Cerai sebelum hubungan suami isteri: studi yurisprudensi No.1609/Pdt.G/2006 PA JT

(1)

OLEH:

AHMAD FATAHILLAH 1 0 3 0 4 4 1 2 8 0 2 0

PROGRAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1431 H/2010 M


(2)

ﻢﺴﺑ

ﷲا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﻢﻴﺣﺮﻟا

Puji dan syukur penulis senantiasa persembahkan kepada Allah Swt, Tuhan sekalian alam, yang dengan hidayah dan inayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, yang yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan uluran tangan dari berbagai pihak, hanya Allah Swt yang dapat membalas budi baik yang telah diberikan. Maka pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Selaku ketua Program studi Ahwal Syakhsiyah dan Bapak Kamarusdiana S.Ag., MH., Selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama, semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sehat dan selalu menjadi suri tauladan bagi kami.

3. Bapak DR. H. Abdul Halim, pembimbing I skripsi penulis yang dengan keikhlsannya menuntun penulis dari awal hingga selesai skripsi ini.

4. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag, MA, selaku pembimbing II skripsi penulis yang dengan keikhlasannya menuntun dan memotivasi penulis hingga selesai skripsi ini.


(3)

berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat.

6. Segenap staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas fasilitas peminjaman buku yang membantu dalam penulisan skripsi ini. 7. Segenap staf perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta atas fasilitas referensi buku yang dipinjamkannya sehingga membantu dalam penulisan skripsi ini.

8. Segenap staf perpustakan Islam Imam Jama’ Lebak Bulus yang telah memfasilitasi peminjaman buku dan referensi yang penulis perlukan. 9. Yang tercinta Ayahanda Drs. H. Ali Nurdin, MM dan Ibunda Hj. Jamillah,

S.Pdi yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap hati dan yang selalu mendoakan Ananda dan saudara-saudaraku tercinta tanpa terkecuali yang memberikan motivasi dan membantu penulis baik materil maupun immaterial sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, dan doa guruku, Adik-adikku yang telah memberi motivasi dan membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skripi ini.

10.Tak lupa juga buat teman-teman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, khususnya teman konsentrasi Peradilan Agama Program studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas turut membantu menyelesaikan skripsi ini.


(4)

iii

khususnya bagi penulis. Amin

Jakarta, 02 Febuari 2010 M 17 Syafar 1431 H


(5)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II SEBAB DAN AKIBAT PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian ... 13

B. Macam macam Perceraian ... 16

C. Faktor-faktor perceraian ... 25

D. Akibat perceraian... 32

BAB III PROSEDUR PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA A. Profil Pengadilan Agama ... 37

B. Data perceraian ... 44

C. Alasan Mengajukan Perceraian ... 45

D. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama ... 53


(6)

v

B. Putusan Cerai Gugat Nomor 1609/Pdt.G/2006/PA.JT ... 57 C. Analisis Putusan... 65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran-saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA... 78


(7)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang–undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.”1 Pasal tersebut menunjukkan bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Penjelasan tersebut sebagaimana dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya:

ﻜ ْﻴ

ﺟو

ﺎﻬْﻴ إ

اﻮ ﻜْ ﱢ

ﺎًﺟاوْزأ

ْ ﻜ أ

ْ ﱢ

ْنأ

ﺎ اء

ْ و

نوﺮﱠﻜ

مْﻮ ﱢ

تﺎ ﻷ

ﻚ ذ

ﱠنإ

ًﺔ ْ رو

ًةﱠدﻮﱠ

)

موﺮ ا

/

30

:

21

(

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S al-Rûm/ 30: 21)

Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan dari penciptaan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam suatu ikatan suci pernikahan adalah untuk menentramkan hati. Oleh karena itu, kecocokan dan rasa cinta kasih antar sesama merupakan unsur utama dan kunci menuju kebahagiaan yang harus terpenuhi.

1

.Departemen agama R I, Himpunan Peraturan Perundang–undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Depag, 2001), h. 131.


(8)

Untuk masalah perjodohan, Islam mensyariatkan agar masing–masing calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami pribadi satu sama lain.2 Proses perkenalan dan pemahaman antara lawan jenis akan menjadi mudah jika kita memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam. Karena masalah tersebut, Allah SWT sudah mengatur sedemikian rupa agar manusia bisa hidup dalam keluarga yang bahagia.

Memilih jodoh merupakan salah satu masalah yang cukup signifikan dalam kehidupan. Rasulullah SAW memberikan kita pedoman dan petunjuk yang baik untuk memilih jodoh sebagaimana sabda beliau sebagai berikut:

لﺎﻗ

ﱠﻠﺳو

ْﻴﻠ

ﷲا

ﻰﱠﻠﺻ

ﻰ ﱠ ا

ةﺮْﺮه

ﻰ ا

ْ

:

ةأْﺮ ْا

ﻜْ

ْ ﺮ

ْﺪ ا

تاﺬ

ْﺮ ْﻇﺄ

،ﺎﻬ ْﺪ و

،ﺎﻬﻠ و

،ﺎﻬ

و

،ﺎﻬ ﺎ

ْرﻷ

كاﺪ

)

ﻠ ا

اور

(

Artinya : “Dari Abi Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: Perempuan itu dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, agamanya, maka utamakan memilih perempuan yang beragama, agar selamatkan dirimu.” (H.R Muslim)3

Serta dijelaskan pula oleh Rasulullah SAW:

نذْﺄ ْ

ﻰﱠ

ﺮْﻜ ْا

ﻻو

،ﺮ ْﺄ ْ

ﻰﱠ

ﱠﻷا

ﻜْ ﻻ

:

اْﻮ ﺎﻗ

:

لْﻮﺳرﺎ

لﺎﻗ

؟ﺎﻬ ْذإ

ْﻴآو

،ﷲا

:

ﻜْ

ْنإ

)

و

ﺪ أ

ﻻإ

ﺔ ﺎ ا

اور

ىرﺎ ا

(

2

Sayid Sabiq, ”Fiqh Sunnah,” (Beirut: Dar al Fikr, 1983), Jilid Ke-2, h. 20.

3

Imam Abi Husein Muslim Ibn Al Hajjaj Al Qusyairi An Nasaburi, ”Shahih Muslim,”


(9)

Artinya : “Tidaklah wanita yang tidak bersuami itu dinikahkan sehingga dia dimintai pendapatnya, tidak pula anak gadis sehingga dia dimintai perkenannya”. Mereka (para sahabat) bertanya, “dan bagaimana perkenannya itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “apabila dia diam.”(HR. Al-Jama’ah kecuali Ahmad dan Al-Bukhary) 4

Ketika memilih jodoh bagi anak, orang tua pada umumnya memiliki banyak pertimbangan. Pertimbangan tersebut diantaranya adalah : kesepadanan umur, pendidikan, dan keturunan. Ini merupakan beberapa pertimbangan dzohiriyyah yang sering dicuatkan oleh orang tua. Pertimbangan semacam ini merupakan pertimbangan yang objektif, jauh dari pertimbangan

subjektif, apalagi hanya pertimbangan seksual semata.5 Karena semuanya akan mempengaruhi proses pembentukan rumah tangga yang ideal. Satu lagi faktor yang terpenting dalam hal perkawinan yaitu antara pihak wanita dan pria saling berkenan serta saling suka guna terciptanya tujuan hidup berumah tangga, terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan orang tua mengenai hal ini tidak lain agar anak mereka mendapatkan pasangan yang baik, bertanggung jawab, dan bisa membahagiakan (anaknya) dalam hidup berumah tangga.

Fenomena masalah pernikahan yang dijodohkan memang sangat problematis, terutama jika kedua pihak calon mempelai - mau tidak mau - harus menerima keputusan bahwa mereka akan menikah dengan proses dijodohkan oleh orang tua dan keluarga masing-masing meski keriskanan dalam hati tidak bisa dipungkiri. Dari permasalahan ini tentu saja tidak

4

Muhammad bin Abdullah Sulaiman Arafah, ”Hak dan Peran Aktif Wanita Muslimah,”

(Solo: PT. Hazanah Ilmu, 1994), Cet. Ke-1, h. 70.

5

Ali Akbar, ”Merawat Cinta Kasih,” (Jakarta: PT. Pustaka Antara, 1992), Cet. Ke-18, h. 21.


(10)

menutup kemungkinan akan terjadi perceraian yang belum terjadi hubungan suami istri (qabla al dukhul) disebabkan salah satu atau kedua belah pihak tidak saling menyukai.

