BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Otonomi Daerah
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah Pasal 1 ayat 5 dan 6 bahwa otonomi daerah adalah hak dan wewenang dan kewajiban daerah untuk membantu dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan mengenai hak dan kewajiban daerah ditegas dalam pasal 7 yang
menyatakan daerah berwewenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berarti otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan pemerintah
kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya. Salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah mengenai urusan yang memberikan penghasilan
kepada Pemerintah Daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat
diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah. Sejalan dengan bergulirnya pelaksanaan otonomi daerah di tanah air,
setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara melakukan berbagai pembenahan menuju ke arah terselenggaranya otonomi di masing-
masing daerah Kabupaten dan Kota. Hal yang sangat penting dalam menjawab
9
berbagai isu dalam implementasi otonomi daerah tersebut adalah tersedianya sistem dan mekanisme kerja organisasi perangkat daerah.
Berbagai cara dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota untuk meningkatkan pendapatan daerahnya dalam upaya memenuhi kebutuhan belanja
pemerintah daerah bagi pelaksanaan kegiatannya. Pertama, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota dapat memperoleh dana dari sumber-sumber yang dikategorikan
Pendapatan Asli Daerah PAD. Kedua, memperoleh transfer dana dari APBN yang dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi
hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Pengalokasian dana perimbangan ini selain ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD, juga
bertujuan untuk mengurangi memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Ketiga, daerah memperoleh penerimaan dari sumber lainnya seperti bantuan dana
kontijensi dan bantuan dana darurat. Keempat, menerima pinjaman dari dalam dan luar negeri.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah pada tanggal 1 Januari 2001, maka Pemerintah Kabupaten
dan Kota segera melakukan berbagai kegiatan guna menyongsong diberlakukannya otonomi daerah sebagai salah satu buah reformasi itu. Hal yang
dapat dipandang penting adalah dilakukannya perubahan dan penyesuaian organisasi berbagai perangkat di setiap daerah. Perubahan ini tentunya sangat
terkait erat dengan berbagai isu dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama sekali yang menyangkut dengan pelimpahan berbagai kewenangan baik dari
Pemerintahan Pusat maupun dari Pemerintahan Propinsi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, menekankan bahwa simpul penyelenggaraan otonomi daerah berada di tingkatan Kabupaten dan Kota. Oleh
karena itu pemerintah Kabupaten dan Kota menghadapi pelaksanaan otonomi daerah ini haruslah dengan suatu persiapan yang matang. Dengan tidak adanya
lagi hubungan pertanggung jawaban vertikal dari Kabupaten dan Kota kepada Pemerintahan Pusat dan Propinsi, maka pemerintah Kabupaten dan Kota
merupakan daerah otonom yang berhak meneyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan karakteristik, potensi dan sumber daya yang ada di
daerahnya masing-masing. Kondisi ini jelas sangat berlawanan dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, yang menempatkan pemerintah Kabupaten dan Kota baca Kotamadya sebagai daerah tingkat kedua Tingkat II setelah Propinsi
yang berkedudukan sebagai daerah tingkat pertama Tingkat I, sehingga menciptakan adanya pemerintahan atasan dan bawahan dalam satu sistem
pemerintahan, yang meliputi : Pemerintahan tingkat Pusat, Pemerintahan Tingkat I, dan Pemerintahan Tingkat II. Perubahan yang menuju terlepasnya Pemerintah
Kabupaten dan Kota sebagai bawahan Pemerintahan Propinsi dapat kita lihat ketentuannya dalam Pasal 4 ayat 1, 2, 3 dan 4 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, yang menyebutkan : 1
Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 ditetapkan dengan Undang-Undang.
2 Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1
antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas kota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukkan pejabat kepala
daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
3 Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau
bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
4 Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 dua daerah atau lebih sebagaimana
dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Pendapatan Asli Daerah PAD merupakan sumber dana terbesar Penerimaan Daerah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara pada tahun
2004 dan 2005. PAD merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai, tentunya
komponen-komponen yang berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti. Misalnya dengan memberikan pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum
bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan :
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat
kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang
sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa
Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintahan Daerah dan DPRD adalah sama-sama
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-
masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya mendukung bukan merupakan
lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Besarnya tekanan agar instansi Pemerintah meningkatkan kinerja dan akuntabilitas mempengaruhi praktek-praktek penyelenggaraan operasi entitas
sektor publik untuk memberi tanggapan akan perubahan yang diinginkan oleh
masyarakat, sebagai salah satu stakeholder. Lembaga-lembaga publik diharapkan memiliki kinerja yang baik. Kinerja yang baik akan menunjukkan stewardship
dan akuntabilitas lembaga akan sumberdaya-sumberdaya publik yang dikelolanya, agar lembaga-lembaga negara menjalankan aktivitasnya dengan baik dan mampu
memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka dirancang sistem pengukuran kinerja agar peningkatan dan perbaikan kinerja instansi pemerintah
dapat dilakukan secara berkesinambungan. Pengapdopsian suatu sistem pengukuran kinerja di Instansi Pemerintah
biasanya dimandatkan oleh Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah. Sangat jarang organisasi Pemerintah mengukur kinerja organisasi untuk memperbaiki
atau meningkatkan kinerja instansinya dengan kesadaran sendiri pimpinan instansi itu. Sistem pengukuran kinerja biasanya dilakukan karena masalah keagenan,
yaitu pengelola program cenderung akan melakukan kehendaknya sendiri yang menguntungkan dirinya tanpa menghiraukan pihak prinsipal. Fenomena ini
mendorong pihak pimpinan atau alasan untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja agar pihak atasan prinsipal dapat mengawasi manajemen menjalankan
program serta memiliki skema dalam penetapan insentif atau disinsentif. Pengukuran kinerja juga berfungsi sebagai alat untuk menjamin kepentingan
publik tetap terjaga.
Dalam negara demokrasi, masyarakat merupakan pemegang tertinggi kedaulatan. Penciptaan lembaga-lembaga negara dan pemberian mandat kepada
pemimpin merupakan representasi harapan masyarakat terhadap perbaikan dan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Pemerintah diposisikan sebagai
pelayanan masyarakat dan instansi pemerintah diharapkan menghantarkan layanan
delivery service terbaik kepada masyarakat. Peran yang diharapkan masyarakat
ini dapat diwujudkan apabila sistem pengukuran kinerja dirancang dengan baik dan diorientasikan untuk warga negara. Konsep mendahulukan kepentingan warga
negara dicontohkan dengan baik oleh sektor swasta dengan slogan customer satisfaction. Dengan demikian, segala upaya diarahkan agar masyarakat
merasakan manfaat atas perbaikan kinerja, bukan terutama untuk memenuhi pelaporan akuntabilitas ke jenjang yang lebih tinggi.
Salah satu hal penting dalam sistem pengukuran kinerja yang dapat mengindikasikan orientasi pada pemenuhan kepuasan dan kebutuhan masyarakat
adalah penetapan indikator dan target kinerja. Penetapan indikator dan target kinerja dalam suatu sistem pengukuran kinerja merupakan tahap penting yang
harus dilakukan secara hati-hati. Penetapan indikator dan target kinerja penting untuk melihat apa ukuran yang dipakai untuk menilai kesuksesan suatu program
atau organisasi dalam mencapai tujuan dan misinya. Indikator kinerja juga menunjukkan keseriusan pengelola program untuk mencapai tujuan organisasi.
Penetapan indikator sektor publik bukanlah hal yang mudah, karena organisasi sektor publik menghasilkan output dan outcome yang tidak bisa dinilai dengan
satuan moneter dan terkadang memiliki dampak yang tidak nyata.
B. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah