Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

4 inilah, pesan-pesan yang dibawa oleh para pendakwah saat itu menemukan tempatnya di kalangan masyarakat lokal 12 . Artinya bahwa masyarakat tetap bisa menjadi Islam tanpa harus kehilangan identitas lokalnya. Misalnya Islam yang bernegosiasi dengan budaya local Sunda, Jawa, Sasak, Batak, Dayak dan lain-lain. Mereka akan tetap dengan tradisi yang dianut dan menjadi Islam dengan pesona budaya lokalnya masing-masing. Agama apapun bahkan tak terkecuali Islam ketika berdialog dengan budaya local, maka ia akan menjadi agama yang singkretis dan akulturatis. Singkretis dan akulturatis, hingga tingkat tertentu, berfungsi membuat agama memiliki makna spiritual dan bernilai social 13 . Begitu juga ketika Islam datang ke Lombok 14 , dengan bentuk budaya lokal atau keyakinan lokal agama lokal 15 yang sudah mentradisi kuat di masyarakat Sasak 16 , maka ia akan berbentuk Islam Sasak yang kemudian berfarian Islam Waktu Lima dan Islam Wetu Telu 17 . 12 A. Fawaid Sjadzili, Temu Tengkar Agama dan Tradisi Lokal, dalam Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwirul Afkar”, edisi nomer 23 tahun 2007, h. 2 13 Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak terhadap Islam, dalam Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I, 2005, h. v 14 Ada yang berpendapat bahwa Lombok berasal dari kata Lomboq, yang artinya lurus. Nama Lombok ini juga dijumpai dalam Negarakertagama, dengan menyebut Lombok Mirah untuk Lombok Barat da Sasak Adi untuk Lombok Timur. Lihat Fawaizul Umam, Dari Terma ke Stigma; Geneologi Islam Waktu Telu Lombok Nusa Tenggara Barat, dalam Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4, nomor 01, 2005, h. 280 15 Agama asli bangsa Sasak sebelum datangnya pengaruh asing ke Lombok, yaitu agama Boda. Yaitu kepercayaan kepada animism dan politeisme. Penyebutannya mirip dengan Budha, akan tetapi mereka bukan penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figure pemujaan. Lihat Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 8 16 Sasak adalah nama suku dan penduduk asli masyarakat Lombok. Dinamakan pulau Sasak, karena pada pulau ini, pada zaman dahulu ditumbuhi hutan belantara yang sangat rapat yang menyerupai dinding. Secara etomologi Sasak berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari Sak, yang artinya pergi dan Saka artinya asal. Jadi orang Sasak adalah orang yang pergi dari negeri asalnya dengan memakai rakit sebagai kendaraannya, pergi dari Jawa dan berkumpul di Lombok. Ada juga yang berpendapat bahwa Sasak adalah penduduk asli pulau ini yang memakai kain tembasaq kauin putuh. Perulangan dari kata tembasaq menjadi saqsaq atau Sasak. Pendapat 5 Wetu Telu adalah orang Sasak yang meski mengaku sebagai muslim, tetapi terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lain. Dalam kehiduapan sehari-hari mereka cenderung kepada budayaan. Tidak ada penggarisan batas yang jelas-tegas antara agama dan adat. Sehingga anatsir adat bercampur-baur dengan agama dalam sistem kepercayaan mereka 18 . Berbeda dengan Waktu Lima sebagai lawan dari Waktu Telu. Islam Waktu Lima memiliki komitmen yang begitu tinggi pada syari’ah Islam sehingga ketaatan kepada aturan-aturan adat lokal menipis dan bahkan ditinggalkan 19 . Inilah yang kemudian disebut dengan bagian dari Islam Indonesia. Yaitu Islam yang mengakomodir, bernegosiasi, berdialog dan bahkan berdialektika dengan budaya lokal setempat. Sehingga coraknya akan berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, tergantung letak geografis, budaya, etnik dan bahasanya. Dari sinilah muncul akar-akar geneologis hubungan Islam dan politik di Indonesia. Yaitu pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di Indonesia ini dengan dialog yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat, lain juga mengatakan bahwa nama Sasak adalah nama kerajaan yang pertama-tama ada di pulau Lombok. Tempatnya di bagian barat daya dari pulau Lombok. Lebih lengkapnya lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan 19771978, h. 7-8 17 Dalam bahasa Sasak, Wetu atinya waktu dan telu artinya tiga. Jadi waktu tiga. