Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
110
D. Subyek dan Seting Penelitian
Penelitian dilakukan di sekolah reguler MAN Maguwoharjo Yogyakarta yang menyelenggarakan layanan sekolah inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dipilihnya D.I. Yogyakarta sebagai daerah penelitian adalah untuk memperoleh jumlah sampel subyek Tunanetra klasifikasi low vision berat dan klasifikasi
totally blind yang memenuhi syarat penelitian. Yogyakarta adalah penyelenggara layanan sekolah inklusif dengan siswa tunanetra yang cukup banyak.
1. Subyek penelitian meliputi:
a dua ahli yang memiliki kepakaran bidang konseling dan satu ahli pendidikan anak berkebutuhan khusus yang akan digunakan sebagai validator isi model,
minimal bergelar Doktor. b konselor sekolah dan Guru Pembimbing Khusus yang akan digunakan sebagai
validator empiris model operasional sebanyak dua orang dan uji keterbacaan instrumen sebanyak satu orang.
c siswa tunanetra klasifikasi kurang penglihatan berat dan klasifikasi buta total yang bersekolah di sekolah inklusif, sebanyak sembilan orang.
d siswa awas yang digunakan dalam uji keterbacaan sebanyak tiga siswa, uji coba kuesioner sebanyak 40 siswa awas dan pengisian kuesioner penelian
sebanyak 152 siswa awas. e siswa awas dan siswa tunanetra yang tergabung dalam kelompok PPC
sebanyak 28 siswa terdiri empat kelompok dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa dan kelompok teman sebaya Non PPC sebanyak 21 siswa terdiri tiga
kelompokkelas dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
111
f tim monitor treatmen desain Penelitian Subyek Tunggal, yaitu kelompok siswa yang bertugas mencatat kemajuan hasil treatmen model konseling Positive Peer
Culture pada kegiatan eksperimen Single Subject Research SSR, sebanyak 7 siswa satu siswa dalam satu kelas inklusif.
2. Seting penelitian
Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang masuk di sekolah umumreguler adalah alumni sekolah dasar dan sekolah lanjutan
pertama yang masuk dalam layanan Sekolah Luar Biasa SLB dan SDLB. Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang
membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan barulingkungan awas, kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan kemampuan
beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola hubungan sosial di sekolah inklusif.
MAN Maguwoharjo Yogyakarta mendistribusikan siswa tunanetra dengan menempatkan satu siswa tunanetra pada setiap kelas yang berbeda. Tujuan
dari penempatan ini adalah agar siswa tunanetra dan siswa awas di sekolah segera dapat beradaptasi, sehingga harapan menjadi sekolah yang inklusif terwujud.
Kondisi lingkungan sekolah dan perilaku siswa awas pada awalnya dirasakan sangat asing bagi siswa tunanetra. Selama sesi konseling dalam penelitian kondisi
dan perilaku ini tidak di ubah, karena tujuan diterapkan penelitian model konseling PPC adalah agar siswa tunanetra segera bisa beradaptasi. Siswa awas
dalam sekolah inklusif dibimbing untuk dapat menjadi kelompok sebaya positif yang memiliki validitas dan aksebilitas bagi siswa tunanetra. Selama sesi
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
112
penelitian uji model setiap siswa tunanetra didampingi oleh siswa kelompok postive peer culture PPC di kelasnya. Tugas kelompok PPC adalah
memberikan motivasi kepada siswa tunanetra untuk melakukan tugas interaksi sosial, memberi bimbingan dan contoh berinteraksi sosial, memberi semangat
dengan ucapan pujian `...naah gitu loooh..., .... naaah ituu baru Brian nama tunanetra,...` dan sebagainya. Perubahan perilaku yang terjadi selama sesi
konseling atau intervensi uji model pada siswa tunanetra akan dicatat dalam catatan kejadian oleh siswa awas pengamat yang duduk sekelas dengan siswa
tunanetra. E. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan model konseling Positive Peer Culture PPC untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah
inklusif. Prosedur penelitian mendasarkan pada pendekatan penelitian dan pengembangan research and development, adalah sebagai proses yang
digunakan untuk mengembangkan, memvalidasi produk atau model, dan menguji keefektifan model tersebut Borg and Gall, 1989. Prosedur RD digunakan
karena kajian ini berangkat dari adanya potensi atau masalah, dilakukan dengan menempuh beberapa langkah : Survey awal Potensi dan Masalah
– Pengumpulan Data informasi
– Merancang Desain Produk – Validasi Desain – Revisi Desain – Ujicoba Terbatas Produk
– Revisi Produk – Ujicoba Luas Pemakaian – Revisi Produk
– Model Akhir, Diseminasi dan Sosialisasi Sugiyono, 2007: 409.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
113
Langkah-langkah penelitian tersebut dapat diringkas ke dalam empat tahap, yaitu: tahap I studi pendahuluan, tahap II pengembangan dan validasi
model, tahap III uji lapangan efektifitas model, dan tahap IV diseminasi distribusi model, digambarkan dalam skema penelitian sebagai berikut:
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
114
Tahap 1: Studi Pendahuluan
TAHAP I
TAHAP II
TAHAP III KEGIATAN
KEGIATAN KEGIATAN
HASIL
HASIL
HASIL Studi Pendahuluan
Uji Lapangan Efektifitas Model
Pengembangan Validasi Model
Pengenalan Model Kegiatan: Seminar Nasional, Pembuatan Buku Pedoman
Survey awal, kaji konsepliteratur,
kaji hasil penelitian, Merancang model
Validasi Isi, Validasi Empiris, Revisi Model
Uji Terbatas + Revisi, Uji Efektifitas Model dengan
desain Single Subject Research + Revisi Model
Model Hipotetik
Model Operasional
Model Teruji
TAHAP IV
Gambar 3.1. Alur Proses Pengembangan Model
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
115
Tahap 1: Studi Pendahuluan Dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi awal, untuk memotret kondisi
obyektif di lapangan tentang kesiapan psikologis dan kemampuan interaksi sosial tunanetra, yang akan dijadikan dasar serta digunakan untuk merencanakan atau
merancang model teoretik-hipotetik. Kegiatan ini dilakukan dengan survey awal melalui observasi dan wawancara kepada siswa tunanetra dan siswa awas,
konselor, Guru Pembimbing Khusus, kepala sekolah. Kegiatan lain adalah menelaah konsep, mengkaji hasil-hasil penelitian yang terkait. Kegiatan meliputi:
a Survey awal, dilakukan untuk memperoleh kejadian aktual dan faktual
berkaitan dengan problem sosial dan kemampuan keterampilan interaksi sosial pada tunanetra yang belajar di sekolah inklusif.
b Mengkaji konseptual melalui telaah literatur, untuk memperoleh informasi
teoretik berkaitan dengan konseling Positive Peer Culture PPC untuk mengembangkan kemampuan keterampilan interaksi sosial.
c Kajian empiris, dilakukan dengan telaah hasil-hasil penelitian yang berkaitan
dengan keterampilan interaksi sosial yang relevan. d
Merencanakan dan merancang model awal Model Hipotetik konseling Positive Peer Culture PPC untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial
siswa tunanetra.
Tahap 2: Pengembangan dan Validasi Model
Model Hipotetik yang telah dirumuskan merupakan landasan untuk memasuki tahap pengembangan dan validasi model hipotetik tersebut. Tahapan
ini meliputi kegiatan:
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
116
a Validasi Isi, model hipotetik divalidasikan kepada tiga ahli yang memiliki
kepakaran dalam bidang konseling, yang berkualifikasi Doktor. Model hipotetik yang tervalidasi merupakan model yang sudah valid dalam rumusan
isi, kesesuaian teoretik, efisiensi, implementatif. b
Validasi empirik, model hipotetik divalidasikan kepada para praktisi yang terlibat langsung dalam pelaksanaan konseling di lapangan, yaitu konselor serta
guru pembimbing khusus yang bertugas pada MAN di sekolah inklusif bagi tunanetra. Validasi praktisi ini dimaksudkan untuk mengkaji model hipotetik
dan memperoleh informasi tentang kemungkinan kelayakan aplikasi model konseling tersebut sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan sekolah.
