Sejarah Hidup ‘Â’idh al-Qornî

dan 14, keluarga al-Qornî dipandang sebagai keluarga yang cakap untuk diberi tugas berkenaan Fatwa dan Pengadilan di daerah Balqarn. Orang tua al-Qornî adalah seorang tokoh masyarakat di daerah Balqarn. Al-Qornî berasal dari keluarga ulama. Sejak kecil ayah al-Qornî sudah membawa al-Qornî ke masjid untuk shalat berjamaah. Al-Qornî juga sudah terbiasa dengan membaca buku-buku bacaan sejak kecil. Tampaknya al-Qornî dididik menjadi pejuang dakwah. Ayah al-Qornî selalu membelikan buku bacaan untuk beliau. 30 „Â‟idh al-Qornî memiliki enam anak, dari dua istri. Saat bersama keluarga, biasanya al-Qornî isi dengan bermain bola bersama anak-anaknya. Al-Qornî selalu menyediakan waktu untuk keluarga. Beliau tidak mengarahkan anak-anak beliau seperti diri beliau. Al-Qornî memberikan hak atas anak- anaknya untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Semua terserah pada anak-anak beliau mau jadi apa mereka nantinya. Itu tergantung mereka sendiri, yang selalu al-Qornî tekankan adalah pendidikan agama, terutama menyangkut akhlak dan moral. Begitulah cara beliau menjadi imam sekaligus teladan bagi anak-anak dan isteri dalam keluarga. Sekitar 900-an judul kaset keislaman yang berisi ceramah keagamaan, kuliah seminar-seminar di level internasional, serta kumpulan puisi dan syair telah dipublikasikan untuk dijadikan referensi bagi para juru dakwah. 31 Lebih 30 Jihaduddin Fikri, Biografi Tokoh Muslim, dalam http:mualaf.commodule. Download : 18.04 wib, 9 September 2014 31 „Â‟idh al-Qornî, Jadilah Pemuda Kahfi,judul asli Fityatun Âmanû bi Robbihim, Penerjemah Sarwedi M. Amin Hasibuan, solo: Aqwam, 2005, Cet. 3, hlm. vi penting dari itu adalah pendiriannya yang sangat kokoh terhadap apa yang ia yakini sebagai kebenaran dan prinsip Islam, walaupun ada tekanan dari berbagai pihak. Dia bukanlah pengikut buta dari madzhab atau gerakan Islam modern tertentu. Dia berani berteriak lantang menentang kehadiran pasukan Amerika Serikat di Arab Saudi atas undangan pemerintah al-Saud. Al-Qornî bukanlah ulama` yang hanya duduk, membaca dan berfatwa saja, akan tetapi ia juga selalu melakukan kritik-kritik politik kepada penguasa, bahkan ia pernah masuk penjara karena menulis 50 bait qasidah puisi yang di anggap punya pengaruh politik. Ketika berada di balik jeruji penjara, al-Qornî memilih untuk terus menulis. Berlembar-lembar tulisan pun menjadi bukti ketekunan pria yang lahir di tahun 1379 H. „Â‟idh al-Qornî berasal dari perkampungan al-Qornî, sebelah selatan Kerajaan Arab Saudi, ketika beliau menjalani hari-harinya di penjara beliau dapat menulis sebuah buku. Sekitar 100 halaman pertama ia tulis di penjara. Setelah keluar dar i penjara, „Â‟idh al- Qornî melanjutkan tulisannya. Untuk menyelesaikan lembaran-lembaran itu, dia membutuhkan referensi 300 judul buku. Hingga akhirnya, lahirlah buku La Tahzan yang diterjemahkan dengan Jangan Bersedih. Hasilnya sungguh fenomenal. Inilah salah satu buku hasil dari karya dari beliau yang telah diterbitkan oleh puluhan penerbit dan mencapai angka penjualan fantastis. 32

B. Kondisi Sosio Kultural Masa ‘Â’idh Al Qornî

32 Jihaduddin Fikri, Biografi Tokoh Muslim, dalam http:mualaf.commodules. Download : 18.04 wib, 9 September 2014 Sehebat apapun seorang ulama tidak akan lepas dari kondisi sosio kultural yang melingkupinya, hingga ia menjadi ulama yang besar. Hasil-hasil pemikirannya mempunyai kaitan historis yang sangat erat dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya. Seorang pemikir juga di pengaruhi oleh alam pikirannya yang berkembang di zamannya. Fenomena i ni juga terjadi pada diri „Â‟idh Abdullah al-Qornî sebagai seorang ulama dan cendikiawan. Kaitan historis pemikiran „Â‟idh Abdullah „Â‟idh al-Qornî dengan para pendahulunya diakuinya sendiri dalam beberapa karyanya. Secara umum, kondisi masyarakat Islam abad pertengahan ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dakwah yang cukup pesat disertai dengan dialog peradaban yang dinamis. Pada masa ini terjadi transformasi ilmu pengetahuan, dengan ditandai maraknya penerjemahan buku- buku „non Islam‟, terutama literatur dari peradaban Yunani. Situasi ini membawa dampak yang luar biasa bagi perkembangan keilmuan dan dakwah Islam. Disamping dampak positif diatas, muncul pula perkembangan ilmu pengetahuan yang berdampak kurang baik. Pada saat itu pola hidup masyarakat cenderung materealistik. Ummat Islam cenderung mendewakan akal diatas batas kewenangannya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Bahkan disinyalir, salah satu penyebab jatuhnya peradaban Islam adalah kecenderungan yang berlebihan pada masalah kekuasaan duniawi. 33 33 Saleh A Nadhi, Lintasan Sejarah Islam, Jakarta: Yayasan Raya Pena, 1994, h. 87