menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.
2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari
pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering, asma yang disertai dengan wheezing dan demam.
3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa
pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang
berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh
cacing tersebut di mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL
pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap harinya adalah 2 mL1000 telurgram tinja pada infeksi Necator americanus
dan 5 mL1000 telurgram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale, sehingga kadar hemoglobin dapat turun mencapai level 5 grdl atau lebih
rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik dan mental.
II.2. Pemberantasan Kecacingan
Strategi pemberantasan kecacingan di masyarakat tergantung bagaimana Intervensi yang dilakukan pada salah satu siklus hidup parasit, akan
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi transmisi parasit tersebut. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted helminths
berhubungan dengan higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat. Penggunaan obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan infeksi soil-
transmitted helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai dalam skala besar guna mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah endemis. Banyak
sekali bukti yang menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-transmitted helminths dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, status gizi yang buruk dan
daya kognitif yang rendah pada anak Bundy dkk, 2002. II.2.1. Higiene dan sanitasi
Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk 1988 dan Margono, dkk 1991 mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-transmitted
helminths infeksi A. lumbricoides pada anak dan kebersihan pribadi serta sanitasi lingkungan. Soeripto 1986 pada penelitiannya membuktikan bahwa
pembinaan air bersih, jamban keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi penularan dan
menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di pedesaan, terutama pada anak usia kurang dari 10 tahun.
Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan
program kebersihan di masyarakat Schulz dan kroeger, 1992. Menurut O’lorcain
Universitas Sumatera Utara
dan Holland 2000 untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi infeksi soil-transmitted helminths.
II.2.2. Pengobatan Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan
benzimidazol pada anak usia sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga cacing-cacing tersebut berada pada kondisi yang tidak dapat menimbulkan
penyakit Bundy dkk, 2002. Keuntungan pemberantasan kecacingan secara berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :
a. Meningkatkan cadangan besi.
b. Meningkatkan pertumbuhan dan kondisi fisik.
c. Meningkatkan daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah.
d. Mengurangi kemungkinan terkena infeksi sekunder.
Pada anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan berdasarkan indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus,
malnutrisi, perawakan yang pendek dan meningkatkan selera makan Stephensons dkk, 1989; Stephensons dkk, 1993; Stoltzfus dkk, 1997 .
Berbagai jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin, levamisol, pirantel pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang
terakhir ini adalah albendazol. Pada prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat yang dapat bekerja terhadap berbagai stadium cacing yaitu telur, larva, dan
dewasa, mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis nematoda usus dan efek samping minimal.
Universitas Sumatera Utara
Levamisol hidrokhlorit
Levamisol hidrokhlorit merupakan isomer dari tetramisol. Obat ini digunakan pada pengobatan infeksi nematoda usus. Dosis tinggi levamisol efektif
mengobati ascariasis 90 dan sedikit berperan dalam melawan infeksi cacing tambang. Obat ini bekerja dengan meningkatkan frekuensi aksi potensial dan
menghambat transmisi neuromuskular cacing, sehingga cacing berkontraksi diikuti dengan paralisis tonik, kemudian mati Csaky Barnes, 1984; Girdwood,
1984; Sukarban dan Santoso, 2001. .
Gambar 5. Struktur kimia levamisol hidrokhlorit Sumber : Csaky Barnes, 1984
Pada pemberian oral, levamisol diserap dengan cepat dan sempurna. Kadar puncak tercapai dalam waktu 1-2 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Dalam
waktu 24 jam, 60 obat dieksresikan bersama urin sebagai metabolit. Dosis rendah levamisol hanya menyebabkan efek samping ringan pada saluran
cerna dan SSP. Pemakaian untuk waktu yang lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi rash, neutropenia, dan Flu-like
syndrome. Tetapi pemakaian dosis tunggal secara oral 3 mgkgbb cukup aman dan
Universitas Sumatera Utara
jarang menimbulkan efek samping Csaky Barnes, 1984; Girdwood, 1984; Sukarban dan Santoso, 2001
Levamisol tersedia sebagai tablet 25, 40, dan 50 mg yang dapat diberikan dengan dosis 2,5 mgkgbb. Pada ascariasis, penderita yang berat badannya lebih
dari 40 kg diberikan dosis tunggal 50-150 mg, anak dengan berat badan 10-19 kg diberikan dosis tunggal 50 mg dan 100 mg bagi anak yang mempunyai berat
badan 20-39 kg Sukarban dan Santoso, 2001; Tjay dan Rahardja, 2002.
