M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
2.5.2.2 Rinosinusitis jamur invasif akut fulminan
Rinosinusitis jamur invasif ini perjalanan penyakitnya sangat cepat, infeksi jamur tipe ini banyak ditemukan pada individu dengan sistem imun yang menurun, seperti pada
pasien yang mendapatkan transplantasi organ, diabetes melitus dan pasien yang sedang dilakukan kemoterapi. Perjalanan penyakitnya hanya memerlukan waktu beberapa hari
atau bulan saja. Marks, 2000; Dhong, Lanza 2001 Mucorales Mucor, Rhizopus, Absidia adalah merupakan jamur yang sering
ditemukan pada penderita diabetes melitus, sedangkan Aspergilus sp, sering ditemukan pada pasien non-diabetes dengan penurunan sistem imun imunokompromis. Karena
rendahnya imunitas tubuh penderita, dan sifat jamur yang angioinvasif, perjalanan klinis biasanya sangat cepat meluas dan dapat menghancurkan sinus yang terlibat kemudian
dapat meluas ke daerah sekitarnya seperti orbita, sinus kavernosus, parenkim otak sehingga dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam apabila tidak dikenali dan
dilakukan penanganan secara cepat Thanaviratananich, fooanant, 1997
Gambaran klinis
Secara umum infeksi jamur tipe ini sering terdapat pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol, individu yang menerima transplantasi organ, dan pada
penderita yang sedang mendapatkan kemoterapi. Pada penderita dengan penurunan daya tahan tubuh dengan gejala dan tanda rinosinusitis harus kita curigai dengan infeksi jamur
tipe ini. Gejala klinisnya diawali dengan demam yang tidak respon dengan pemberian antibiotik, adanya keluhan pembengkakan pada wajah dan orbita, nyeri atau kebas pada
wajah yang disetai kerusakan saraf kranial unilateral atau perubahan penglihatan akut dengan gangguan pergerakan mata dan penurunan tajam penglihatan Dhong , Lanza,
2001
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema di daerah muka atau periorbita disertai eritema, kemosis, proptosis, dan oftalmoplegia. Adanya gejala tersebut yang disertai
penurunan tajam penglihatan menandakan telah terjadi keterlibatan orbita yang progresif. Pada pemeriksaan rongga mulut dapat ditemukan eschar pada ginggiva dan palatum.
Pemeriksaan endoskopik dapat ditemukan edema mukosa hidung yang disertai sekret purulen, tetapi umunya secara khas rongga hidung tampak kering disertai krusta darah.
Adanya eschar pada rongga hidung, merupakan tanda patognomonik dari rinosinusitis jamur invasif akut. Dhong , Lanza, 2001
Pemeriksaan radiologi
CT scan merupakan pemeriksaan radiologi yang harus dilakukan segera, diperlukan untuk mengetahui apakah sudah terjadi erosi tulang dan keterlibatan jaringan
lunak. Pemeriksaan radiologi sinus konvensional tidak dapat digunakan karena tidak spesifik. Pada CT scan tampak penebalan jaringan yang berbentuk nodular pada mukosa
sinus dan disertai adanya destruksi dinding sinus. Perluasan ke arah orbita dapat terjadi langsung melewati lapisan tipis lamina papirasea atau melewati pembuluh darah etmoid.
Destruksi tulang jarang ditemukan pada awal infeksi dan dapat ditemukan apabila telah terjadi nekrosis jaringan lunak. Dhong , Lanza, 2001
Penggunaan MRI digunakan untuk mengetahui apakah sudah terjadi keterlibatan mata, khususnya untuk mengevaluasi keadaan orbita, sinus kavernosus, dan otak.
Temuan utama pada pemeriksaan dengan MRI termasuk keterlibatan bagian dasar hemisfer otak, batang otak, dan daerah hipotalamus. Dhong , Lanza, 2001
Patologi
Pada pemeriksaan mikroskopi dari jaringan yang dicurigai dengan mengunakan 2 atau 3 tetes larutan KOH 10 atau 20 dapat melihat adanya jamur dalam beberapa
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
menit setelah dilakukan prosedur biopsi. Apabila ada infeksi disebabkan jamur golongan Mucor maka pada pemeriksaan histopatologi didapati bentuk hifa yang besar, tidak
beraturan, tidak bersepta dan bercabang dengan arah sudut kekanan. Sedangkan apabila pada Aspergilus, dapat dicurigai apabila di temukan hifa dengan ukuran yang lebih kecil
yaitu 2.5 sampai 5µm dibandingkan dengan ukuran hifa pada Mucor yang berukuran 6 sampai 50 µm. Bentuk lainnya yang dapat membedakan jenis jamur tersebut yaitu pada
Aspergilus di temukan bentuk hifa yang bersepta dan beraturan , dan pada bagian cabangnya membentuk sudut 45
. Temuan tersebut dapat di identifikasi dengan pewarnaan hematoxylin – Eosin dan dapat lebih mudah dikenali dengan pewarnaan
khusus, seperti periodic acid-Schiff PAS dan pewarnaan methenamine silver. Dhong , Lanza, 2001
Mikrobiologi
Mucor sp dan Aspergilus sp adalah merupakan organsime yang sering ditemukan pada infeksi jamur tipe ini, tetapi beberapa jenis jamur lainnya juga dapat menyebabkan
infeksi yang berhubungan dengan rinosinusitis jamur akut, seperti Pseudallescheria boydii. Dhong , Lanza, 2001
Pengobatan
Terapi yang optimal termasuk 1 melakukan penatalaksanaan penyakit metabolik atau imunologik yang mendasari 2 penggunaan anti jamur sistemis yang tepat 3
pembedahan dengan debrideman luas pada keseluruhan daerah yang terinfeksi, temasuk daerah mulut ,hidung, sinus paranasal, dan jaringan orbita 4 mempertahankan drainase
daerah hidung, sinus paranasal dan orbita yang adekuat 5 secara terus menerus memonitor agar tidak terjadi kekembuhan DhongLanza,2001 .
