M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
memungkinkan pengangkatan keseluruhan elemen jamur dan memudahkan perawatan setelah operasi.Dhong , Lanza, 2001
Terapi medis diperlukan untuk mengurangi edema mukosa, termasuk pemberian mukolitik guaifenesin, irigasi hidung dan steroid. penggunaan antibiotik diberikan
berdasarkan kultur. Hal ini dimaksudkan untuk mengobati infeksi bakteri yang sering timbul bersamaan dengan fungal ball. Terapi medis awal preoperatif dapat diberikan
untuk mengurangi edema pada rongga sinus dan memudahkan pengangkatan fungal ball pada saat pembedahan. Dhong , Lanza, 2001
Patogenesis dan patogenesitas
Meskipun mekanisme
terbentuknya fungall ball belum dapat diketahui secara
pasti, secara teori hal ini dapat timbul pada saat spora jamur terhirup, spora tersebut masuk kedalam rongga sinus dan menjadi antigen yang dapat menyebabkan iritasi dan
proses inflamasi mukosa sinus sehingga pada akhirnya terjadi obstruksi ostium sinus. Oleh karena sinus merupakan rongga lembab yang cocok untuk perkembangan jamur
maka terjadi pengumpulan hifa jamur yang berbentuk seperti bola. Fungal ball di Eropa berhubungan erat dengan penyakit akar gigi. Oksida seng dapat dijumpai pada gigi yang
yang menonjol pada sinus maksila dan diketahui zat tersebut dapat menghambat tumbuhnya bakteri sehingga dapat menstimulasi tumbuhnya jamur secara in vitro.
Fungal ball ini dapat berkembang menjadi bentuk invasif apabila terdapat penurunan status imun penderita. Dhong , Lanza, 2001
2.5.1.3 Rinosinusitis jamur alergik
Rinosinusitis jamur alergik ini merupakan keadaan kronik yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi : 1 Adanya Jamur pada mucin alergik yang dapat diperiksa secara
mikologi atau histopatologi, 2 tidak adanya invasi jaringan subepitel oleh jamur yang
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi 3 dijumpai alergi yang diperantarai IgE terhadap jamur tertentu atau family-nya. Ponikau, sherris, 1998,Dhong , Lanza, 2001
Sejarah
Miller et al pada 1981 yang pertama kali mengumumkan adanya hubungan antara
Aspergilosis alergik sinus dan Aspergilosis bronkopulmoner alergik APBA. Miller et al melaporkan 5 penderita dengan sinusitis kronik yang disebabkan oleh Aspergilus
fumigatus. Materi biopsi yang didapatkan dari sinus pasien tersebut mempunyai
persamaan dengan sputum yang didapat dari pasien APBA. Keseluruhan reaksi kulit pasien tersebut bereaksi terhadap Aspergilus. Katzentein dan rekannya, 2 tahun
kemudian, mengusulkan teori baru yang mereka sebut “Allergic Aspergillus sinusitis”. Waxman et al, 1987, melaporkan 8 kondisi tambahan pasien dengan bukti klinis dan
histologik adanya sinusitis aspergilus alergik. Meskipun pada awalnya kultur jamur
negatif, aspergilus sp diyakini menjadi mikroorganisme penyebab pada pemeriksaan
histologi. Sejak penelitian menemukan bahwa sinusitis alergi jamur tidak hanya disebabkan oleh aspergilus sp, jamur lain seperti Alternaria, Exserohilum, Culvaria,
Drehslera, dan Bipolaris, telah dilaporkan menjadi penyebab sinusitis jamur alergik. Oleh karena itu, istilah ‘sinusitis jamur alergik’ sekarang lebih umum digunakan dari pada
‘sinusitis Aspergilus alergik’. Dhong , Lanza, 2001 Kontroversi pada patogenesis.
