Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                4
inilah,  pesan-pesan  yang  dibawa  oleh  para  pendakwah  saat  itu  menemukan tempatnya  di  kalangan  masyarakat  lokal
12
.  Artinya  bahwa  masyarakat  tetap  bisa menjadi  Islam  tanpa  harus  kehilangan  identitas  lokalnya.  Misalnya  Islam  yang
bernegosiasi dengan budaya local Sunda, Jawa, Sasak, Batak, Dayak dan lain-lain. Mereka  akan  tetap  dengan  tradisi  yang  dianut  dan  menjadi  Islam  dengan  pesona
budaya lokalnya masing-masing. Agama  apapun  bahkan  tak  terkecuali  Islam  ketika  berdialog  dengan
budaya  local,  maka  ia  akan  menjadi  agama  yang  singkretis  dan  akulturatis. Singkretis  dan  akulturatis,  hingga  tingkat  tertentu,  berfungsi  membuat  agama
memiliki makna spiritual dan bernilai social
13
. Begitu juga ketika Islam datang ke Lombok
14
, dengan bentuk budaya lokal atau  keyakinan  lokal  agama  lokal
15
yang  sudah  mentradisi  kuat  di  masyarakat Sasak
16
,  maka  ia  akan  berbentuk  Islam  Sasak  yang  kemudian  berfarian  Islam Waktu Lima dan Islam Wetu Telu
17
.
12
A.  Fawaid  Sjadzili,  Temu  Tengkar  Agama  dan  Tradisi  Lokal,  dalam  Jurnal  Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwirul Afkar”, edisi  nomer 23 tahun 2007, h. 2
13
Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak terhadap Islam, dalam Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I, 2005, h. v
14
Ada  yang  berpendapat  bahwa  Lombok  berasal  dari  kata  Lomboq,  yang  artinya  lurus. Nama Lombok ini juga dijumpai dalam Negarakertagama, dengan menyebut Lombok Mirah untuk
Lombok Barat da Sasak Adi untuk Lombok Timur. Lihat Fawaizul Umam, Dari Terma ke Stigma; Geneologi  Islam  Waktu  Telu  Lombok  Nusa  Tenggara  Barat,  dalam  Jurnal  Penelitian  Direktorat
Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4, nomor 01, 2005, h. 280
15
Agama asli  bangsa Sasak sebelum datangnya pengaruh asing ke  Lombok,  yaitu agama Boda.  Yaitu  kepercayaan  kepada  animism  dan  politeisme.  Penyebutannya  mirip  dengan  Budha,
akan tetapi  mereka  bukan  penganut  Budhisme, karena  mereka tidak  mengakui Sidharta  Gautama sebagai  figure  pemujaan.  Lihat  Erni  Budiwati,  Islam  Sasak;  Wetu  Telu  versus  Wetu  Lima,
Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 8
16
Sasak  adalah  nama  suku  dan  penduduk  asli  masyarakat  Lombok.  Dinamakan  pulau Sasak,  karena  pada  pulau  ini,  pada  zaman  dahulu  ditumbuhi  hutan  belantara  yang  sangat  rapat
yang    menyerupai  dinding.  Secara  etomologi  Sasak  berasal  dari  bahasa  Sansekerta,  yang  terdiri dari Sak, yang artinya pergi dan Saka artinya asal. Jadi orang Sasak adalah orang yang pergi dari
negeri  asalnya  dengan  memakai  rakit  sebagai  kendaraannya,  pergi  dari  Jawa  dan  berkumpul  di Lombok. Ada juga yang berpendapat bahwa Sasak adalah penduduk asli pulau ini yang  memakai
kain tembasaq kauin putuh. Perulangan dari kata tembasaq menjadi saqsaq atau Sasak. Pendapat
5
Wetu Telu adalah orang Sasak yang meski mengaku sebagai muslim, tetapi terus  memuja  roh  para  leluhur,  berbagai  dewa  roh  dan  lain-lain.  Dalam
kehiduapan  sehari-hari  mereka  cenderung  kepada  budayaan.  Tidak  ada penggarisan  batas  yang  jelas-tegas  antara  agama  dan  adat.  Sehingga  anatsir  adat
bercampur-baur  dengan  agama  dalam  sistem  kepercayaan  mereka
18
.  Berbeda dengan Waktu Lima sebagai  lawan dari  Waktu Telu. Islam  Waktu Lima memiliki
komitmen  yang  begitu  tinggi  pada  syari’ah  Islam  sehingga  ketaatan  kepada aturan-aturan adat lokal menipis dan bahkan ditinggalkan
19
. Inilah  yang  kemudian  disebut  dengan  bagian  dari  Islam  Indonesia.  Yaitu
Islam  yang  mengakomodir,  bernegosiasi,  berdialog  dan  bahkan  berdialektika dengan  budaya  lokal  setempat.  Sehingga  coraknya  akan  berbeda  antara  daerah
yang  satu dengan daerah  yang  lain, tergantung  letak  geografis, budaya, etnik dan bahasanya.
