Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru

47 Harapan ini menyusut dikarenakan apa yang dilakukan oleh Orde Baru adalah melakukan birokrasi politik. Yaitu besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan politik. Misalnya, ketika Partai Muslim Indonesia PARMUSI lahir pada tahun 1968, yang sebagaian besar pengurusnya mantan penguruh Masyumi kemudian mengundurkan diri karena tidak diterima oleh pemerintah Orde Baru 33 . Keberatan pemerintah Orde Baru dalam kembalinya pemimpin Masyumi ke arena politik dikarenakan ketakutan-ketakutan yang akan kemudian akan terulang kembali sejarah politik Indonesia pada silam 34 . Sehingga banyak strategi yang dimainkan oleh Orde Baru. Diantaranya birokrasi politik atau fusi partai Islam menjadi satu partai; atau melakukan depolitisasi Islam 35 , yaitu melemahkan atau mempersempit gerak dalam aktivitas politik Islam; atau mengharuskan kepada semua organisasi-organisasi kemasyarakatan berasaskan tunggal, yaitu pancasila. Ini semua dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk dapat mengontrol semua aktivial para kelompok Islam. Bahkan semua kativitas politik masyarakat yang dilakukan oleh para Kiai atau Tuan Guru dibatasi bahkan dicurigai. Untuk mempermudah kontral terhadap aktivitas Kiai atau Tuan Guru, pemerintah membentuk Majlis Ulama Indonesia MUI, sebagai wadah gerakan para Kiai atau 33 Sudirman Tebba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993, cet. I, h. 4 34 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 38 35 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand desigs politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, Re Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, Bandung; Mizan Media Utama, 2000, cet. I, h. 108 48 Tuan Guru 36 . Orientasi pembentukan ini adalalah tidak lain membatasi dan mengontrol gerakan para Kiai atau Tuan Guru. Kondisi sentralistik yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru berimplikasi juga ke daerah-daerah tak kecuali di Pulau Lombok, NTB. Di mana tidak adanya kekuatan politik yang independen, kuatnya birokrasi dalam pengambilan keputusan, ekspansi dan keterlibatan pemerintah pusat dalam hampir seluruh kekuatan sosial 37 . Sehingga Tuan Guru hanya dijadikan sebagai legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Di mana pada masa itu Tuan Guru adalah figur central masyarakat atau sebagai patron. Terkontrolnya para Tuan Guru dilihat ketika kedekatan Soeharto dengan para Tuan Guru yang erat serta meminta para Tuan Guru untuk menggalang dukungan untuk Golkar pada pemilu 1971 38 . Dan salah satu Tuan Guru yaitu Tuan Guru Haji Abdul Madjid, yang pada waktu itu adalah pendiri sekaligus ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, menyetujui tawaran itu dan beliau terus menjadi manajer juru kampaye Golkar di Lombok Timur untuk 36 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, cet. I, h. 171-172 37 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 65 38 Keberpihakan para Tuan Guru pada waktu itu karena salah satunya adalah trima kasihnya kepada Soeharto atas perannya menumpas PKI. Disamping itu juga, pihak militer dan pejabat pemerintah membantu Tuan Guru dalam mendakwahkan komunitas Wetu Telu. Karena Wetu Telu dianggap mereka membahayakan Islam dikarenakan ritualisme mereka yang unik, merupakan kombinasi ritualisme Sasak dengan para kiai Islam yang kontra dengan reformis. John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok dalam buku Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken eds, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, cet. II, h. 379 49 pemilahan anggota DPR tahun 1971 dan 1977 39 . Golakar pun memenangkan dan mayoritas dalam kedua pemilu tersebut. Tuan Guru Haji Abdul Madjid pun mewakili Propinsi Nusa Tenggara Barat sebagai anggota MPR RI dari Golkar. Tetapi pada tahun 1982, ketika semua muslim tidak lagi menyukai kebikan pemerintah Orde Baru, Tuan