Tentunya hasil akhir dari pernikahan semacam ini memang sangat relatif, artinya tergantung bagaimana proses yang meraka jalani dalam berumah tangga. Jika kedua belah pihak saling mengerti, menyayangi, dan setia, maka jawab atas semua itu akan menjadi jelas, kebahagiaan dan kelanggengan dalam berumah tangga. Namun juga sebaliknya, jika di antara mereka tidak ada rasa cinta, kasih dan sayang, maka perceraian menjadi jawaban yang tidak bisa terbungkam.

Perbedaan, rasa khawatir, curiga dan semacamnya merupakan masalah yang seringkali muncul dalam diri seseorang yang menjalani perjodohan. Ini merupakan hal yang wajar, sebab sebelum terjadi pernikahan, antara kedua belah pihak tidak pernah terjalin hubungan dan penyatuan perasaan yang dekat. Ini semua merupakan salah satu tantangan dalam hal memberikan dan mengekspresikan perasaan cinta dan sayang kepada pasangannya.

Menikah sebab dijodohkan tidak selalu berakhir pada perceraian. Kehawatiran tersebut tidaklah dapat dijadikan penilaian yang final, karena tidak sedikit pula pada pasangan yang menikah sebab dijodohkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut.

Kerancuan di atas bukan hanya dirasakan pada mereka yang menikah karena dijodohkan. Bagi mereka yang memutuskan untuk menikah setelah menjalani proses perkenalan tak sedikit kita jumpai menemui kegagalan dalam


(11)

berumah tangga. Perselisihan atau perhelatan antara suami dan isteri seringkali menjadi batu sandungan sehingga kerukunan, ketenangan, dan kedamaian serta rasa kasih sayang menjadi hilang, dan tak sedikit yang menjadikan perceraian sebagai solusi atas masalah tersebut.

Kasus perceraian dalam sebuah rumah tangga biasanya terjadi jika segala bentuk pertimbangan dan usaha peleraian antara pihak suami istri, hakam, dan pengadilan sudah tidak bisa menemukan jalan keluar. Karena indikator terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah sudah tidak ada lagi.6

Perceraian bukanlah masalah sepele yang bisa diputuskan begitu saja. Karena perceraian merupakan masalah yang serius dan sudah diatur oleh hukum. Untuk masalah perceraian UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 39 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 menjelaskan bahwa perceraian itu harus didasarkan atas alasan yang dibenarkan oleh hukum. Maksud alasan yang dibenarkan dalam KHI Pasal 115 dijelaskan kembali pada Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai berikut:7

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

6

Hakam merupakan pihak ketiga dari pihak suami dan istri yang bertugas sebagai

problem solver untuk masalah rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan antara pasangan suami istri. Hal ini Allah SWT jelaskan dalam firman-Nya: “Dan jika kamu kawatirkan ada siqaq (persengketaan) antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakann perbaikan, niscaya Allah member taufik pada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa/4: 35).

7

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, DirektoratPembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departeemen Agama, 1991-1992. H. 62-64.


(12)

2. Salah satu pihak meninggalkan meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

7. Suami melanggar taklik talak ;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Fenomena seorang isteri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama terhadap suaminya sekarang banyak terjadi dengan berbagai macam-macam alasan, mulai dari yang bersifat materil maupun non-materil. Karena di mata hukum wanita juga memiliki hak yang sama untuk melakukan gugatan cerai kepada suaminya ke pengadilan.

Berdasarkan penelitian pendahuluan di Pengadilan Agama Jakarta Timur tersebut, pada hari Selasa tanggal 23 Januari 2008, ditemukan sebuah perkara perceraian yang cukup menarik untuk diteliti lebih mendalam, yaitu perceraian qabla dukhul karena pernikahannya dijodohkan oleh orang tuanya.


(13)

Putusan pengadilan Nomor 1609/Pdt. G/2006/PA JT merupakan putusan dari Kasus perceraian antara AL Binti TC dengan MIK Bin MS yang telah melangsungkan pernikahan pada hari Sabtu, 18 Nopember 2006, dihadapan Pegawai Pencatat Nikah KUA Kecamatan Makasar, Kota Jakarta Timur dengan Akta Nikah Nomor: 1427/93/XI/2006, 20 Nopember 2006 dijatuhkan talak ba’in shugra.

Berdasarkan hasil penemuan kasus cerai gugat dengan nomor perkara 1609/Pdt.G/2006/PA JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur, maka penulis tertarik untuk mengajukan skripsi dengan judul Cerai sebelum Hubungan Suami Istri: Studi yurisprudensi No: 1609/Pdt. G/2006/PA JT”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

A.Batasan masalah: agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal-hal yang berkenaan dengan masalah putusan perceraian yang terjadi sebelum melakukan hubungan suami isteri.

B.Rumusan masalah: rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi adalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang perceraian sebelum terjadinya persetubuhan?

2. Apa saja yang menjadi alasan hakim dalam memutus perceraian sebelum terjadinya persetubuhan?


(14)

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam tentang perceraian sebelum terjadinya persetubuhan

2. Untuk mengetahui alasan alasan hakim dalam memutus perceraian sebelum terjadinya persetubuhan

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menambah referensi dalam bidang hukum formil Peradilan Agama. 2. Untuk menambah referensi dalam bidang hukum perdata Islam.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah kualitatif, yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati.8 Teori yang digunakan untuk pembahasan skripsi ini adalah teori tentang perceraian menurut hukum Islam.

1. Pendekatan Studi

Pendekatan yang penyusun gunakan adalah pendekatan normatif yuridis, pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji apakah sesuai dengan norma dan kebutuhan masyarakat yang didasarkan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.

2. Jenis Penelitian

8

Lexy J. Moeloeng, “Metodologi Penelitian Kualitatif,” (Bandung: PT. Remaja Rodsda Karya 2004),h. 3.


(15)

a. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang dibutuhkan untuk penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur dan dokumen pendukung lainnya yang relevan dengan pembahasan judul skripsi ini.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah tempat memperoleh keterangan.9 Dan yang menjadi subjek penelitian adalah hakim yang menangani kasus ini. Sedangkan objek penelitian adalah kasus cerai gugat yang tertuang dalam amar putusan No 1609/Pdt. G/2006 PA JT. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

4. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini digunakan 2 (dua) sumber data: a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah berkas-berkas yang berkaitan dengan perkara Putusan Nomor 1609/Pdt. G/2006/PA JT tentang cerai gugat dengan alasan dijodohkan dan hasil wawancara dengan hakim yang menangani kasus.

b. Data Sekunder

9

Tatang M. Arifin, “Menyusun Rencana Penelitian,” (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hal. 13.


(16)

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur kepustakaan seperti buku-buku, kitab-kitab, dan peraturan perundang-undangan, serta sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Dokumentasi, yaitu dengan cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari data primer dari dokumen-dokumen berkas putusan perkara No. 1609/Pdt.G/2006/PA.JT. Selain itu, dilakukan penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai tulisan yang berkaitan dengan pembahasan ini, dalam aspek hukum untuk mempertajam analisis terhadap putusan pengadilan.

b. Interview (wawancara), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan pedoman wawancara. Adapun pihak yang diwawancarai adalah Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang menangani kasus tersebut.

6. Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dari wawancara dan kepustakaan diseleksi dan disusun. Setelah itu, dilakukan klasifikasi data, yaitu usaha menggolongkan data berdasarkan kategori tertentu. Setelah data yang sudah diklasifikasikan muncul dari ketentuan normatif maupun yuridis, kemudian diadakan analisa data untuk


(17)

ditarik sebuah kesimpulan berdasarkan pedoman sumber–sumber tertulis.

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini bersifat deskriptif analisis, yaitu memberikan gambaran terhadap subjek dan objek penelitian untuk ditarik sebuah kesimpulan. Adapun penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum 2007.

E. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian skripsi ini, penulis lebih menekankan pada hasil putusan No. 1609/Pdt.G/2006/PA.JT tentang cerai gugat akibat dijodohkan di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Studi pustaka dalam penelitian ini di antaranya adalah berkas hasil Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan buku-buku lain yang relevan dengan tema skripsi ini sebagai referensi pendukung, seperti: Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang Perkawinan, Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA, “Hukum Perdata Islam di Indonesia,” (Jakarta: Sinar Grafika: 2006), Cet. Ke-1, Drs. M. Fauzan, SH., MM., “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-2, Umar Mansyur Syah, SH, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek,” (Bandung: Sumber Bahagia, 1991), Cet. Ke-1.