Dari  sinilah  muncul  akar-akar  geneologis  hubungan  Islam  dan  politik  di Indonesia.  Yaitu  pertama  kali  diperkenalkan  dan  disebarkan  di  Indonesia  ini
dengan dialog  yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat,
lain  juga  mengatakan  bahwa  nama  Sasak  adalah  nama  kerajaan  yang  pertama-tama  ada  di  pulau Lombok.  Tempatnya  di  bagian  barat  daya  dari  pulau  Lombok.  Lebih  lengkapnya  lihat  Sejarah
Daerah  Nusa  Tenggara  Barat  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  Pusat  Penelitian  Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan 19771978, h. 7-8
17
Dalam  bahasa  Sasak,  Wetu  atinya  waktu  dan  telu  artinya  tiga.  Jadi  waktu  tiga.  Ada pendapat  yang  mengatakan  bahwa  Wetu  berasal  dari  kata  metu,  artinya  lahir  reproduksi,  telu
artinya  tiga.  Jadi  wetu  telu  artinya  tiga  macam  terjadinya  reproduksi,  yaitu  melahirkan menganak, seperti manusia dan hewan mamalia; bertelur menteluk, seperti burung; berkembang
biak  dari  benih  atau  buah  mentiuk,  seperti  biji-bijian,  sayur-sayuran,  dan  buah-buahan.  Lihat Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru
Kyai  Haji  Muhammad  Zainuddin  Abdul  Madjid  1904-1997,  Jakarta;  PT  Logos  Wacana  Ilmu, 2004,  cet.  I,  h.  98-99;  Erni  Budiwati,  Islam  Sasak;  Wetu  Telu  versus  Wetu  Lima,  Yogyakarta;
LKiS, 2005, cet I, h. 8
18
Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus  Wetu Lima, Yogyakarta;  LKiS, 2005, cet I, h. 7-8
19
Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 8
6
terlibat dalam politik. Dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya di Indonesia, telah menjadi bagian yang inheren dari sejarah politik negeri ini
20
. Serikat  Islam  SI  misalnya,  adalah  partai  massa  yang  pertama  di
Indonesia yang didirikan pada tahun 1912. Walaupun ketika itu SI tidak dianggap sebagai partai politik karena peraturan yang berlaku pada saat itu, Hindia Belanda,
-  walaupun  pada  1919  peraturan  itu  dicabut.  Serikat  Islam  inilah  adalah  partai pertama  yang  secara  ideologis  dan  sosiologis  menyediakan  wadah  bagi
pergerakan  politik  secara  nasional,  yang  merangkul  sejauh  mungkin  anak  negeri di Hindia Benda
21
. Begitu  juga  di  Lombok,  pada  masa  penjajahan  Hindia  Belanda  1897,