Mebendazol
Hal yang berbeda dengan obat cacing sebelumnya, mebendazol dikatakan dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus Abadi, 1985;
Pasaribu, 1989; Chan,1992. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efikasi mebendazol ini seperti Abadi 1985 pada pemberian mebendazol 500 mg
dosis tunggal mendapat Angka Penyembuhan 93,4, 77,6, dan 91,1 untuk A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang. Adapun pada penelitian yang
dilakukan oleh Albanico, dkk 2003, mendapatkan Angka Penyembuhan terhadap Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan
pemberian mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5, 23, dan 7,6.
Mebendazol banyak digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan massal terhadap penyakit kecacingan dan juga pada infeksi campuran dua atau lebih
cacing. Obat ini bekerja sebagai vermicid, larvicid dan juga ovicid. Walaupun mebendazol merupakan derivat dari kelompok yang sama dengan senyawa seperti
Universitas Sumatera Utara
tiabendazol, mekanisme kerja dan farmakologi keduanya sedikit berbeda. Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi
asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis mikrotubulus nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan pengambilan glukosa
secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing, dan kemudian cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menimbulkan
sterilitas pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang dan A. lumbricoides sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang sudah
matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol Pasaribu, 1989; Goldsmith, 1998; Sukarban dan Santoso, 2001.
Mebendazol merupakan antelmintik broadspektrum yang sangat efektif terhadap cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang. Nama kimianya ialah
N-5-benzoil-2-benzimidazolil karbamat dengan rumus kimia sebagai berikut:
Gambar 6. Struktur kimia mebendazol Sumber : Csaky Barnes, 1984
Penyerapan mebendazol dari usus setelah pemberian secara oral kurang dari 10. Obat yang diabsorbsi 90 berikatan dengan protein. Bioavailabilitas
sistemik yang rendah dari mebendazol merupakan dampak dari absorbsinya yang buruk dan mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Dieksresi
Universitas Sumatera Utara
terutama lewat urin dalam bentuk utuh dan metabolit dekarboksilasi dalam tempo 48 jam. Mebendazol merupakan bentuk obat yang lebih aktif dibandingkan
dengan metabolitnya. Absorbsi ditingkatkan bila obat diberikan bersama makanan berlemak Goodman, L.S. Gilman, A , 1996; Goldsmith, 1998; Sukarban dan
Santoso, 2001. Mebendazol merupakan obat yang aman, efek samping berupa
gangguan saluran cerna seperti sakit perut dan diare jarang terjadi. Efek samping mebendazol dosis tinggi berupa reaksi alergi, alopecia, neutropenia reversible,
agranulocytosis, dan hypospermia jarang dijumpai. Obat ini tidak dianjurkan digunakan pada ibu hamil karena memiliki sifat teratogenik yang potensial dan
bagi anak usia dibawah dua tahun. Pemberian obat ini pada pasien yang mempunyai riwayat alergi sebelumnya tidak dianjurkan Goodman, L.S.
