,
karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Di dalam Pasal 3 UUPA
menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan dengan mengingat ketentuan- ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
58
Boedi Harsono, Op.cit Halaman 192
Universitas Sumatera Utara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
59
Hak Ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang kekuasaan
mengurus dan mengatur tanah seisinya, dengan daya laku ke dalam maupun keluar Laporan Penelitian Integrasi Hak Ulayat ke dalam yurisdiksi UUPA, Depdagri- FH
UGM tahun 1978. Pasal 3 UUPA menyebutkan tentang masyarakat hukum adat, tanpa
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertiannya. Bahkan dalam berbagai kesempatan dalam Memori Penjelasan sering digunakan istilah Masyarakat Hukum.
Namun, sesuai dengan fungsi suatu peraturan penjelasan, maka apabila dalam Memori Penjelasan disebut Masyarakat Hukum, yang dimaksud adalah masyarakat hukum
adat yang disebut secara eksplisit dalam Pasal 3 tersebut. Pengertian dalam Peraturan Menteri Agraria No.5 tahun 1999 terdapat dalam
Pasal 1 dan 2 yakni : Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat untuk selanjutnya disebut hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat istiadat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang
59
Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Kompas, 2001 Halaman 54-67
Universitas Sumatera Utara
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan
60
. Implementasi yang paling strategis dan perlu mendapat perhatian menurut
Luthfi I Nasoetion adalah penentuan dan kriteria tentang masih adanya hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, yang meliputi empat hal pokok yaitu :
1. Unsur masyarakat adat, yaitu : Kenyataan bahwa masih terdapatnya
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, menerapkan dan mematuhi ketentuan-ketentuan hukum persekutuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari 2.
Unsur Wilayah, yaitu : Kenyataan bahwa masih terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempat mengambil keperluan hidupnya sehari-hari 3.
Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu : suatu kenyataan masih terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan tersebut.
4. Memiliki sifat yang visual, artinya hubungan hukum dianggap hanya terjadi,
oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan. Boedi Harsono mengemukakan ada 3 tiga kriteria untuk menentukan adanya
hak ulayat yaitu : 1.
Masih adanya suatu kelompok orang yang merupakan warga masyarakat hukum adat tertentu ;
2. Masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat
tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warga itu untuk
60
Peraturan Menteri Agraria No.5 Tahun 1999 dalam Pasal 1 dan 2
Universitas Sumatera Utara
“lebensraum”nya dan pada kenyataan memang merupakan sumber kehidupan dan penghidupan sehari-hari.
3. Masih adanya Penguasa Adat, yang pada kenyataanya dan diakui oleh para
warganya, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat. Runtung mengemukakan bahwa hak para warga masyarakat hukum adat atas
hak ulayat adalah mereka yang mempunyai keleluasaan untuk membuka dan menggunakan memanfaatkan sebagian tanah ulayatnya bagi pemenuhan kebutuhan
sendiri dan keluarganya, penguasaan tanah secara individu dimungkinkan secara turun-temurun sebagai hak kepemilikan perorangan, jika kenyataannya dikuasai dan
diusahai secara terus menerus, dimana para warga masyarakat juga secara bersama- sama dapat mengambil hasil hutan dan kekayaan hak ulayat lainnya.
Secara teoritis, pengertian masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat berbeda. Menurut Pendapat Kusumadi Pujosewojo mengartikan masyarakat hukum
sebagai suatu masyarakat yang menetapkan, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan pada masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul
secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa
solidaritas yang sangat besar diantara para anggota, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatannya oleh orang luar harus dengan ijin dan pemberian imbalan tertentu,
berupa recognisi dan lain-lain. Bagi daerah yang masih memiliki hak ulayat, maka pengelolaannya dilakukan
oleh masyarakat hukum adat setempat berdasarkan tatanan hukum adatnya. Kembali kepada masing-masing daerah masyarakat hukum adat, apakah dapat membuktikan
Universitas Sumatera Utara
ketiga kriteria tersebut. Jika ya, apakah pemerintah mau secara jujur mengakui adanya hak ulayat di daerahnya, karena PMAKBPN No.5 Tahun 1999 yang diilhami oleh
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 menegaskan bahwa pengakuan hak ulayat tersebut dilakukan melalui Peraturan Daerah.
Penguasaan tanah negara diletakkan dalam satu instansi dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dengan
demikian, maka yang disebut tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas
tanah negara, hak pengelolaan, serta tanah ulayat dan tanah wakaf. Terhadap berbagai kasus yang menyangkut penggarapan masyarakat atas
tanah negara, diperlukan ketegasan dalam pengaturannya yang akan datang dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya hak milik atas tanah negara. Dalam
peraturan tersebut perlu ditetapkan tentang instansi yang berwenang memberikannya, syarat pemberiannya, subyek haknya, serta pendaftarannya.