Beberapa ahli mengatakan bahwa sinusitis alergi jamur adalah suatu keadaan yang diperantarai oleh alergi, sedangkan ahli yang lain berpendapat keadaan ini
merupakan suatu infeksi dan sebagian ahli berperinsip bahwa keadaan ini merupakan gabungan dari keduanya. Marple, 2006; Dhong , Lanza, 2001
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
Secara teori, sinusitis alergi jamur timbul setelah terhirup dan terperangkapnya spora jamur yang memungkinkan antigen jamur tersebut bereaksi dengan sel mast yang
telah disensitisasi IgE. Reaksi imunologik yang terjadi selanjutnya menyebabkan inflamasi yang kronik dan diikuti dengan destruksi jaringan. Terjadinya penumpukan
eosinofil dan terperangkapnya hifa jamur pada sekret memungkinkan terjadinya stimulasi antigen secara terus menerus. Pada saat terjadinya degenerasi eosinofil, granul enzimatik
yang kaya akan major basic protein pun dilepaskan. Major basic protein adalah suatu mediator peradangan yang toksik terhadap jaringan dan biasanya sering dijumpai pada
penyakit kronis. Dhong , Lanza, 2001 Ponikau et al menggunakan kultur jaringan pada pemeriksaan mikologi dan
pemeriksaan histopatologi untuk mengidentifikasi jamur dari sinus dan hidung. Diyakini bahwa pemeriksaan alergi tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis alergi
jamur. Dalam penelitian tersebut hampir seluruh sampel pemeriksaan yang berasal dari penderita rinosinusitis kronis positif adanya jamur pada pemeriksaan kultur, sehingga
seluruh penderita dikatakan sebagai “rinosinusitis jamur eosinofilik”. Dalam percobaan tersebut digunakan mikroskop elektron untuk memeriksa adanya eosinofil yang terdapat
pada lumen sinus yang terinfeksi jamur dan dapat dikatakan bahwa sekret eosinofilik merupakan suatu respon tubuh terhadap infeksi jamur. Ponikau, 1998; Dhong , Lanza,
2001
Manifestasi klinis.
Diagnosis sinusitis alergi jamur harus dicurigai pada penderita rinosinusitis kronis yang tidak sembuh dengan terapi medikamentosa khususnya pada pasien dengan riwayat
polip nasi berulang dan telah dilakukan beberapa kali pembedahan sebelumnya. Gambaran klinis sinusitis alergi jamur dapat mulai dari gejala alergi ringan, polip dan
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
mucin alergi yang disertai adanya hifa hingga penyakit masif yang dapat meluas ke arah intrakranial dan orbita yang disertai komplikasinya. Dhong , Lanza, 2001; Singh,
Bhalodiya 2005 Pada pemeriksaan fisik biasanya sinusitis alergi jamur ini sama seperti
rinosinusitis kronis, yaitu mukosa sinus yang edema, eritema dan polipoid dan kadang- kadang dapat disertai adanya polip. Pemeriksaan endoskopi pada rongga sinus dapat
terlihat sekret mucin alergi. Secara makroskopis mucin alergi tersebut berupa sekret yang tebal, berwarna coklat ke emasan dengan konsistensi lunak. Dhong , Lanza, 2001;
Singh, Bhalodiya 2005
Evaluasi alergi imunologi.
Penderita sinusitis alergi jamur dapat mempunyai kriteria sebagai berikut, 1 Adanya peningkatan eosinofil pada darah tepi, 2 Adanya reaksi test kulit yang positif
terhadap jamur penyebab, 3 peningkatan kadar serum IgE total, 4 adanya antibodi pencetus pada allergen penyebab, dan 5 peningkatan IgE spesifik jamur. Manning et al
merekomendasikan pemeriksaan RAST sebagai test klinik rutin untuk mendiagnosis sinusitis alergi jamur. Dhong, Lanza, 2001
Pemeriksaan radiologi.
Foto polos sinus paranasal akan menunjukan opasifitas pada beberapa atau seluruh sinus paranasal yang terlibat. CT scan merupakan metode pencitraan yang terpilih
untuk keadaan ini. Dhong, Lanza, 2001; Marple, 2006
Histopatologi.