Gilman, A, 1996; Tjay dan Rahardja, 2002. Mebendazol biasanya diminum secara oral, dosisnya sama pada dewasa dan
anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Pada pengobatan ascariasis, trichuriasis dan infeksi cacing tambang, 100 mg obat diminum pada pagi dan malam hari selama 3
hari berturut-turut atau dengan dosis tunggal 500 mg dan tidak memerlukan pencahar. Apabila belum sembuh, dosis ini dapat diulang 3 minggu kemudian
Goodman, L.S. Gilman, A, 1996; Sukarban dan Santoso, 2001; WHO, 2003. II.2.3. Resistensi obat pada nematoda
Beberapa tahun belakangan ini, terdapat laporan penelitian yang menunjukkan kegagalan pengobatan infeksi nematoda pada manusia. Pada penelitian yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh De Clerecq dkk 1997 melaporkan telah terjadinya kegagalan mebendazol dalam mengobati infeksi cacing tambang di bagian selatan Mali.
Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Reynoldson dkk 1997 mendapati efikasi yang sangat rendah dari pirantel pamoat dalam mengobati infeksi cacing
tambang Ancylostoma duodenale di daerah Kimberley, Australia Barat laut. Kedua peneliti tersebut menganggap penyebab penurunan sensitifitas obat dari
cacing tambang mungkin sebagai suatu perubahan genetik dalam kerentanan dari strain lokal cacing tambang seperti, bukan akibat seleksi dari tekanan obat atau
faktor host seperti diet lokal yang dapat merubah farmakodinamik obat. Walaupun interpretasi dan implikasi dari penelitian tersebut masih diperdebatkan,
namun penemuan tersebut telah mendorong peningkatan kewaspadaan akan potensi permasalahan resistensi antelmintik RA pada pengobatan dan
pengendalian infeksi cacing pada manusia. Pada saat sekarang, RA merupakan permasalahan penyakit yang paling
penting pada industri peternakan domba di Australia, Afrika Selatan dan kemungkinan di Amerika Selatan Waller dkk, 1995;Waller dkk, 1996; Van Wyk
dkk, 1997. Tiga puluh tahun yang lalu, banyak ilmuwan menganggap bahwa fenomena resistensi obat pada cacing-cacing yang menginfeksi hewan di
peternakan tidak penting. Sehingga akhirnya prevalensi RA yang tinggi di atas 50 sekarang dilaporkan di semua bagian dunia untuk cacing gastrointestinal
pada domba, kambing dan kuda yang terdapat di industri peternakan Geerts dan Gryseels, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Resistensi antelmintik didefinisikan sebagai penurunan sensitivitas suatu populasi parasit terhadap kerja suatu obat yang diturunkan.Conder dan Campbell,
1995. Menurut Cerami dan Warren 1994 cacing lebih lambat mengembangkan resistensi obat dibandingkan dengan agen infeksi lainnya karena cacing
berkembang biak lebih lambat. Namun demikian sikap berhati-hati dalam mengobati infeksi cacing pada manusia merupakan tindakan yang bijak. RA boleh
jadi belum merupakan permasalah medis, tetapi sedikitnya laporan RA sejauh ini boleh jadi hanya menggambarkan ujung dari sebuah gunung es. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh dua hal yaitu: a Kegagalan pengobatan secara individu sering tidak terdeteksi, ketika sebagian besar infeksi cacing hanya
menyebabkan penyakit subklinis. b Sekali RA muncul, itu akan sangat cepat menjadi problem utama baik di klinis maupun pada pengobatan preventif Geerts
dan Gryseels, 2000 Obat-obat utama yang digunakan saat ini dalam mengobati nematoda yang
menginfeksi manusia adalah mebendazol, albendazol, pirantel pamoat dan levamisol untuk nematoda intestinal. Obat-obat tersebut tersedia secara luas di
sebagian besar sistem pelayanan kesehatan sebagai pengobatan kuratif dari kasus- kasus klinis selama bertahun-tahun. Disamping itu, saat ini antelmintik juga
digunakan sebagai pengobatan preventif pada masyarakat dengan resiko tinggi penularan seperti anak usia sekolah dan wanita hamil yang diberikan secara
berkala Bundy dan De Silva, 1998; Albanico dkk, 1999. Permasalahan yang dianggap sebagai resistensi obat pada cacing tambang
Universitas Sumatera Utara
pertama kali dicatat bahwa penyembuhan sempurna infeksi cacing tambang dan kebanyakan infeksi cacing lainnya biasanya tidak dicapai dengan beberapa obat.
