Dasar Hukum Perceraian Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

maka peceraian merupakan perbuatan terlarang dan dosa. Misalnya, apabila dengan perceraian itu dapat merusak kehidupan agama dan kehormatan wanita. Bertolak dari sini, sudah seharusnya bagi siapa saja yang melakukan perceraian terlebih dahulu harus benar-benar mempertimbangkan baik dari segi cara, waktu maupun resiko yang akan ditimbulkannya sebelumnya berani memutuskan untuk bercerai, agar perceraian tersebut menjadi perceraian yang baik. 23 Seringkali perceraian terjadi tanpa adanya alasan yang kuat, hal inilah yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga untuk mewujudkan suatu perkawinan yang bahagia, kekal dan sejahtera sesuai dengan salah satu prinsip yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang perkawinan yaitu mempersulit terjadinya perceraian. 24 Dalam hal perceraian agama Islam telah mengatur sedemekian rupa dengan menurunkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadist- Hadist Nabi yang berkenaan dengan perceraian tersebut dan dapat dijadkan dasr hukum serta aturan sendiri. Diantaranya yaitu Q.S at-Thalaq 65 : 1                                               ﻼﻄ ا : 23 Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian Salah Siapa?, Jakarta : Lentera 2001, h.37 24 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1978, h.36 Artinya ; “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. ” Q.S At-Thalaq65 : 1 Selanjutnya dalam Q.S al-Baqarah 2 : 228                                              ﺓ ب ا : Artinya; ”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri menunggu tiga kali quru. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka para suami menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” Q.S al-Baqarah2 : 228 Dilanjutkan dalam Q.S al-Baqarah 2 : 229                                                    ﺓ ب ا : Artinya : “Talak yang dapat dirujuki dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang- orang yang zalim.” Q.S al- Baqarah2 : 229 Demikian pula disebutkan Q.S al-Baqarah 2 : 230                                 ﺓ ب ا : Artinya; “Kemudian jika si suami mentalaknya sesudah Talak yang kedua, Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya bekas suami pertama dan isteri untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui. ” Q.S al-Baqarah2 : 230 Dan dilajutkan pula dalam Q.S al-Baqarah 2 : 231                                                   ﺓ ب ا : Artinya; “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf pula. janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah As Sunnah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Q.S al- Baqarah2 : 231 Seterusnya dijelaskan dalam Q.S al-Baqarah 2 : 232                                     ﺓ ب ا : Artinya; “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang maruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ” Q.S al-Baqarah2 : 232 Namun demikian pada dasarnya hukum perceraian atau thalaq adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh. Berdasarkan hadist nabi: هاْ ﺳ ا ا ْع ها يض ع ْبا ع م ﺳ ْﻴ ع ها ى ص : ا حْا ضغْبأ ْع ها ا ﻄ ا . د د ْ با ا , ج ام ْبا , م احْا ححص , اﺳْ م اح ْ با حج 25 Artinya: “Dari ibnu Umar semoga Allah SWT meridhoi keduanya berkata: Rasulullah SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT ialah Thalaq ”. HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Hatim Selain itu hadist nabi lain yang menjadi dasar hukum perceraian adalah ا ْبع ا ث ح بْﻴش ىبأ ْب ْ ب بأ ا ثد عفا ْ ع ا ْﻴبع ْ ع سي ْد ْب ع ْبا ع ع ف ضئاح ى ى أ ْما ْ ط ا ا ﺳ - م ﺳ ﻴ ع ها ى ص - ا ف د ا ْعجا ﻴْف ْ م ْﻄ مث ضﻴح مث ْﻄ ى ح ءاش ْ مث ا ف ا سْمأ ءاش ْ ا عماجي ْ أ ْب ا ط مأ ى ا ﺓ عْا جام ْبا ا Artinnya: 25 Muhammad ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Darul fiqr. Juz 1, h. 650 26 Muhammad ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Darul fiqr. Juz 1, h. 651 “Sesungguhnya, Ia Abdullah Ibnu Umar telah menthalaq istrinya, sedang istrinya dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah SAW, Umar lalu bertanya kepada Rasulullah SAW, Beliau bersabda: “Suruhlah agar merujuk istrinya itu. Kemudian hendaklah ia menahan istrinya itu hingga suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian sesudah itu jika ia mau ia boleh memegang tetap menggaulinya istrinya sesudah itu dan jika ia mau, ia boleh menthalaqnya diwaktu suci dan belum dicampuri, yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menthalaq istri- istri.” HR.Ibnu Majah Demikian dari ayat al- Qur’an dan hadist yang telah disebutkan diatas para ulama sepakat membolehkan Thalaq. Ini melihat bahwa bisa saja sebuah rumah tangga mengalami masalah yang dapat menimbulkan keretakan hubungan suami-istri sehingga rumah tangga tidak akan berjalan harmonis dan melenceng dari tujuan perkawinan itu sendiri, apalagi menimbulkan rasa sakit diantara suami dan istri seperti pertengkaran yang terus menerus, dilanjutkanya pun pernikahan tersebut akan menimbulkan kemadharatan yang sangat serius. Perceraian adalah satu-satunya jalan untuk dapat menghindari dan mengilangkan hal-hal yang negatif.

B. FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA PERCERAIAN

Suatu perkawinan dimaksud untuk mewujudkan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangkan membina dan membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam membina rumah tangga selalu saja ada masalah yang timbul sehingga dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga itu sendiri, segala persoalan yang dihadapi harus diselesaikan atau diputuskan dengan musyawarah. 27 27 Ash-Shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam, Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1993, cet.ke-5, h. 140 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 disebutkan ada 3 tiga hal yang menjadi faktor putusnya perkawinan, yaitu: 1 Karena Kematian; 2 Karena perceraian; 3 Karena Putusan Hakim. 1. Karena Kematian Putusnya perkawinan karena kematian tidak menimbulkan banyak persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan menjadi putus. Apabila pihak suami istri yang masih hidup ingin menikah lagi maka boleh saja asalkan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam. 28 2. Karena Perceraian Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, sebagaimana ketentuan dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perceraian pasal 39 ayat 1, yaitu: “perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak”. Dalam pasal 39 diatas diterangkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan, pasal ini dimaksudkan untuk untuk mengatur thalaq pada perkawinan, dan hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan prinsip tersubut tercantum pada pasal 4 huruf e sebagai berikut : “Karena 28 Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung Ramaja Rosdakarya, 1991, h.194 tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. 29 3. Karena putusan Pengadilan Perceraian yang terjadi karena putusan Pengadilan merupakan perceraian yang terjadi diluar kehendak suami istri yang apabila majlis hakim berpendapat atau menilai perkawinan keduanya tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Bentuk putusan ini dapat berupa fasakh pembatalan perkawinan. 30 Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad perkawinan dan bukan merupakan Thalaq, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 39 ayat 2 dijelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa pasangan tersebut sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri, dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pada pasa 116 menjelaskan faktor-faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 29 Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : bulan bintang, 1975, h.55-56 30 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, h.95