para  Tuan  Guru  mengadakan  pemberontakan  dan  berperang  melawan  Belanda  - walaupun corak Islam pada waktu itu adalah tariqat sufi – seperti misalnya Tuan
Guru Haji Bangkol di Praya, Tuan Guru Haji Muahammad Amin di Pejeruk, Tuan Guru  Haji  Muhammad  Sidiq  di  Karang  Kelok,  Tuan  Guru  Haji  Arsyad  di  Gtap,
Tuan  Guru  Haji  Munawar  di  Gebang,  Tuan  Guru  Haji  Munir  di  Karang  Badil, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor dan lainnya
22
. Begitu  juga  pasca  kemerdekaan,  politik  Islam  mempunyai  peran  yang
urgent  dalam  membangun  negeri  ini.  Pembentukan  Badan  Penyelidikan  Usaha- usaha  Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia  BPUPKI  yang  beberapa  anggotanya
adalah para aktivis politik Islam atau Kyai atau Tuan Guru, bertugas merumuskan
20
Bahtiar Effendy,  Islam dan Negara; Transportasi  Pemikiran dan Praktik  Politik Islam di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, Jakarta; Paramadina, 1998, cet. I, h. 21-22
21
Taufik  Abdullah,  Islam  dan  Masyarakat;  Pantulan  Sejarah  Indonesia,  Jakarta; LP3ES, 1996, cet. II, h. 1-2
22
Mohammad  Nor,  dkk,  Visi  Kebangsaan  Religius;  Refleksi  Pemikiran  dan  Perjuangan Tuan  Guru  Kyai  Haji  Muhammad  Zainuddin  Abdul  Madjid  1904-1997,  Jakarta;  PT  Logos
Wacana Ilmu, 2004, cet. I, h. 89-93
7
ideologi  dan  konstitusi  Negara,  adalah  bukti  dari  keterlibatan  mereka.  Dan  juga para  aktivis  politik  Islam  ini  juga  “dipakai”  oleh  Angkatan  Darat  sebagai
penyeimbang  dan  bahkan  melawan  Soekarno  dan  Partai  Komunis  Indonesia PKI.
Pada  masa  Orde  Baru,  politik  Islam  menjadi  kekuatan  yang  dianggap “berbahaya” oleh pemerintahan Orde Baru. Sehingga politik Islam tidak diberikan
ruang  dan  dipersempit  ruang  geraknya.  Pemerintah  Orde  Baru  memberlakukan beberapa  kebijakan  dalam  mempersempit  ruang  gerak  aktifitas  politik  Islam,
diantaranya,  setiap  organisasi  kemasyarakatan  ormas  atau  partai  politik  harus berasaskan  ideologI  tunggal,  yaitu  Pancasila.  Ini  yang  kemudian  disebut  oleh
Bahtiar  Effendy  dengan  kebijakan  depolitisasi  Islam
23
.  Akan  tetapi  ini  yang membuat  Islam Politik berubah menjadi apa  yang disebut dengan Islam Kultural.