Berdasarkan pada dosis dan tehnik pemeriksaan tinja yang dilakukan, didapatkan angka penyembuhan yang sama rendah yaitu 61 400 mg dan 67 800 mg
untuk albendazol, 0 dosis tunggal dan 23 pengulangan dosis untuk levamisol, 30 dosis tunggal dan 37 pengulangan dosis untuk pirantel
pamoat dan 19 dosis tunggal dan 45 pengulangan dosis untuk mebendazol telah dilaporkan De Silva dkk, 1997; Krepel dkk, 1993.
Paling sedikit ada beberapa populasi cacing tambang memperlihatkan sedikit toleransi alamiah terhadap paling sedikit satu jenis obat yang digunakan saat ini.
Perbedaan kerentanan dua spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus terhadap antelmintik telah dibuktikan. Kemungkinan pengembangan
resistensi terhadap mebendazol pada cacing tambang yang menginfeksi manusia penelitian di Mali sama sekali tidak mengherankan, semenjak benzimidazol
diketahui relatif menjadi selektor yang baik resistensi antelmintik. Pada cacing- cacing yang menginfeksi ternak, resistensi benzimidazol telah muncul dengan
cepat dan tersebar dengan mudah Conder dan Campbell, 1995; Ross, 1997. Hipotesis resistensi obat di Australia diilhami oleh kecurigaan secara klinis
resistensi di sebuah area dimana pirantel pamoat telah digunakan pada masyarakat untuk jangka waktu yang lama.
Faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan resistensi antelmintik
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, RA pada peternakan sekarang
Universitas Sumatera Utara
merupakan sebuah fakta. Beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya resistensi obat telah diidentifikasi dan diteliti. Faktor-faktor yang berperan
terhadap perkembangan resistensi obat antelmintik yaitu: a
Frekuensi pengobatan yang tinggi. Pada penelitian Barton 1983 dan
Martin dkk 1984 menunjukkan bahwa frekuensi pengobatan yang tinggi menseleksi resistensi lebih kuat dibandingkan dengan frekuensi pengobatan
yang kurang. Dari penelitian tersebut juga terdapat bukti kuat bahwa resistensi obat berkembang lebih cepat pada daerah dimana hewan-hewan
diberikan antelmintik secara reguler. Resistensi obat dapat juga terjadi pada frekuensi pengobatan lebih rendah, khususnya ketika obat yang sama
diberikan selama bertahun-tahun. Beberapa peneliti telah melaporkan perkembangan resistensi obat terjadi ketika hanya dua atau tiga kali
pengobatan diberikan per tahun Geerts dkk, 1990; Burger dan Bauer, 1994. b
Regimen obat tunggal. Seringkali obat tunggal, yang biasanya sangat
efektif pada tahun-tahun pertama pengobatan, digunakan secara terus- menerus sampai obat tersebut menjadi kurang efektif. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Geerts dkk 1987 mendapatkan bahwa penggunaan levamisol dalam waktu yang lama pada ternak juga telah memicu
perkembangan resistensi, walaupun frekuensi pemberian pengobatan pertahunnya rendah.
