MODEL KONSELING POSITIVE PEER CULTURE UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH INKLUSIF :Studi Pengembangan Model Konseling Bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif MAN, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... i

MOTTO ... ii

PERNYATAAN... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GRAFIK ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN………...…...….... 1

A. Latar Belakang Penelitian ...……...……... 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... .. 16

C. Tujuan Penelitian ... ... 20

D. Asumsi Penelitian ... .. 21

E. Manfaat Penelitian ………... 22

F. Struktur Organisasi Disertasi …………... 23

BAB II KONSELING POSITIVE PEER CULTURE UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA ... 24

A. Konsep Pendidikan Inklusif ... 24

B.Konsep Interaksi Sosial ... 28

C.Konsep Ketunanetraan ... 42


(2)

ii

E. Konseling Positive Peer Culture dalam Mengatasi

Masalah Interaksi Sosial ... 78

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 88

BAB III METODE PENELITIAN ... 94

A. Pendekatan Penelitian ... ... 94

B. Operasionalisasi Variabel ... 95

C. Pengembangan Alat Pengumpul Data ... 101

D. Subyek dan Seting Penelitian ... ... 110

E. Prosedur Penelitian ... ... 112

F. Analisis Data ... 119

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 123

A. Hasil Penelitian ... ... ... 123

B. Pembahasan ... 233

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 246

DAFTAR PUSTAKA ... 251

LAMPIRAN DISERTASI ... 257

Lampiran I Instrumen Penelitian ... 258

Lampiran II Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Dan Kategori Masalah ... 267

Lampiran III Tabel Perhitungan Hasil Intervensi Model Konseling PPC..... 276

Lampiran IV Model konseptual/Hipotetik Konseling PPC ... 312

Riwayat Hidup Peneliti ... 337


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pada tahun 2000, UNESCO mengumandangkan seruan Internasional

Education For All (EFA) untuk menggalakkan penuntasan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar. Pada sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, seruan

EFA ini ditanggapi dengan munculnya bentuk layanan baru pendidikan bagi anak

berkebutuhan khusus berupa layanan sekolah inklusif. Indra Djati Sidi, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 20 Januari 2003 mengeluarkan surat perintah Nomor: 380/C.C6/MN/2003 kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif dengan cara menentukan, memfasilitasi, dan membina sekolah perintis pendidikan inklusif.

Salah satu siswa berkebutuhan khusus yang menjadi subyek di sekolah inklusif adalah tunanetra. Konsekuensi bagi siswa tunanetra yang memilih layanan sekolah inklusif adalah harus memiliki serta berusaha mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk dapat menyesuaikan diri dengan siswa awas pada sekolah reguler. Salah satu kendala yang muncul pada awal sekolah adalah masalah interaksi sosial dan komunikasi antara siswa tunanetra dengan siswa awas dan pendidik. Siswa tunanetra yang masuk dalam layanan sekolah inklusif (belum pernah sekolah di sekolah reguler) kebanyakan kurang ekspresif dalam


(4)

kegiatan sosial dan bahkan lebih banyak yang bersifat reseptif, sehingga anggapan

skeptis bahkan suatu stigma atau cap bahwa tunanetra berperilaku kaku (rigidity)

ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Tunanetra sering menunjukkan adanya kepribadian dan gerakan yang kaku, hal ini menurut Hadi (2002: 64) disebabkan oleh :

(1) Kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka atau aktivitas tubuh, sehingga memberikan kesan kebekuan muka atau kelangkaan gerak (rigidity); (2) Rigidity dalam gerak dan tingkah laku yang merupakan akibat dari terhambatnya orientasi dan mobilitas, sering diperlihatkan dengan pola tingkah laku adatan ( blindsm ).

Menguasai keterampilan interaksi sosial bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, karena untuk mencapai keterampilan interaksi sosial harus melalui kesiapan psikologis dan pengalaman melalui kegiatan belajar. Belajar adalah proses yang intensitasnya dipengaruhi oleh faktor motivasi dalam diri dan faktor pengaruh dari lingkungan. Berkaitan dengan kemampuan interaksi antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus, Hadis (2003: 46) mengemukakan bahwa tingkat kesulitan pemenuhan kebutuhan interaksi sosial oleh anak berkebutuhan khusus lebih tinggi dibanding siswa normal pada umumnya.

Anak berkebutuhan khusus memiliki harapan untuk dapat diterima oleh masyarakat secara wajar serta dapat melaksanakan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Namun karena keterbatasannya, maka anak berkebutuhan khusus memiliki kendala/hambatan dalam kegiatan sosial. Soe (2003: 421) mengemukakan bahwa:

... ketidakmampuan penyandang cacat yang tidak efektif dalam kegiatan sosial dikarenakan; (1) Merasa tidak memenuhi standar budayanya akan daya tarik fisik (kecacatan), sehingga mendapat reaksi diskriminatif dari masyarakat; (2) Sikap terhadap penderita cacat beragam mulai dari


(5)

ketidakacuhan sampai pada kurangnya pemahaman, sehingga menjadi

overprotektif atau bahkan terlalu simpati; (3) Individu normal seringkali

tidak mengetahui bagaimana cara merespon individu penyandang cacat. Beberapa masalah perilaku siswa tunanetra yang sering muncul akibat terhambatnya orientasi dan mobilitas menurut Hadi (2002: 67) meliputi: asyik dengan diri sendiri (self centered), perilaku menutup diri, sangat sensitif, pasif, mudah putus asa, dan tidak dapat menyesuaikan diri pada lingkungannya apalagi dalam keadaan dan situasi lingkungan yang baru. Silberman (Friend, 2005: 426) mengemukakan bahwa beberapa siswa dengan kelemahan penglihatan mempertunjukkan perilaku stereotypic, yaitu pengulangan perilaku yang tidak berkaitan dengan koreksi fungsi penglihatan, contoh: menekan mata, mengibaskan jari, mengayun-ayun kepala atau badan, dan memutar-mutar kepala. Menurut School (Mason, 1997: 36) itu terjadi karena ketidakhadiran atau tiadanya rangsangan yang berhubungan dengan perasaan, pergerakan dan aktivitas yang terbatas dalam lingkungan, dan gangguan sosial. Menurutnya para profesional mencoba mengurangi atau menghapuskan perilaku ini dengan membantu siswa meningkatkan aktivitas, penggunaan strategi perilaku seperti penghargaan atau mengajar alternatif, dan perilaku positif. Untuk mengurangi perilaku stereotypic dan rigidity pada siswa yang memiliki gangguan penglihatan terutama yang belajar di sekolah inklusif, Friend (2005: 424) mengusulkan kegiatan, yaitu:

Melalui penanaman dan pelatihan keterampilan sosial di dalam aktivitas sehari-hari, secara khusus keterampilan sosial dikembangkan melalui pengamatan dan tiruan dari individu berkompeten yang menggunakan berbagai tatakrama sosial, kebiasaan, dan nuansa di dalam hidup sehari-hari. Karena para siswa yang memiliki kelemahan penglihatan mengalami kesukaran untuk belajar dengan pengamatan, maka keterampilan sosial harus diajar secara langsung dan kemudian diperkuat hingga berarti, serta diterapkan menurut konteksnya.


