Tuan Guru sebagai Elit Lokal
28
banyak pengikut. Posisi ini menjadi penting dan berbeda dibandingkan dengan posisi elit-elit yang lain”
32
. Oleh karena itu, dalam konteks Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan
Lombok pada khususnya mempunyai dua kategori elit, yaitu elit formal dan elit informal. Dan direpresentasikan dalam kaum bangsawan menak dari elit formal
dan kaum agamawan Tuan Guru atau Kyiai dari elit informal. Elit formal adalah seseorang yang dipilih melalui mekanisme legal-formal
atau melalaui mekanisme Pemilu atau Pilkada. Elit formal ini termasuk menjadi gubernur, bupati, camat dan anggota dewan.
Sedangkan Elit informal didapat bukan melalaui proses melainkan pengakuan. Pengakuan diberikan berdasarkan pada tradisi dan kharisma yang
dimilikinya. Biasanya elit ini memiliki kharisma yang membuat orang percaya bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah sah adanya. Sehingga Tuan Guru sebagai
elit lokal juga mempunyai posisi yang penting dalam perubahan sosial. Dalam tradisi sejarah Islam, istilah tuan guru, kiai, ajengan, bendere, buya
dan lainnya tidaklah dikenal, melainkan mengggunakan istilah yang baku untuk penyebutan tersebut, seperti alim, ustadz, syekh, dan wali. Bahkan dalam perintis
penyebaran agama Islam di Indonesia disebut dengan syeh, wali, dan sunan
33
. Istilah Tuan Guru dalam masyarakat Sasak, Kyai dalam masyarakat Jawa,
Ajengan untuk masyarakat Sunda, Bendere untuk masyarakat Madura, Buya untuk masyarakat Sumatra Barat, Topanrita untuk masyarakat Sulawesi Selatan dan
32
Irine Hiraswari dkk
,
dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di
Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.6-7
33
Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, Malang: UIN Malang Press, 2009, cet. II, h. 27-28
29
lainnya. Secara etnografis merupakan istilah lokal, tetapi secara terminologis dan kultural sama sebagai sebutan ulama
34
. Istilah lokal ini muncul, ada yang mengatakan bahwa strategi Belanda pada waktu penjajahan, dengan tujuan
menjadikan Islam sebagai fenomena budaya local yang menyatu dengan tradisi kerajaan. Dengan strategi itu, peyebaran agama Islam dapat diisolasi dan ditutup
kemungkinannya untuk menjadi gerakan Islam secara nasional
35
. Menurut Hasan Basri Marwah, istilah Tuan Guru bisa ditelusuri sampai
abad ke 18 ketika tiga orang alim ini menggunakannya pertama kali. Pertama Tuan Guru Umar Kelayu, Tuan Guru Abdul Hamid Presak Pagutan dan Tuan
Guru Sekar Bela
36
. Konon mereka bertiga sangat harmonis dan sangat tinggi tingkat toleransinya dalam perbedaan pandangan. Mereka bertiga cukup lama
tinggal di Hizaj untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu
37
. Dalam masyarakat Sasak, Untuk menjadi tokoh yang mendapat gelar
sebagai Tuan Guru, sebagai orang yang berpengaruh di masyarakat Sasak, ada beberpa syarat, meskipun antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
memiliki persamaan, akan tetapi ada beberapa hal yang perbedaan. Syarat-Syarat tersebut adalah telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, menguasai
kitab suci Al-Qur’an, Hadis dan kitab kuning, mengenyam pendidikan di Timur Tengah, biasanya memiliki pondok pesantren dan jamaan yang terwadahi dalam
34
Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28
35
Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28
36
Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs Sasak.Org, diakses pada tanggal 2412011
37
Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs Sasak.Org, diakses pada tanggal 2412011
30
pesantren yang dimilikinyam dan mendapat pengakuan dari jama’ahnya maupun dari jama’ah di luarnya
38
. Masyarakat Sasak memandang sosok Tuan Guru sebagai seorang yang
“serba bisa”, “mampu”, dan berpengaruh
39
. Itu karena kemampuan seorang Tuan Guru Kyai dalam pengetahuannya tentang ajaran-ajaran Islam, sehingga
seringkali dilihat sebagai orang yang mampu memahami keagungan Tuahan dan rahasia alam, dan mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau,
terutama oleh kebanyakan orang awam
40
. Biasanya gelar Tuan Guru Kyai diberikan kepada golongan ulama dari golongan Islam tradisional
41
. Tuan Guru, dalam masyarakat Sasak diakui sebagai pemimpin yang
kharismatik, pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain dengan kelebihan-kelebihan tertentu. Seorang dikatakan sebagai pemimpin yang
kharismatik, apabila kepemimpinannya bersumber dari kekuatan yang luar biasa, yang diistilahkan dengan charismatic authority
42
. Kepemimpinan jenis ini lebih didasarkan pada identifikasi psikologis. Makna identifikasi adalah keterlibatan
emosional individu dengan individu lain yang akhirnya nasib orang sendiri
38
Irine Hiraswari dkk
,
dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal
di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.8-9
39
Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan
Masyarakat, Yogyakarta: Sekolah Pascaserjana UGM, 2008, cet. I, h. 138
40
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I, h. 56
41
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, h. 56
42
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M. Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229
31
berkaitan degan orang lain. Bagi para pengikut, pemimpin adalah harapan untuk membawa ke arah yang lebih baik, penyelamat, pelindung
43
. Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang ketika jama’ah atau
santri yang mengikuti pengajian semakin banyak. Pengajian-pengajian yang dilakukan selain di rumah Tuan Guru juga di desa-desa yang dilakukan setiap
seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Selain itu, Tuan Guru juga biasanya diundang dalam perayaan-perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, hari
besar Islam, Isra’ Mi’raj atau acara-acara selamatan
44
. Oleh karena itu, dalam masyarakat Sasak, khusunya Tuan Guru sebagai
elit local terlihat memiliki peran ganda dalam masyarakat. Pertama sebagai elit agama atau pemimpin spiritual yang memperikan pencerahan atau bahkan
memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan-permasalahan agama yang di hadapi masyarakat. Kedua sebagai aktifis politik yang langsung terlibat dalam
perpolitikan nasional maupun local dan bahkan ikut dalam pencalonan gubernur, bupati dan dewan perwakilan rakyat.