Mencuatnya kasus tanah ulayat di daerah Padang Lawas menyadarkan kita kembali bahwa untuk menentukan eksis tidaknya hak ulayat hak atas tanah suatu
masyarakat hukum adat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berhadapan dengan lembaga hak atas tanah yang dikenal dengan sebutan hak
ulayat ini bagi banyak pihak bagaikan makan buah simalakama. Jika segera disimpulkan, hak ulayat yang dihadapi itu dianggap sudah tidak ada lagi, apalagi
dengan dalih terselubung adanya kepentingan lain yang lebih besar dan mendesak, maka tindakan itu jelas bertentangan dengan prinsip pengakuan terhadap hak ulayat
oleh UUPA yang dijabarkan dalam Pasal 3. Sebaliknya, berawal dari itikad baik dan kesadaran penuh untuk menghormati
hak-hak masyarakat hukum adat terhadap tanah yang merupakan Lebensraum-nya,
Universitas Sumatera Utara
itupun tidak juga selalu mudah untuk menelusurinya, untuk kemudian secara positif menyatakan, hak ulayat itu benar masih ada.
Hal ini disebabkan karena Pasal 3 UUPA yang memberikan dasar bagi pengakuan hak ulayat dengan menyebutkan dua persyaratan, yakni persyaratan
mengenai keberadaan eksistensinya dan pelaksanaannya, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kriteria penentu eksistensi hak ulayat itu.
Namun, dengan berpegang pada konsepsi yang bersumber pada hukum adat, kiranya adil bila kriteria penentu eksistensi hak ulayat didasarkan pada adanya tiga
unsur yang harus dipenuhi secara simultan, yakni adanya 1 subjek hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat itu yang memenuhi karakteristik tertentu; 2 objek hak
ulayat, yakni tanah wilayah yang merupakan Lebensraum mereka; dan 3 adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola tanah
wilayahnya, termasuk menentukan hubungan yang berkenaan dengan persediaan, peruntukkan, dan pemanfaatan, serta pelestarian tanah wilayahnya itu.
Namun, masalahnya akan menjadi tidak sederhana ketika harus berhadapan dengan peristiwa hukum yang konkret. Kesulitan utama adalah menghilangkan
kebiasaan untuk segera menerapkan aturan-aturan yang bersifat normal dengan pendekatan legalistik semata. Karena dengan pendekatan ini dapat berakibat
pengingkaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.
61
Karena itu, perlu adanya kesadaran, berhadapan dengan hak ulayat berarti harus membuka diri untuk memahami kesadaran hukum suatu masyarakat yang
terwujud dalam tindakan nyata sehari-hari berangkat dari sudut pandang dan pola pikir masyarakat yang bersangkutan.
61
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Tanah seluas ± 80.000 Ha yang berada di kawasan hutan negara Padang Lawas yang diklaim tanah ulayat oleh masyarakat adatnya harus ada Peraturan Daerah
yang menetapkannya menjadi tanah ulayat sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 maupun Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyatakan : 1.
Hak ulayat hukum adat masih ada apabila : a. Terdapat sekelompok orang yang memiliki rasa keterikatan oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. b.
Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari, dan ; c.
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga
persekutuan hukum tersebut. 2. Pasal 5 ayat 1 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyatakan
“Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan
mengikutsertakan para pakar hukum adat yang ada didaerah yang
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam
”. 3. Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan
”. Pemahaman yang utuh terhadap keberadaan hak ulayat mensyaratkan
pemahaman tentang struktur kemasyarakatan, termasuk pola-pola kekuasaan dalam masyarakat hukum itu, yang akan memberikan penjelasan “siapa” tokoh yang diberi
kepercayaan masyarakat tersebut Dengan adanya investasi besar-besaran diatas tanah, hak komunal dianggap
ada dan dipertahankan kembali sebagai hak masyarakat desa. Kenyataan inilah yang sering tidak diketahui semua pihak dan sering dijadikan pemicu akar masalah
sebagai sumber pertentangan antara adanya hak ulayat dengan hak lain atas penggunaan tanah tersebut.
Dalam kekaburan seperti ini, bila telah terjadi pertentangan atas eksistensi hak ulayat dengan alasan :
1. Hak ulayat tidak jelas batas-batasnya memang masyarakat hukum adat tidak menetapkan patok-patok pada surat ukur, namun oleh mereka batas
itu ditentukan menurut alam seperti sungai, bukit, tanaman pohon hidup, parit yang sengaja dibuat dan lain-lain; keadaan demikian menimbulkan
ketidakpastian bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Menurut H. Raja Manipo Hasibuan sebagai Raja Adat Panusunan Bulung Luhat Simangambat, luas tanah adat milik masyarakat di areal Padang
Lawas adalah apabila di ukur dengan berjalan kaki 8 hari 7 malam.