c Dosis yang tidak adekuat. Dosis yang tidak adekuat diduga sebagai faktor
penting perkembangan resistensi obat, karena dosis dibawah dosis terapi
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan cacing resisten heterozigot tetap bertahan hidup Smith, 1990. Beberapa penelitian laboratorium telah menunjukkan bahwa dosis
yang tidak adekuat terbukti berperan terhadap seleksi resistensi atau strain- strain yang toleran Hoekstra dkk, 1997. Penelitian tersebut menunjukkan
bahwa bahwa bioavailabilitas benzimidazol dan levamisol lebih rendah pada kambing dibandingkan pada domba dan oleh karena itu kambing harus
diobati dengan dosis satu setengah atau dua kali lebih tinggi dari dosis yang diberikan kepada domba Hennessy, 1994. Bagaimanapun juga, selama
bertahun-tahun kambing dan domba telah diberikan dosis antelmintik yang sama. Fakta bahwa RA lebih sering terjadi dan tersebar luas pada kambing
merupakan konsekuensi langsung dari dosis yang tidak adekuat Smith dkk, 1999.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODOLOGI III.1. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak tersamar ganda double blind randomized trial, dengan memakai desain paralel tanpa pasangan serasi dan
dibagi dalam dua kelompok. Sebelum anak-anak didaftar masuk dalam penelitian, wali atau orang tua dari
anak-anak di sekolah yang terpilih diberi suatu penjelasan yang menyeluruh tentang risiko dan keuntungan-keuntungan penelitian dan diminta persetujuan
secara tertulis.
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak Februari sampai April 2009 diantara anak- anak yang didaftar dari kelas 1 sampai kelas 6 dari enam Sekolah Dasar Negeri di
Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Sekolah dipilih secara acak dari 20 Sekolah Dasar Negeri yang terdapat di kelurahan tersebut.
III.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah anak sekolah dasar di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan, kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang terinfeksi oleh
soil-transmitted helminths. Pada penelitian ini diperiksa tinja dari 611 siswa dari
Universitas Sumatera Utara
enam Sekolah Dasar Negeri yang telah terpilih guna mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan. Siswa yang dipilih sebagai sampel adalah anak yang
dinyatakan positif terinfeksi oleh soil-transmitted helminths campuran berdasarkan hasil pemeriksaan tinja di laboratorium dengan metode Kato Katz.
III.4. Etika Penelitian
Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian telah dilakukan sesuai dengan aturan etika penelitian yang diatur dalam Deklarasi Helsinki dan
telah memperoleh ”ethical clearance” dari komite etik dan komite ilmiah penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU.
III.5. Kriteria
III.5.1. Kriteria inklusi a.
Subjek penelitian bersedia mengikuti pengobatan yang ditetapkan, yang dibuktikan dengan surat persetujuan orang tua atau wali.
b. Subjek penelitian dipastikan tidak mengkonsumsi obat cacing 1 bulan
sebelum penelitian ini dilakukan. c.
Selama waktu penelitian, subjek penelitian tidak melakukan pengobatan medis atau tradisional untuk kasus infeksi cacing.
d. Subjek penelitian dalam keadaan sehat kecuali infeksi cacing berdasarkan
pemeriksaan dokter. e.
Pada pemeriksaan tinja ditemukan dua 2 jenis telur cacing atau lebih,
Universitas Sumatera Utara
atau ditemukan bersamaan dengan larva cacing tambang. III.5.2 Kriteria eksklusi
a. Menolak makan obat.
b. Tidak ikut serta memeriksakan tinja ulang setelah pengobatan pada hari ke-
21 atau dalam 3 hari sesudahnya. c.
Timbul komplikasi atau efek samping yang berat dari obat cacing yang diberikan.
d. Menderita sakit diluar kecacingan yang berat seperti diare yang berat, atau
demam yang tinggi atau menderita gizi buruk.
III.6. Perkiraan Besar Sampel
Perkiraan besar sampel ditentukan dengan memakai rumus Uji Hipotesis Terhadap Dua Proporsi, dan dipakai uji hipotesis dua arah.
n1 = n2 = z α √2PQ + zβ√P
1
Q
1
+P
2
Q
2 2
P
1
– P
2 2
Pada peneltian ini telah ditetapkan bahwa: P
1
: Proporsi kesembuhan penderita soil-transmitted helminths T. trichiura dengan mebendazol adalah 23 = 0.23 dari pustaka.