(6)

Beberapa studi tentang konseling teman sebaya melaporkan bahwa konseling teman sebaya efektif membangun komunikasi dalam aspek kehidupan remaja (Myrick,1993: 27). Kerjasama yang baik dalam kelompok sebaya terutama pada siswa-siswa di sekolah menengah dapat meningkatkan hubungan sosial pada warga belajar di sekolah (Meiyani, 2000). Rusch (1990: 145) menyimpulkan dari beberapa penelitian, mengemukakan bahwa dalam lingkungan akademis, anak-anak yang tidak diterima oleh teman sebaya (peers) mereka, sering tidak masuk sekolah dan tidak mengalami sukses akademis sebanyak bila teman sebaya (peers) menerima mereka. Hasil penelitian evaluasi oleh Heung (2005: 15), secara empiris disampaikan tentang rintisan sekolah integrasi di Hongkong, sejumlah 117 sekolah rintisan menunjukkan bahwa inklusif memerlukan proses penerimaan dan budaya kolaborasi yang besar diantara kelompok siswa; Sikap siswa awas yang positip membantu sosialisasi siswa tunanetra (Aryanto, 2005), Hasil penelitian yang dilakukan mengenai konseling teman sebaya, ternyata model bantuan teman sebaya dapat meningkatkan daya resilience anak asuhan panti sosial (Suwarjo, 2008). Hubungan teman sebaya (peer relationships) khususnya dalam kegiatan bermain, memainkan peranan penting dalam perkembangan kompetensi sosial anak, dan perkembangan kompetensi sosial pada masa kanak-kanak itu sangat menentukan kualitas individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya (Tarsidi, 2007).

Berbagai penelitian tentang positive peer culture (PPC) dalam tinjauan literatur terdiri dalam tiga kategori utama: pertama, penelitian dari program PPC dalam layanan bantuan perumahan/keluarga; kedua, beberapa studi dalam


(7)

program di sekolah; dan ketiga, layanan berbasis masyarakat. Keseluruhan penelitian berorientasi pada konseptual dan praktek yang berusaha untuk mengidentifikasi komponen-komponen program PPC yang efektif. Virgil Pinckcy dan Dale Shears (Vorrath, 1985: 153) pada tahun 1972 mengadakan penelitian awal tentang konsep diri anak muda dalam layanan PPC di rumah/keluarga. Mereka mengumpulkan data pada beberapa ribu pemuda yang terlibat dalam program-program PPC di sekolah negeri Adrian dan Whitmore Lake. Mereka mengumpulkan data pra dan postes melalui jajak pendapat 120 item yang diberikan pada anak muda. Penelitian ini menemukan, bahwa: a) harga diri, layanan PPC signifikan meningkatkan perasaan harga diri pemuda; b) pribadi tanggung jawab, layanan PPC secara signifikan meningkatkan tanggung jawab para remaja; c) nilai dan sikap negatif, layanan PPC secara signifikan mengurangi kenakalan remaja dan pemilikan nilai-nilai yang positif. Lybarger (Vorrath, 1985: 154) mempelajari dampak dari PPC pada laki-laki usia rata-rata 14,5 tahun yang mengalami gangguan emosional dan senang melakukan pelanggaran. Empat belas siswa di sekolah Piers-Harris pada awal program diberi kuesioner skala konsep diri selama dua minggu dan setelah program berjalan selama 120 hari kemudian diberikan kuesioner skala sikap lagi. Hasilnya adalah peningkatan skor yang signifikan dalam statistik-konsep diri yang dilaporkan selama periode 120-hari. Wasmund (1980: 63) meneliti perbedaan konsep diri antara remaja pada tiga tahap dalam program layanan PPC (siswa baru, siswa dalam program lebih dari 1 bulan, siswa senior). Subjek 89 remaja laki-laki yang berperilaku menyimpang/kenakalan (usia rata-rata 15,5 tahun) mengikuti program PPC di


(8)

sebuah pusat perawatan swasta di Duluth. Skala konsep diri diberikan dalam tiga tahap pada masing-masing program layanan, dan data yang dilaporkan pada tiga skala instrumen. Pada skala general maladjustment dan personality disorder, ada perbaikan yang signifikan secara statistik pada siswa baru dan siswa senior. Setelah terlibat dalam kelompok PPC, siswa secara signifikan berubah dalam arah yang diinginkan (meningkatkan konsep diri dan lebih rendah penyimpangan terhadap nilai-nilai) pada 13 dari 15 tindakan. Hanya dua perilaku yang tidak menunjukkan perubahan yaitu psychosis dan personality integration. Tercatat bahwa siswa dalam PPC secara signifikan berhasil meningkatkan konsep diri yang positif. Secara khusus, siswa yang nakal, melakukan tindakan pertentangan, tak dpt menyesuaikan diri, memiliki perasaan yang rendah dalam anggota keluarga, dan menganggap dirinya rendah dalam adat istiadat sosial atau etika, setelah melalui program PPC tindakan tersebut sebagian besar telah dihilangkan.

Penelitian tentang kemampuan tunanetra dalam bersosialisasi dan bekerjasama dengan kelompok sebaya di sekolah, telah dilakukan oleh Meiyani (2000: 119-123). Penelitian tersebut memberi kesimpulan bahwa: (1) dalam bergaul, siswa tunanetra belum mampu menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya serta menghargai dirinya yang cacat dan menghargai teman sebayanya; (2) dalam bekerjasama dengan teman sebaya, siswa tunanetra belum mampu untuk menyesuaikan diri, belum memiliki daya saing tinggi, belum mampu bersaing secara sportif, belum mampu berhubungan/ interaksi secara baik dan harmonis; (3) siswa tunanetra kurang percaya diri dan kurang motivasi; (4) belum adanya program layanan dasar bimbingan yang dapat


(9)

digunakan oleh guru dalam melaksanakan bimbingan untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi bagi tunanetra di sekolah umum. Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut dapat digambarkan bahwa siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum (sekolah inklusif) masih banyak menghadapi masalah. Masalah-masalah yang dihadapi siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah disebabkan oleh ketidaksiapan secara psikologis dalam menghadapi lingkungan sekolahnya, serta belum atau kurang memiliki pengetahuan/ keterampilan interaksi sosial, sehingga diperlukan bantuan konseling yang layananya lebih mengarah kepada mengidentifikasi masalah psikologis dengan pendekatan yang mampu membantu mengidentifikasi masalah dan mencarikan jalan keluar untuk penguasaan pengetahuan dan keterampilan interaksi sosial.