Islam  kultural  mengandung  pengertian  bahwa  sosialisasi  dan  institusosialisasi ajaran  Islam  dilakukan  dalam  upaya-upaya  yang  menekankan  pada  perubahan
kesadaran  dan  tingkah  laku  umat  tanpa  campur  tangan  Negara  dan  tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami
24
. Islam kultural itu sendiri pada dasarnya bukan konsep yang apolitis, melaikan mengandung dimensi dan muatan
politis.    Hanya  saja dalam Islam  kultural dimensi  dan muatan politiknya tidaklah diartikulasikan  dengan  siapa  mendapat  apa  who  gets  what  dalam  meraih
23
Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik bukan  Islam.  Akan  tetapi  karena  Islam  bagian  dari  kehidupan  politik  nasional,  berimbas  sebagai
grand  design  politik  Orde  Baru.  Lihat  Bahtiar  Effendi,  Re  Politisasi  Islam;  Pernahkan  Islam Berhenti Berpolitik, Bandung; Mizan Media Utama, 2000, cet. I, h. 108
24
Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume  II, 2007, Laboratorium Politik  Islam LPI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat  UIN Jakarta, h. 38; lihat juga
M.  Din  Syamsuddin,  Islam  dan  Politik  Pasca  Orde  Baru,  Jakarta:  Logos,  2001,  cet.  I; Abdurrahman  Wahid,  Islamku,  Islam  Anda,  Islam  Kita;  Agama,  Masyarakat  dan  Negara
Demokrasi, Jakarta; The Wahid Institute, 2006, cet. I
8
kekuasaan. Atau dalam bahasa  lain dimensi dan  muatan politiknya tidak terputus pada  bentuk  politik  praktis  yang  bersifat  temporer,  instrumental  dan  partisan
melaikan  melalui  apa  yang  David  Easton  sebut  dengan  politik  alokatif.  Yaitu alokasi  otoritatif  nilai-nilai  tertentu  dalam  suatu  masyarakat  untuk  kepentingan
masyarakat tersebut secara menyeluruh
25
. Pasca  Orde  Baru  atau  disebut  juga  dengan  reformasi  politik  pada  tahun
1998 di Indonesia ditandai oleh tiga hal,  yaitu demokrasi  yang berlangsung cepat dan  dinamis;  civil  society  yang  tumbuh  sebagai  kekuatan  penyeimbang  Negara;
dan  proses  integrasi  masyarakat  Indonesia  ke  dalam  kapitalis  dunia  seraca massif
26
. Setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru, berdampak pada dinamika politik lokal yang melahirkan aktor, inisiator, dan budaya lokal dalam memainkan
peranan di dalam politik lokal
27
. Ini  yang kemudian disebut dengan desentralisasi dari  kekuasaan  pusat  ke  daerah,  yang  dibarengi  dengan  tuntutan  otonomi  daerah
maupun  otonomi  khusus  yang  memberi  kesempatan  pada  daerah  mengelola nasibnya  sendiri.  Dan  pasca  Orde  Baru  juga  memperlihatkan  fenomena
menguatnya  gejala  politik  identitas  yang  berwujud  dengan  kekerasan  komunal serta rivalitas politik  kekuasaan di daerah-daerah
28
. Tentu, ini memberikan ruang kesempatan  kepada elit baru lokal masyarakat biasa, elit tradisional, Tuan Guru,
25
Ahmad  Al-Fajri,  Delima  Islam  Kultural,  dalam  Jurnal  Politik  Islam,  volume  II,  2007, Laboratorium Politik Islam LPI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38
26
Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1
27
Anis  Baswedan,  “Pengantar”,  dalam  Henk  Schulte  Nordholt  dan  Gerry  Van  Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV dan YOI, 2007, cet. I, h. Ix-x
28
Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1
9
dan  lain-lain  duduk  dalam  posisi-posisi  politik  yang  selama  ini  dinikmati  kaum manak bangsawan.
Secara  psikologis  dan  kultural,  tipologi  masyarakat  Sasak  cenderung bersifat  paternalistik.  Di  mana  figur  atau  tokoh  kharismatik  historis  menjadi
kemestian  mutlak  sebagai  tempat  menyandarkan  masalah-masalah  sosial  dan agama.  Tokoh ini menjadi sentral dan tempat lahir serta bergeraknya ide, wacana
dan  agenda  perubahan  dan  pembangunan  sosial,  bahkan  pembentukan  mental- kognitif  dan  spiritual  masyarakat  disandarkan  pada  tokoh-tokoh  kharismatik
tersebut
29
. Dalam  bidang  politik,  terdapat  tokoh-tokoh  yang  mewarisi  darah  biru
politik  kerajaan,  sehingga  ditemukan  beberapa  istilah  gelar  keturunan,  seperti Datu, Raden, Lalu, Baiq
30
. Dan pada saat setelah diberlakukannya otonomi daerah oleh  pemerintah  pusat,  mereka  tampil  sebagai  pemimpin  daerah.  Mereka  inilah
yang menjadi harapan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pembangunan dalam  kehidupan  sosial  dalam  segala  aspek,  baik  ekonomi,  pendidikan,  budaya
dan  lain  sebagainya.  Harapan  tersebut  terbukti  dengan  didominasi  jabatan
29
Fahurrozi,  Desertasi  2010,  Dakwah  Tuan  Guru  dan  Transposmasi  Sosial  di  Nusa Tenggara  Barat.  Desertasi  ini  membahas  peran  Tuan  Guru  dalam  perubahan  sosial,  ekonomi,
politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur, h.
