Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4
inilah, pesan-pesan yang dibawa oleh para pendakwah saat itu menemukan tempatnya di kalangan masyarakat lokal
12
. Artinya bahwa masyarakat tetap bisa menjadi Islam tanpa harus kehilangan identitas lokalnya. Misalnya Islam yang
bernegosiasi dengan budaya local Sunda, Jawa, Sasak, Batak, Dayak dan lain-lain. Mereka akan tetap dengan tradisi yang dianut dan menjadi Islam dengan pesona
budaya lokalnya masing-masing. Agama apapun bahkan tak terkecuali Islam ketika berdialog dengan
budaya local, maka ia akan menjadi agama yang singkretis dan akulturatis. Singkretis dan akulturatis, hingga tingkat tertentu, berfungsi membuat agama
memiliki makna spiritual dan bernilai social
13
. Begitu juga ketika Islam datang ke Lombok
14
, dengan bentuk budaya lokal atau keyakinan lokal agama lokal
15
yang sudah mentradisi kuat di masyarakat Sasak
16
, maka ia akan berbentuk Islam Sasak yang kemudian berfarian Islam Waktu Lima dan Islam Wetu Telu
17
.
12
A. Fawaid Sjadzili, Temu Tengkar Agama dan Tradisi Lokal, dalam Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwirul Afkar”, edisi nomer 23 tahun 2007, h. 2
13
Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak terhadap Islam, dalam Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I, 2005, h. v
14
Ada yang berpendapat bahwa Lombok berasal dari kata Lomboq, yang artinya lurus. Nama Lombok ini juga dijumpai dalam Negarakertagama, dengan menyebut Lombok Mirah untuk
Lombok Barat da Sasak Adi untuk Lombok Timur. Lihat Fawaizul Umam, Dari Terma ke Stigma; Geneologi Islam Waktu Telu Lombok Nusa Tenggara Barat, dalam Jurnal Penelitian Direktorat
Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4, nomor 01, 2005, h. 280
15
Agama asli bangsa Sasak sebelum datangnya pengaruh asing ke Lombok, yaitu agama Boda. Yaitu kepercayaan kepada animism dan politeisme. Penyebutannya mirip dengan Budha,
akan tetapi mereka bukan penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figure pemujaan. Lihat Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima,
Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 8
16
Sasak adalah nama suku dan penduduk asli masyarakat Lombok. Dinamakan pulau Sasak, karena pada pulau ini, pada zaman dahulu ditumbuhi hutan belantara yang sangat rapat
yang menyerupai dinding. Secara etomologi Sasak berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari Sak, yang artinya pergi dan Saka artinya asal. Jadi orang Sasak adalah orang yang pergi dari
negeri asalnya dengan memakai rakit sebagai kendaraannya, pergi dari Jawa dan berkumpul di Lombok. Ada juga yang berpendapat bahwa Sasak adalah penduduk asli pulau ini yang memakai
kain tembasaq kauin putuh. Perulangan dari kata tembasaq menjadi saqsaq atau Sasak. Pendapat
5
Wetu Telu adalah orang Sasak yang meski mengaku sebagai muslim, tetapi terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lain. Dalam
kehiduapan sehari-hari mereka cenderung kepada budayaan. Tidak ada penggarisan batas yang jelas-tegas antara agama dan adat. Sehingga anatsir adat
bercampur-baur dengan agama dalam sistem kepercayaan mereka
18
. Berbeda dengan Waktu Lima sebagai lawan dari Waktu Telu. Islam Waktu Lima memiliki
komitmen yang begitu tinggi pada syari’ah Islam sehingga ketaatan kepada aturan-aturan adat lokal menipis dan bahkan ditinggalkan
19
. Inilah yang kemudian disebut dengan bagian dari Islam Indonesia. Yaitu
Islam yang mengakomodir, bernegosiasi, berdialog dan bahkan berdialektika dengan budaya lokal setempat. Sehingga coraknya akan berbeda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, tergantung letak geografis, budaya, etnik dan bahasanya.