Shelvin (2005: 6) dalam penelitiannya mengemukakan beberapa masalah yang dihadapi individu akibat kecacatannya (berkebutuhan khusus), yaitu:

(1) Ejekan dan perlakuan kasar, merupakan isu yang lebih luas dibandingkan persahabatan, (2) Iklim sosial di dalam kelas berperan penting dalam penyetaraan martabat dan belajar, tetapi para guru seringkali sibuk dengan urusan kurikulum dan ujian, (3) Setiap orang memerlukan strategi untuk menanggapi secara berani setiap bahasa dan tingkah laku yang menindas, 4) Para siswa yang belajar di kelas inklusif, bertanya `apa yang harus kita pikirkan dan usahakan agar semua orang berpartisipasi aktif dalam belajar?`.

Masalah lain yang dihadapi tunanetra dalam bersosialisasi juga adalah kurangnya penerimaan masyarakat serta kesalahan dalam memberi perlakuan terhadap siswa tunanetra. Hal ini digambarkan oleh Frans Harsono Sasraningrat, 1982 (Hadi, 2002: 59) tentang hambatan tunanetra dalam memperoleh validitas atau penerimaan serta perlakuan yang salah dari masyarakat dalam kegiatan sosial:


(10)

1) Ada seorang tunanetra yang cukup cerdas. Cita-citanya adalah menjadi seorang pengacara yang berhasil. Dalam perjalanan menuju cita-cita ia mendapat tantangan dari berbagai pihak. Sikap orang disekelilingnya tidak bersifat motivasional, bahkan sebagian besar menolak atau menganjurkan untuk menghentikan saja cita-cita itu, bahkan sering terdengar kata-kata “bagai pungguk merindukan bulan”.2) Seorang tunanetra yang lain senantiasa mendapat pertolongan yang berlebihan dari orang atau masyarakat sekitarnya.

Masyarakat beranggapan bahwa kecacatannya menutup kemungkinan bagi tunanetra untuk mencapai cita-cita tersebut. Sikap negatif masyarakat seperti inilah yang merupakan hambatan atau rintangan bagi tunanetra. Dilain pihak, masyarakat justru memberikan bantuan yang berlebihan, sehingga justru membuat tunanetra menjadi tidak mandiri atau selalu bergantung secara total pada pertolongan orang lain. Ketergantungan pada orang lain di sekitarnya secara total itulah yang menjadi anca atau handicap pada tunanetra ini. Tunanetra yang menggantungkan dirinya kepada orang lain secara total tidak akan mempunyai kemandirian, sehingga pada dirinya berkembang suatu anca yang hal ini juga merupakan dampak dari ketunanetraan.

Sigelman (Mason, 1997: 20) mengemukakan bahwa disability adalah adanya beban ketakseimbangan atau ketakmampuan pada seorang individu akibat dari kecacatannya. Sigelman mengidentifikasi 5 hal dimana kerusakan mata berkontribusi mengalami ketakmampuan dalam bidang : kesehatan, perilaku sosial, mobilitas, intelektual-kognitif, dan komunikasi. Masalah sosial akibat ketunanetraan juga disampaikan oleh Mary Kingsley (Mason, 1997: 23) yang menyebutkan empat area pengembangan sebagai dampak kerusakan penglihatan, yaitu : sosial dan emosional, bahasa, kognitif, serta orientasi dan mobilitas. Mary Kingsley (Mason, 1997: 23) mengemukakan bahwa tunanetra juga mengalami


(11)

dampak personal atau dampak individu, yaitu dampak ketunanetraan yang langsung dialami oleh penderitanya. Kerusakan organ mata dan terganggunya fungsi penglihatan akan memberikan reaksi negatif bagi penyandangnya. Reaksi

negatif tersebut terbentuk dalam tingkatan yang bervariasi, yaitu: (1) Ketunanetraan akan membawa akibat langsung pada penyandangnya, yaitu

tidak dapat melihat dengan baik : tunanetra ringan, tunanetra sedang, maupun tunanetra berat; (2) Ketunanetraan pada seseorang akan mengakibatkan munculnya hambatan-hambatan dalam hidupnya; (3) Kesulitan dalam mengatasi hambatan-hambatan akan menimbulkan reaksi emosional pada penyandangnya; (4) Reaksi emosional yang tidak terkendali atau tidak terpenuhi akan menimbulkan frustasi; (5) Frustasi yang berlebihan akan mempengaruhi perkembangan pribadi, sehingga akan menunjukkan gejala-gejala kepribadian yang negatif, seperti : rendah diri, murung, putus asa, tertekan. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar tunanetra mengalami `beban psikologis`, baik yang mempengaruhi pengembangan dirinya maupun dalam rangka berhubungan sosial dengan masyarakat. Tunanetra yang tergolong buta atau juga yang kurang penglihatan tingkat berat, dalam penguasaan medan kurang atau bahkan tidak mampu menguasai lingkungan jarak jauh, sehingga tunanetra memiliki keterbatasan interaksi dengan lingkungan, akibatnya sering timbul perasaan takut, cemas dan khawatir dalam menghadapi lingkungannya (Mason, 1997: 28). Perasaan ini akhirnya dapat menyebabkan tunanetra menjadi frustrasi, kesulitan percaya diri, lebih suka menyendiri atau mengasingkan diri, dan kesulitan dalam berhubungan sosial.


(12)

Tunanetra walaupun mengalami kekurangan pada masalah penglihatan, namun tetap mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dengan mewujudkan dalam peran sosial (sosial role) di lingkungan masyarakatnya. Akibat terjadinya kecacatan atau berkebutuhan khusus penglihatan dalam lingkup kehidupan yang luas, akan menimbulkan pandangan atau reaksi yang beragam pada masyarakat. Reaksi masyarakat atas keberadaan tunanetra bisa bersifat positif maupun negatif. Pandangan masyarakat yang bersifat negatif, misalnya : bersikap masa bodoh

(apriori), menganggap tunanetra kurang atau tidak berkepribadian, menganggap

tunanetra selalu bergantung pada orang lain. Secara psikologis pandangan negatif dari masyarakat tersebut menyebabkan tunanetra mempunyai masalah perilaku dalam berinteraksi sosial. Sigelman (Mason,1997: 27) mengemukakan bahwa

handicap yang terjadi disebabkan oleh perasaan tidak beruntung atau kesulitan

dalam melakukan perbuatan sesuai fungsi-fungsi kehidupan secara normal, disebabkan oleh harapan atau sikap-sikap seseorang atau masyarakat terhadap penyandang cacat. Sudah sangat jelas bahwa seorang tunanetra adalah penyandang cacat, hal itu adalah kenyataan yang tidak perlu dan memang tidak dapat diingkarinya. Cacat yang disandangnya berakibat ketidakmampuan atau berkesulitan untuk melakukan sesuatu tugas atau kegiatan tertentu, terutama dalam interaksi sosial. Ketidakmampuan yang diakibatkan oleh kecacatannya sebagian besar dapat ditiadakan melalui konseling dan berbagai latihan dan atau pendidikan, namun hal tersebut belum tentu diperoleh oleh tunanetra.