c Validasi Isi dan Validasi Empirik dari para pakar dan praktisi akan
memberikan informasi dan masukan yang akan digunakan peneliti untuk
merevisi model hipotetik dan mengembangkan menjadi Model Operasional. Tahap 3: Uji Lapangan Efektifitas Model
Model Operasional yang telah dirumuskan, kemudian diaplikasikan dan dilakukan uji keefektifan model di lapangan melalui kegiatan uji operasional atau
uji empirik. Kegiatan ini meliputi: a.
Uji coba terbatas, dilaksanakan untuk mendapatkan masukan kritis dari guru dan siswa awas maupun tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusif dengan
melibatkan 2 orang siswa tunanetra dan 6 orang siswa awas. Kegiatan pada tahap ini meliputi: menyusun teknis uji coba terbatas, menunjuk dan
bekerjasama dengan konselor sekolah serta Guru Pembimbing Khusus, melaksanakan uji coba pengisian kuesioner, pembentukan dan bimbingan
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
117
kelompok positive peer culture PPC, adegan konseling, diskusi dan refleksi sebagai bahan masukan dan revisi model.
Setelah dilakukan uji kelayakan dan dilakukan revisi model konseling, langkah selanjutnya adalah uji coba terbatas. Uji coba terbatas ini dilakukan
dengan tujuan agar model konseling dapat dipahami oleh pengguna model dan dengan mudah dapat diaplikasikan dilapangan. Uji coba terbatas dilakukan
melalui diskusi terfokus focus group discussion. Dalam diskusi terfokus dipandu langsung oleh peneliti, sedangkan
unsur yang dilibatkan dalam uji terbatas adalah konselor, guru pembimbing khusus, siswa awas, dan siswa tunanetra. Dari uji terbatas dihasilkan beberapa
saran-saran sebagai masukan untuk perbaikan model operasional dan pedoman operasional model konseling PPC.. Saran-saran yang disampaikan dalam
diskusi terfokus tersebut lebih banyak terkait dengan perbaikan redaksi dan penggunaan beberapa istilah teknis yang masih terasa terasing.
Beberapa aspek yang dibahas serta saran-saran perbaikan dalam diskusi terfokus, diantaranya: a tujuan dirumuskannya model konseling PPC; b peran
konselor; dan c sesi-sesi pelaksanaan konseling PPC. Hasil diskusi terfokus ini menjadi dasar dilakukannya revisi untuk penyempurnaan model konseling
operasional sebelum dilakukannya uji lapangan atau uji empirik. b.
Sebelum dilakukan uji efektifitas model, diawali dengan `pembentukan konselor sebaya` yang diarahkan untuk memiliki sikap positive peer culture,
konselor sebaya tersebut nantinya digunakan sebagai pelaksana model di lapangan. Materi pelatihan adalah berkaitan dengan pembentukan kelompok
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
118
sebaya yang memiliki sikap positif sebagai peer support, bagaimana melaksanakan konseling untuk memecahkan masalah kesulitan berinteraksi
sosial bagi tunanetra dalam kelompok positive peer culture. c.
Uji Lapangan Efektifitas Model dilakukan menggunakan eksperimen penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research SSR desain Multiple Baseline,
yang digunakan untuk mengetahui variasi perkembangan kemampuan interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan.