Dari sinilah muncul akar-akar geneologis hubungan Islam dan politik di Indonesia. Yaitu pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di Indonesia ini
dengan dialog yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat,
lain juga mengatakan bahwa nama Sasak adalah nama kerajaan yang pertama-tama ada di pulau Lombok. Tempatnya di bagian barat daya dari pulau Lombok. Lebih lengkapnya lihat Sejarah
Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan 19771978, h. 7-8
17
Dalam bahasa Sasak, Wetu atinya waktu dan telu artinya tiga. Jadi waktu tiga. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Wetu berasal dari kata metu, artinya lahir reproduksi, telu
artinya tiga. Jadi wetu telu artinya tiga macam terjadinya reproduksi, yaitu melahirkan menganak, seperti manusia dan hewan mamalia; bertelur menteluk, seperti burung; berkembang
biak dari benih atau buah mentiuk, seperti biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Lihat Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru
Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. I, h. 98-99; Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta;
LKiS, 2005, cet I, h. 8
18
Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 7-8
19
Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 8
6
terlibat dalam politik. Dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya di Indonesia, telah menjadi bagian yang inheren dari sejarah politik negeri ini
20
. Serikat Islam SI misalnya, adalah partai massa yang pertama di
Indonesia yang didirikan pada tahun 1912. Walaupun ketika itu SI tidak dianggap sebagai partai politik karena peraturan yang berlaku pada saat itu, Hindia Belanda,
- walaupun pada 1919 peraturan itu dicabut. Serikat Islam inilah adalah partai pertama yang secara ideologis dan sosiologis menyediakan wadah bagi
pergerakan politik secara nasional, yang merangkul sejauh mungkin anak negeri di Hindia Benda
21
. Begitu juga di Lombok, pada masa penjajahan Hindia Belanda 1897,
para Tuan Guru mengadakan pemberontakan dan berperang melawan Belanda - walaupun corak Islam pada waktu itu adalah tariqat sufi – seperti misalnya Tuan
Guru Haji Bangkol di Praya, Tuan Guru Haji Muahammad Amin di Pejeruk, Tuan Guru Haji Muhammad Sidiq di Karang Kelok, Tuan Guru Haji Arsyad di Gtap,
Tuan Guru Haji Munawar di Gebang, Tuan Guru Haji Munir di Karang Badil, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor dan lainnya
22
. Begitu juga pasca kemerdekaan, politik Islam mempunyai peran yang
urgent dalam membangun negeri ini. Pembentukan Badan Penyelidikan Usaha- usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI yang beberapa anggotanya
adalah para aktivis politik Islam atau Kyai atau Tuan Guru, bertugas merumuskan
20
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, Jakarta; Paramadina, 1998, cet. I, h. 21-22
21
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1996, cet. II, h. 1-2
22
Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta; PT Logos
Wacana Ilmu, 2004, cet. I, h. 89-93
7
ideologi dan konstitusi Negara, adalah bukti dari keterlibatan mereka. Dan juga para aktivis politik Islam ini juga “dipakai” oleh Angkatan Darat sebagai
penyeimbang dan bahkan melawan Soekarno dan Partai Komunis Indonesia PKI.
Pada masa Orde Baru, politik Islam menjadi kekuatan yang dianggap “berbahaya” oleh pemerintahan Orde Baru. Sehingga politik Islam tidak diberikan
ruang dan dipersempit ruang geraknya. Pemerintah Orde Baru memberlakukan beberapa kebijakan dalam mempersempit ruang gerak aktifitas politik Islam,
diantaranya, setiap organisasi kemasyarakatan ormas atau partai politik harus berasaskan ideologI tunggal, yaitu Pancasila. Ini yang kemudian disebut oleh
Bahtiar Effendy dengan kebijakan depolitisasi Islam
23
. Akan tetapi ini yang membuat Islam Politik berubah menjadi apa yang disebut dengan Islam Kultural.
Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusosialisasi ajaran Islam dilakukan dalam upaya-upaya yang menekankan pada perubahan
kesadaran dan tingkah laku umat tanpa campur tangan Negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami
24
. Islam kultural itu sendiri pada dasarnya bukan konsep yang apolitis, melaikan mengandung dimensi dan muatan
politis. Hanya saja dalam Islam kultural dimensi dan muatan politiknya tidaklah diartikulasikan dengan siapa mendapat apa who gets what dalam meraih
23
Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai
grand design politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, Re Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, Bandung; Mizan Media Utama, 2000, cet. I, h. 108
24
Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam LPI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38; lihat juga
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Pasca Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I; Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama, Masyarakat dan Negara
Demokrasi, Jakarta; The Wahid Institute, 2006, cet. I
8
kekuasaan. Atau dalam bahasa lain dimensi dan muatan politiknya tidak terputus pada bentuk politik praktis yang bersifat temporer, instrumental dan partisan
melaikan melalui apa yang David Easton sebut dengan politik alokatif. Yaitu alokasi otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan
masyarakat tersebut secara menyeluruh
25
. Pasca Orde Baru atau disebut juga dengan reformasi politik pada tahun
1998 di Indonesia ditandai oleh tiga hal, yaitu demokrasi yang berlangsung cepat dan dinamis; civil society yang tumbuh sebagai kekuatan penyeimbang Negara;
dan proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam kapitalis dunia seraca massif
26
. Setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru, berdampak pada dinamika politik lokal yang melahirkan aktor, inisiator, dan budaya lokal dalam memainkan
peranan di dalam politik lokal
27
. Ini yang kemudian disebut dengan desentralisasi dari kekuasaan pusat ke daerah, yang dibarengi dengan tuntutan otonomi daerah
maupun otonomi khusus yang memberi kesempatan pada daerah mengelola nasibnya sendiri. Dan pasca Orde Baru juga memperlihatkan fenomena
menguatnya gejala politik identitas yang berwujud dengan kekerasan komunal serta rivalitas politik kekuasaan di daerah-daerah
28
. Tentu, ini memberikan ruang kesempatan kepada elit baru lokal masyarakat biasa, elit tradisional, Tuan Guru,
25
Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam LPI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38
26
Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1
27
Anis Baswedan, “Pengantar”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV dan YOI, 2007, cet. I, h. Ix-x
28
Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1
9
dan lain-lain duduk dalam posisi-posisi politik yang selama ini dinikmati kaum manak bangsawan.
Secara psikologis dan kultural, tipologi masyarakat Sasak cenderung bersifat paternalistik. Di mana figur atau tokoh kharismatik historis menjadi
kemestian mutlak sebagai tempat menyandarkan masalah-masalah sosial dan agama. Tokoh ini menjadi sentral dan tempat lahir serta bergeraknya ide, wacana
dan agenda perubahan dan pembangunan sosial, bahkan pembentukan mental- kognitif dan spiritual masyarakat disandarkan pada tokoh-tokoh kharismatik
tersebut
29
. Dalam bidang politik, terdapat tokoh-tokoh yang mewarisi darah biru
politik kerajaan, sehingga ditemukan beberapa istilah gelar keturunan, seperti Datu, Raden, Lalu, Baiq
30
. Dan pada saat setelah diberlakukannya otonomi daerah oleh pemerintah pusat, mereka tampil sebagai pemimpin daerah. Mereka inilah
yang menjadi harapan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pembangunan dalam kehidupan sosial dalam segala aspek, baik ekonomi, pendidikan, budaya
dan lain sebagainya. Harapan tersebut terbukti dengan didominasi jabatan
29
Fahurrozi, Desertasi 2010, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara Barat. Desertasi ini membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi,
politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur, h.
30
Dalam stratifikasi sosial masyarakat Sasak terdapat : pertama, golongan menak tinggi. Yaitu golongan keluarga inti kerajaan yang disebut Datu. Dalam garis keturunannya digelari
dengan Raden untuk laki-laki dan Dende untuk anak perempuan. Kedua, golongan Menak menegah atau pruwangsa, yaitu golongan ini timbul karena akibat perkawinan campuran antara
menak tinggi dari laki-laki dan wanita dari golongan rendah. Gelarnya kemudian disebut dengan Lalu untuk laki-laki dan Baiq untuk perempuan. Ketiga, golongan Jajarkarang. Yaitu warga
masyarakat biasa yang merdeka. Keempat, orang budak panjak. Yaitu orang-orang yang menjadi tawanan perang. Tapi golongan ini pada masa sekarang sudah tidak ada. Lihat, Ahmad Abd.