Sikap negatif dari masyarakat sering menjadi penyebab tertutupnya kesempatan bagi penyandang tunanetra untuk mengikuti latihan, pendidikan, serta


(13)

dalam memperoleh bimbingan perkembangan. Jadi secara langsung ataupun tidak langsung sikap orang lain yang tidak cacat menjadi penghalang atau handicap bagi tunanetra untuk meniadakan atau memperkecil berbagai ketidakmampuan berinteraksi sosial yang dialami. Terhadap sikap negatif tersebut, penyandang tunanetra akan bereaksi dengan jalan berupaya untuk berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Berhasil atau gagalnya tunanetra dalam mengatasi

anca atau handicap dipengaruhi oleh sikap masyarakat yang awas, sikap

penyandang tunanetra sendiri, dan keadaan atau situasi lingkungan.

Menurut Yeo (2007: 9) daya dorong perlunya pendekatan konseling dalam pemecahan masalah, adalah:

... untuk membantu klien dengan memperkenalkan masalah, walaupun demikian konseling diselenggarakan dengan cara memberi perhatian kepada orang dan hubungan dengan dunianya, bukannya hanya dengan masalahnya. Penekanannya adalah pada membantu klien mendukung sumber daya yang tersedia padanya dan menjadi merasa terikat dengan memanage permasalahan hidup dengan percaya diri (self-reliance).

Layanan konseling memerlukan konselor yang benar-benar memiliki kepedulian dalam proses konseling. Disamping guru dan konselor sekolah yang berkompeten di bidang konseling, proses konseling juga bisa melibatkan siswa/teman sekelas sebagai `teman sebaya`, yang dipilih dan akhirnya dibimbing untuk menjadi peer counseling fasilitator serta menjadikan siswa awas dan siswa tunanetra sebagai konselor sebaya yang positive peer culture, sehingga terjadi hubungan yang friendly dan helpfull. Riola (Samad, 2007: 13) berpendapat bahwa lebih mudah mengubah konsep tindakan, sikap, dan pola-pola perilaku seseorang melalui adegan kelompok daripada dalam konteks individual. Lingkungan sosial


(14)

yang kondusif lebih mudah memberi penguatan positif daripada penguatan negatif terhadap perubahan perilaku kearah yang efektif.

Penelitian yang dilakukan Aryanto (2005: 52-67) tentang Sikap Siswa Awas Terhadap Siswa Tunanetra Yang Belajar Di SMU, menunjukkan bahwa siswa awas bersikap positif dalam memahami dan menerima keberadaan tunanetra pada proses pembelajaran di sekolah umum, data hasil penelitian yang berkaitan dengan interaksi sosial sebagian besar menyatakan setuju sampai sangat setuju untuk pernyataan positip dalam prosentase antara 56,66 % sampai dengan 80,11 %. Untuk pernyataan negatif sebagian besar menyatakan sangat tidak setuju dalam prosentase antara 23,44 % sampai dengan 32,77 %. Persentase hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar siswa awas disekolah reguler menunjukkan sikap positif dalam mendorong siswa tunanetra untuk belajar secara akademik dan sosial. Dengan potensi sikap positif yang ditunjukkan oleh siswa awas, maka dalam proses bantuan bimbingan konseling, siswa tersebut bisa dijadikan mitra konselor dan guru dengan mengembangkan sebagai peer

counseling fasilitator . Tugas konselor dan guru berikutnya adalah

mengupayakan terbentuknya sebuah peer yang efektif, dengan menyusun kegiatan yang membentuk kelompok siswa menjadi positive peer culture.

Yeo (2007: 122) berpendapat bahwa tidak ada metode tunggal dalam membantu orang-orang, dan tak satupun strategi konseling atau teknik yang bekerja untuk semua klien. Konselor harus mengadopsi suatu pendekatan yang fleksibel dan kreatif dan menjadi cukup efektif untuk mencoba semua yang secara etis, secara moral dan menurut hukum sesuai. Ini perlu dilakukan konselor untuk


(15)

terbiasa dengan pendekatan berbeda. Implikasi dari pendapat tersebut maka bimbingan terhadap tunanetra yang mengalami masalah, baik masalah ketidaksiapan psikologis maupun kurangnya kemampuan keterampilan interaksi sosial, serta kebutuhannya terhadap bantuan dari orang lain yang friendly dan

helpfull dalam pengembangan kegiatan interaksi sosial, maka perlu adanya

kolaborasi pendekatan yang dalam proses konselingnya menggunakan berbagai teknik konseling, serta melibatkan kelompok siswa sebaya yang bersikap positif (positive peer culture).

Layanan pengembangan kehidupan sosial siswa tunanetra yang diharapkan adalah agar siswa tunanetra mampu hidup dan beraktivitas seperti orang normal namun disesuaikan dengan potensi dan kebutuhannya sebagai penyandang tunanetra. Sesuai landasan dasar inklusif Least Restrictive Environment (LRE) dalam layanan terhadap anak berkebutuhan khusus bermaksud agar penempatan anak penyandang berkebutuhan khusus ditentukan atas dasar kebutuhan individu pada tatanan paling tidak terbatas atau yang paling sedikit menghambat. Layanan bimbingan dan pendidikan berupa tatanan yang paling mendekati tatanan normal, tetapi masih memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang diperlukan oleh anak berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai pernyataan Sue (2003: 428) mengenai perkembangan program layanan bagi penyandang cacat adalah:

… telah terjadi pergeseran dalam orientasi program-program bagi individu penyandang cacat, dari pengobatan atau rehabilitasi menjadi `layanan mendekati senormal mungkin` dan mengidentifikasi serta memberdayakan keahlian/ kemampuan yang masih dimiliki.

Pengembangan model konseling PPC (Positive Peer Culture) untuk terbentuknya interaksi yang efektif pada layanan pendidikan inklusif sangat urgen.


(16)

Layanan konseling teman sebaya yang telah dilakukan pada persekolahan akan lebih efektif apabila dalam pembentukan kelompok sebaya melalui pengembangan positive peer culture dan mendukung program konseling untuk mengatasi masalah interaksi sosial siswa awas dan seiswa tunanetra di sekolah inklusif.