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Wetu berasal dari kata metu, artinya lahir reproduksi, telu artinya tiga. Jadi wetu telu artinya tiga macam terjadinya reproduksi, yaitu melahirkan menganak, seperti manusia dan hewan mamalia; bertelur menteluk, seperti burung; berkembang biak dari benih atau buah mentiuk, seperti biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Lihat Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. I, h. 98-99; Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 8 18 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, Yogyakarta; LKiS, 2005, cet I, h. 7-8 19 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 8 6 terlibat dalam politik. Dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya di Indonesia, telah menjadi bagian yang inheren dari sejarah politik negeri ini 20 . Serikat Islam SI misalnya, adalah partai massa yang pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1912. Walaupun ketika itu SI tidak dianggap sebagai partai politik karena peraturan yang berlaku pada saat itu, Hindia Belanda, - walaupun pada 1919 peraturan itu dicabut. Serikat Islam inilah adalah partai pertama yang secara ideologis dan sosiologis menyediakan wadah bagi pergerakan politik secara nasional, yang merangkul sejauh mungkin anak negeri di Hindia Benda 21 . Begitu juga di Lombok, pada masa penjajahan Hindia Belanda 1897, para Tuan Guru mengadakan pemberontakan dan berperang melawan Belanda - walaupun corak Islam pada waktu itu adalah tariqat sufi – seperti misalnya Tuan Guru Haji Bangkol di Praya, Tuan Guru Haji Muahammad Amin di Pejeruk, Tuan Guru Haji Muhammad Sidiq di Karang Kelok, Tuan Guru Haji Arsyad di Gtap, Tuan Guru Haji Munawar di Gebang, Tuan Guru Haji Munir di Karang Badil, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor dan lainnya 22 . Begitu juga pasca kemerdekaan, politik Islam mempunyai peran yang urgent dalam membangun negeri ini. Pembentukan Badan Penyelidikan Usaha- usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI yang beberapa anggotanya adalah para aktivis politik Islam atau Kyai atau Tuan Guru, bertugas merumuskan 20 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, Jakarta; Paramadina, 1998, cet. I, h. 21-22 21 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, 1996, cet. II, h. 1-2 22 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004, cet. I, h. 89-93 7 ideologi dan konstitusi Negara, adalah bukti dari keterlibatan mereka. Dan juga para aktivis politik Islam ini juga “dipakai” oleh Angkatan Darat sebagai penyeimbang dan bahkan melawan Soekarno dan Partai Komunis Indonesia PKI. Pada masa Orde Baru, politik Islam menjadi kekuatan yang dianggap “berbahaya” oleh pemerintahan Orde Baru. Sehingga politik Islam tidak diberikan ruang dan dipersempit ruang geraknya. Pemerintah Orde Baru memberlakukan beberapa kebijakan dalam mempersempit ruang gerak aktifitas politik Islam, diantaranya, setiap organisasi kemasyarakatan ormas atau partai politik harus berasaskan ideologI tunggal, yaitu Pancasila. Ini yang kemudian disebut oleh Bahtiar Effendy dengan kebijakan depolitisasi Islam 23 . Akan tetapi ini yang membuat Islam Politik berubah menjadi apa yang disebut dengan Islam Kultural. Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusosialisasi ajaran Islam dilakukan dalam upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat tanpa campur tangan Negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami 24 . Islam kultural itu sendiri pada dasarnya bukan konsep yang apolitis, melaikan mengandung dimensi dan muatan politis. Hanya saja dalam Islam kultural dimensi dan muatan politiknya tidaklah diartikulasikan dengan siapa mendapat apa who gets what dalam meraih 23 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand design politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, Re Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, Bandung; Mizan Media Utama, 2000, cet. I, h. 108 24 Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam LPI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38; lihat juga M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Pasca Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I; Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama, Masyarakat dan Negara Demokrasi, Jakarta; The Wahid Institute, 2006, cet. I 8 kekuasaan. Atau dalam bahasa lain dimensi dan muatan politiknya tidak terputus pada bentuk politik praktis yang bersifat temporer, instrumental