(18)

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka pembahasannya telah dibagi beberapa bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan yang berisi penguraian tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Menguraikan tentang konsep sebab dan akibat perceraian dalam Islam berisi tentang Pengertian Perceraian, Macam-macam Perceraian, Faktor Perceraian, serta Akibat Perceraian

Bab III : Tentang prosedur perceraian di Pengadilan Agama yang menguraikan, Kekuasaan Pengadilan, Alasan Mengajukan perceraian, dan prosedur perceraian di Pengadilan Agama.

Bab IV : Deskripsi dan Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Agama Nomor: 1609/Pdt. G/2006/PA JT Menguraikan tentang duduk perkaranya, dasar pertimbangan Hakim dan Analisa Penulis.

Bab V : Berisi Kesimpulan dan Saran-saran. Hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus untuk menjawab pertanyaan yang termaktub dalam rumusan masalah. Kemudian diikuti dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran data yang dibutuhkan.


(19)

A. Pengertian Perceraian

“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam undang-undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang selama ini hidup sebagai suami isteri.1 Perceraian adalah suatu pemutus hubungan dalam suatu perkawinan antara suami isteri. Perceraian dapat dilakukan apabila sudah ada ikatan yang dijalain antara pria dan wanita. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya juga diriwayatkan dengan sahih dari Ali R.A, Jabir bin abdullah R.A, Ibnu Abbas R.A, dan Aisyah R.A, yang berbunyi :

حﺎﻜ

ﺪْ

ْ

ﱠﻻا

ق ﻃ

ﱠﻠﺳو

ْﻴﻠ

ﷲا

ﱠﻰﻠﺻ

ﷲا

لﻮﺳر

لﺎًﻗ

..

)

اور

ﺪﺟ

ﻴ ا

ﻴ ﺷ

(

Artinya : Rasulullah SAW bersabda “tidak ada thalaq kecuali sesudah nikah”2

Thalaq menurut pengertian bahasa adalah pelepasan ikatan yang kokoh. Kata thalaq itu diambil dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan dan membiarkan.3

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ( Jakarta : Prenada Media, 2006 ), cet. Ke-1, h. 189

2

Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang : C.V. asy Syifa, 1990), cet.Pertama. h. 523


(20)

Yang dimaksud dengan thalaq adalah pemutusan tali perkawinan.4 Dalam Al-Munawir kamus Arab Indonesia, cerai adalah terjemahan dari bahasa Arab (قﻼﻄﻟا ) yang secara bahasa artinya melepaskan ikatan.5

Prof. Subekti SH mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan satu pihak dalam perkawinan itu.6 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena thalaq atau gugatan perceraian.

Thalaq merupakan hak cerai bagi suami sedangkan gugatan cerai adalah hak cerai isteri dengan alasan yang telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116.

Thalaq menurut bahasa artinya melepaskan ikatan. Menurut istilah (agama) artinya melepaskan ikatan perkawinan (nikah).7

Thalaq menurut istilah syara’ ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal thalaq atau yang searti dengannya.8

Sayid Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, mengatakan (ﺪﻘﻋ

١ ﻳوﺰﺘﻟ

) artinya melepaskan ikatan perkawinan.9

3

As Shan’ani , Subulussalam, terj. Drs. Abu Bakar Muhammad, ( Surabaya : Al-Ikhlas, 1995 ), jilid 3, cet 1, h.609

4

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, terj. M. Abdul Ghoffar, EM, ( Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005 ), cet ke 4, h.207

5

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir ; Kamus Arab Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997 ) cet ke 14, h.861

6

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, ( Jakarta : PT. Intermasa, 1995 ), cet ke 27, h.42

7

Moh. Rifa’i, Drs. Moh. Zuhri, Drs. Salomo, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang : C.V Toha Putra,tt ), h.307

8

Peunoh Dally, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1998 ), h.247


(21)

Dalam ensiklopedi Islam Indonesia thalaq diartikan sebagai pemutusan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri secara sepihak dengan menggunakan lafal “thalaq” atau seumpamanya.10

Definisi thalaq mazhab Hanafi dan mazhab Hambali mendefinisikan thalaq sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara langsung” adalah tanpa terkait dengan segala sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan thalaq tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang dimaksud “di masa yang akan datang” adalah berlakunya hukum thalaq tersebut tertunda oleh sesuatu hal.11

Mazhab Syafi’i mendefinisikan thalaq sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal thalaq atau yang semakna dengan lafal itu. Sedangkan mazhab Maliki mendefinisikan thalaq sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.12

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa thalaq merupakan pemutus hubungan suami dan isteri serta hilanglah pula hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Meskipun dalam pengucapan thalaq menggunakan lafal-lafal tertentu, namun penekanannya dimaksudkan

9

Sayid Al-Imam Muhammad Ibnu Ismail Al-Kahlani, Sulubussalam, ( Bandung : Dahlan, tt ), h.168

10

Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta : Direktorat Jendral Pembinanaan Kelembagaan Agama Islam/ Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi IAIN, 1987/ 1988 M ) jilid 3, h.940

11

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Thalaq” Ensiklopedi Islam, ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru an Hoeve, 1994 ), cet ke 3, jilid 5, h.53

12


(22)

bertujuan yang sama yaitu untuk berpisah antara suami isteri, dalam artian putusnya perkawinan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa thalaq merupakan hak suami, akan tapi tidak hanya suami yang dapat melakukan pemutusan hubungan perkawinan, tetapi isteri juga dapat melakukan hal tersebut dengan cara menebus dirinya, supaya suaminya dapat menjatuhkan thalaq kepadanya. Perceraian semacam ini dinamakan perceraian karena khulu’.

B. Macam-macam Perceraian

Dalam pembahasan ini akan dipaparkan macam-macam perceraian sebagai pemutus ikatan perkawinan, yaitu sebagai berikut :

1. Thalaq

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa thalaq adalah pemutus tali ikatan perkawinan antara suami isteri walaupun dalam pengucapan thalaq itu menggunakan kata-kata yang seumpama dengan thalaq tapi maksud dan tujuannya sama, yaitu bercerai. Lafadz-lafadz thalaq dengan kinayah (sindiran) seperti, engkau tidak bersuami, keluarlah, pergilah, puaslah, menjauhlah, engkau haram untukku, aku mengharamkan padamu.13

Thalaq dibagi dengan melihat pada keadaan yaitu melihat kepada keadaan isteri waktu dithalaq dan melihat diperbolehkannya si suami ke

13


(23)

mantan isterinya.14 Pengucapan thalaq yang dilakukan suami karena melihat keadaan isteri ini dibagi menjaadi dua macam, yaitu thalaq sunni dan thalaq bid’i.

a. Thalaq sunni atau thalaq sunnah adalah thalaq yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW, yaitu thalaq yang dilakukan ketika isteri dalam keadaan suci yang belum disetubuhi dan kemudian dibiarkan sampai ia selesai menjalani iddah.15 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 121 juga dijelaskan tentang thalaq sunni adalah thalaq yang dibolehkan yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. b. Thalaq bid’i atau thalaq bid’ah berarti seorang suami menceraikan

isterinya dalam keadaan haid tapi ia sudah mencampurinya.16 Thalaq bid’i adalah thalaq yang dilarang yaitu thalaq yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut, ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 122.