Pada tahun 2009 layanan pendidikan inklusif juga dilaksanakan oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Maguwoharjo D.I. Yogyakarta. Layanan ini dikhususkan bagi para penyandang kebutuhan khusus yang memiliki kurang penglihatan/siswa tunanetra. Kesempatan inilah yang kemudian digunakan oleh para siswa tunanetra untuk meneruskan pendidikan formal lebih lanjut. Siswa tunanetra yang memilih layanan pendidikan inklusif di MAN Maguwoharjo kebanyakan adalah berasal dari Sekolah Luar Biasa (SLB), sehingga bersekolah di jalur pendidikan formal bersama-sama dengan siswa awas adalah pengalaman yang pertama kali. Keadaan ini menyebabkan terjadinya beberapa masalah, misalnya siswa tunanetra terlihat masih canggung bergaul, kurang terjadi aktifitas interaksi sosial, siswa tunanetra masih bergerombol dengan siswa tunanetra, dan siswa awas masih enggan dan belum mengetahui bagaimana bergaul serta bagaimana cara membantu siswa tunanetra di sekolah.

Hasil observasi di sekolah MAN Maguwoharjo D.I. Yogyakarta tentang perilaku sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif menunjukkan bahwa secara psikologis siswa tunanetra mengalami hambatan atau masalah, hal ini terlihat dengan siswa tunanetra yang merasa minder untuk bergaul dengan siswa awas, pada waktu luang atau istirahat terlihat para siswa sesama tunanetra masih


(17)

bergerombol, siswa tunanetra yang masih enggan keluar dari kelas saat istirahat karena canggung atau malu, dan takut untuk memanggil temannya yang awas.

Hasil observasi di sekolah MAN Maguwoharjo D.I. Yogyakarta tentang keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif menunjukkan bahwa siswa tunanetra masih kesulitan melakukan perjalanan dengan menggunakan tongkat panjang, cara siswa tunanetra dan siswa awas ketika melakukan perjalanan berdampingan kurang menggunakan teknik yang baik, siswa tunanetra masih belum memperlihatkan gerakan mengajak salaman kepada teman awas, siswa tunanetra tidak memberikan respon gerakan tubuh ketika sedang baercakap-cakap, siswa tunanetra kebanyakan masih diam atau pasif dalam kegiatan diskusi di kelasnya, siswa tunanetra masih enggan menjawab atau mengeluarkan pendapatnya, dan siswa tunanetra tidak berani bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya dia tidak paham ketika diskusi bersama siswa awas.

Telaah empiris mengenai kesulitan dan hambatan tunanetra dalam kegiatan sosial di sekolah inklusif tersebut, ternyata sebagian besar disebabkan karena tunanetra memiliki masalah ketidaksiapan psikologis, kurangnya pengalaman/ keterampilan sosial, serta masih kurangnya bantuan bimbingan konseling perkembangan dari konselor dan siswa awas/normal di sekolah reguler. Hambatan yang paling pokok adalah bahwa tunanetra mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Pendekatan konseling yang didalam prosesnya mampu memberi bantuan mengidentifikasi masalah tentunya direkomendasi untuk mengatasi masalah interaksi sosial bagi siswa tunanetra. Implikasi dari kajian empiris tersebut maka dalam kegiatan


(18)

konseling hendaknya berfokus pada pendekatan yang mampu mengidentifikasi masalah dan mengantar ke pemecahan masalah yang dihadapi siswa tunanetra.

Identifikasi masalah, telaah empiris, dan kajian konseptual yang telah dipaparkan, mendasari serta dipandang urgen perlunya pengkajian tentang layanan konseling bagi tunanetra. Perlu mengadakan penelitian suatu model konseling yang mampu mengembangkan kemampuan interaksi sosial pada siswa tunanetra dengan melibatkan dukungan teman sebaya yang memiliki sikap positif (positive

peer culture).

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan dan mencermati latar belakang masalah, maka ada beberapa persoalan yang merupakan masalah mendasar, adalah:

Konsekuensi bagi tunanetra yang memilih belajar di sekolah Inklusif adalah harus berusaha mengembangkan perilaku untuk dapat menyesuaikan diri dengan siswa awas. Masalah psikologis yang menghambat terjadinya proses interaksi sosial, adalah: (1) beberapa sifat tunanetra yang sering muncul akibat terhambatnya orientasi dan mobilitas pada lingkungan sekolah adalah asyik dengan dirinya sendiri (self centered), tingkah laku menutup diri, sensitif, pasif, dan mudah putus asa (Hadi, 2002: 67); (2) penelitian Meiyani (2000: 119-123) memberi kesimpulan diantaranya bahwa: siswa tunanetra belum mampu menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya serta menghargai dirinya, siswa tunanetra kurang percaya diri dan kurang motivasi; (3) frustasi yang berlebihan atas kegagalan berinteraksi di sekolah akan mempengaruhi perkembangan pribadi, sehingga akan menunjukkan gejala-gejala


(19)

kepribadian yang negatif, seperti : rendah diri, murung, dan putus asa, Mary Kingsley (Mason, 1997: 23); (4) tunanetra memiliki keterbatasan interaksi dengan lingkungan, akibatnya sering timbul perasaan takut, cemas dan khawatir dalam menghadapi lingkungannya, (Mason, 1997: 28). Perasaan ini akhirnya dapat menyebabkan tunanetra menjadi frustrasi, kesulitan percaya diri, lebih suka menyendiri atau mengasingkan diri, dan kesulitan dalam mengadakan hubungan sosial. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar tunanetra mengalami masalah atau beban psikologis, baik yang mempengaruhi pengembangan dirinya maupun dalam rangka berhubungan sosial dengan masyarakat dan lingkungannya. Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan konseling terhadap tunanetra dalam mengatasi masalah tingkah laku (kendala intrinsik) yang menghambat interaksi sosial.

Salah satu kendala yang muncul pada awal sekolah bagi siswa tunanetra adalah masalah interaksi sosial dengan siswa awas. Hadi (2002: 64) mengemukakan, bahwa tunanetra yang masuk dalam sekolah inklusif, kebanyakan kurang ekspresif dalam kegiatan sosial dan bahkan lebih banyak yang bersifat reseptif, sehingga muncul anggapan skeptis bahkan suatu stigma atau cap bahwa tunanetra adalah berperilaku kaku (rigidity) ketika bersosialisasi di masyarakat. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa tunanetra kesulitan dalam berinteraksi sosial adalah penelitian oleh Meiyani (2000: 119-123) yang menyimpulkan bahwa dalam bergaul siswa tunanetra belum mampu menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya serta menghargai dirinya yang cacat dan menghargai teman sebayanya, siswa tunanetra dalam bekerjasama dengan teman


(20)

sebaya belum mampu menyesuaikan diri, belum mampu berhubungan/interaksi secara baik dan harmonis. Kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya di sekolah, khususnya teman sebaya di kelasnya merupakan salah satu dari beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu perkembangan social siswa dalam sekolah.

Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan konseling terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif dalam pemberian layanan pengembangan perilaku berinteraksi sosial dan penguasaan keterampilan interaksi sosial. Program layanan konseling disusun dengan menggunakan teknik-teknik konseling yang mampu memotivasi tunanetra untuk melakukan kegiatan interaksi sosial di sekolah inklusif.

Siswa atau masyarakat awas memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam menerima dan memberi bantuan kepada tunanetra, diantaranya adalah: (1) sikap terhadap penderita cacat beragam mulai dari ketidakacuhan sampai pada kurangnya pemahaman, sebaliknya ada yang justru overprotektif atau terlalu simpati sehingga terlalu berlebihan dalam memberikan bantuan. Individu normal atau awas yang lain seringkali tidak tahu bagaimana cara merespon individu penyandang cacat (Soe, 2003: 421); (2) Hasil penelitian Shelvin menyimpulkan bahwa masalah yang dihadapi individu akibat kecacatannya, diantaranya yaitu: ejekan dan perlakuan kasar dari masyarakat merupakan isu yang lebih luas dari pada persahabatan, setiap orang memerlukan strategi untuk menanggapi secara berani terhadap setiap tutur kata/bahasa dan tingkah laku yang menindas dalam kegiatan-kegiatan sosial (Shelvin, 2005: 6); (3) penelitian yang dilakukan oleh


(21)

Aryanto (2005: 52-67) menunjukkan bahwa terjadi kontraproduktif dalam hubungan sosial oleh siswa awas terhadap tunanetra di sekolah inklusif, siswa awas memiliki sikap positif terhadap siswa tunanetra, tetapi ternyata siswa awas tidak mengetahui cara merespon dan memberi bantuan terhadap siswa berkebutuhan khusus tersebut.

Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah MAN Maguwoharjo Yogyakarta adalah alumni sekolah dalam layanan Sekolah Luar Biasa (SLB dan SDLB). Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan, kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan kemampuan beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola hubungan sosial di sekolah inklusif. Subyek penelitian siswa tunanetra pada studi pendahuluan terdata sejumlah sembilan siswa tunanetra (tergolong low

vision/kurang penglihatan ringan dan berat, serta totally blind/buta total) yang

duduk di kelas X dan kelas XI.

Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan konseling terhadap tunanetra dalam mengatasi gangguan dari lingkungan masyarakat (kendala ekstrinsik) yang menghambat proses interaksi sosial. Konseling diarahkan dengan layanan yang mengembangkan siswa awas teman sebaya untuk berperilaku positif membantu interaksi sosial siswa tunanetra, dengan dikondisikan menjadi teman sebaya positif ( positive peer culture).

Rumusan masalah utama penelitian adalah ”Model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) seperti apa yang dapat meningkatkan


(22)

interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif MAN?”. Rumusan masalah utama tersebut dapat dirinci kedalam pertanyaan penelitian yang bersifat operasional, sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran interaksi sosial siswa tunanetra dalam berhubungan dengan siswa awas?

2. Bagaimana rumusan model konseptual dan model operasional desain model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif?

3. Bagaimana efektifitas desain model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah penyelenggara inklusif?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan, maka tujuan utama penelitian adalah menghasilkan rumusan model konseling Positive Peer

Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah

inklusif.

Secara operasional, tujuan khusus penelitian adalah untuk :

1. Mendeskripsikan kondisi interaksi sosial siswa tunanetra dalam berhubungan dengan siswa awas di sekolah inklusif sebelum memperoleh layanan konseling. 2. Tersusunnya desain model konseling, meliputi model konseptual dan model operasional konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.


(23)

3. Mendeskripsikan kondisi interaksi sosial siswa tunanetra yang belajar di sekolah inklusif setelah diberikan perlakuan, meliputi:

a. Kondisi tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif.

b. Penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif.

4. Mendeskripsikan efektifitas desain model konseling Positive Peer Culture

(PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif.

D. Asumsi Penelitian

1. Corey (2005: 87) mengemukakan bahwa pembentukan perilaku (pola tingkah laku) dengan memberi ganjaran atau penguatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah cara ampuh untuk mengubah tingkah laku seseorang.

2. Peck & Pezzoli (Vorrath, 1985: 140) menyampaikan bahwa para siswa teman sebaya di sekolah yang meluangkan waktu berkualitas dengan teman sekelas yang berkebutuhan khusus akan lebih mudah mengembangkan toleransi dan pemahaman pribadi mereka sendiri daripada perbedaan individu.

3. Riola (Samad, 2007: 13) menyampaikan bahwa lebih mudah mengubah konsep tindakan, sikap, dan pola-pola perilaku seseorang melalui adegan kelompok daripada dalam konteks individual. Lingkungan sosial yang kondusif lebih mudah memberi penguatan positif daripada penguatan negatif terhadap perubahan perilaku kearah yang diharapkan.


(24)

4. Yeo (2007: 9) menyampaikan bahwa proses bimbingan yang melibatkan orang yang benar-benar friendly dan helpfull dalam proses pemberian bantuannya, berimplikasi adanya interaksi atau kedekatan antara konselor dengan konselee. 5. Riola (Samad, 2007: 17) mengemukakan lingkungan sosial yang kondusif lebih

mudah memberi penguatan positif daripada penguatan negatif terhadap perubahan perilaku kearah yang diharapkan.

E. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menyentuh pula aspek guna laksana sebagai tujuan praktis di lapangan. Sesuai dengan rumusan tujuan maka hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam :

1. Aspek Pengembangan Ilmu Pengetahuan.

a. Berkontribusi dalam menambah contoh kasus layanan konseling behavior dalam konseling tingkah laku dengan seting kelompok PPC untuk menangani masalah interaksi sosial bagi tunanetra.

b. Sebagai bahan pengayaan informasi bagi para ilmuwan konseling dalam mengkaji adanya perubahan perilaku karena pengaruh intervensi lingkungan pada layanan konseling.