62
2. Tidak ada bukti-bukti tertulis atasnya dan ini sama saja meminta tanduk pada kuda.
3. Hak Ulayat sering menimbulkan suatu hambatan dalam pembangunan ekonomi dan sosial apalagi dalam rangka investasi
4. Konflik-konflik antara kehutanan dan masyarakat sekitar hutan tersebut sudah merupakan rahasia umum, dan selalu para anggota masyarakat
hukum adat itu dikalahkan A.P. Parlindungan; 1996 naskah tidak dipublisir
Berdasarkan keterangan dari H.M Tohir Lubis yang bekerja sebagai Kepala Seksi Penyusunan Rencana dan Evaluasi Program Kegiatan Kehutanan di Dinas
Kehutanan kabupaten Tapanuli Selatan. Bahwa benar di daerah Tapanuli Selatan banyak terdapat tanah adat atau tanah ulayat, tetapi tidak ada secara resmi. Jika
seseorang meninggalkan kampungnya maka tanah-tanahnya jatuh dalam pengurusan Hatobangon
Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas seluas ± 8.000 Ha adalah tanah ulayat marga Hasibuan Luhat Ujung Batu yang kemudian diserahkan oleh Sutan
Bahruddin Hasibuan yang mengaku sebagai Raja Panusunan Bulung Luhat Ujung Batu beserta Sutan Malim Hasibuan, Tongku Muda Hasibuan, Minan Hasibuan,
Tongku Soripada Hasibuan, Baginda Partomuan Hasibuan, Rongkaya Sutan Siregar, Tongku Mara Usin Harahap, Tongku Satia Dalimunthe, Tongku Maraudin Hasibuan,
Baginda Junjungan Hasibuan masing-masing mengaku sebagai Hatobangon Cerdik Pandai Luhat Ujung Batu.; Hak-hak atas tanah itu akan hilang kalau pemiliknya
62
Keterangan saksi yang meringankan di persidangan D.L Sitorus dalam perkara pidana no. 481Pid.B2006PN. Jkt.Pst.
Universitas Sumatera Utara
berangkat tanpa melakukan pembayaran-pembayaran menurut hukum adat, biasanya orang ingin meninggalkan kampungnya mempercayakan tanahnya kepada seseorang
anggota keluarga untuk menjaganya atau menyewakannya kepada orang lain, akhir- akhir ini sudah banyak terjadi tanah itu digadaikan dan tidak ada formalitasnya.
Mahadi : 1994.110, Selanjutnya tanah ulayat seluas ± 72.000 Ha yang diserahkan oleh Raja Manipo Hasibuan yang mengaku sebagai Raja Panusunan Bulung Luhat
Simangambat beserta Sutan Tua Hasibuan dan Zamhuri Hasibuan masing-masing mengaku sebagai Hatobangon Cerdik Pandai Luhat Simangambat dan dengan Sutan
Bandaharo Harahap yang mengaku sebagai anak boru Luhat Simangambat serta dengan Tongku Saibun Harahap yang mengaku sebagai Hatobangon Cerdik Pandai
Hutabaringin a.
mengatur mengenai persediaan, penggunaan dan peruntukkan tanah di wilayahnya baik untuk kepentingan manusia perorangan, kepentingan
sosial, keagamaan, kepentingan ekonomi, pertanian, industri, serta kepentingan daerah dan negara.
b. melakukan perencanaan penggunaan tanah yang meliputi penggunaan atas
ruang diatas
dan dibawah
tanah sesuai
dengan batas-batas
peruntukkannya; c.
mengatur pola hubungan antara tanah dengan manusia, warga dengan penduduk di daerah;
d. mengatur hubungan antara manusia dengan manusia berkaitan dengan
tanah diwilayahnya termasuk mempersiapkan kelembagaannya agar hubungan hukum yang terjadi dapat terjamin pemenuhannya.
Dalam melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah daerah kabupaten dan daerah kota harus memerhatikan :
Universitas Sumatera Utara
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan
tanah berdasarkan asas taat asas; b.
Dalam pembuatan peraturan daerah sejauh mungkin melibatkan unsur- unsur legislatif daerah menurut kewenangan yang ada;
c. Aspek keadilan sosial serta pemanfaatannya yang dapat menjamin
peningkatan kesejahteraan; d.
Penghargaan secara proporsional terhadap unsur-unsur kebudayaan asli daerah berkaitan dengan nilai dan fungsi tanah.
Gubernur Sumatera Utara melalui suratnya No.522581 tertanggal 19 Januari 2007 kepada Menteri Kehutanan menawarkan 2 dua opsi penuntasan penyelesaian
permasalahan kawasan hutan Register 40 Padang Lawas. 1.
Terhadap areal Padang Lawas yang diusahai 43 perusahaan, koperasi, yayasan, PMDN, PMA, dan masyarakat, perorangan dan sudah ditanami
diusulkan untuk pelepasan dari Menhut dengan cara kompensasi areal pengganti.
2. Jika opsi pertama tidak dapat dilakukan disarankan untuk diberikan ijin
penggunaan kawasan Padang Lawas 1 satu daur tanam sesuai jenis tanaman yang ada dan kewajiban menghutankan kembali.
B. Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Milik Atas Tanah dalam Sistem UUPA