dan partisan melaikan melalui apa yang David Easton sebut dengan politik alokatif. Yaitu alokasi otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan masyarakat tersebut secara menyeluruh 25 . Pasca Orde Baru atau disebut juga dengan reformasi politik pada tahun 1998 di Indonesia ditandai oleh tiga hal, yaitu demokrasi yang berlangsung cepat dan dinamis; civil society yang tumbuh sebagai kekuatan penyeimbang Negara; dan proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam kapitalis dunia seraca massif 26 . Setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru, berdampak pada dinamika politik lokal yang melahirkan aktor, inisiator, dan budaya lokal dalam memainkan peranan di dalam politik lokal 27 . Ini yang kemudian disebut dengan desentralisasi dari kekuasaan pusat ke daerah, yang dibarengi dengan tuntutan otonomi daerah maupun otonomi khusus yang memberi kesempatan pada daerah mengelola nasibnya sendiri. Dan pasca Orde Baru juga memperlihatkan fenomena menguatnya gejala politik identitas yang berwujud dengan kekerasan komunal serta rivalitas politik kekuasaan di daerah-daerah 28 . Tentu, ini memberikan ruang kesempatan kepada elit baru lokal masyarakat biasa, elit tradisional, Tuan Guru, 25 Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam LPI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38 26 Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1 27 Anis Baswedan, “Pengantar”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV dan YOI, 2007, cet. I, h. Ix-x 28 Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1 9 dan lain-lain duduk dalam posisi-posisi politik yang selama ini dinikmati kaum manak bangsawan. Secara psikologis dan kultural, tipologi masyarakat Sasak cenderung bersifat paternalistik. Di mana figur atau tokoh kharismatik historis menjadi kemestian mutlak sebagai tempat menyandarkan masalah-masalah sosial dan agama. Tokoh ini menjadi sentral dan tempat lahir serta bergeraknya ide, wacana dan agenda perubahan dan pembangunan sosial, bahkan pembentukan mental- kognitif dan spiritual masyarakat disandarkan pada tokoh-tokoh kharismatik tersebut 29 . Dalam bidang politik, terdapat tokoh-tokoh yang mewarisi darah biru politik kerajaan, sehingga ditemukan beberapa istilah gelar keturunan, seperti Datu, Raden, Lalu, Baiq 30 . Dan pada saat setelah diberlakukannya otonomi daerah oleh pemerintah pusat, mereka tampil sebagai pemimpin daerah. Mereka inilah yang menjadi harapan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pembangunan dalam kehidupan sosial dalam segala aspek, baik ekonomi, pendidikan, budaya dan lain sebagainya. Harapan tersebut terbukti dengan didominasi jabatan 29 Fahurrozi, Desertasi 2010, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara Barat. Desertasi ini membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur, h. 30 Dalam stratifikasi sosial masyarakat Sasak terdapat : pertama, golongan menak tinggi. Yaitu golongan keluarga inti kerajaan yang disebut Datu. Dalam garis keturunannya digelari dengan Raden untuk laki-laki dan Dende untuk anak perempuan. Kedua, golongan Menak menegah atau pruwangsa, yaitu golongan ini timbul karena akibat perkawinan campuran antara menak tinggi dari laki-laki dan wanita dari golongan rendah. Gelarnya kemudian disebut dengan Lalu untuk laki-laki dan Baiq untuk perempuan. Ketiga, golongan Jajarkarang. Yaitu warga masyarakat biasa yang merdeka. Keempat, orang budak panjak. Yaitu orang-orang yang menjadi tawanan perang. Tapi golongan ini pada masa sekarang sudah tidak ada. Lihat, Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Artikulasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta; Adab Press, 2006, cet. h. 229-235 10 pemerintah oleh para Lalu kaum menak mulai dari Gubernur, Bupati, Kepala Desa, dan jabatan birokrat lainnya. Dalam bidang keagamaan terdapat Tuan Guru 31 yang memainkan peran sebagai pelaksana masalah suprastruktur masyarakat. Dari Tuan Guru ini lahir kebijakan dan pemahaman agama yang dikomsumsi oleh masyarakat Sasak dalam menjalankan ajaran Islam. Dalam perkembangannya sebagai umat Islam, masyarakat Sasak kemudian menjadi masyarakat yang paternalistik, fanatik dan memiliki kultus yang tinggi terhadap Tuan Guru secara dogmatis, eksklusif apatis, fanatik dan militan. Semua yang