Secara histologi kondisi ini ditandai dengan adanya hifa jamur pada sekret dengan disertai eosinofil yang sangat banyak dan adanya kristal Charcot-Leyden. Sekret tersebut
adalah merupakan “allergic mucin”. Allergic mucin ini dikarakteristikan dengan
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
kumpulan eosinofil yang nekrotik dan debris seluler lainnya, granul eosinofil bebas dengan latar belakang pucat, dan sekret eosinofilik hingga basofilik yang amorf. Keadaan
ini dibedakan dari sekret inflamasi non alergi yang banyak netrofil. Allergic mucin diidentifikasi dengan pewarnaan standar hematoksilin-eosin. Kristal Charcot Leyden ini
dapat dilihat dengan pewarnaan hematoksilin-eosin atau BrownBrenn. Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001
Mikrobiologi.
Spesies Aspergilus dan Dematiaceous merupakan organisme penyebab terbanyak. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa famili Dematiaceous pigmen gelap
merupakan organisme terbanyak dibandingkan Aspergilus. Famili Dematiaceous merupakan jamur yang paling banyak dijumpai di tanah, debu dan berbagai tumbuhan,
termasuk Bipolaris, Curvularia, Alternaria, Exserohilum dan Drechslera. Jamur Dematiaceous mengandung melanin pada dinding selnya sehingga dapat menghasilkan
warna gelap pada jaringan dan kultur. Hal ini yang membedakannya dari Aspergilus. Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001
Terapi.
Penanganan terbaik yang disertai resolusi sempurna pada sinusitis alergi jamur belum diketahui secara pasti. Tetapi para ahli berpendapat bahwa penatalaksanaan
sinusitis alergi jamur terbaik adalah dengan kombinasi medikamentosa dengan pembedahan. Diagnosis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan alergi dan serologi. Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001 Drainase sinus yang baik serta perbaikan fungsi ventilasi merupakan terapi
utama. Tindakan bedah saja tidaklah cukup untuk mengatasi keadaan ini. Pembedahan diyakini dapat menurunkan jumlah antigen jamur dan secara teori dapat menurunkan
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
stimulus yang menyebabkan gejala alergi fase cepat dan lambat dan dapat menurunkan kemotaksis eosinofil ke lumen sinus. Pembedahan juga dapat menyebabkan kembali
normalnya bersihan mukosiliar. Pendekatan bedah harus dikerjakan dengan menggunakan tehnik bedah sinus endoskopi. Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001
Terapi medikamentosa termasuk pemberian antibiotik yang berdasarkan kultur, antihitamin, steroid sistemik, imunoterapi dan anti jamur. Karena proses inflamasi
berhubungan dengan manifestasi klinis, terapi multimodalitas diperlukan untuk jangka panjang. Bakteri dapat terlibat secara langsung sebagai pencetus timbulnya sinusitis
alergi jamur dengan mempengaruhi frekuensi gerakan silia. Data in vitro menunjukan Stafilokokus aureus, Hemofilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa merupakan
bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan frekuensi gerakan silia. Cody, Khan, 1997; Dhong, Lanza 2001
Irigasi hidung juga diyakini dapat menurunkan stasis mukous dan menurunkan konsentrasi bakteri dan jamur. Topikal steroid intranasal tidak efektif bila digunakan
sendiri tetapi dapat memberikan efek pencegahan jangka panjang setelah pemberian steroid sistemik. Perlu diingat bahwa pemberian steroid yang tidak rasional pada
sinusitis alergi jamur dapat menyebabkan penyakit yang berulang. Dhong, Lanza, 2001
Patogenisitas.
Karena secara histologi pada pemeriksaan sekret alergi yang mengandung jamur hampir identik dengan yang di temukan pada paru, patogenesis sinusitis alergi jamur
diyakini hampir menyerupai Aspergilosis bronkopulmoner alergi. Sinusitis alergi jamur yang tidak diterapi secara adekuat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi serius
sehingga dapat mengakibatkan erosi tulang dan deformitas wajah, komplikasi orbita dan perluasan intrakranial. Apabila penyakit meluas ke orbita, lemahnya otot ekstraokuler
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
juga sering dijumpai sedangkan keterlibatan n. optikus dan invasi sistem saraf pusat jarang dijumpai. Hal ini menggambarkan bahwa rongga orbita terlibat secara langsung
pada perluasan infeksi. Dhong, Lanza, 2001
2.5.2 Rinosinusitis jamur invasif