Sosio-Kultural dan Religiusitas Masyarakat Lombok

40 Disamping berbagai etnik, Lombok juga tedapat berbagai bahasa, kebudayaan dan keagamaan. Masing-masing etnik berbicata dengan bahasa mereka sendiri. Orang Sasak, Bugis, Arab, mayoritas beragama Islam. Orang Bali beragama Hindu, sedangkan orang Cina pada umumnya beragama Kristen 11 . Beragamnya etnik dan keragaman budaya dan agama dipengaruhi oleh silih bergantinya dominasi di Pulau Lombok. Ada empat yang paling signifikan mendominasi pulau Lombok, yaitu pengaruh Hindu Jawa; pengaruh Hindu Bali; pengaruh Islam; dan pengaruh kolonial Belanda dan Jepang 12 . Kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad mempengaruhi cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut. Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur menguasai Lombok pada abad ke-7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budhisme ke orang Sasak. Setelah runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur, kemudian agama Islam dibawa pertama kali pada abad ke-13 oleh raja Jawa Muslim 13 ke kalangan orang Sasak dengan ajaran sufisme Jawa yang penuh mistikisme atau singkretis 14 . 11 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 7 12 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 19 13 Proses masuknya Islam ke Lombok belum dapat diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan penyebar Islam berasal dari Jawa. Ada juga yang mengatakan dari pedagan Islam dari dari Arab. Akan tetapi salah satu sumber tantang masuknya Islam ke Pulau Lombok adalah dari Jawa, yaitu Babad Lombok. Di dalamnya antara lain disebutkan bahwa Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya, memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam di seluruh Nusantara. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makasar, Tidore, Seram, dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Oleh karena itu dicatat juga oleh John Ryan Bartholomew dengan mengutip Cedereoth 1981:32 dalam bukunya Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, mengatakan Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali Wali Songo, bertanggung jawab atas diperkenalkannya Islam ke Lombok pada tahun 1545. Lihat John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, doterjemahkan Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana,2001, h. 94; Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap 41 Sementara orang Makasar datang ke Lombok Timur pada abad ke-16 dan berhasil menguasai kerajaan selaparang, kerajaan asli orang Sasak. Berhasil menyebarkan agama Islam yang bercorak Sunni dan hampir seluruh komunitas Sasak memeluk agama Islam 15 . Sedangkan kerajaan Hindu Bali dari Karangasem datang ke Lombok dan mengkonsolidasikan kekuasaannya hampir ke seluruh wilayah Lombok setelah berhasil mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 1740 16 . Tapi kerajaan Hindu Bali cukup toleran terhadap yang dianut oleh orang Sasak. Akan tetapi, tidak menyurutkan perlawanan para bangsawan Sasak menak dan Tuan Guru untuk melawannya. Tetap saja perlawan mereka dipatahkan. Kekalahan ini mendorong mereka untuk meminta bantuan kepada militer Belanda untuk membantu melawan kerajaan Hindu Bali 17 . Kerajaan Hindu Bali pun kalah. Alih-alih Belanda mengembalikan kekuasaan mereka, malah justru orang-orang Belanda menjajah dan merampas tanah yang sebelumnya di kuasai oleh kerajaan Hindu Bali. Dan memberlakukan pajak tinggi bagi penduduk 18 . Masa-masa ini yang menandai awal penjajahan Belanda di Lombok hingga berabad-abad kemudian. Sampai hingga Jepang datang menjajah Lombok hingga Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 25-26 14 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20 15 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20 16 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20 17 Alfons van der Krant, PEnaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940, Mataram: Lengger, 2009, cet. I, h. 39 18 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 9 42 rentan waktu yang singkat, yaitu 1942-1945 19 . Akan tetapi kedua kolonial ini tidak merubah sama sekali tatanan keagamaan antara Hindu dan Islam yang sudah mapan di pulau Lombok. Oleh karena itu, kedatangan berbagai agama yang datang ke Lombok mulai dari Hindu Majapahit, kemudian Islam Jawa, dilanjutkan dengan Islam Makasar dan Hindu Bali, sedikit banyak mempengaruhi corak, bentuk keberagaman keagamaan yang penuh warna. Kemudian ditambah dengan penjajah oleh kolonial Belanda dan Jepang. Tetapi tetap saja bentuk penghayatan keberislaman masyarakat Sasak menjadi banyak