dikatakan Tuan Guru dianggap sebagai ajaran Islam itu sendiri secara an sich. Semua yang dipeintahkan Tuan Guru menjadi kemestian yang harus dijalani, sebab jika tidak, berarti tidak mematuhi ajaran Islam 32 . Dengan demikian sikap masyarakat Sasak yang demikian telah dibentuk oleh para figur historis secara doktrinal dan kultural. Tuan Guru menjadi figur yang disegani dan diagung-agungkan. Hal ini disebabkan oleh mitos kekeramatan yang dimiliki Tuan Guru, yang sengaja disebarluaskan untuk membius dan menghegemoni masyarakat, sehingga status ketuanan gurunya menjadi abadi. Hegemoni terhadap masyarakat Sasak dimulai dari hegemoni teologis sampai pada hegemoni kehidupan sosial-politik. 31 Tuan Guru bahasa Jawa: Kyai, terdiri dari kata Tuan artinya ia sudah menunaikan ibadah haji; dan Guru adalah seorang yang memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mengajarkannya kepada masyarakat. Jadi Tuan Guru adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan agama yang luas. Dalam istilah Azyumardi Azra disebut sebagai fungsionaris agama, yakni orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan agama, memimpin dan mengarahkan pemeluk agama, seperti masalah keimanan , ibadah, ritual dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif. Tapi sering kali bukan hanya dalam urusan agama sakral, akan tetapi juga dalam urusan keduniawian propan. Lihat, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, cet. I, h. 56 32 11 Terjunnya Tuan Guru dalam politik praktis menjadi bukti bahwa hegemoni teologis berujung pada hegemoni sosial-politik. Dikarenakan bahwa dalam dunia politik penuh dengan kebohongan dan kemunafikan. Sedangkan wilayah Tuan Guru Kyai adalah wilayah sakral. Dimensinya adalah gerakan moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi serta menjadi milik semua golongan dan umat. Jika Tuan Guru berpolitik praktis dan menjadi juru kampanye yang banyak mengumbar janji yang tidak pasti, maka akibatnya para Tuan Guru tejebak pada logika politik the logic of politic 33 . Hal ini sering memanipulasi umat atau masyarakat, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan the logic of power. Dan akibatnya, kekuatan logika politik the power of logic politic ini pada akhirnya mempengaruhi logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat 34 . Terbukti bahwa dominasi Tuan Guru berpengaruh besar pada sosial- politik, ketika misalnya pelaksanaan pemilu daerah PILKADA di Nusa Tenggara Barat NTB yang digelar pada tahun 2008 yang lalu, yang kemudian memunculkan seorang Tuan Guru sebagai Gubernur NTB dan sebagaian Tuan Guru lainnya menjadi anggota parlemenm baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten yang banyak lakangan menganggap bahwa Tuan Guru melakukan penggiringan jama’ahnya ke dalam kekuasaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru, yang 33 Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, Yogyakarta: Genta Press, 2008, cet. I, h. 5 34 Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, h. 5 12 terutama kedua tokoh tradisional karismatik ini, yang dalam sosiologi-politik golongan Menak bangsawan selalu mendominasi pada tingkatan birokrasi pemerintahan dan kancah politik, dan para Tuan Guru yang hanya pada ranah sosial-keagamaan bergeser ke ranah politik praktis.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis hanya membatasinya pada kajian Dinamika Politik Islam Sasak, yang berkaitan dengan Tuan Guru dalam Politik Masyarakat Sasak pada Pasca Orde Baru. Agar pembahasan ini lebih terfokus, maka penulis merumuskan masalahnya pada: 1. Bagaimana peran politik Tuan Guru dalam masyarakat Sasak Pasca Orde Baru?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah penulis ingin memeberikan kontribusi – berupa karya tulis ilmiyah dengan mengkaji kedaerahan- kepada daerah tempat penulis dilahirkan dan dibersarkan; tulisan ini adalah sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar keserjanaan; penulis ingin menambah pengetahuan dan mengetahui dinamika politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Paca Orde Baru.