P
2
: Proporsi kesembuhan penderita soil-transmitted helminths T. trichiura dengan terapi kombinasi mebendazol-levamisol dengan perbedaan klinis
yang dianggap penting 0,20 adalah 43 = 0,43 Clinical Judgement.
Universitas Sumatera Utara
P = ½ P
1
+ P
2
= 0,33 Q = 1 – P = 1 – 0,305 = 0,67 Q
1
= 1 – P
1
= 0,77 Q
2
= 1 – P
2
= 0,57 α = 0,05 tingkat kepercayaan 95
Æ zα dua arah = 1,96. β = 0,20 power penelitian 80
Æ zβ = 0,842. Dengan memakai rumus di atas maka diperoleh jumlah subyek minimal untuk
masing-masing kelompok adalah sebanyak 86 orang.
III.7. Variabel dan Definisi Operasional
III.7.1. Variabel yang diamati III.7.1.1. Variabel independen : Pengobatan dengan antelmintik :
a Mebendazol b Kombinasimebendazol-levamisol
III.7.1.2 Variabel dependen : Keberhasilan pengobatan : a. Angka Penyembuhan
b. Angka Penurunan Jumlah Telur III.7.2. Definisi Operasional
1. Penderita soil-transmitted helminthiasis campuran adalah individu yang
pada pemeriksaan tinja ditemukan dua jenis telur cacing atau lebih atau ditemukan bersamaan dengan larva cacing tambang. Adapun jenis cacing
yang dimaksudkan adalah A. lumbricoides, T. trichiura, dan cacing tambang. 2.
Pengobatan dengan antelmintik variabel independen adalah suatu kegiatan
Universitas Sumatera Utara
pemberian obat-obat antelmintik tertentu. Obat-obat tersebut diberikan oleh petugas penelitian dan dikonsumsi langsung oleh penderita di lokasi
penelitian. Adapun obat-obat yang digunakan sebagai bahan eksperimen dalam penelitian ini sebagai berikut :
a Regimen pengobatan I, pemberian obat mebendazol 500 mg
Indofarma: blister 500 mg dosis tunggal pada kelompok eksperimen I, diberikan tanpa memperhatikan berat badan.
b
Regimen pengobatan II, pemberian obat kombinasi mebendazol 500
mg dan levamizol Askamex
®
, Konimex: tablet 25 mg 50 mg atau 100 mg atau 150 mg dosis tunggal pada kelompok eksperimen II. Pada
anak yang mempunyai berat badan 10-20 kg diberikan obat mebendazol 500 mg dan levamizol 50 mg. Adapun anak yang mempunyai berat
badan 21-40 kg diberikan obat mebendazol 500 mg dan levamizol 100 mg atau levamisol 150 mg bila berat badan anak 40 kg.
3. Keberhasilan pengobatan variabel dependen adalah kemampuan obat yang
diberikan untuk menurunkan intensitas infeksi menjadi lebih ringan daripada sebelum pengobatan atau sembuh. Keberhasilan pengobatan
digambarkan dalam bentuk Angka penyembuhan dan Angka penurunan jumlah telur.
4. Intensitas infeksi adalah distribusi jumlah telur per gram tinja yang
menunjukkan beratnya infeksi. Intensitas infeksi digolongkan atas ringan, sedang, atau berat berdasarkan jumlah telur pada tinja. Kategori untuk
Universitas Sumatera Utara
intensitas infeksi dari A.lumbricoides, T.trichiura dan cacing tambang sesuai dengan ketentuan WHO Montresor et al, 1998.
