FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA PERCERAIAN PERCERAIAN

tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. 29 3. Karena putusan Pengadilan Perceraian yang terjadi karena putusan Pengadilan merupakan perceraian yang terjadi diluar kehendak suami istri yang apabila majlis hakim berpendapat atau menilai perkawinan keduanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Bentuk putusan ini dapat berupa fasakh pembatalan perkawinan. 30 Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad perkawinan dan bukan merupakan Thalaq, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 39 ayat 2 dijelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa pasangan tersebut sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pada pasa 116 menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 29 Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : bulan bintang, 1975, h.55-56 30 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, h.95 Perkara perceraian dengan alasan zina, pada umumnya lebih banyak menggunakan istilah “selingkuh atau menyeleweng”, secara umum zina bagi orang yang terikat perkawinan adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh suami atau istri dengan seseorang pihak ketiga. Perbuatan ini sudah jelas akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri yang sulit untuk diselesaikan, apabila salah satunya telah berbuat dan saling menuduh satu sama lain berbuat zina, maka cara penyelesaiannya dengan cara memaparkan bukti-bukti serta data-data yang konkrit dan jelas dalam mengajukan perceraian dengan alasan zina, bukan hanya sekedar gosip atau omongan orang luar saja yang ingin menghancurkan rumah tangga kita. Dengan cara itu mungkin juga bisa mencegah terjadinya perceraian. 31 2. Salah satu pihak meniggalkan Pihak lain suami atau istri selama 2 dua tahun berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya. Perceraian dengan alasan ini adalah untuk menjaga dan melindungi pihak yang ditinggalkan, hal ini terkait dengan kewajiban memberi nafkah baik lahir maupun bathin, apabila salah satu pihak meninggalkan pihak lain tanpa adanya izin dalam waktu yang lama maka akan dikhawatirkan tidak adanya pemenuhan kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya. Sehingga bila yang ditinggalkan kemudian tidak sangup, maka dapat mengajukan alasan ini untuk menjadi dasar diajukanya gugatan perceraian di Pengadilan. 32 31 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.206 3. Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara 5 lima tahun atau hukum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Didalam pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang Pekawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan “gugatan perceraian karena salah seorang suami istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti, penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memp unyai kekuatan hukum tetap”. Pasal tersebut diatas menunjukan bahwa salinan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap langsung dianggap mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan atau mempunyai kekuatan pembuktian yang memaksa. Hal ini juga hampir sama dengan point 2 untuk dapat menjadi dasar pengajuan perceraian, dikarenakan jika salah satu pihak sedang menjalani hukum 5 lima tahun atau lebih, berarti yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami atau istri dan tidak terpenuhinya kebutuhan lahir dan bathin. 33 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 6 menjelaskan bahwa kekerasan fisik 32 Ibid., h.208 33 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta : Intermasa, 1991, h.326 adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. 34 Selanjutnya pada Undang-Undang PKDRT No 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual dan ekonomi yang terjadi dalam ruang lingkup domestik yakni relasi antara orang-orang yang berbeda dalam hubungan keluarga, perkawinan maupun hubungan kerja dilingkung domestik dan pasangan dalam hubungan intim secara sosial maupun seksual. Menurut M.Yahya Harahap yang dimaksud dengan kekejaman tidak hanya bersifat fisik, melainkan terhadap mental seperti penghinaan, caci maki, selalu marah akibat cemburu yang berlebihan dan berkata yang tidak pantas, kekejaman seperti ini pada dasarnya sama dengan penderitaan bathin yang dapat menganggu pikiran dan jiwa. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. Cacat badan adalah cacat jasmani atau rohani yng tidak dapat dihilangkan sekalipun dapat disembuhkan tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga dengan kondisi yang demikian tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Untuk dapat mengajukan dengan alasan seperti ini seharusnya dilampirkan dengan bukti- bukti yang kuat, seperti surat keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa suami 34 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 6 atau istri mengalami cacat badan atau penyakit yang sukar untuk disembuhkan dan tidak dapat menjalankan kewajibannya. 35 6. Antara suami istri trus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan seperti ini sering dijadikan sebagai landasan hukum bagi para hakim, karena banyak sebab-sebab terjadinya perselisihan diluar alasan-alasan yang termuat dalam pasal 116 KHI dan masih bersifat umum. Tidak ada kehidupan rumah tangga yang harmonis dan rukun apabila dipenuhi dengan perselisihan dan pertengkaran, apabila hal ini berlangsung terus-menerus akan menimbulkan dampak yang buruk bagi kehidupan rumah tangga atau pun para pihak suami atau istri, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dan dijelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 134 bahwa ; “gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruh f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami ataupun istri tersebut.” 7. Suami melanggar taklik thalak Sighat taklik thalaq atau perjanjian perkawinan pada umumnya dibacakan pada saat akad perkawinan yang dibacakan oleh mempelai pria. Biasanya pelanggaran taklik thalaq adalah suami dengan sengaja meninggalkan istri tanpa 35 M. Yaser Arafat, Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga, h. 20 memberikan nafkah atau suami melakukan tindak kekerasan kepada istri. Maka oleh sebab itu istri memiliki hak untuk memohonkan penjatuhan thalaq pada dirinya kepada Pengadilan Agama yang berwenang. 36 8. Peralihan agamamurtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Perkawinan yang diakui oleh hukum perkawinan di Indonesian adalah perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang seagama. Orang yang murtad yaitu orang yang keluar dari agama Islam baik memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lain atau sama sekali tidak beragama, maka haram bagi diri istrinya yang masih beragama Islam. 37 Jika dalam rumah tangga salah satu pihak murtad atau berpindah agama, maka salah satu pihak dapat mengajukan perceraian, dan apabila perkawinan tersebut dipaksakan, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakrukunan. 38 Dan hal ini pula dapat dimaksudkan untuk melindungi agama suami atau istri sehingga tidak terjerumus pada keyakinan hidup yang sesat.

C. AKIBAT PERCERAIAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berusaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Banyak sosiologi mengemukakan bahwa 36 M.Thalib, Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1997, Cet. Ke-1 h.179 37 Ibid., h,.179 38 Ibid., h.179 berhasil atau tidaknya suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor yang paling vital diantara beberapa faktor yang lain. Apabila dalam rumah tangga baik dengan sendirinya masyarakat akan baik pula, karena rumah tangga adalah merupakan masyarakat terkecil. 39 Akibat yang timbul dari perceraian yang telah dijatuhi oleh Pengadilan Agama tidak serta merta dapat dikatakan persoalan itu selesai, tetapi ada akibat- akibat yang akan timbul setelah perceraian, baik akibat terhadap hubungan mantan suami dengan mantan istri ataupun akibat terhadap hak asuh anak, serta masalah harta bersama yang telah didapatkan oleh suami dan istri selama menjalin hubungan perkawinan. Untuk lebih jelasnya penulis akan mencoba menjelaskan akibat hukum dari perceraian yaitu di antaranya, apabila suami telah menthalak istrinya maka timbulah beberapa hukum bagi masing-masing pasangan, yaitu hukum wajibnya masa iddah bagi istri, suami diwajibkan memberikan nafkah iddah kepada istri, hukum disunatkanya suami memberikan mut’ah kepada mantan istri, dan hukum rujuk bagi suami kepada istri yang dicerainya. 40 Bagi istri yang dicerai, maka ia wajib menjalani masa iddahnya tergantung keadaan istri tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam masa iddah diatur dalam pasal 153 sampai 155 yaitu; 39 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan: Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1989, h. 1 40 Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid, Terjamaah Imam Ghazali Said Dan Ahmad Zaidun. Jakarta : pustaka Amani, 2002 Cet II, h. 600-601 1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 seratus tiga puluh hari; b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 sembilan puluh hari; c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan; d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami 5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.