Syakur, Islam dan Kebudayaan; Artikulasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta; Adab Press, 2006, cet. h. 229-235
10
pemerintah oleh para Lalu kaum menak mulai dari Gubernur, Bupati, Kepala Desa, dan jabatan birokrat lainnya.
Dalam bidang keagamaan terdapat Tuan Guru
31
yang memainkan peran sebagai pelaksana masalah suprastruktur masyarakat. Dari Tuan Guru ini lahir
kebijakan dan pemahaman agama yang dikomsumsi oleh masyarakat Sasak dalam menjalankan ajaran Islam. Dalam perkembangannya sebagai umat Islam,
masyarakat Sasak kemudian menjadi masyarakat yang paternalistik, fanatik dan memiliki kultus yang tinggi terhadap Tuan Guru secara dogmatis, eksklusif apatis,
fanatik dan militan. Semua yang dikatakan Tuan Guru dianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri secara an sich. Semua yang dipeintahkan Tuan Guru menjadi
kemestian yang harus dijalani, sebab jika tidak, berarti tidak mematuhi ajaran Islam
32
. Dengan demikian sikap masyarakat Sasak yang demikian telah dibentuk oleh para figur historis secara doktrinal dan kultural. Tuan Guru menjadi figur
yang disegani dan diagung-agungkan. Hal ini disebabkan oleh mitos kekeramatan yang dimiliki Tuan Guru, yang sengaja disebarluaskan untuk membius dan
menghegemoni masyarakat, sehingga status ketuanan gurunya menjadi abadi. Hegemoni terhadap masyarakat Sasak dimulai dari hegemoni teologis sampai
pada hegemoni kehidupan sosial-politik.
31
Tuan Guru bahasa Jawa: Kyai, terdiri dari kata Tuan artinya ia sudah menunaikan ibadah haji; dan Guru adalah seorang yang memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mengajarkannya
kepada masyarakat. Jadi Tuan Guru adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan agama yang luas. Dalam istilah Azyumardi Azra disebut
sebagai fungsionaris agama, yakni orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan agama, memimpin dan mengarahkan pemeluk agama, seperti masalah keimanan , ibadah, ritual
dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif. Tapi sering kali bukan hanya dalam urusan agama sakral, akan tetapi juga dalam urusan keduniawian propan. Lihat, Azyumardi
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, cet. I, h. 56
32
11
Terjunnya Tuan Guru dalam politik praktis menjadi bukti bahwa hegemoni teologis berujung pada hegemoni sosial-politik. Dikarenakan bahwa
dalam dunia politik penuh dengan kebohongan dan kemunafikan. Sedangkan wilayah Tuan Guru Kyai adalah wilayah sakral. Dimensinya adalah gerakan
moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi serta menjadi milik semua golongan dan umat. Jika Tuan Guru berpolitik praktis dan
menjadi juru kampanye yang banyak mengumbar janji yang tidak pasti, maka akibatnya para Tuan Guru tejebak pada logika politik the logic of politic
33
. Hal ini sering memanipulasi umat atau masyarakat, yang pada gilirannya menggiring
ke arah logika kekuasaan the logic of power. Dan akibatnya, kekuatan logika politik the power of logic politic ini pada akhirnya mempengaruhi logika
moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat
34
. Terbukti bahwa dominasi Tuan Guru berpengaruh besar pada sosial-
politik, ketika misalnya pelaksanaan pemilu daerah PILKADA di Nusa Tenggara Barat NTB yang digelar pada tahun 2008 yang lalu, yang kemudian
memunculkan seorang Tuan Guru sebagai Gubernur NTB dan sebagaian Tuan Guru lainnya menjadi anggota parlemenm baik di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten yang banyak lakangan menganggap bahwa Tuan Guru melakukan penggiringan jama’ahnya ke dalam kekuasaan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru, yang
33
Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, Yogyakarta: Genta Press, 2008, cet. I, h. 5
34
Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, h. 5
12
terutama kedua tokoh tradisional karismatik ini, yang dalam sosiologi-politik golongan Menak bangsawan selalu mendominasi pada tingkatan birokrasi
pemerintahan dan kancah politik, dan para Tuan Guru yang hanya pada ranah sosial-keagamaan bergeser ke ranah politik praktis.