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
Penatalaksanaan medis pada penyakit yang mendasarinnya adalah merupakan faktor paling penting dalam meningkatkan survival rate. DhongLanza,2001.
Terapi anti jamur
Amfoterisin masih merupakan obat pilihan untuk terapi sistemis pada hampir kebanyakan rinosinusitis jamur akut, walaupun masalah toksisitas obat ini tinggi, oleh
kerena itu perlu dilakukan pemantauan yang baik. Pemberian Amfoterisin B dapat menyebabkan efek samping yang akut seperti, demam, mengigil, sakit kepala,
tromboflebitis, mual, dan muntah. Walupun obat ini tidak dieksresikan langsung oleh ginjal, obat ini sangat nefrotoksik dan dapat menyebabkan biasanya reversibel asidosis
tubuler. Reaksi lanjutannya adalah termasuk hipokalemia, nefrotoksik, penekanan sum- sum tulang, dan ototoksik. Toksisitas Amfoterisin B ini sangat perlu dipertimbangkan
pada pasien dengan gangguan metabolik. Apabila serum kreatinin menjadi lebih dari 3.0 mgdl, pemberian obat ini ditunda sampai fungsi ginjal kembali stabil. Dosis total yang
optimum dan durasi dengan menggunakan amfoterisin ini masih belum jelas, secara umum digunakan dosis tes 1 mg dalam dextrosa 5 pada hari pertama terapi, kemudian
dilakukan peningkatan dosis 5 mg sampai tercapai dosis 1 mg kg berat badan. Pada pasien dengan infeksi yang lebih berat dapat diberikan dosis tes 1 mg yang diberikan
dalam beberapa jam kemudian diikuti dosis ulangan tiap 12 jam yaitu 10 sampai 15 mg sampai tercapai dosis 0,7 sampai 1 mg kg berat badan. Dhong , Lanza, 2001
Pembedahan
Sebelum dilakukan tindakan bedah, ahli THT harus mempertimbangkan prognosa pasien secara keseluruhan, termasuk penyakit yang mendasarinya. Perluasan eksisi bedah
harus dipertimbangkan dengan perluasan infeksi. Secara umum dikatakan, bahwa debrideman semua daerah yang terinfeksi dan perbaikan fungsi adalah merupakan tujuan
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
utama pembedahan. Debrideman setelah operasi dan pemantauan pasien sangat penting dan perlu dilakukan biopsi ulang pada dareah operasi. Terapi medis terus diberikan
sampai diyakini infeksi telah teratasi dan keadaan status imun penderita telah stabil. CT scan ulang diperlukan untuk memastikan tidak ada lagi perkembangan penyakit. Setelah
pembedahan, irigasi pada rongga hidung dapat dilakukan untuk mencegah adanya krusta dan invasi jamur. Amfoterisin B 50 mg liter air irigasi 20 ml, empat kali sehari
dapat diberikan melalui selang kateter pada sinus yang terinfeksi. Debrideman ulang dilakukan, apabila terdapat krusta yang menetap atau terjadi kekambuhan. Dhong ,
Lanza, 2001.
M. Tri Andika Nasution : Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Yang Disebabkan Infeksi Jamur…, 2007 USU e-Repository © 2008
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional yang bersifat deskriptif.
3.2 Tempat Penelitian
Tempat penelitian dan pengambilan sampel penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK USU
RSUP. H. Adam Malik Medan. Pemeriksaan kultur jamur dilakukan di Departemen Mikrobiologi Klinik FK USU Medan.
3.3 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari 2007 sampai September 2007
3.4 Sampel
Sampel penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis maksila kronis yang berobat ke poliklinik THT-KL FK. USU RSUP. H. Adam Malik Medan yang
memenuhi kritreria inklusi. Besar sampel yang diambil berdasarkan lamanya waktu penelitian
Kriteria Inklusi : a.
Penderita rinosinusitis maksila kronis yang datang berobat ke poliklinik THT- KL. FK. USU RSUP. H. Adam Malik Medan yang dilakukan irigasi sinus
b. Penderita berusia di atas 17 tahun
c. Hasil radiologi foto sinus paranasal menunjukkan sinusitis maksila dengan
perselubungan atau air fluid level atau pada CT. Scan hidung dan sinus paranasal menunjukkan tanda adanya sinusitis maksila.