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiyah natural, dengan maksud 13 menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan berbagai metode yang ada 35 . Sehingga dalam memerlukan penelitian ini memerlukan pendekatan deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan fenomena sosial dengan apa adanya. Sedangkan analisisnya, memberikan interpretasi terhadap fenomena sosial tersebut 36 . Dalam mempermudah kajian ini, penulis mengunakan pendekatan historis analisis dengan teori kharismatik Max Weber. Historis analisis adalah memaparkan data-data sejarah yang ada kemudian dianalisis. Sedangkan teori kharisma Weber 1864-1920, yaitu sesuatu yang luar biasa yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik serta karakter pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya 37 . Untuk itu dibutuhkan kajian pustaka library reseach. Penelitian ini mengandalkan data dari dokumen-dokumen baik primer maupun skunder; seperti buku, jurnal, arsip dokumen dan tulisan-tulisan yang terkait dengan tema tersebut. Dan penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan data dan informasi melalui tanya jawab, dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada nara sumber atau responden. Teknik wawancara ini memberikan informasi secara langsung dari nara sumber atau responden yang berkompeten dalam bidangnya. Adapun pedoman penulisan ini, penulis menggunakan panduan buku yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu 35 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007, cet. X, h. 5 36 Makalah Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Anas Saidi Machfus Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, h. 39 37 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M. Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229 14 Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah Skripsi, Tesis, Desertasi oleh Center for Development Assurance CEQDA terbitan tahun 2007.

E. Kajian Terdahulu yang Relevan

Dalam membahas tema ini, ada beberapa buku yang pernah ditulis atau berkaitan dengan tema yang penulis bahas antara lain : 1. Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok. Buku ini membahas seorang peran Tuan Guru bernama Tuan Guru Haji Lalu Muhammad Faisal dalam politik pasca kemerdekaan dan peranannya dalam mengembangkan NU di Lombok. 2. Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997. Buku ini membahas tokoh Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam peranannya melakukan transformasi sosial dalam bidang pendidikan dan dakwah dengan organisasi Nahdatul Wathan NW yang didirikannya di Pancor. 3. Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima. Buku ini mambahas Islam yang berartikulasi dengan budaya Sasak sehingga menimbulkan Islam Waktu Telu. 4. Fahurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara Barat, Desertasi, 2009 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Desertasi ini membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur 15 5. Zulkarain, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Bedakwah dengan Politik. Buku ini membahas tentang visi dan misi Tuan Guru Bajang dalam menghadapi pemilihan gurubernur di NTB pada tahun 2008. 6. Irene Hiraswati, dkk, 2009, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur. Ini adalah laporan hasil penelitian dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI yang dilakukan di Lombok Timur yang meneliti pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah yang kemudian bergeser pada pasca orde baru menjadi politisi atau para Tuan Guru terjun dalam politik praktis. Perbedaan skripsi ini dari kajian yang terdahulu yaitu terdapat pembahasan-pembahasan yang masih menyangkut biografi atau ketokohan. Misalnya kajian yang ditulis oleh Nasir Anggara yang mengkaji tentang perlawanan seorang tokoh NU bernama Tuan Guru Muhammad Faisal dalam melawan penjajahan Belanda di Lombok. Muhammad Noor dan dkk, mengkaji refleksi pemikiran kebangsaan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang masih focus terhadap biografi. Berbeda dengan Erni Budiwanti yang membahas Lombok tetapi melihat dari segi teologisnya. Fahrurrozi, desertasi yang mengkaji Tuan Guru dalam trasformasian sosial melalui dakwah. Dan Zulkarnain, mengkaji sekitar visi dan misi Tuan Guru “Bajang” dalam menjelang Pilkada. Sedangkan penelitian Irene Hiraswati, dkk, melihat pergeseran peran Tuan Guru sebagai pendakwah beralih menjadi politisi pada masa pasca Orde Baru. Dan peran ini dianggap sebagai hal yang baru.