30
Dalam stratifikasi sosial masyarakat Sasak terdapat : pertama, golongan menak tinggi. Yaitu  golongan  keluarga  inti  kerajaan  yang  disebut  Datu.  Dalam  garis  keturunannya  digelari
dengan  Raden  untuk  laki-laki  dan  Dende  untuk  anak  perempuan.  Kedua,  golongan  Menak menegah  atau  pruwangsa,  yaitu  golongan  ini  timbul  karena  akibat  perkawinan  campuran  antara
menak tinggi  dari laki-laki dan wanita dari golongan rendah.  Gelarnya  kemudian disebut dengan Lalu  untuk  laki-laki  dan  Baiq  untuk  perempuan.  Ketiga,  golongan  Jajarkarang.  Yaitu  warga
masyarakat biasa yang merdeka. Keempat, orang budak panjak. Yaitu orang-orang yang menjadi tawanan  perang.  Tapi  golongan  ini  pada  masa  sekarang  sudah  tidak  ada.  Lihat,  Ahmad  Abd.
Syakur,  Islam  dan  Kebudayaan;  Artikulasi  Nilai-nilai  Islam  dalam  Budaya  Sasak,  Yogyakarta; Adab Press, 2006, cet. h. 229-235
10
pemerintah  oleh  para  Lalu  kaum  menak  mulai  dari  Gubernur,  Bupati,  Kepala Desa, dan jabatan birokrat lainnya.
Dalam  bidang  keagamaan  terdapat  Tuan  Guru
31
yang  memainkan  peran sebagai  pelaksana  masalah  suprastruktur  masyarakat.  Dari  Tuan  Guru  ini  lahir
kebijakan dan pemahaman agama yang dikomsumsi oleh masyarakat Sasak dalam menjalankan  ajaran  Islam.  Dalam  perkembangannya  sebagai  umat  Islam,
masyarakat  Sasak  kemudian  menjadi  masyarakat  yang  paternalistik,  fanatik  dan memiliki kultus yang tinggi terhadap Tuan Guru secara dogmatis, eksklusif apatis,
fanatik  dan  militan.  Semua  yang  dikatakan  Tuan  Guru  dianggap  sebagai  ajaran Islam  itu  sendiri  secara  an  sich.  Semua  yang  dipeintahkan  Tuan  Guru  menjadi
kemestian  yang  harus  dijalani,  sebab  jika  tidak,  berarti  tidak  mematuhi  ajaran Islam
32
.  Dengan  demikian  sikap  masyarakat  Sasak  yang  demikian  telah  dibentuk oleh  para  figur  historis  secara  doktrinal  dan  kultural.  Tuan  Guru  menjadi  figur
yang disegani dan diagung-agungkan. Hal ini disebabkan oleh mitos kekeramatan yang  dimiliki  Tuan  Guru,  yang  sengaja  disebarluaskan  untuk  membius  dan
menghegemoni  masyarakat,  sehingga  status  ketuanan  gurunya  menjadi  abadi. Hegemoni  terhadap  masyarakat  Sasak  dimulai  dari  hegemoni  teologis  sampai
pada hegemoni kehidupan sosial-politik.