Thalaq hanya dapat dilakukan sampai tiga kali. Pada thalaq satu dan dua masih terdapat peluang bagi suami isteri itu untuk kembali (rujuk) sebelum masa iddahnya habis. Tetapi jika masa iddahnya habis maka untuk melakukan rujuk harus menggunakan akad nikah yang baru. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229, yaitu :

14

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, ( Jakarta : Prenada Media, 2003 ), cet ke 1, h.130

15

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h.211

16


(24)

Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah/2 : 229)

Sedangkan apabila telah jatuh thalaq tiga, maka suami isteri tersebut tidak boleh melakukan rujuk, kecuali jka isteri telah melakukan penikahan dengan laki-laki lain (muhallil) dan laki-laki itu telah menyetubuhinya serta menceraikannya dan telah habis pula masa iddahnya. Hal ini terdapat dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 230, yaitu :


(25)

Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua). Maka isteri itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan laki-laki yang lain. Kemudian jika laki-laki lain itu menceraikannya. Maka tidak ada dosa bagi keduanya (mantan suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduany berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya pada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah/2 :230)

Thalaq yang menunjukkan bolehnya si suami kembali pada mantan isterinya dapat dibagi menjadi thalaq Raj’i dan thalaq Ba’in.

a. Thalaq Raj’i yaitu thalaq satu atau thalaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri, pada thalaq ini si suami diberi hak untuk kembali kepada isterinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya masih dalam keadaan iddah.17 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 118 bahwa thalaq raj’i adalah thalaq kesatu dan thalaq kedua, dimana suami isteri berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

b. Thalaq ba’in yaitu thalaq yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang thalaq tersebut sebagai pengganti dari mahar yang dikembalikannya (disebut khulu’) atau thalaq tiga.18

17

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, h.130

18

Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah, ( Surabaya : Bina Sarana Ilmu Offset, 1995 ), cet pertama, h.331


(26)

Thalaq ba’in ini dibagi menjadi dua yakni thalaq bai’in sughra dan thalaq ba’in kubra.

a. Thalaq bai’in sughra yaitu thalaq satu dan dua dengan meggunakan tebusan dari pihak isteri atau tanpa melalui putusan pengadilan dalam bentuk fasakh.19 Suami dapat kembali (rujuk) kepada isterinya dithalaq ba’in ini dengan aqad dan mahar baru tanpa disyari’atkan harus kawin terlebih dahulu.20

b. Thalaq bai’n kubra yaitu thalaq tiga. Hukumnya sama dengan thalaq bai’n sughra, hanya yang membedakannya suami (pertama) boleh kembali dengan syarat isteri yang bersangkutan sudah menikah kemudian bercerai dengan laki-laki lain secara sah.21

2. Khulu’

Menurut bahasa khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah khulu’ berarti thalaq yang diucapkan isteri dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya. Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh seorang isteri kepada suaminya yang dibencinya agar suaminya itu dapat menceraikannya.22

19

Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, h.131

20

A. Fuad Said, Perceraian menurut Hukum Islam, ( Jakarta : Puataka Al-Husna, 1994), cet pertama, h.55

21

Ibid, h.63

22


(27)

Asal kata khulu’ adalah khul’an, yakhla’u, khala’a, yang berarti melepaskan atau menanggalkan.23 Dasar khulu’ adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229, yaitu :

Artinya : Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (Al-Baqarah/2 :229)

Khulu’ juga dapat berarti “Fida” atau tebusan kerena isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan atau imbalan.24

Khulu’ ialah perceraian antara suami isteri yang mana suami menerima tebusan dari isterinya.25 Dari pengertian khulu’ diatas dapat diambil kesimpulan bahwa khulu’ adalah hak memutus aqad nikah oleh isterinya terhadap suaminya yang dapat terjadi atas kesepakatan (jumlah tebusan mahar) atau perintah hakim agar isteri membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar suaminya.26

3. Li’an

23

A.W. Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, h.361

24

H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, h.95

25

Moh. Rifa’i, Drs. Moh. Zuhri, Drs. Salomo, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, h.305

26

A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet pertama, h.251


(28)

Li’an menurut bahasa artinya “la’nat” termasuk dosa sebab salah satu dari suami isteri berbuat dosa. Li’an menurut istilah artinya suami menuduh isterinya berzina, ia bersumpah bersedia menerima la’nat apabila ia berbohong.27

Kata li’an ini berasal dari kata al-la’nu yaitu ucapan seorang suami sebagai berikut : “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benar-benar melihat isteriku telah berzina”. Kalau ada bayinya yang lahir dan ia yakini bahwa itu bukan anaknya, maka hendaklah ia nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulanginya empat kali kemudian ditambah kepada yang kelima dengan kalimat “laknat Allah akan menimpaku sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini.28

Li’an adalah tuduhan suami bahwa isterinya berbuat zina. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 126 bahwa li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isterinya menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.29 Hal li’an ini disebutkan dalam firma Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 6-7, yaitu :

27

Moh. Rifa’i, Drs. Moh. Zuhri, Drs. Salomo, Tarjamah Khulashah Kifayatul Akhyar, h.329

28

Syaikh Hasan Ayyub, Fqih Keluarga, h.343

29

H. Abdurrahman S.H, M.H, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), cet. Kedua, h.142


(29)

Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu aalah empat kali bersumpah dengan nama Allah , sesungguhnya ia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima : bahwa la’nat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. (Q.S. An-Nur/24 : 6-7)

Si suami harus dapat menghadirkan empat orang saksi jika tidak ia harus bersumpah sebanyak empat kali dan diteruskan sumpah yang kelima diiringi dengan perkataan “Laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan itu dusta”.

4. Ila

Secara etimologi (bahasa), kata ila’ berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah sedangkan menurut istilah kata ila’ berarti sumpah untuk tidak mencampur lagi isteri dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.30 Hukum ila’ ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 226, yaitu :

Artinya : Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada

30


(30)

isterinya), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. (Q.S. Al-Baqarah/2 : 226)

5. Fasakh

Fasakh berarti mencabut atau menghapus, maksudnya ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami isteri dan mencapai tujuannya.31

Diantara alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara fasakh ialah :

a. Cacat atau penyakit;

b. Suami tidak membari nafkah;

c. Meninggalkan tempat kediaman bersama; d. Menganiaya berat;

e. Salah seorang dari suami atau isteri melakukan zina; f. Murtad atau keluar dari Islam;

g. Dan lain-lain.32

Inti dari fasakh ialah bahwa seorang suami atau isteri merasa dirugikan atas hak-hak mereka yang telah ditentukan sebagai seorang suami atau isteri tidak tercapai dan membuat suami isteri tidak sanggup untuk melanjutkan rumah tangga mereka. Apabila mereka melanjutkan

31

Kamal Mukhtar, Azaz-azaz Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1993), cet, ketiga, h.212

32


(31)

rumah tangganya maka akan semakin buruk bukan semakin baik, hal inilah yang tidak boleh terjadi dalam rumah tangga.

6. Zihar

Secara etimologi (bahasa), kata zihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah, kata zihar adalah suatu ungkapan suami kepada isterinya, “kamu seperti punggung ibuku”, dengan maksud ia mengharamkan isterinya bagi dirinya.33

Zihar termasuk macam cerai zaman jahiliyah, agama Islam merubah hukumnya menjadi haram, dan wajib membayar kafarah serta tetap menjadi suami isteri. Dalam keadaan zihar tidak boleh melakukan hubungan suami isteri, berdasarkan firman Allah SWT Al-Mujadalah ayat 3 :

Artinya : Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujaadilah/ 58 : 3)

7. Syiqaq

Syiqaq yaitu krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri demikian rupa sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat

33


(32)

dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan, dan kedua pihak tidak mengatasinya.34

Jadi syiqaq itu adalah percekcokan antara suami isteri yang secara terus menerus dan dipastikan tidak ada harapan lagi untuk membuat rumah tangganya rukun kembali.

C. Faktor-faktor Perceraian

Perkawinan bertujuan untuk membuat hubungan dua insan (pria dan wanita) menjadi harmonis selamanya. Dua insan tersebut menjadi pasangan suami isteri yang bahagia dalam berumah tangga.

Suami isteri sangat mendambakan rumah tangga yang harmonis dan bahagia sepanjang masa, tetapi hal-hal yang tidak diinginkan pasti terjadi dalam rumah tangga, seperti perselisihan dalam rumah tangga, berawal dari perselisihan atau salah paham tersebut, maka suami isteri menjadi curiga mencurigai dan dampaknya rumah tangganya menjadi tidak harmonis lagi, sehingga kebahagiaan menjadi berkurang. Kurang harmonisnya ini disebabkan karena rasa kasih sayang dalam rumah tangga tersebut tidak ada lagi.

Hal-hal yang menjadi sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang isteri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 38 dinyatakan

34


(33)

ada tiga sebab, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas keputusan pengadilan.35

Perceraian dapat merupakan sebab suami, sebab isteri, dan sebab keputusan pengadilan, akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Sebab yang merupakan hak suami

Ikatan perkawinan yang dibangun oleh pihak-pihak dengan dasar sukarela dalam arti bebas dari paksaan luar, termasuk pihak seperti wali, orang tua ataupun penguasa. Oleh karena itu dalam kondisi tertentu bila ikatan itu tidak dapat dipertahankan, Islam memperbolehkan untuk memutus ikatannya atas dasar kemauan pihak-pihak. Suami diberi hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut dengan thalaq.36

2. Sebab yang merupakan hak isteri

Isteri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah

khul’un.37 Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran utnuk menebus dirinya kepada suaminya.