Guru Haji Abdul Madjid pun mengumumkan kepada pengikutnya jam’ah, yang terhimpun dalam organisasi Nahdlatul Wathan NW, untuk bebas memilih partai pilihan mereka sendiri 40 . Dengan kebijakan yang diambil oleh Tuan Guru Haji Abdul Madjid untuk membebaskan para pengikutnya memilih partai apapun, membuat pengikutnya ditangkap dan diancam serta bantuan-bantuan untuk sekaloh NW pun dihentikan. Sehingga pada 1987, Tuan Guru Haji Abdul Madjid kembali ke Golkar karena paksaan militer 41 . Oleh karena itu, kondisi pada masa Orde Baru di pemerintahan pusat tidak jauh berbeda dengan kondisinya di daerah. Di mana segala aktivitas para Tuan Guru di batasi, dikontrol dengan didirikannya sebuah wadah organisasi untuk para Tuan Guru yaitu Majelis Ulama Indonesia MUI oleh pemerintah Orde Baru. Dengan adanya MUI, pemerintah Orde Baru tidak hanya bisa mengontrol, membatasi melainkan juga mengiterpensi dan bahkan sebagai legitimasi apa yang dilakukan pemerintah Orde Baru. 39 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok dalam buku Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken eds, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, cet. II, h. 379-380 40 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, h. 380 41 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, h. 380 50

C. Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru

Mundurnya Presiden Soeharto dari puncak kepemimpinan pada tanggal 21 Mei 1998 menandai berakhirnya masa Orde Baru, dan lahirnya era baru yang disebut dengan reformasi, tapi penulis menggunakan istilah pasca Orde Baru sebagai sebuah kosistensi dalam judul ini. Munculnya pasca Orde Baru memberikan relaksasi dan liberalisasi politik 42 . Perkembangan ini juga memunculnya banyak partai, tidak terkecuali munculnya partai-partai Islam yang dasar-dasarnya sudah diletakkan pada dasawarsa awal 1960-an. Di antara organisasi-organisasi politik yang muncul adalah partai-partai politik yang menggunakan sosial origin Islam. Sebagai dari kelanjutan itu, ada juga yang menegaskan dirinya sebagai partai Islam. Terlihat dari simbol-simbol yang digukan partai tersebut. Ada juga partai yang tidak menegaskan dirinya menggunakan Islam. Tapi tetap saja publik melihanya sebagai politik Islam. Semuanya itu adalah kemunitas Islam 43 . Kemunculan partai-partai politik Islam ini, memunculkan banyak spekulasi. Ada yang mengganggap bahwa kembalinya Islam dalam panggung politik. Ada juga yang mengatakan dengan nada alarmis, meminjam istilah Oliver Roy dengan imajinasi politik, yaitu ketidak terpisahan agama dengan hukum, ekonomi, dan politik 44 . 42 Bahtiar Effendy, RePolitisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan, 2002, cet. I, h. 205 43 Bahtiar Effendy, RePolitisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, h. 205 44 Bahtiar Effendy, RePolitisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, h. 205- 206 51 Banyaknya partai Islam bermunculan pasca Orde Baru, Sudirman Tebba menggapnya sebagai bangkitnya kembali Islam Politik. Yaitu Islam yang berkembang sebagai lembaga politik 45 . Dari 48 partai politik pada pemilu 1999, ada 19 partai yang dikategorikan sebagai politik Islam. Suatu partai dikatakan partai Islam lanjut Sudirman Tebba, bila nama atau asasnya atau lambangnya mengandung unsur Islam 46 . Nama-nama partai politik Islam itu yaitu : Partai Indonesia Baru PIB, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia KAMI, Partai Umat Islam PUI, Partai Kebangkitan Ummat PKU, Paratai Masyumi Baru, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, Partai Abul Yatama, Partai Syarikat Islam Indonesia 1905, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang PBB, Partai Keadilan PK, Partai Nahdlatul Ummat PNU, Partai Islam Demokrat PID, Partai Persatuaan PP, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Cinta Damai PCD, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia SUNI, Partai Umat Muslim Indonesia PUMI 47 . Disamping itu juga, organisasi-organisasi kemasyarakatan Ormas Islam pun ikut berkembang dan bermunculan pada pasca Orde Baru. Seperti Hizbu Tahrir, Fort Pembela Islam FPI, Majlis Mujahidin Indonesia MMI, serta organsasi besar Islam, Nahdlatul Ulama NU dan Muhammadiyah, dan lainya, yang taleh melakukan rakermuktamarkongres dan menyiapkan program baru dalam menghadapi pasca Orde Baru 48 . 