31
Tuan  Guru  bahasa  Jawa:  Kyai,  terdiri  dari  kata  Tuan  artinya  ia  sudah  menunaikan ibadah haji; dan Guru adalah seorang yang memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mengajarkannya
kepada  masyarakat.  Jadi  Tuan  Guru  adalah  sebutan  yang  diberikan  kepada  seseorang  yang memiliki  kapasitas  ilmu  pengetahuan  agama  yang  luas.  Dalam  istilah  Azyumardi  Azra  disebut
sebagai  fungsionaris  agama,  yakni  orang-orang  yang  menjalankan  fungsi-fungsi  kepemimpinan agama,  memimpin  dan  mengarahkan  pemeluk  agama,  seperti  masalah  keimanan  ,  ibadah,  ritual
dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif. Tapi sering kali bukan hanya dalam urusan  agama  sakral,  akan  tetapi  juga  dalam  urusan  keduniawian  propan.  Lihat,  Azyumardi
Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, cet. I, h. 56
32
11
Terjunnya  Tuan  Guru  dalam  politik  praktis  menjadi  bukti  bahwa hegemoni  teologis  berujung  pada  hegemoni  sosial-politik.  Dikarenakan  bahwa
dalam  dunia  politik  penuh  dengan  kebohongan  dan  kemunafikan.  Sedangkan wilayah  Tuan  Guru  Kyai  adalah  wilayah  sakral.  Dimensinya  adalah  gerakan
moral  yang  penuh  dengan  nilai-nilai  keikhlasan,  tanpa  tendensi  dan  ambisi  serta menjadi  milik  semua  golongan  dan  umat.  Jika  Tuan  Guru  berpolitik  praktis  dan
menjadi  juru  kampanye  yang  banyak  mengumbar  janji  yang  tidak  pasti,  maka akibatnya para Tuan Guru tejebak pada logika politik the logic of politic
33
. Hal ini  sering  memanipulasi  umat  atau  masyarakat,  yang  pada  gilirannya  menggiring
ke  arah  logika  kekuasaan  the  logic  of  power.  Dan  akibatnya,  kekuatan  logika politik  the  power  of  logic  politic  ini  pada  akhirnya  mempengaruhi  logika
moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat
34
. Terbukti  bahwa  dominasi  Tuan  Guru  berpengaruh  besar  pada  sosial-
politik,  ketika  misalnya  pelaksanaan  pemilu  daerah  PILKADA  di  Nusa Tenggara  Barat  NTB  yang  digelar  pada  tahun  2008  yang  lalu,  yang  kemudian
memunculkan  seorang  Tuan  Guru  sebagai  Gubernur  NTB  dan  sebagaian  Tuan Guru  lainnya  menjadi  anggota  parlemenm  baik  di  tingkat  Propinsi  maupun
Kabupaten  yang  banyak  lakangan  menganggap  bahwa  Tuan  Guru  melakukan penggiringan jama’ahnya ke dalam kekuasaan.
Oleh  karena  itu,  penulis  tertarik  untuk  meneliti  dan  menganalisis Dinamika  Politik  Islam  Sasak;  Tuan  Guru  dan  Politik  Pasca  Orde  Baru,  yang
33
Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, Yogyakarta: Genta Press, 2008, cet. I, h. 5
34
Nasri  Anggara,  Politik  Tuan  Guru;  Sketsa Biografi  TGH  Lalu  Muhammad  Faisal  dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, h. 5
12
terutama  kedua  tokoh  tradisional  karismatik  ini,  yang  dalam  sosiologi-politik golongan  Menak  bangsawan  selalu  mendominasi  pada  tingkatan  birokrasi
pemerintahan  dan  kancah  politik,  dan  para  Tuan  Guru  yang  hanya  pada  ranah sosial-keagamaan bergeser ke ranah politik praktis.
                