3. Sebab atas keputusan pengadilan

35

Ahmad Khuzari, M.A, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. pertama, h.117

36

Ibid, h. 117-118

37


(34)

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada diluar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini pengadilan tidak melakukan inisiatif. Keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, maka pihak suami atau pihak isteri mengajukan gugat atau permohonan kepada pengadilan.38

Perceraian hanya dapat dilakukan dalam sebuah sidang di pengadilan. Apabila perceraian dilakukan bukan di dalam sidang pengadilan maka perceraiannya itu tidak sah karena tidak ada kekuatan hukumnya yang tetap. Pada permulaan sidang di pengadilan, hakim melakukan perdamaian terhadap para pihak untuk tidak bercerai, akan tetapi apabila tidak dapat didamaikan maka sidang dilanjutkan.

Suami isteri memiliki hak yang sama untuk melakukan perceraian karena para pihak itu tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Akan tetapi perceraian itu harus dengan alasan-alasan yang sesuai dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang. Memang prinsip undang-undang perkawinan adalah mempersulit terjadinya perceraian. Karena tujuan dari perkawinan itu adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal serta sejahtera.

Oleh karena itu perkawinan harus dicatatkan, ini disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dikatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

38


(35)

yang berlaku”, maksudnya apabila terjadi perceraian diantara suami isteri dapat diputuskan perceraiannya oleh pengadilan karena telah ada bukti otentik berupa surat nikah dan apabila pernikahan itu benar-benar terjadi maka suami isteri tersebut mendapatkan akta cerai.

Adapun menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 39 ayat (2) dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, oleh karena itu dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 pasal 19 dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 dan 51 menjelaskan tentang alasan perceraian yang dapat terjadi. Dalam hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan

Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Zina merupakan salah satu alasan untuk bercerai, pembuktian zina ini dapat dilakukan dengan mendengar kesaksian para saksi yang memang benar-benar mengetahui perbuatan zina tersebut, namun jika dalam pembuktiannya ini sulit untuk dilakukan maka dalam persidangan digunakan istilah perselingkuhan. Awal dari perbuatan ini menimbulkan pertengkaran serta memancing konflik dalam rumah tangga secara terus-menerus. Begitu pula dengan perbuatan buruk lainnya seperti judi, madat, mabuk yang berdampak sama dengan perbuatan zina.


(36)

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

Perceraian dengan alasan di atas bertujuan untuk melindungi pihak yang ditinggalkan karena tidak ada kejelasan tentang informasi keberadaan pihak yang meninggalkan, sehingga pihak yang ditinggalkan dapat terlindungi akan haknya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukumannya lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 pasal 23 disebutkan bahwa : Gugatan perceraian karena salah seorang suami isteri mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 huruf (c) maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Hal ini berarti pihak tergugat tidak dapat melumpuhkan alat bukti yang diajukan penggugat, karena hakim pun terikat secara mutlak atas alat bukti tersebut dengan syarat :

1) Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara 2) Putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap


(37)

3) Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan yang menjelaskan bahwa putusan pidana tersebut telah benar-benar mempunyai hukum yang tetap

4) Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung diantara suami isteri.39

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

Jika seorang suami melakukan penganiayaan berat terhadap isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya di pengadilan. Sebagai langkah untuk tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

Cacat badan juga dapat dijadikan alasan untuk bercerai, ini disebabkan oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami isteri. Perceraian pada alasan ini dapat tidak terjadi jika masing-masing pihak mau menerima kekurangan serta kelebihan masing-masing.

f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pertengkaran yang terjadi antara suami isteri secara terus-menerus ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga

39

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993), cet. kedua, h.260


(38)

mertak. Semua usaha harus dilakukan untuk berdamai antara suami isteri tersebut, tetapi kalaupun tidak bisa maka salah satu jalan adalah perceraian. Pembuktian dalam kasus ini didengar pihak keluarga ataupun pihak yang dekat dengan suami isteri tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia, selain alasan-alasan tersebut di atas masih ada tambahan, yakni :

g. Suami melanggar taklik thalaq

Dalam perceraian karena suami melanggar taklik thalaq. Perlu diketahui apakah suami mengucapkan taklik thalaq atau tidak, maka jika si suami mengucapkan taklik thalaq, si isteri merasa dirugikan. Oleh karena itu alasan ini dapat diterima sebagai alasan untuk bercerai. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.

Murtad adalah keluar dari agama Islam, maka haram bagi diri isterinya yang masih beragama Islam.40 Batalnya perkawinan ini bertujuan untuk melindungi serta memelihara aqidah suami atau isteri. i. Suami melanggar perjanjian perkawinan (terdapat dalam pasal 51

Kompilasi Hukum Islam)

Dalam pasal 45 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian taklik thalaq perjanjian yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ini bertujuan untuk melindungi pihak suami atau isteri dalam berumah tangga. Perjanjian ini harus disahkan oleh pegawai pencatat nikah sebagai bukti otentik.

40

M . Thalib, Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, (Bandung : Irsyad Baiuts Salam, 1997), cet. pertama, h.179


(39)

D. Akibat Perceraian

Setelah perceraian terjadi maka timbullah akibat hukum dari perceraian yaitu iddah, nafkah dan pemeliharaan anak.

Dilihat dari timbulnya masa iddah sebagai berikut :

Dalam pasal 150 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa mantan suami berhak melakukan rujuk kepada mantan isterinya yang masih dalam masa iddah. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami ( pasal 153 Kompilasi Hukum Islam). Berarti seorang isteri tidak mempunyai masa iddah karena perceraiannya dilakukan sebelum melakukan hubungan suami isteri. Kemudian untuk janda yang waktu iddah atas putus perkawinannya karena khulu’, fasakh dan li’an berlaku iddah thalaq.

Dalam hal nafkah adalah sebagai berikut :

Mengenai nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada pasal 149 huruf (a) bahwa seorang suami wajib memberikan mut’ah yang layak bagi mantan isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut

qobla dukhul. Jadi isteri yang cerai sebelum dukhul tidak berhak mendapatkan mut’ah dan di huruf (b) menjelaskan suami memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isterinya selama masa iddah, kecuali mantan isterinya telah dijatuhi thalaq ba’in atau nuysuz dan dalam keadaan tidak hamil. Pada pasal 152 juga tersirat bahwa isteri tidak mendapatkan hak nafkah iddah dari


(40)

mantan isterinya karena nuysuz. Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 241 :

Artinya : Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah/2 :241)

Bagi seorang isteri yang dithalaq dalam keadaan masih mengandung dan menyusukan maka ia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat 6, yaitu :

Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil. Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu. Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S. at-Thalaq/65 : 6)


(41)

Dalam pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa akibat perceraian karena li’an, bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebaskan dari kewajiban membayar nafkah.

Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqih disebut hadhanah. Hadhanah adalah memelihara seorang (anak) yang tidak bisa mandiri, kemudian mendidik dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudharat kepadanya.41

Dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 41 diatur sebagai berikut :

1. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka pengadilan yang memberi keputusan.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

41

Ahmad Rafik M.A, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1998), cetakan ketiga, h. 247


(42)

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri.42

Pada pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, dalam pemeliharaan anak juga diterangkan sebagai berikut :

1. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :

a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; b. Ayah;

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; 2. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah

dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

42


(43)

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (± 21 tahun ).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberi putusannya berdasarkan (1) sampai dengan (4) tersebut diatas.

6. Pengadilan dapat pula (mengingat kemampuan ayahnya) menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.43

Dari pembahasan pada bab ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa putusnya tali ikatan perkawinan dapat disebabkan oleh pihak suami dan pihak isteri serta putusan dari pengadilan. Perceraian yang datangnya dari pihak suami disebut thalaq, sedangkan yang datang dari pihak isteri disebut cerai gugat. Seorang suami dapat kembali lagi kepada mantan isteri dalam keadaan thalaq raj’i, sedangkan dalam thalaq ba’in harus dengan akad nikah yang baru, ini merupakan akibat dari hukum yang ditimbulkan dari putusnya tali ikatan perkawinan tersebut.

43


(44)

A. Profil Pengadilan Agama

1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Timur

Pengadilan Agama di Indonesia telah diakui (secara yuridis formal) keberadaannya sejak pemerintahan penjajahan Belanda sesuai dengan STBL (Staatblad) 1882, hal ini berdasarkan Surat Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit) yakni Raja Williem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No. 152.1

Di zaman setelah merdeka sekarang ini diperkuat lagi dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24, Undang-undang No. 14 Tahun 1970, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, Undang-undang No. 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, UU No. 7 Tahun 1989, Amandemen Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kemudian Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang kekuasaan kehakiman dan terakhir dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Amandemen Undang-undang kekuasaan kehakiman, sedangkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Kemudian keluar pula Keppres No. 21 Tahun 2004, tentang Peralihan Lembaga

1

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), Cet. Ke-1, h. 51.


(45)

(kedudukan Pengadilan) dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung (administrasi) dalam Pasal 2 ayat (2) berbunyi:

“Bahwa Pengadilan Agama dan Direktorat Peradilan Agama secara organisasi, administrasi, financial pada Direktorat Peradilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004, dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung”.2

Dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, meliputi :

a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; serta d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Pengadilan Agama termasuk salah satu dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terciptanya Negara hukum di Indonesia.

Sejarah kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur erat berkait mata rantainya dengan sejarah pembentukan Pengadilan Agama pada

2

Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.


(46)

umumnya di seluruh kepulauan Indonesia, terutama di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.3

Secara khusus sejarah lahirnya Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur adalah dibidani oleh Menteri Agama RI sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 67 Tahun 1963 jo Nomor 4 Tahun 1967. adapun secara kronologis saat-saat lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai berikut:4

a. Pada saat itu Pengadilan Agama di Jakarta ini hanya memiliki satu Pengadilan Agama yaitu “Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya” yang dibantu 2 (dua) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian warga ibukota ini kian bertambah sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67 tahun 1963 yang berbunyi antara lain “Membubarkan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya”. b. Pada tahun 1966 Gubernur Kepala Daerah Khusu Ibukota Jakarta

melalui keputusan beliau Nomor lb.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966 membentuk ibukota negara ini menjadi 5 (lima) wilayah dengan sebutan Kota Administratif.

Dengan pembentukan kota administratif tersebut, secara yuridis formil keberadaan Pengadilan Agama Istimewa berikut 2 (dua) kantor cabangnya dipandang sudah tidak aspiratif lagi untuk melayani

3

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur, (Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur), h. 1.

4


(47)

kepentingan masyarakat pencari keadilan yang berdomisili di 5 (lima) wilayah. Secara cerdik juga, Kepala Inspektorat Peradilan Agama menyambut baik kebijakan Gubernur dimaksud seraya mengajukan nota usul kepada Direktorat Peradilan Agama melalui surat beliau Nomor B/I/100 tanggal 24 Agustus 1966 tentang usul pembentukan kenator cabang.

Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya sesuai dengan pembagian 5 (lima) wilayah administrasi yang baru terbentuk. Dengan memetik rekomendasi brilian tersebut, secara sigap Direktur Peradilan Agama meneruskan nota usul dimaksud kepada Menteri Agama RI melalui surat beliau Nomor B/I/1049 tanggal 19 September 1966 tentang persetujuan atas usul Kepala Inspektorat Pengadilan Agama. Kedua surat pejabat teras Pengadilan Agama tersebut menjadi bahan pertimbangan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 4 Tahun 1967 tentang Perubahan Kantor-Kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, tanggal 17 Januari 1967 yang berbunyi antara lain sebagai berikut:5

a. Membubarkan Kantor-Kantor Cabang Pengadilan Agama (bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yaitu :

1) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan 2) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat

5


(48)

b. Membentuk kantor-kantor cabang Pengadilan Agama yang baru sederajat/setara dengan Kantor Pengadilan Agama Tingkat II, yaitu : 1) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara

2) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat 3) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan 4) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur

c. Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, adalah Kantor Induk Pengadilan Agama Jakarta Raya, ditetapkan berkedudukan di Kota Jakarta Pusat dan secara khusus bertugas pula sebagai Pengadilan Agama sehari-hari bagi wilayah kekuasaan Jakarta Pusat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islamnya melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor lb.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka pada tanggal 18 Februari 1967 diresmikanlah sebutan maupun operasional Pengadilan Agama di 5 (lima) wilayah Daerah Khusus Ibukota, terutama Pengadilan Agama Jakarta Timur menjadi sebagai berikut :

a. Pengadilan Agama Jakarta Pusat b. Pengadilan Agama Jakarta Utara c. Pengadilan Agama Jakarta Barat d. Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan e. Pengadilan Agama Jakarta Timur


(49)

Nama-nama Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur terhitung sejak berdirinya sampai dengan 31 Agustus 2004 adalah sebagai berikut :6

NO. NAMA MASA JABATAN

1. KH. Moh. Ali 1962 - 1967

2. KH. Muhtar 1967 - 1969

3. KH. Irsyad 1969 - 1980

4. Drs. H. Asmu’i Kasim Lubis, SH 1980 - 1985

5. Drs. H. Supangat, SH 1985 - 1989

6. Drs. H. Muhail 1989 - 1992

7. Drs. H. Abdul Manan, Lc, SH 1992 - 1994

8. H. Abdullah, SH 1994 - 1996

9. Drs. H. Sudirman Malaya 1996 - 1999

10. Drs. H. Hasan Bisri, SH, M.Hum 1999 - 2001

11. Drs. H. Sayed Usman, SH 2001 - 2004

12. H. Helmy Bakrie, SH 2004

13. Drs. H. Ruslan Harunarrasyid, SH, MH 2004 - 2006

14. Drs. Sarif Usman, SH 2006 - Sekarang

6

Arsip Pengadilan Agama (PA) Jakarta Timur, penulis dapatkan dari Staff Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Timur, Siti Khadijah, S.HI


(50)

2. Struktur Pengadilan Agama Jakarta Timur

KETUA HAKIM Drs. Sarif Usman, SH 1. Dra. Hj. Noor Jannah A

2. Drs. H.M. Noer

3. Dra. Nurroh Sunnah, SH

4. Drs. Abd. Lathif, MH 5. Drs. Tb. A. Murtaqi SY,

SH

6. Drs. Abd. Ghoni, SH

7. Drs. Ahmad Busyro, MH

8. Drs. Faizal Kamil, SH, MH

WAKIL KETUA

Drs. H. Ichwan Ridwan, SH

PANITERA

Drs. H. Syaiful Anwar

Wakil Penitera Sekretaris

H. Syamsuri, SH Drs. Muhidin

Panmud Permohonan Panmud Gugatan Pramud Hukum Kasubbag Ke

Kasubbag Keuan

Kasubbag Umum

peg gan

Tirmizi, SH Drs. H. Abd. Chaer,

SH

Eliakim Sihotang, SH

Drs. H. Helman, SH

Rohimah, SH Suryatiningsih

Panitera Pengganti Juru Sita

1. Imanuddin Tiflen, SH 2. Drs. Cece Mushofa 3. Dra. Marfu’ah 4. Ratu Dhiafah, SH 5. Eddy Prasetyo 6. H. Bambang Sri, SH,

Sp.I

7. Khaerudin, SH

1. Imron Rosyidi, SH 2. H. Abd. Mun’im

3. Muhammad Zuhri

4. Suhandi

5. Wardono

6. Zulkipli 7. Budi Sukirno

8. Burhamzah

D Id Fit i i M S h


(51)

B. Data Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur

Kasus perceraian yang terjadi di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun 2006 cukup tinggi, yakni mencapai angka 1524.7 Jumlah tersebut terdiri dari kasus cerai talak yang berjumlah 457 kasus dan cerai gugat 928 kasus. Berdasarkan data Pengadilan Agama Jakarta Timur faktor penyebab kasus perceraian yang sering terjadi cukup variatif, terdiri dari beberapa kategori:

1. Cemburu dengan jumlah 166; kecemburuan ini biasanya disebabkan ada sifat curiga antara pihak suami atau istri yang menyebabkan timbulnya konflik yang tidak kunjung selesai sehingga salah satu pihak menjadikan perceraian sebagai jalan keluar.

2. Kawin paksa dengan jumlah 51; kasus ini biasanya dialami oleh mereka yang menikah karena faktor dijodohkan orang tua tanpa landasan suka sama suka sehingga tidak ada kecocokan dalam membina rumah tangga. 3. Ekonomi dengan jumlah 73; faktor ini merupakan persoalan yang cukup

fundamental dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Kemudian hal ini menjadi salah satu faktor perceraian karena pihak suami tidak ada usaha keras untuk mencari nafkah guna memberikan penghidupan kepada keluarga.

4. Tidak ada tanggung jawab dengan jumlah 481; suami tidak memberikan nafkah yang layak sebagaimana kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.