Tabel 2. Klasifikasi intensitas infeksi berdasarkan jumlah telur per gram tpg Intensitas infeksi Jumlah telur gram
Macam cacing Ringan
Sedang Berat
A. lumbricoides 1 – 4999
5000 – 49 999 ≥ 50 000
T. trichiura 1 – 999
1000 – 9 999 ≥ 10 000
Cacing tambang 1 – 1999
2000 – 3999 ≥ 4000
Intensitas infeksi dalam kelompok dinyatakan dalam bentuk: Rata-rata Telur Per Gram RTPG dihitung sebagai mean aritmatik
Mean aritmatik = ∑tpg
N
Keterangan
∑tpg = Jumlah semua telur per gram dari setiap individu N = Jumlah orang yang diperiksa tinjanya
5. Prevalensi infeksi adalah jumlah orang yang terinfeksi dalam suatu populasi
Rumus yang digunakan untuk menghitung prevalensi infeksi pada populasi:
Keterangan
N
+
= Jumlah orang yang positif terinfeksi oleh STH pada pemeriksaan
sebelum pengobatan
N = Jumlah orang yang diperiksa tinjanya
Prevalensi = N
+
N x 100
6. Angka Penurunan Jumlah Telur APJT atau Egg Reduction Rate ERR
Universitas Sumatera Utara
adalah persentase penurunan jumlah telur yang disebabkan oleh pengobatan Albanico, M., Bickle, Q., and et al, 2003.
Persentase penurunan jumlah telur diperkirakan berdasarkan rumus:
penurunan TPG = RTPG
H0
– RTPG
H21
X 100 RTPG
H0
Keterangan RTPG
H0
= Rata-rata jumlah telur per gram sebelum pengobatan
RTPG
H21
= Rata-rata jumlah telur pada hari ke-21 setelah pengobatan. 7.
Sembuh adalah apabila pada pemeriksaan tinja setelah pengobatan tidak ditemukan lagi telur cacing.
8. Angka Penyembuhan AP adalah persentase anak yang mempunyai jumlah
telur negatif setelah pengobatan dari anak-anak dengan jumlah telur 0 sebelum pengobatan Albanico, M., Bickle, Q., and et al, 2003.
AP = n
21 --
n
+
X 100
Keterangan
n
21 --
= Banyaknya orang yang mempunyai jumlah telur negatif pada hari
ke-21 setelah pengobatan
n
+
= Banyaknya orang dengan jumlah telur 0 sebelum pengobatan. 9. Metode Kato-Katz adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan rutin
telur cacing secara kuantitatip. 10. Status gizi ditentukan dengan cara antropometri, berpatokan pada baku
rujukan National Center for Health Statistics yang direkomendasikan oleh
Universitas Sumatera Utara
WHO NCHS-WHO. Klasifikasi status gizi ditentukan dengan menggunakan berat badan menurut tinggi badan yang dibandingkan dengan
baku median menurut umur dan jenis kelamin. Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise yang memiliki ketepatan pengukuran pada
skala 0,1 cm dan berat badan diukur dengan menggunakan timbangan Camry.
Tabel 3. Klasifikasi status gizi Waterlow, 1973
Indeks Status Gizi
Keterangan
Berat badan lebih 110
Gizi-baik 110 - 90
Gizi kurang 90 - 70
Berat badan menurut tinggi
badan BBTB Gizi buruk
70
III.8. Cara Kerja
Dua minggu sebelum tanggal pengobatan yang dijadwalkan, wali atau orang tua dari anak-anak di sekolah yang terpilih diberikan suatu penjelasan yang
menyeluruh tentang penelitian, dan diminta persetujuan secara tertulis. Anak-anak yang telah didaftar diberikan sebuah wadah untuk membawa contoh tinja segar
pada keesokan harinya. Pemeriksaan tinja secara kualitatif dan kuantitatif dengan metode Kato-Katz terlampir dilakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas
Kedokteran, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Anak-anak yang positif terinfeksi oleh soil-transmitted helminths campuran pada pemeriksaan tinja di
Universitas Sumatera Utara
laboratorium dipilih secara random untuk penelitian. Anak yang terpilih sebagai sampel penelitian, tinjanya akan dianalisa lebih lanjut. Sampel anak dipilih secara
acak di mana setiap anak bernomor urut ganjil dimasukkan dalam kelompok I dan anak bernomor urut genap dimasukkan dalam kelompok II. Selanjutnya anak-anak
yang masuk dalam kelompok II dibagi lagi berdasarkan berat badan kelompok yang berat badannya 10-20 kg, 21-40 kg dan 40 kg.