kategori dan beragam corak. Secara umum wajah keberislaman masyarakat Sasak Lombok dapat dikategorikan ke dalam dua varian, yaitu Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu 20 adalah orang Sasak yang meskipun mengaku sebagai muslim, masih saja memuja roh para leluhur, berbagai dewa-dewa dalam lokalitas mereka. Dalam kehidupannya sehari-hari mereka cenderung mengabaikan praktik wajib yang dijalankan oleh kalangan Islam Waktu Lima. Bagi penganut wetu telu, adat memainkan peran yang dominan, dan kadangkala praktiknya berseberangan 19 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20-21 20 Dalam bahasa Sasak, wetu artinya waktu dan telu artinya tiga. Sehingga sering desebut sebagai waktu tiga, yang mana interpretasinya bahwa para penganut wetu telu mengurangi dan meringkas hampir semua pribadatan Islam menjadi tiga. Misalnya wetu tiga hanya menjalankan tiga rukun Islam saja, yaitu syahadat, Shalat, dan puasa. Zakat dan Haji tidak dilaksanakan. Ada juga pendapat lain mengatakan bahwa penganut wetu lima hanya menjalankan tiga waktu shalat, yaitu shalat subuh, magrib dan Isya’. Dzuhur dan ashar tidak dilaksanakan. Akan tatapi pandangan semua itu ditolak. Seorang pemangku adat Karangsalah, Raden Gedarip dan Amaq Itrawasih mengatakan bahwa penyebutan Islam wetu itu itu keliru, wetu telu itu bukan agama, melainkan adat. Istilah wetu telu pun sebelum kedatangan Belanda tidak dikenal. Dan sejarah terbentuknya Islam wetu telu masih menjadi perdebatan. Kapan dan siapa yang menamakannya pertama kali. Ada yang menganggap bahwa Islam wetu telu berasal dari penjajah Belanda yang menjalankan politik devide et et impera, untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam wetu telu versus waktu lima. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 62-63 43 dengan Islam. Misalnya penghormatan roh para leluhur dan pemujaan dewa-dewa adalah hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi bagi mereka, itu adalah bagian dari pemeliharaan tradisi keagamaan mereka. Wetu telu tidak menggariskan suatu batas yang jelas antara adat dan agama, karena adat sangat bercampur-aduk dengan agama lokal agama Boda 21 . Penganut Islam wetu telu biasanya berada di tempat-tempat terpencil di pedesaan, lereng gunung, di sekitar hutan lebat atau di tepi aliran sungai 22 . Hal ini selaras dengan kepercayaan mereka yang lebih menganut kepercayaan animisme, dinamisme, antropomorfisme dan panteis. Sehingga dalam praktik peribadatannya tidak secara menyeluruh mencerminkan praktik ajaran Islam yang sebenarnya. Masih kuatnya penggunaan sesajen-sesajen di tempat-tempat yang mereka anggap suci atau dianggap keramat merupakan cerminan hal tersebut 23 . Sedangkan Islam Waktu Lima adalah sebutan bagi komunitas Islam yang mendasarkan praktik dan ritual ibadahnya pada ketentuan rukun Islam yang lima, yaitu syahadat; shalat lima waktu; puasa bulan Ramadhan; membayar zakat; menunaikan ibada haji ke Mekkah bagi yang mampu. Kecintaan yang tinggi mereka terhadap praktik-praktik ibadah dan terhadap syari’ah, membuat komitmen mereka terhadap adat menipis. Bagi mereka, adat yang bertentangan 21 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 7-8; M. Akhyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumu Sasak, Nusa Tenggara Barat; STAIIQ Press, 2008, h. 38; Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan isKomunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 55 22 Kamarudin Zaelani, Satu Agama Banyak Tuhan; Melacak Akar Sejarah Teologi Waktu Telu, Mataram: Media Presindo, 2007, cet. I, h 117 23 M. Akhyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumu Sasak, Nusa Tenggara Barat; STAIIQ Press, 2008, h. 33 44 dengan Islam sudah lama mereka tinggalkan dan hanya ritual adat yang tidak bertentangan dengan Islam yang mereka jalani 24 . Islam Wetu Lima adalah Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Sasak. Istilah Islam Waktu Lima, muncul sebagai tandingan dari lahirnya Islam Wetu Telu 25 . Varian Islam inilah yang menjalankan ajaran agama sesuai Al-Qur’an dan Hadis Nabi terutama dalam masalah akidah, syari’ah, mu’amalah dan akhlak. Dan penganut Islam Waktu Lima mayoritas merupakan anggota msyarakat yang tergabung dalam organisasi keagamaan, Nahdlatul Wathan NW dan Nadlatul Ulama NU, yang sama-sama menganut Ahlu Sunnah wal Jama’ah 26 . Dengan demikian, masyarakat lombok memiliki beragam kultur dan etnik bahkan keberagaman religusitas. Mulai yang berasal dari kerajaan Hindu Majapahit, Islam Jawa, Islam Makasar, Hindu Bali, Belanda dan Jepang yang kemudian berakulturasi dengan adat komuniatas Sasak.

B. Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru

Perjuangan merebut kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah, tentu peran para tokoh agama Ulama, Kyai, Tuan Guru,dll tidak bisa dibaikan begitu saja dalam sejarah bangsa ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu. Pada masa setelah kemerdekaan, setelah melawan kolonialisme, posisi kelompok Islam semakin kuat. Ini terlihat ketika Masyumi, gabungan ormas- 24 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 55-56 25 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006, cet. I, h. 135-136 26 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak, h. 136 45 oramas atau kelompok Islam ini tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki kursi parlemen tebanyak. Pada masa ini hubungan politik antara Islam dan Negara masih harmonis, akan tetapi tidak berlangsung lama. Baru terjadi ketegangan ketika Presiden Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Timur pada tanggal 27 Januari 1953. Secara eksplisit Ia mengingatkan akan pentingnya mempertahankan Indonesia sebagai kesatuan nasional. “Negara yang kita inginkan adalah sebuah negara nasional yang mencakup seluruh Indonesia, tuturnya, Jika kita mendirikan negara yang berdasarkan atas Islam, maka wilayah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan sebagian Sulawesi akan memisahkan diri” 27 . Pernyataan Soekarno dalam pidato itu membuat kelompok Islam tersinggung. Menurut mereka, Soekarno tidak demokratis dan melampaui batas- batas konstitusinya dalam kapasitasnya sebagai kepala negara yang membela kelompok ideologi tertentu 28 . Di pihak lain, yaitu PNI, mandukung pidato Soekarno. Menurut Harbert Faith yang dikutip oleh Mohammad Noor, bahwa apa yang dilakukan oleh PNI dalam mendukung pidato Soekarno adalah sebuah tindakan presiden Soekarno yang didasarkan kepada hak prerogatifnya sebagai pemimpin revolusi, untuk 27 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. I, h. 51-55 28 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-199, h. 54 46 memberikan arahan bagi seluruh rakyatnya, juga sebagai kepala negara yang konstitusianal 29 . Perdebatan ini yang kemudian memunculkan perdebatan ideologis-politis antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Di mana kelompok Islam menginginkan negara Indonesia berdasarkan pada Islam, ini dipelopori oleh Masyumi dan kelompok Islam lainya. Sedangkan kelompok nasionalis menginginkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Berdasarkan perdebatan politik itu, kemudian presiden Soekarno menguluarkan dekrit dengan didukung oleh tentara, yang menyatakan kembali ke UUD 1945 30 . Dari sinilah kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Di balik kekalahan simbolik kelompok Islam ini, selama masa demokrasi terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik formalistik gagasan dan praktik politik Islam mulai dicurigai apalagi dengan gagasan Islam sebagai ideologi negara 31 . Setelah tumbangnya Orde Lama, kemudian munculnya Orde Baru yang didahului oleh tragedi G 30 SPKI, banyak pemimpin politik Islam menaruh harapan besar. Karena langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yaitu membebaskan para tahanan pemimpin Masyumi yang ditahan pada masa Soekarno 32 . 29 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 54 30 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 54 31 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 56-57 32 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 58 47 Harapan ini menyusut dikarenakan apa yang dilakukan oleh Orde Baru adalah melakukan birokrasi politik. Yaitu besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan politik. Misalnya, ketika Partai Muslim Indonesia PARMUSI lahir pada tahun 1968, yang sebagaian besar pengurusnya mantan penguruh Masyumi kemudian mengundurkan diri karena tidak diterima oleh pemerintah Orde Baru 33 . Keberatan pemerintah Orde Baru dalam kembalinya pemimpin Masyumi ke arena politik dikarenakan ketakutan-ketakutan yang akan kemudian akan terulang kembali sejarah politik Indonesia pada silam 34 . Sehingga banyak strategi yang dimainkan oleh Orde Baru. Diantaranya birokrasi politik atau fusi partai Islam menjadi satu partai; atau melakukan depolitisasi Islam 35 , yaitu melemahkan atau mempersempit gerak dalam aktivitas politik Islam; atau mengharuskan kepada semua organisasi-organisasi kemasyarakatan berasaskan tunggal, yaitu pancasila. Ini semua dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk dapat mengontrol semua aktivial para kelompok Islam. Bahkan semua kativitas politik masyarakat yang dilakukan oleh para Kiai atau Tuan Guru dibatasi bahkan dicurigai. Untuk mempermudah kontral terhadap aktivitas Kiai atau Tuan Guru, pemerintah membentuk Majlis Ulama Indonesia MUI, sebagai wadah gerakan para Kiai atau 33 Sudirman Tebba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993, cet. I, h. 4 34 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 38 35 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand desigs politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, Re Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, Bandung; Mizan Media Utama, 2000, cet. I, h. 108