7


(52)

5.Penganiayaan dengan jumlah 76; kekerasan dalam rumah tangga atau yang lebih sering kita kenal KDRT yaitu sebuah bentuk tindakan represif yang biasanya dilakukan oleh pihak suami terhadap istri sehingga menimbulkan penganiayaan. Penganiayaan ini membuat pihak istri menjadi berontak dan perceraian adalah sikap yang biasanya dilakukan oleh pihak istri kepada suami.

6.Gangguan pihak ketiga dengan jumlah 156; kasus seperti ini biasanya sering kita dengar dengan main serong atau selingkuh yang menimbulkan kemarahan besar antara salah satu pihak yang berada pada posisi setia. Persoalan selingkuh ini biasanya memberikan rasa kecewa cukup mendalam sehingga hilangnya rasa cinta, kasih dan sayang dalam sebuah rumah tangga.

7. Tidak ada keharmonisan dengan jumlah 382; faktor kasus cerai yang terakhir ini bisa terjadi dari berbagai macam sebab, mulai dari ekonomi sampai pada perasaan. Hanya saja, faktor yang cukup fundamental sebab perceraian semacam ini adalah tidak adanya cinta kasih dan sayang antara kedua belah pihak.

C. Alasan Mengajukan Perceraian

Penyebab terjadinya perceraian muncul ketika terjadinya kekisruhan rumah tangga yang mungkin tidak dapat dicegah lagi, antara lain:

1. Nusyuz Isteri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suami. Hal ini dapat terjadi berupa pelanggaran-pelanggaran dari


(53)

garis norma kehidupan isteri. Pelanggaran tersebut, bisa berupa penyelewengan yang bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga. Tidak mentaati perintah suami pun bisa menjadi prioritas terjadinva perceraian. Berkenaan dengan hal ini Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian8;

Allah SWT, berfirman dalam surat An-Nisa: 4/ 43, yang artinya:

Wanita-wanita yang kamu khawatir berbuar nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dalam penjelasan surat an-Nisa tersebut Al-Qur'an memberikan pilihan-pilihan kepada suami sebagai berikut:

a. Apabila isteri berbuat salah, agar ditegur dan dinasehati dengan cara yang ma’ruf supaya dia tidak mengulangi kesalahannya kembali. b. Pisah ranjang atau pisah rumah. Hukuman ini di maksudkan untuk

hukuman yang bersifat psikologis. Tujuannya agar isteri merenungi semua kesalahan yang dilakukannva terhadap suami.

c. Hukuman yang terakhir ini merupakan pilihan yang ditawarkan oleh tuntunan al-Qur'an, yaitu dengan cara memukulnya. Dalam memukul istri yang, berbuat nusyuz haruslah di bagian-bagian yang tidak membahayakan.

2. Nusyuzsuami terhadap Isteri

Bukan hanya isteri yang berbuat nusyuz, akan tetapi suami yang notabene sebagai penanggung jawab bisa, bahkan kerap melakukan

8


(54)

nusyuz. Kelalaian dengan cara tidak memberikan nafkah lahir maupun batin, tindak kekerasan, maupun perselingkuhan merupakan hal-hal yang sering terjadi dalam diri suami.9 Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamalan itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggaull istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa' : 128)

Dijelaskan pada ayat di atas, seorang isteri hanya dianjurkan agar sabar, dan dikaruniai hak-haknya untuk sementara waktu yang tujuannya tidak lain, agar tidak terjadi perceraian

3. Terjadinya Syiqoq (pertengkaran)

Pertengkaran (syiqoq) memang masalah yang paling sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, hal ini menyebabkan perceraian yang paling banyak dan sering terjadi. Alasan ekonomi, Perbedaan prinsip,

9


(55)

menjadi salah satu penyebabnya.10 Dalam mengatasi konflik yang terjadi rumah tangga, Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 35, menyatakan harus mencarikan jalan keluarnya dengan cara mengutus hakam (juru damai) untuk mengantarkan kerukunan dalam membina rumah tangga.

4. Salah Satu Pihak Melakukan Perbuatan Zina, yang Menimbulkan saling Tuduh.

Apabila salah satu sudah berbuat dan saling menuduh berbuat zina, maka cara mencari bukti-bukti serta data-data yang konkrit dan faktual. Dengan cara itu mungkin juga bisa mencegah terjadinya perceraian. Li'an ini sebenarnya sudah memasuki gerbang putusnya perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya, karena akibat li'an ialah terjadinya talak ba’in kubro.11

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelakasanaan Undang-undang No. 1/1974, Pasal 19 menyatakan hal-hal yang menyebabkan perceraian, dengan alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

10

Ibid, h. 194 11


(56)

membahayakan pihak lain.

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

Kompilasi Hukum Islam dalarn Pasal 116 Bab XVI menjelaskan secara luas dan terperinci, walaupun dalam hal ini tidak berbeda jauh dengan Undang-undang Perkawinan. Perceraian dapat terjadi dengan alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekajaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar ta'lik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.


(57)

Sudah dijelaskan di atas bahwa Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 tidak ada pasal yang berbeda secara garis besar, dalam Kompilasi Hukum Islam hanya dia tambah huruf (g) yang menyatakan suami yang melanggar ta'lik talak akan menyebabkan rusaknya perkawinan (perceraian). Begitu juga dengan keluarnya (murtad) suami isteri dari agama yang dianut (Islam), bisa memicu dan ketidakrukunan dalam rumah tangga sehingga karena perbedaan yang mencolok dalam hal yang prinsip.

Hal yang dapat menimbulkan perceraian dalam sighot taklik talak, sebagaimana yang telah dirumuskan umumnya, yaitu:

a. Suami meninggalkan isterinya selama enam bulan berturut-turut, b. Suami tidak memberikan nafkah wajib selama tiga bulan lamanya, c. Suami menyakiti (memukul) isterinya sampai berbekas,

d. Suami tidak lagi memperlakukan isterinya sebagaimana layaknya seorang istri, tetapi ia juga tidak menceraikannnya.12

Perceraian (thalak) ditinjau dari cara dan waktu menjatuhkannya terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a. Talak Sunni; adalah talak yang pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-Qur'an atau sunnah Nabi.” Bentuk talak sunni yang disepakati oleh ulama adalah talak yang dijatuhkan suami

12

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-5, h. 107. Lihat juga Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj. Zaini A. Noeh, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), Cet. ke-2, h. 204-205


(58)

sewaktu isteri tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.13

b. Talak bid'iy Sedangkan talak bid'iy ialah talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama. Bentuk talak yang disepakati oleh ulama dalam kategori talak bid'iy ialah talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh suami. Hukum talak bid'iy adalah haram dengan alasan memberikan mudarat pada isteri.14

Melihat kemungkinan bolehnya suami kepada isterinya istilah talak dalam hukum perceraian terdapat beberapa istilah yang mempunyai kedudukan hukum yang bebeda-beda, yaitu:

a. Talak raj'i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang sudah digauli (bersenggama).

b. Talak ba'in, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang belum pernah digauli (bersenggama).15

Talak ba'in terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) Talak bain sughro (2) Talak bain kubro. Talak bain sughra ialah talak yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Adapun yang termasuk talak bain sughra yaitu sebagai berikut:

a. Talak yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh suami (qobla dukhul).

13

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 217.

14

Ibid, 218 15


(59)

Dan talak semacam ini tidak ada iddahnya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab (33) ayat 49:

b. Talak yang dilakukan dengan cara membayar iwadh dari pihak isteri, yang juga disebut dengan khulu'.

c. Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau juga disebut fasakh.16

Hal di atas sesuai dengan Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam, mengenai talak ba'in sughra.

Adapun talak ba’in kubra, yaitu talak yang tidak memungkinkan suami kembali lagi kepada mantan isterinya. Boleh kembali kepada mantan isterinya akan tetapi isterinya telah kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula serta habis masa iddahnya (Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam).

Mengenai ketentuan talak bain kubra, diterangkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 230 yang menyatakan:

16


(60)

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 230)

Melihat dari penjelasan pengertian talak seperti yang disebutkan oleh undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, talak bukanlah hak milik suami semata, akan tetapi dalam mentalak isterinya harus mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Sahnya perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang peradilan, sesuai dengan Pasal 139 (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Dan juga kompilasi Hukum Islam pasal 115, yang menyatakan: “Perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah piliak. Dengan adanya pasal tersebut, menyebutkan suami tidak bisa seenaknya menceraikan istrinya tanpa adanya ketuk palu (keputusan hakim).”


(61)

1. Kekuasaan Pengadilan

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) di Indonesia dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang puncaknya pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan itu memiliki cakupan dan batasan-batasan kekuasaan masing-masing.17

Kekuasaan pengadilan pada masing-masing tingkangan terdiri dari atas kekuasaan relatif dan kekuasaan mutlak. Kekuasaan relatif (relative competentie) berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding. Adapun kekuasaan mutlak (absolute compententie) pengadilan berkenaan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.18

Sebenarnya tidak ada perbedaan dalam pemeriksaan perkara perdata di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Hukum acara yang diterapkan dalam lingkup keduanya yaitu hukum acara perdata umum. Mengenai hukum acara yang dipergunakan Peradilan Agama adalah yang termuat dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989 amandemen dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sebagai aturan khusus (lex specralis) ditambah dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum sebagai aturan umum (lex

17

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 217.

18


(1)

76

2. Bahwa melakukan cerai gugat merupakan suatu hal yang sah apabila syarat dan ketentuannya sudah terpenuhi, maka hakim menjatuhkan putusan Nomor Perkara: 1609 / PDT. G / 2006 / PA.JT. Karena masalah ketidakcocokan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipaksakan lagi untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, yang menjadi tujuan semua orang dalam berumah tangga sebagaimana Allah SWT jelaskan dalam surat ar-Rum ayat 21 dan an-Nisa ayat 34. Putusan ini sudah sah dan tidak bisa diganggu gugat karena sudah memenuhi segala ketentuan yang berlaku.

Hanya saja, ada beberapa kesimpangsiuran pertimbangan dan redaksi penulisan yang penulis temukan pada berkas. Masalah ini penulis asumsikan disebabkan:

1. Keteledoran panitera dalam membuat berkas putusan, yaitu tidak teliti dalam menulis berkas putusan dan pendataan kasus di pengadilan.

2. Ketidak cermatan seorang hakim dalam mengutip dalil atau hukum tak tertulis, yaitu dalil Al-qur’an (aqli) dan hadis (naqli) mengenai kasus perceraian.

B. Saran-saran

Dari hasil kesimpulan yang penulis buat, penulis coba ingin merekomendasikan masukan kepada pihak terkait berupa saran-saran sebagai berikut:


(2)

77

1. Sebelum melakukan jenjang pernikahan seharusnya kedua belah pihak harus mempertimbangkan secara matang proses perkenalan, perasaan suka sama suka, dan kecocokan, agar rumah tangga yang terjalin bisa harmonis dan langgeng, sehingga kedua belah pihak dapat mengekspresikan rasa sayang dan dikaruniai keturunan.

2. Pihak yang berseteru; seharusnya pihak yang berseteru mencermati keotentikan dan keabsahan hasil putusan yang dijatuhkan pengadilan, baik dari segi esensi dan redaksi putusan.. Pihak pengadilan; sudah seharusnya pihak pengadilan terlebih dahulu melakukan telaah mendalam kasus yang dihadapi guna terciptanya putusan yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian panitra mendata dengan baik semua kasus yang diadili.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,” Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2001,Cet. Ke-3

Adhim, Muhammad Fauzi, ”Indahnya Pernikahan Dini, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet. Ke-1

Akbar, Ali, “Merawat Cinta Kasih,” Jakarta: PT. Pustaka Antara, 1992, Cet. Ke-18

Ali, Zainuddin, Prof. Dr. H. M. A., “Hukum Perdata Islam di Indonesia,” Jakarta: Sinar Grafika: 2006, Cet. Ke-1

Al-Jabri, Abdul Muta’al, ”Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Non

Muslim?, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, Cet. Ke-3

Al-Shabbagh, Mahmud, ”Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam,” Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. Ke-3

Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama UU RI No. 3 Tahun 2006.

Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet. Ke-I

Amini, Ibrahim,”Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’an dan Sunnah,” Terjemahan Muhammad Taqi, Jakarta: Lentera, 1996, Cet. Ke-1

Arsip Pengadlian Agama (PA) Jakarta Timur, penulis dapatkan dari Staff Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Timur, Siti Khadijah, S.HI. Arto, A. Mukti, “Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,”

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Athibi, Ukasyah, ”Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, Penerjemah Chairul Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, Cet. Ke-1

Bin Abdullah Sulaiman Arafah, Muhammad, “hak dan Peran Aktif Wanita

Muslimah,” Solo: PT. Hazana Ilmu, 1994, Cet. Ke-1

Bisri, Cik Hasan, “Peradilan Agama di Indonesia,” Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Departemen Agama RI, Himpunan peraturan perundang-undangan dalam lingkungan peradilan agama,” Jakarta, Depag, 2001

Djailani, Abdul Qadir, “Keluarga Sakinah,” Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, Cet. Ke-1


(4)

79

Djunaedi, Subki, “Pedoman Mecari dan Memilih Jodoh,” Bandung: CV Sinar Baru, 1992

Fauzan, Drs. M., SH., MM., “Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia,” Jakarta: Kencana, 2005,

Cet. Ke-2

Ghazaly, Abd. Rahman, H., Drs., M.A., Fiqh Munakahat, Bogor: kencana, 2003, cet. 1

Haji Bakyr, Datu Paduka Haji Mahmud, “Kamus Bahasa Malayu Nusantara,” Brunai Darussalam: Bahasa dan Pustaka Brunei, 2003, Cet. Ke-1

Halim, Abdul, “Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia,” Jakarta: Rajawali Press, 2000, Cet. Ke-1

Harahap, M. Yahya, “Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan

Agama UU No. 7 Tahun 1989,” Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Ke-3

Ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Nasaburi, Imam Abi Husein Muslim, “Shahih

Muslim,” Beirut: Dar al-Fiqr, 1992, Jilid Ke-1

Ibn Isya Ibn Saurah, Abi Isya Muhammad, “Sunan At-Turmudzi,” Beirut: Dar Al-Fiqr, 1994, Jilid Ke- 2

Ibn Yazid Al-Qazwani, Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad,”Sunnah Ibnu

Majah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Jilid. 1

Ismail, Thoriq, ”Mata Kuliah Menjelang Pernikahan, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004, Cet. Ke-3

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, DirektoratPembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departeemen Agama, 1991-1992

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Tahun 2006.

Lev, Daniel S., “Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj. Zaini A. Noeh, Jakarta: PT. Intermasa, 1986, Cet. ke-2

Lubis, Sulaikin, dkk, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,” Jakarta: Kencana, 2006

Lubis, Sulaiman, Marzuki, Wismar `Ain, Dewi, Gemata, “Hukum Acara

Perdata Peradilan Agama di Indonesia,” Jakarta: Kencana, 2006, Cet.


(5)

80

Mahalli, Al-Mudjab, “Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya,” Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.

Manan, Abdul, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama,” Syah, Umar Mansyur, SH., “Hukum Acara Perdata Peradilan

Agama Menurut Teori dan Praktek,” Bandung: Sumber Bahagia, 1991,

Cet. Ke-1

Marhijanto, Bambang, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer,” Surabaya: Bintang Timur, 1996

Muchtar, Kamal, ”Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,” Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-1

Mughniyah, Muhammad Jawab, ”Fiqih Lima Mazhab,” Jakarta: Lentera Basritama, 2001), Cet.Ke-7

Muhammad, Abu Bakar, “Terjemahan Sulubussalam, Surabaya: Al-Ikhlas,1995, Cet. Ke-1

Nadeak, Wilson,”Seraut Wajah Pernikahan, Yogyakarta: Kanisiu, 1993, Cet. Ke. 1

Nuruddin, Dr. H. Amiur, MA., dan Tarigan, Drs. Azhari Akmal, ”Hukum Perdata

Islam Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU

No. 1/1974 Sampai KHI,” Jakarta: Kencana, 2004, Cet. Ke-2

Poerwadaminta, W. J. S., “Kamus Bahasa Indonesia,” Jakarta: Balai Pustaka, 1984, Cet. Ke-7

Rafiq, Ahmad, “Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1995. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2002, Cet. Ke-9

Rasyid, Sulaiman, ”Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru, 1987, Cet. Ke-20, h.350. Sabiq ,Sayyid, “Fiqih Sunnah,” Beirut: Dar al-Fikr, tth, Jilid Ke-2

Sayuti, Thalib, “Hukum Kekeluargaan Indonesia,” Jakarta: UI Press, 1986, Cet. Ke-5

Suma, Muhammad Amin, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-1

Syarifudin, Prof., DR., Amir, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara

Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,” Jakarta: Kencana,


(6)

81

Tresna, R., “Komentar H.I.R, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2001

Yusuf, Husein Ibn Muhammad, ”Memilih Jodoh dan Tata cara Meminang dalam