Dengan melihat tabel identifikasi problem interaksi sosial siswa tunanetra pada tiap kelas serta tabel masalah interaksi sosial yang tergolong masalah kategori
berat, maka uji kelayakan efektifitas model konseling PPC untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif meliputi:
Kelompok Kelas
Nama Siswa Tunanetra
Target Behavior PPC
X C X E
X F XI IPS 2
Febri Dhono
Dodo Setyo
1. bergaul dengan teman
awas 2.
merespon percakapan
dengan gerakan
atau ucapan
3. bertanya dalam suatu
percakapan NON PPC
X A X B
X D Dulah
Tosin Priyo
d. Uji kelayakan juga dilakukan dengan metode partisipatif kolaboratif melalui
diskusi dengan para ahli, teman sejawat, konselor, dan unsur-unsur yang terlibat dalam pengembangan interaksi sosial, selanjutnya memperbaiki
pengembangan model operasional secara kolaboratif. Hasil uji keefektifan model operasional akan dijadikan bahan informasi
untuk mengadakan revisi kembali serta menyempurnakan menjadi Model Teruji
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
119
atau Model Akhir. Model akhir inilah yang akan direkomendasikan untuk dapat
dilaksanakan sebagai salah satu model implementatif yang dapat digunakan oleh sekolah.
Tahap 4: Diseminasi dan Distribusi Model
Kegiatan diseminasi dan distribusi akan dilakukan dengan penyebarluasan model teruji melalui publikasi pada kegiatan seminar nasional, penyusunan serta
penerbitan buku dan buku saku panduan pembentukan positive peer culture, yang dilakukan setelah kegiatan pokok penelitian selesai dan dihasilkan Model Teruji.
F. Teknik Analisis Data 1.
Analisis Kelayakan Model Konseling positive peer culture untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif
Teknik yang digunakan dalam menganalisa kelayakan model meliputi uji validitas, uji keterbacaan, dan uji kepraktisan. Uji validitas validity rasional dan
uji keterbacaan readability kelayakan model hipotetik dilakukan oleh dua pakar bidang BK dan satu pakar bidang PLB, minimal berpredikat Doktor. Model
hipotetik yang sudah dirumuskan dilakukan uji kelayakan model melalui penilaian oleh para pakar expert judgment. Uji kelayakan model untuk validasi rasional
dilakukan melalui konsultasi dan diskusi dengan dua pakar konseling dan satu pakar pendidikan anak berkebutuhan khusus. Para pakar yang dilibatkan untuk
memberikan penilaian, pengkajian dan penimbang uji validitas model konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di
sekolah inklusif, yaitu: Dr. Mubiar Agustin, M.Pd., Dr. Ipah Saripah, M.Pd, dan Dr. Djadja Rahardja, M.Ed.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
120
Uji kepraktisan usebility dan uji keterbacaan readability kelayakan model operasional dilakukan oleh konselor sekolah, guru pembimbing khusus,
dan siswa awas di sekolah inklusif. Uji ini dilakukan melalui diskusi terfokus
setelah diadakan uji terbatas model konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.
Pokok-pokok penimbangan dan pengkajian yang di lakukan oleh para pakar dan praktisi konseling mencakup aspek struktur model dan isi model.
Struktur model meliputi judul, penggunaan istilah, sistematika, keterbacaan, kelengkapan, dan kesesuaian antar komponen model. Sedangkan dari aspek isi
model meliputi rasional, tujuan, ruang lingkup, pendukung sistem layanan, peranan konselor, prosedur pelaksanaan, dan evaluasi dan indikator keberhasilan.
Hasil uji kelayakan model hipotetik konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dilakukan
oleh para pakar diperoleh hasil, yaitu: a komponen-komponen yang termuat dalam model konseling hipotetik yang dikembangkan sudah memadai sebagai
suatu model; b rasional model dipertegas dengan pendekatan teori yang relevan dan mendukung. Hasil uji kelayakan model operasional diperoleh saran perlu
lebih terinci kejelasan tahap-tahap atau sesi-sesi pelaksanaan konseling. Hasil penilaian dan beberapa saran menjadi dasar revisi model hipotetik dan model
operasional konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di
Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia
| Repository.Upi.Edu
121
2. Analisis Efektifitas Konseling positive peer culture untuk Meningkatkan