45 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakrta: Tiara Wacana Yogya, 2001, cet.I, h. 55 46 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiii 47 Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001, cet. I h. xix-xx 48 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiv 52 Azyumardi Azra memandang bertebarnya politik Islam pasca Orde Baru, lebih disebabakan dan pertimbangan motif-motif politik bukan religius. Azyumardi Azra melihatnya, kebangkitan poltik Islam secara faktual pada umumnya hampir tidak ada kaitannya dengan Islam atau dengan keutuhan dan kesatuan kaum muslim itu sendiri, melainkan erat kaitannya dengan kekuasaan power dan persaingan pengaruh di antara elit pemimpin Islam 49 . Ini releven dengan kerangka Fazlur Rahman dalam menganalisi politik Islam pasca Orde Baru, lanjut Azyumardi Azra, bahwa ketika politik dimasukkan ke dalam ranah agama, maka agama bersifat destruktif. Bahwa ajaran Islam memang harus mengatur politik, tapi yang sering terjadi ekploitasi konsep dan kelembagaan Islam oleh kelompok dan elit yang mendirikan partai tersebut. Sehingga Islam hanya digunakan dan dimanfaatkan untuk memenuhi tujuan sesaat belaka bagi partai-partai politik Islam dan pemimpinnya 50 . Bagi Zainal Abidin Amir, banyaknya partai-partai yang berbasiskan Islam pasca Orde Baru menjadi menarik karena terkait dengan lima hal. Pertama, selain menimbulkan perdebatan yang sengit, dan juga antusias dan gairah politik umat Islam yang ditumpahkan dengan mendirikan partai politik berbasiskan Islam yang merupakan pilihan politik yang mengingkari logika format baru Islam Politik yang berlangsung selama dua dekade. Kedua, partai Islam membuat ketertarikan banyak cendikiawan dan tokoh akademisi untuk aktif di dalamnya. Dengan cara memfasilitasi, duduk di pengurusan elitnya atau menduduki puncuk pimpinan 49 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, cet. I, h. 111-112 50 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan Antarumat, h. 112 53 partainya. Sepertai Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Th. Sumartana, Alwi Shihab, Nur Mahmudi Ismail, dan lain sebagainya. Ketiga, politik Islam adalah ekspresi nyata dari kelompok Islam yang memainkan peran baru sebagai kelompok penentu dalam kancah politik. Keempat, terjadinya polarisasi politik Islam pasca Orde Baru yang bercerai-berai. Akan tatapi pada garis besarnya terdapat tiga arus besar. Pertama, kelompok Islam yang tergabung dalam Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia ICMI. Walaupun ICMI bukan partai, akan tetapi ICMI adalah inti kekuasaan dalam pemerintahan transisi Habibie, dan disinyalir banyak partai-partai Islam terbentuk dibelakangnya; kedua, kelompok yang mempunyai jaringan network yang sangat kuat dan mengandalinnya di berbagai posisi strategis, seperti birokrasi, bisnis, dan masyarakat. Mereka ini aktivis Himpunan Mahasiwa Islam HMI dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam KAHMI; ketiga, kelompok masa NU dan Muhammadiwah yang sebagain besar massanya menengah ke bawah. Kelompok ini disuarakan oleh Abdurrahaman Wahid NU dan Amin Rais Muhammadiyah. Kelima, dari segi sejarah, politik Islam memiliki akar sejarah yang cukup beragam. Pertama partai Islam pada masa 1955-an, seperti NU, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII dan Masyumi. NU memunculkan Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Nahdlatul Ummah PNU, Partai Kebangkitan Ummat PKU dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia SUNI. PSII melahirkan