III.8.1. Pengobatan Pada hari pemberian pengobatan, setiap anak pada kelompok I diberi satu
tablet mebendazol 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Pada kelompok II di mana anak-anak yang mempunyai berat badan 10-20 kg menerima satu tablet
mebendazol 500 mg dan 2 tablet levamisol 25 mg, dan yang lain untuk anak yang berat badannya 21-40 kg, menerima satu tablet mebendazol 500 mg dan 4 tablet
levamisol 25 mg atau satu tablet mebendazol 500 mg dan 6 tablet levamisol 25 mg bila berat badan anak 40 kg. Obat-obat yang diberi ditempatkan pada wadah
yang disegel dan telah diberi kode dengan nomor dan nama. Anak-anak diidentifikasi berdasarkan nomor-nomor ini selama penelitian.
Selama tiga hari berturut-turut, tiap anak ditanya dan dicatat gejala atau efek samping yang mungkin timbul setelah pengobatan dan pencatatan dimulai sehari
sesudah pengobatan. Orang tua dan anak diminta melapor kepada guru atau merujuk pada pusat kesehatan yang paling dekat bila timbul efek samping yang
berat pada minggu setelah pemberian obat.
Universitas Sumatera Utara
III.8.2. Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja ulang dilakukan pada hari ke-21 setelah pengobatan. Anak
yang tidak membawa contoh tinja pada hari ke-21 tetap akan diperiksa tinjanya sampai hari ke-24. Pemeriksaan tinja dilakukan secara kuantitatif dengan metode
Kato-Katz di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara.
Pemeriksa laboratorium dibutakan, sehingga analis yang memeriksa sediaan tinja tidak mengetahui obat yang diterima oleh pasien. Sediaan tinja diperiksa
dalam satu jam persiapan untuk menghindari perembesan warna reagensia ke dalam telur. Perbandingan jumlah telur cacing sebelum dan setelah pengobatan
dikalkulasi untuk menilai Angka Penyembuhan AP atau Cure Rate CR dan Angka Penurunan Jumlah Telur APJT atau Egg Reduction Rate ARR.
III.9. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut: 1
Uji Kai kuadrat, digunakan untuk menganalisis perbedaan kesembuhan antara kelompok yang mendapat pengobatan tunggal mebendazol dengan
kelompok yang mendapat pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol. 2
Uji t independen, digunakan untuk menganalisis perbedaan jumlah rerata telur cacing antara kelompok yang mendapat pengobatan tunggal
mebendazol dan kelompok yang mendapat pengobatan kombinasi mebendazol-levamisol sebelum dan sesudah pengobatan. Bila data tidak
Universitas Sumatera Utara
berdistribusi normal dilakukan uji Mann-Whitney. 3
Untuk menganalisis perbedaan jumlah rerata telur cacing pada setiap kelompok sebelum dan sesudah pengobatan digunakan uji t berpasangan.
Bila data tidak berdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon Sign. Perhitungan statistik diselesaikan dengan menggunakan program SPSS 11,5. Hasil
yang diperoleh dinyatakan signifikans pada tingkat 5.
Universitas Sumatera Utara
III.10. Kerangka Kerja
Pemeriksaan tinja dengan metode Kato-Kazt
Populasi terjangkau
Soil-transmitted helminthiasis campuran
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Randomisasi
Pengobatan dengan antelmintik
Mebendazol 500 mg + levamisol 50 mg 100
mg dosis tunggal
Keberhasilan pengobatan
Telur cacing pada tinja Pemeriksaan tinja pada hari ke-21
setelah pengobatan dengan metode Kato-Katz
Mebendazol 500 mg dosis tunggal
Gambar 7 . Kerangka kerja penelitian
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN