51
4. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
perjanjian dan klausula baku dalam perjanjian. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya
penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan maupun kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak.
b. Wawancara
43
dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide
.
44
Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara
terarah maupun wawancara bebas dan mendalam depth interview.
5. Analisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi dilakukan untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
43
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, halaman. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat
pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden
interview informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
44
Ibid , halaman. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara,
menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
52
mengatur urutan data dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan.
Setelah data sekunder diperoleh kemudian disusun secara berturut-turut dan sistematis. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu dengan
cara penguraian, menghubungkannya dengan peraturan-peraturan yang berlaku menghubungkannya dengan pendapat para pakar hukum dengan menggunakan
metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan
menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang
telah dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara
53
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN
TERHADAP KLAUSUL BAKU DALAM PERJANJIAN BERLANGGANAN JASA TELEPON
SELULER PASCA BAYAR
A. Perlindungan Konsumen dan Pengaturannya
Perlindungan konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Az. Nasution menyebutkan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah
keseluruhan asas–asas dan kaidah–kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
barangjasa konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.
45
Pasal 2 UUPK menyebutkan “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta
kepastian hukum”. Di dalam penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan
5 lima asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu :
45
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, halaman 30
36
Universitas Sumatera Utara
54
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secra keseluruhan
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepeda konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spirituil.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keasmanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang danatau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan. 5.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Menurut Pasal 3 UUPK, perlindungan konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang atau jasa;
Universitas Sumatera Utara
55
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha menegnai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha. f. Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi no conflictpre purchase
danatau pada saat setelah terjadinya transaksi conflictpost purchase.
46
Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi no conflictpre purchase dapat dilakukan dengan
cara antara lain: 1
Legislation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi dengan memberikan
perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya peraturan perundang tersebut
diharapkan konsumen memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan yang mengatur
transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
46
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999, halaman 3
Universitas Sumatera Utara
56
2 Voluntary Self Regulation, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan
cara ini pelaku usaha diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan
usahanya.
47
Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi conflictpost purchase dapat dilakukan melalui jalur
Pengadilan Negeri PN atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa.
Selanjutnya Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda Konsument. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai
akhir dari benda dan jasa Uiteindelijke Gebruiker van Goerderen en Diensten yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha ondernamer”.
48
Menurut Az. Nasution, pengertian konsumen adalah “Setiap orang yang mendapatkan secara
sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu”.
49
Definisi lain tentang pengertian konsumen dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu “pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan
kepada mereka oleh pengusaha”.
50
Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”koper. Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang
47
Ibid., hal 3
48
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., halaman 57.
49
Az.Nasution, Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal.69
50
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., halaman 57.
Universitas Sumatera Utara
57
Hukum Perdata.
51
Pengertian konsumen jelas lebih luas dari pada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan
Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by definition include us all
” konsumen menurut definisi termasuk di dalamnya kita semua.
52
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK. Pasal 1 angka 1 UUPK
menyatakan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Konsumen sebagai alih bahasa dari consumer, secara harfiah berarti
“seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; juga “sesuatu atau seseorang yang menggunakan
suatu persediaan atau sejumlah barang”. Ada pula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen adalah setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.
53
Dalam Burgerlijk Wetboek baru NBW Belanda seperti termuat dalam bagian ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat umum perjanjian algemene
voorwaarden , konsumen diartikan sebagai “orang alamia yang dalam
mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi
51
Shidarta, Op.Cit., halaman 2.
52
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., halaman 2.
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
58
atau perusahaan”.
54
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan orang dalam batasan di atas adalah orang alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum
badan hukum. Unsur mendapatkan digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang
atau jasa itu oleh konsumen transaksi konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum perjanjian jual-beli, sewa menyewa, pinjam-pakai, perjanjian
jasa angkutan, perbankan, konstruksi, asuransi dan sebagainya, tetapi juga mungkin terjadi karena pemberian sumbangan, hadiah-hadiah, atau yang
sejenisnya baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersial hadiah undian pemasaran, promosi barang atau jasa tertentu, maupun dalam hubungan lainnya
non-komersial. Mendapatkan secara sah adalah mendapatkan suatu barangjasa dengan cara yang tidak bertentanganmelawan hukum. Sekalipun demikian, kelak
konsep “tanggung jawab produk” akan mengubah unsur ini. Unsur kegunaan tertentu memberikan tolak ukur pembedaan antara berbagai
konsumen yang dikenal konsumen antara atau konsumen akhir. Tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan
tertentu itu untuk tujuan memproduksi barangjasa lain dan atau untuk dijual kembali tujuan komersial, maka hal ini akan disebut dengan konsumen
antara. Sebaliknya bila kegunaan tertentu itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya serta tidak untuk dijual
54
Ibid ,
Universitas Sumatera Utara
59
kembali tujuan non-komersial, maka konsumen tersebut adalah konsumen akhir.
Hal-hal yang dikemukakan di atas, tampak terdapat dua pengertian atau jenis konsumen 1 Konsumen yang menggunakan barangjasa untuk keperluan
komersial; dan 2 Konsumen yang menggunakan barangjasa untuk keperluan diri sendirikeluarga dan non-komersial. Jadi istilah konsumen yang digunakan
dalam pengertian sebagai konsumen akhir, yaitu : “Setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk keperluan komersial”. Perlindungan konsumen itu sendiri adalah segala
usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani memparalelkan dengan definisi konsumen, yaitu “Setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
55
Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam definisi dari konsumen ini memang dibuat sejalan dengan pengertian pelaku usaha yang
diberikan oleh Undang-undang, di mana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah :
55
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, halaman 5.
Universitas Sumatera Utara
60
Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
56
Ini berarti tidak hanya para produsen pabrikan yang menghasilkan barang atau jasa yang tunduk pada Undang-undang ini, melainkan juga para
rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang atau jasa kepada masyarakat luas
selaku pemakai atau pengguna barang atau jasa. Untuk mempertegas makna dari barang danatau jasa yang dimaksudkan
Gunawan Wijaya juga memberikan definisi dari barang dan jasa sebagai berikut: Barang adalah “setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen”; dan Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaanprestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.
57
Gunawan Wijaya memberikan perbandingan definisi perlindungan konsumen dalam UUPK dengan pengertia dalam Law Dictionary Karya Steven H.
Giffis. Dari perbandingan tersebut ia mengutip beberapa hal sebagai berikut : 1.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan perumusan maupun pengelompokan yang jelas mengenai macam dan
jenis barang yang dilindungi. Hal ini erat kaitannya dengan sifat pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada
pelaku usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan. Tidak adanya
56
Ibid. , halaman.5.
. 57
Ibid ., halaman 6.
Universitas Sumatera Utara
61
perumusan atau pengelompokan dan pembedaan yang jelas dari jenismacam barang danatau jasa tersebut pada satu sisi “dapat”
memberikan keuntungan
tersendiri pada
“konsumen” yang
memanfaatkan, mempergunakan, ataupun memakai suatu jenis barang danatau jasa tertentu dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Undang-undang Perlindungan Konsumen tampaknya sangat menekankan
pada pentingnya arti dari “Konsumen”, di mana dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut ditegaskan lagi
bahwa : “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi
suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
58
Berdasarkan uraian yang disampaikan di atas dapat dilihat bahwa UUPK masih sangat terbuka untuk melahirkan berbagai macam penafsiran.
Undang-undang Perlindungan Konsumen yang tampak sangat “melindungi” kepentingan konsumen ini diharapkan dapat benar-benar “melindungi”
kepentingan konsumen, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen, dan bukan hanya semata-mata perlindungan yang dikehendaki oleh pelaku usaha
danatau the ruling class untuk kepentingan mereka sendiri. Hubungan yang demikian sering kali terdapat ketidaksetaraan antara
keduanya. Konsumen biasanya berada dalam posisi yang lemah dan karenanya dapat menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha yang secara sosial dan
ekonomi mempunyai posisi yang kuat. Dengan perkataan lain, konsumen adalah
58
Ibid . halaman 9-10.
Universitas Sumatera Utara
62
pihak yang rentan dieksploitasi oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
Dalam rangka melindungi atau memberdayakan konsumen diperlukan seperangkat aturan hukum. Oleh karena itu, diperlukan adanya campur tangan
negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Dengan demikian ditetapkannya UUPK merupakan langkah maju dalam
pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Meskipun Undang-undang ini disebut sebagai Undang-undang Perlindungan
Konsumen UUPK namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak
ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan
akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang- undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga
dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam bidang Hukum Privat Perdata maupun bidang Hukum Publik
Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara. Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, memperjelas kedudukan Hukum
Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
63
B. Klausul Baku dalam Perjanjian
Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum pemenuhan
syarat subjektif untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas pemenuhan syarat objektif. Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi
tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.
Berkembangnya klausula dan perjanjian baku erat hubungannya dan dipacu oleh gejala perkembangan di bidang ekonomi yang bersifat massal serta
percepatan di bidang proses distribusi dan produksi, termasuk meningkatnya tuntutan akan pemberian jasa yang profesional.
59
Penggunaan klausula baku diperkirakan juga karena dipengaruhi oleh banyaknya perusahaan yang
melakukan nasionalisasi. Penggunaan klausula baku dan perjanjian baku memiliki beberapa keuntungan praktis, seperti mengurangi perundingan yang bertele-tele,
terlupanya mengatur beberapa hal tertentu dan penghematan biaya. Dalam praktek klausul-klausul yang berat sebelah dalam perjanjian baku
tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:
59
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, halaman 134.
Universitas Sumatera Utara
64
a. Dicetak dengan menggunakan bentuk huruf yang kecil; b. Bahasa yang sulit dipahami artinya;
c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca; d. Kalimat yang disusun secara kompleks dan rumit;
e. Bentuk perjanjian dan klausulanya tidak berwujud seperti suatu
perjanjian tersamar pada umumnya. f. Kalimat-kalimatnya ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan
besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausul eksemsi di dalam kotak barang yang dibeli.
60
Hampir sebagian besar transaksi bisnis saat ini dilakukan dengan
menggunakan klausula baku, baik itu ter-jadi pada negara maju ataupun terjadi di negara berkembang seperti halnya di Indonesia. Bahkan karena begitu
banyak digunakannya klausula baku tersebut mendorong seorang penulis berkebangsaan Amerika bernama Slawson melaporkan bahwa: “Standard
form contracts probably account for more than ninety percent of all the contracts now made. Most person have difficult remembering the last time
they contracted other than by standard form ”.
61
Secara resmi definisi dari klausula baku yang dapat kita jadikan acuan adalah definisi yang diberikan oleh UUPK, yaitu: “setiap peraturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
60
Munir Fuady, Hukum kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76
61
Mariam Darus Badrulzaman, ”Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku Standard,” Makalah disampaikan pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan
Konsumen , diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 16-18 Oktober
1980, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
65
suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
62
Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa
perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”.
63
Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya
hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya.
648
Jadi klausula baku berarti satu atau lebih klausula yang diformulasikan secara tertulis sebelum terjadinya
perjanjian-perjanjian yang sama jenisnya dengan maksud untuk menentukan pula isi dari perjanjian yang akan terjadi diantara para pihak dan cukup satu klausula
tertulis saja, sudah dapat dikatakan sebagai klausula baku. Menurut doktrin, sebenarnya yang dianggap sebagai klausula baku adalah
sejumlah klausula yang telah disusun secara mendetail dan seksama oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, klausula baku dan perjanjian baku dikatakan
mempunyai sifat konfeksi confectie karakter, dalam pengertian klausula dan perjanjian tidak disusun secara individual untuk pihak tertentu. Sifat tersebut
termanifestasikan lebih lanjut pada kenyataan bahwa pada perjanjian baku hampir
62
Pasal 1 angka 10 UUPK
63
Salim HS., Op.Cit., halaman 146.
64
Ibid., halaman. 146.
Universitas Sumatera Utara
66
tidak memungkinkan pihak-pihak untuk menambahkan atau mengubah klausula- klausulanya.
Klausula baku dan perjanjian baku pada umumnya di dalam literatur setidaknya memenuhi tiga syarat yaitu, klausula itu harus tertulis, klausula
tersebut telah disusun terlebih dahulu dan perjanjian baku yang memuat perjanjian baku akan digunakan terhadap pihak lawannya yang berjumlah relatif banyak,
adanya peraturan pelaksana yang rinci. Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut:
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih
kuat daripada kedudukan debitur. b.
Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu. c.
Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu. d.
Bentuknya tertulis. e.
Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
65
Dari ciri-ciri yang dikemukakan tersebut, seakan-akan suatu perjanjian baku itu sudah pasti mengandung muatan yang negatif dan merugikan pihak yang
kedudukannya lebih lemah. Sebenarnya tidaklah demikian halnya karena mungkin sekali perjanjian baku cukup seimbang di dalam pengaturan mengenai hak dan
kewajiban para pihak.
66
Pada umumnya klausula baku di dalam suatu perjanjian baku atau akta standar tidak atau jarang dibaca. Apabila dibaca sering kali juga
tidak seluruhnya dimengerti artinya oleh mereka yang membacanya. Gejala ini
65
Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya Dengan Perjanjian
Baku Standart dalam Media Notariat Nomor 28-29, Tahun VIII, Juli-Oktobert 1993, halaman 45.
66
Herlien Budiono, Op.Cit, halaman 137.
Universitas Sumatera Utara
67
juga dikenal dengan istilah “masalah klausula yang tidak diketahui dan tidak dimengerti” het euvel der orgeweten en onbegrepen bedingen.
Masalahnya adalah apakah seseorang terikat pada perjanjian baku tersebut yang isinya tidak dibaca dan tidak dimengerti atau dibaca tetapi
tidak dimengerti, walaupun ia menyatakan telah menyetujuinya. Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan di dalam salah satu syarat untuk sahnya perjanjian
adalah adanya kata sepakat. Doktrin menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan ajaran penundukan kehendak yang umum de leer van de algemene
wilsonderwerping .
Pada umumnya pernyataan seseorang adalah sama dengan kehendaknya. Menurut ajaran ini, seseorang yang menyetujui sesuatu akan menyatakan apa
yang dikehendakinya. Oleh karena itu secara formil ia terikat kepada klausula baku yang tercantum di dalam perjanjian baku yang telah disetujuinya tersebut.
Ajaran ini mengambil pijakannya bahwa pihak konsumen yang menyetujui klausula bakuperjanjian baku, memang tidak mengenal seluruh klausula tersebut,
tetapi ia menganggap telah menghendaki ketentuan baku tersebut dan oleh karena itu ia terikat. Pernyataan verklaring yang diberikan dianggap
sesuai dengan kehendak wil yang sebenarnya. Pengikut ajaran tersebut berpendapat bahwa tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada seluruh
lalu lintas hukum apabila orang tidak terikat walaupun telah menandatangani perjanjian baku tersebut. Jurisprudensi pada umumnya telah menerima ajaran
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
68
Beberapa ahli hukum menggunakan teori kepercayaan vertrouwenstheorie sebagai dasar keterikatan kontraktualnya, yang berarti bahwa pernyataan yang
diberikan seseorang menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan yang diberikan tersebut benar adalah kehendaknya.
Menurut analisis penulis ajaran “penundukan kehendak yang umum” mengandung otonomi yang terlalu luas pada faktor pernyataan, dimana di dalam
praktek tidaklah rasional. Seringkali orang menyetujui perjanjian baku tanpa mengerti dan memahami isinya. Ketidaktahuan dari pengguna perjanjian baku
tidak boleh disalahgunakan. Oleh karena itu, ketidaktahuan dari konsumen terhadap perjanjian baku dituntut pula adanya tanggung jawab yuridis yang lebih
besar dari pihak pelaku usaha. Van der Werf
yang dikutip Herlien Budiyono di dalam disertasinya Gebondenheid aan Standaardvoorwarden, Standaardvoorwarden in het
Rechtsverkeer met Particuliere en Professionele Contracttanten , berpendapat
bahwa:
67
Apabila klausula tersebut tidak mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak, konsumen tidak terikat terhadap klausula
baku karena sudah sepatutnya merupakan harapan konsumen bahwa klausula-klausula tersebut tidak akan merugikan dirinya. Tidak terikatnya
konsumen bergantung pada suatu keadaan tertentu yang berarti tidak adanya ukuran atau ketentuan yang pasti, tetapi harus diputuskan secara kasus demi
kasus dengan pertimbangan-pertimbangannya untuk masing-masing kasus. Dengan demikian terikat atau tidaknya seseorang pada klausula dan
perjanjian baku menjadi relative gerelativeerd.
67
Ibid., halaman 140.
Universitas Sumatera Utara
69
Van der Werf mengusulkan suatu ajaran “penundukan kehendak yang
relatif” relatieve wilsonderwerping. Menurut ajaran ini pada dasarnya teori kehendak wilstheorie dianut, tetapi hanya berlaku apabila adanya faktor
kepercayaan vertrouwen yang termotivikasi dengan iktikad baik yang harus sesuai dengan kepentingan lalu lintas hukum. Masih menurut van der
Werf
, keadaan yang dipertimbangkan agar dapat menentukan apakah
konsumen akan terikat pada klausulaperjanjian baku, diantaranya adalah : a.
Sifat dari perjanjian tersebut, apakah pihak pengguna adalah swastaawam atau professional, apakah perjanjianklausula baku tersebut
sederhana atau kompleks. b. Cara terjadinya perjanjian tersebut, apakah dengan lisan, tertulis,
colportage penjualan secara door to door, penjualan dengan metode
agresif, apakah pelaku usaha jujur dan terbuka, apakah syarat bakunya sudah umum digunakan atau tidak.
Adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut berarti ajaran penundukan kehendak secara umum menjadi relatif atau terbatas berlakunya. Pasal 1339 KUH
Perdata menyatakan bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang- undang”. Ketentuan tersebut berhubungan dengan bunyi ketentuan di dalam
Pasal 1347 KUH Perdata yang menyatakan, “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam
persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”. Pasal 1346 KUH Perdata mengatur mengenai cara menafsirkan klausula
yang meragukan, dimana klausula tersebut harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana persetujuan tersebut telah
dibuat. Demikian pula ketentuan Pasal 1473 KUH Perdata yang bunyinya “Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan
Universitas Sumatera Utara
70
dirinya, segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya”.
68
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak yang ekonomi kuat,
sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian
tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu 1 diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; 2 dalam bentuk sebuah formulir; dan
3 adanya klausul eksonerasipengecualian. Untuk lebih jelasnya, diuraikan pula dengan singkat mengenai karakteristik
yang terdapat pada klausula baku sebagai berikut:
1. Bentuk Perjanjian Tertulis