Agama dan Politik TUAN GURU DAN POLITIK
21
bahkan memiliki multiinterpretatif dalam kaitannya Islam dengan realitas sosial atau Islam berkaitan dengan politik Negara.
Dalam kaitan hubungan antara Islam dengan realitas sosial, yaitu politik, tentu akan menimbulkan beragam argumentasi dan corak pemikiran yang
berbeda-beda. Salah satunya misalnya argumentasi bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu. Sehingga Islam tidak hanya mengenal ritual atau ritus bahkan
lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya Islam memberikan panduan bagi setiap aspek
kehidupan
13
. Atau dalam bahasa lainnya, dengan istilah tiga “d”, Islam adalah din agama, dunya dunia dan daulah pemerintahan. Sebagaimana Nazir Ayubi
katakan, A sizeable group believes in the complete and holistic nature of revealed
Islam so that, according to them, it encompasses the three famous “Ds” din, religion; dunya, life and dawla, state……….
Typical of the first trend is, for exemple, the distinguished Islamic writer Yusuf al-Qardawi. He maintains that Islam is an integrated totality that
offers a solution to all problems of life. Is has to be accepted in its entirety, and to be applied to the family, to the economy and to politics
.
.
14
Bagi sebagian besar kalangan muslim menganggap bahwa pemikiran tentang agama yang terintegralkan dengan kehidupan bukanlah hal yang luar
13
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, dalam Jurnal Prisma, No.5-1995, h. 6
14
Nazih N. Ayubi, Political Islam Religion and Politics in the Arab World, London and New York: Routledge, 1991, 63-64. Menjelaskan bahwa Cukup besar golongan yang percaya
bahwa Islam itu diungkapkan secara komplet dan mencakup keseluruahan, menurut mereka, Islam itu meliputi tiga d yang terkenal agama, dunnya dan Negara………… Tren pertama adalah,
tokohnya adalah Yusuf al-Qardawi. Dia berpendapat bahwa Islam adalah totalitas terpadu yang menawarkan solusi untuk semua masalah hidup. itu harus diterima secara keseluruhan, dan
diterapkan untuk keluarga, untuk ekonomi dan politik. kepadanya, selanjutnya, realisasi sebuah masyarakat Islam didasarkan pada pembentukan Negara Islam, yaitu sebuah negara ideologis
berdasarkan ajaran Islam yang komprehensif
22
biasa, melainkan itu adalah kalaziman yang dimandatkan oleh Tuhan. Bahkan tidak ada dikotomi tajam antara yang profan dengan yang sakral
15
. Tetapi pandangan ini dikomentari oleh Arkoun dengan mangakatan bahwa
gagasan ini tetap terpenjara dalam suasana kedaerahan dan etnografis, terbelenggu oleh pendapat-pendapat klasik yang tidak memadai dan artikulasi mereka lebih
didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim masyarakat Islam dewasa ini
16
. Ali Abd Al-Raziq 1888-1966 dalam bukunya, Al-Islam wa Ushul Al-
Hukm Islam dan Akar pemerintahan, yang dikatakan oleh Eickelman dan James, banyak memicu kontroversi pada 1952, mengatakan bahwa kekuasaan agama dan
administratif Nabi terpisah. Pemerintahan Nabi Muhammad atas komunitas muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabiannya, dan penerusnya para
khalifah, hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya
17
. Penulis Pakistan, Qomaruddin Khan tutur Eickelman dan James, berpendapat bahwa teori politik
Islam bukanlah berasal dari al-Qur’an, melainkan berasal dari keadaan dan pembembentukan Negara, bukanlah dipaksakan dari Ilahi ataupun dibutuhkan
sebagai sebuah institusi sosial
18
. Dan menegaskan bahwa tidak ada ketentuan atau ketetapan yang mencampur adukkan agama dan politik
19
. Qomaruddin Khan mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Eickelman dan James :
15
John L. Esposito, Islam Warna Warni; Rragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus al Shirat al-Mustaqim,diterjemahkan oleh Arif Matuhin, Jakarta: Paramadina, cet. I, 2004, h. 197
16
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 6
17
Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, cet. I, h. 67
18
Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, h. 67
19
Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh Rofik Suhud, h. 67
23
“Klaim bahwa Islam merupakan sebuah paduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern, yang jejaknya tidak dapat
ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “Negara Islam” tidak pernah digunakan di dalam teori atau praktik ilmu politik Muslim sebelum
abad ke-20. Juga, seandainaya tiga puluh tahun pertama Islam dikecualikan, perilaku Negara-negara Muslim di dalam sejarah hampir
tidak dapat dibedakan dari perilaku Negara-negara lainya dalam sejarah dunia”
20
. Perdebatan ini tidak kunjung selesai hingga saat ini, antara kelompok yang
mengitegrasikan Agama Islam dan politk dan pemisahan antara Agama dan politik. Ini bukan disebabkan karena kompleksitasnya hubungan Islam dan politik,
bukan juga oleh tingkat kesalehan umat Islam, melaikan karena Islam tidak mungkin diterjemahkan dalam bentuk tunggal atau bersifat multiinterpretatif
21
. Akan tetapi, dalam pengaitan atau hubungan antara agama dan politik paling tidak
bisa digolongkan dalam tiga golongan besar, seperti yang digagas oleh Bahtiar Effendy.
Pertama, golongan yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak terpisahkan atau terintegrasi. Bagi golongan ini, Islam mencakup segala sesuatu,
termasuk persoalan Negara dan politik. “inna al-Islam din wa dawlah” adalah salah satu jargon dalam aliran ini. Dan merujuk padaa Negara Madinah pada masa
Nabi Muhammad sebagai pengalaman dan par excellence. Kedua, golongan yang bisa dikatan dari kebalikan dari golongan yang pertama. Bahwa Islam dan politik
adalah dua entitas yang berbeda, karenanya dipisahkan atau sering disebut dengan sekularisme. Bagi mereka Islam adalah sistem keagamaan dan tidak mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Islam tidak mempunyai
20
Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, , h. 67-68
21
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 61
24
system politik dan pengalaman Nabi pada masanya bukanlah disebut sebagai pengalaman pemerintahan Islam klasik. Ketiga, bisa dikatakan sebagai sintesa
kedua golongan ini. Bahwa meskipun persoalan agama dan politik adalah persoalan yang berbeda. Tetapi tidak meski harus dipisahkan atau digabungkan.
Secara legal-formal dan simbolik, keterkaitan antara Islam dan politik tidak bisa diterima. Akan tetapi, secara subtansi keduanya sulit untuk dipisahkan
22
. Dari tiga arus besar argumentasi itu, Indonesia pada masa Orde Baru,
dianggap mewakili argumentasi golongan ketiga berkaitan dengan hubugan antara Islam dan politik. Sehingga sampai sekarang, hubungan Islam dan politik dalam
argument golongan ketiga, dianggap paling cocok dengan Indonesia. Itu sebabnya, Indonesia adalah bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler.
Akan tetapi pemerintah Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai- nilai agama, terbukti dengan Indonesia tidak hanya memperbolehkan warga
negaranya menjalankan ajaran agama mereka masing-masing, melainkan juga difasilitasi kehidupan keagamaan warga negaranya dan pembentukan Departemen
Agama
23
. Oleh karena itu, praktek yang dijalankan Indonesia saat ini dalam
kaitannya hubungan Islam dan politik adalah hubungan yang pada tataran simbolik dan formal tidak bisa diterima, sedangkan pada tataran subtansial saling
terkait satu dengan yang lainya.
22
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005,cet. 1, h. 7-10
23
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak Mudah, h. 10
25