2. Aspek Guna Laksana, Kebutuhan yang sangat penting dan mengawali proses

inklusif adalah masalah interaksi sosial siswa di sekolah. Kesenjangan interaksi sosial antara siswa tunanetra dan siswa awas dapat diatasi dengan pemberian layanan konseling sekolah yang melibatkan kelompok siswa sebaya yang bersikap positif (positive peer culture). Konselor sekolah secara


(25)

23

praktis dapat menggunakan produk/acuan model konseling Positif Peer

Culture (PPC) untuk menangani masalah interaksi sosial para siswanya. 3. Bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, hasil penelitian ini

memberi wawasan perlunya pengembangan materi dan strategi perkuliahan yang mengkolaborasikan berbagai pendekatan dalam layanan konseling. Layanan konseling di sekolah inklusif dengan subyek belajar yang memiliki keberagaman kemampuan fisik, perbedaan kharakteristik psikis dan sosial, dan kebutuhan layanan khusus, lebih efektif bila ditangani dengan upaya kolaboratif. Melibatkan bantuan dari teman sebaya positif (PPC) adalah salah satu contoh menangani masalah yang dihadapi siswa dengan seting kelompok.

F. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi dengan judul Model Konseling Positive Peer Culture untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif disajikan dalam lima bab yang uraiannya sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan, untuk mengemukakan latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta asumsi penelitian. Bab II menyajikan landasan teoretik konseptual model konseling positive peer culture, konsep inklusiff, dan konsep interaksi sosial. Bab III merumuskan metode penelitian yang berisi pendekatan penelitian, definisi operasional variabel, subyek penelitian, tahap-tahap penelitian, dan teknik analisis data. Bab IV adalah bagian yang menggambarkan hasil-hasil penelitian berupa tabel dan grafik, serta pernyataan-pernyataan dalam membahas hasil penelitian. Bab V berisi kesimpulan dan saran.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Tujuan akhir penelitian adalah terumuskannya model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Model penelitian adalah penelitian dan pengembangan pendidikan (Educational R&D). Untuk mendukung model penelitian R&D, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa: (1) Perilaku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, dan (2) Keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif. Metode partisipatif kolaboratif digunakan untuk memvalidasi instrumen, uji kelayakan model hipotetik, dan uji kelayakan model operasional. Metode partisipatif kolaboratif dilakukan dengan bantuan para ahli bidang konseling (validator isi) serta para konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (validator empiris). Metode eksperimen digunakan untuk menguji dan mengevaluasi kebermanfaatan model konseling, yaitu Efektifitas model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Desain eksperimen yang digunakan adalah penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) dengan Multiple Baseline Design, yang meliputi tiga variasi, yaitu: (1) multiple baseline cross subjects, (2) multiple


(27)

baseline cross conditions, dan (3) multiple baseline cross variables (Sunanto,

2005: 74). Desain SSR ini untuk mengetahui perkembangan setiap subyek pada suatu kondisi dan setiap jenis keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan.

B. Operasionalisasi Variabel

Variabel bebas penelitian ini adalah konseling positive peer culture dengan metode behavioral melalui teknik pembentukan perilaku model. Variabel terikat penelitian ini adalah interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi. Variabel interaksi sosial ini terdiri dari dua aspek, yaitu: (1) Tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif; (2) Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Aspek-aspek dalam interaksi sosial tersebut didasari oleh konsep-konsep yang dikemukakan para ahli bidang sosial. Libet dan Lewinsohn (Carledge, 1992: 7) menyampaikan bahwa pola interaksi psikososial yang terbentuk pada individu akhirnya akan mewarnai tindakan atau keterampilan interaksi sosialnya. Dalam kegiatan sosial, Morgan (Carledge, 1992: 11) mengemukakan bahwa secara umum keterampilan interaksi sosial dipandang sebagai perilaku yang dipelajari, diterima secara sosial yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan orang lain yang menimbulkan tanggapan positif dan membantu dalam menghindari tanggapan negatif dari mereka. Menurutnya dalam berinteraksi sosial seseorang melibatkan keinginan secara psikologis untuk berinteraksi secara positif serta mengembangkan keterampilan interaksi sosial. Dua pendapat tersebut menunjukkan bahwa aspek keterampilan interaksi sosial sangat dipengaruhi oleh


(28)

pola interaksi psikososialnya. Sehingga kedua aspek tersebut dalam pengkajian perkembangan interaksi sosial harus dibahas secara bersama.

1. Tingkah laku sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Secara konseptual, Martin (2007: 3) menyampaikan kata-kata yang sering disinonimkan dengan `perilaku` adalah kegiatan, aksi, kinerja, tanggapan, respon, dan reaksi. Menurutnya, pada dasarnya perilaku adalah segala sesuatu yang seseorang ucapkan atau lakukan. Secara teknis perilaku adalah setiap kegiatan otot atau kelenjar dari suatu organisme. Penelitian ini mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku negatif siswa tunanetra yang menghambat proses interaksi sosial yang muncul setelah terjadinya interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Secara operasional, indikator konkrit tingkah laku sosial menggunakan identifikasi problem tingkah laku dalam berinteraksi sosial berupa Positive Peer

Culture (PPC) Problem-Solving List yang disusun oleh Vorath (1985: 30-31),

dengan daftar ini dapat dikenali problem tingkah laku manakah yang dihadapi klien siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, meliputi : (1) Gambaran diri rendah (Self-Image): mempunyai gambaran yang lemah tentang diri sendiri, sering merasakan harga dirinya rendah; (2) Kurang perhatian pada orang lain: perilaku yang bisa merusakkan hubungan dengan orang lain; (3) Kurang perhatian pada diri sendiri: perilaku yang bisa merusak diri sendiri; (4) Masalah otoritas: tidak ingin diatur oleh seseorang; (5) Menyesatkan orang lain: menggambarkan bahwa orang lain berperilaku negatif; (6) Mudah disesatkan: klien digambarkan memiliki perilaku negatif oleh orang lain; (7) Menjengkelkan orang lain: menganggap negatif kepada orang yang


(29)

merawat/membantu, memperlakukan sebagai musuh; (8) Mudah marah: sering mengganggu atau bikin gusar atau pemarah;(9) Mencuri: mengambil berbagai hal kepunyaan orang lain; (10) Masalah alkohol atau obat: Penyalahgunaan zat-zat aditif yang bisa menyakiti diri; (11) Pembohong: tidak bisa dipercaya untuk menceritakan tentang kebenaran; (12) Menghadapi (fronting): suka berpura-pura dan bukannya riil/ kenyataan.

2. Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif

Secara konseptual, pakar ilmu sosial Libet dan Lewinsohn (Carledge, 1992: 7) menyampaikan bahwa pengertian keterampilan berinteraksi sosial adalah sebagai kemampuan yang kompleks untuk menampilkan perilaku baik positif atau negatif, dan bukan perilaku yang tampil karena hukuman oleh orang lain. Dalam konteks kelembagaan, Combs dan Slaby (Carledge, 1992: 9) mengemukakan bahwa keterampilan berinteraksi sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial tertentu dengan cara tertentu yang secara sosial dapat diterima atau dihargai dan pada saat yang sama secara pribadi menguntungkan, saling menguntungkan, atau bermanfaat terutama untuk orang lain atau masyarakat lingkungannya. Greca (Carledge, 1992: 17) mengidentifikasi daerah-daerah untuk pembelajaran keterampilan interaksi sosial yang berkontribusi positif dalam hubungan teman sebaya, meliputi: tersenyum/tertawa, menyapa orang lain, aktif dalam kegiatan, mengikuti ajakan bersama, terampil berbicara, bekerjasama, dan penampilan/perawatan fisik. Tindakan atau perilaku keterampilan sosial yang seharusnya dikuasai oleh remaja, menurut Goldstein,1985, Gershaw, & Sprafkin,1995 (Samad, 2007: 3), meliputi dua unsur,


(30)

yaitu keterampilan sosial awal, keterampilan sosial lanjut, dan ditambahkan oleh Cooks, 2003 (Samad, 2007: 3) yaitu unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan kemampuan menunjukkan empati (show empathy), yang penting dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain.

Secara operasional, indikator konkrit keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif diwujudkan dalam bentuk keterampilan sosial awal: mendengarkan, memulai percakapan, menikmati percakapan, mengajukan pertanyaan, mengucapkan terimakasih, memperkenalkan diri, memperkenalkan orang lain, dan memberi pujian. Keterampilan sosial lanjut: meminta bantuan kerjasama, memberi instruksi, mengikuti instruksi, meminta maaf, dan meyakinkan orang lain. Unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif yang lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a

good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan kemampuan

menunjukkan empati (show empathy), yang penting dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain.

3. Konseling positive peer culture (PPC).

Secara konseptual, menurut Vorrath (1985: 9) PPC mengharapkan bahwa seseorang akan menghentikan perilaku tidak responsif pada yang lain dan mulai membantu orang yang lain, PPC berusaha untuk membangun suatu iklim yang


(31)

ditandai oleh kepercayaan dan keterbukaan, dan orang yang dibantu dan masuk dalam kelompok PPC tidak ditempatkan sebagai terdakwa atau orang sakit, melainkan ia pada hakekatnya adalah dalam proses bantuan, dan peer group nya menunjukkan perhatian yang baik. Adalah aktivitas kelompok sebaya yang ditandai oleh persatuan (association) dan kerjasama tatap muka yang bersifat intim yang benar-benar menyentuh aspek kesiapan psikologis. Snell (2000: 52) menyampaikan bahwa fokus konseling dengan positive peer culture (PPC) adalah membantu dan mengawasi klien untuk dapat mengembangkan harga diri

(self-worth), berarti, bermartabat, dan tanggung jawab, agar menjadi merasa terikat

dengan nilai-nilai yang positif dalam hubungan dengan orang lain. Azas konselor

PPC adalah harus mempedulikan hubungan antar pribadi, berhadapan dengan

konseli, dan penuh cinta dalam membantu.

Secara operasional, pendekatan pembentukan kelompok PPC dengan mengikuti langkah-langkah (Snell, 2000: 54), sebagai berikut: (a) Selubung (casing), para siswa teman sebaya kelompok peer mencari informasi tentang suatu hal satu sama lain, (b) Batas Uji (Limit Testing), siswa kelompok peer mengungkapkan kepribadian dan perilaku sebenarnya, mengungkapkan pernyataan dan perasaan diri dalam kelompok, siswa kelompok peer mulai mengenali permasalahan diri sendiri, (c) Polarisasi yang bernilai (Polarization of

Values), sering terjadi perdebatan dalam kelompok, siswa bermasalah

memutuskan benar-benar ingin berubah, mengembangkan tujuan sesuai saran-saran kelompok, sistem nilai baru telah terikat dengan suatu perasaan dan pengertian yang kuat tentang kesetiakawanan dan mulai terbentuk identitas


(32)

kelompok, (d) Budaya teman sebaya positif (positive peer culture), siswa kelompok peer memiliki kekuatan yang kompak, mewujudkan sistem nilai kepedulian timbal balik dan berhubungan, mempercayai kepemimpinan dan siswa ada keinginan menghadapi masalah mereka secara individu. Indikator sudah terbentuknya suatu kelompok positive peers, oleh Snell (2000: 32) ditunjukkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan toleransi mereka terhadap orang lain; (2) Belajar untuk bersimpati kepada siswa yang memiliki kecacatan/ berkebutuhan khusus; (3) Meningkatkan konsep diri mereka; (4) Lebih sadar akan prasangka orang lain; (5) Mengembangkan prinsip pribadi yang baru dengan memahami kelebihan dan kekurangan orang lain;(6) Membangun persahabatan; (7) Belajar untuk memperhatikan orang lain yang adalah berbeda; (8) Mereka cukup rendah hati; (9) Meningkatkan refleksi diri dan melihat tindakan sendiri dalam pandangan berbeda.

Teknik konseling yang digunakan untuk memberi bantuan meningkatkan interaksi sosial dengan pendekatan Positive Peer Culture (PPC) adalah dengan mengaplikasikan teknik-teknik konseling behavioral. Model konseling Positive

Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial bagi siswa tunanetra di

sekolah inklusif ini menggunakan teknik yang disesuaikan dengan problem tingkah laku yang dialami klien siswa tunanetra serta jenis kemampuan interaksi sosial yang akan dikembangkan, yaitu menggunakan teknik pembentukan perilaku model dan teknik Assertive Training.


(33)

C. Pengembangan Alat Pengumpul Data/ Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan cara pengukuran sikap dengan Measurement by

scales yaitu pengukuran sikap atau perilaku dengan menggunakan kuesioner skala

sikap serta menggunakan lembar observasi. Instrumen penelitian ini dikonstruksi untuk memperoleh data tentang: (1) data tingkah laku psikososial siswa tunanetra di sekolah inklusif, dibuat dalam bentuk: (a) kuesioner bagi siswa tunanetra dan kuesioner yang diisi oleh siswa awas yang sekelas dengan masing-masing siswa tunanetra, dilakukan karena siswa awas dalam satu kelas dipandang sebagai sumber informasi utama yang secara langsung mengetahui perilaku sosial siswa tunanetra di kelasnya; (b) lembar observasi berupa pengamatan oleh dua orang pengamat, yaitu oleh konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (2) data penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dikumpulkan melalui kuesioner dan observasi.

Untuk mengungkap data penelitian ini diperlukan alat pengumpul data penelitian, yang disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1.

Data dan Alat Pengumpul Data Penelitian

Aspek Indikator Alat

Pengungkap

Sumber Data

1. Tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif

a. Gambaran diri rendah (Low

Self-Image):

b. Kurang perhatian pada orang lain (Inconsiderate of

others)

c. Kurang perhatian pada diri sendiri (Inconsiderate of

self)

Kuesioner Siswa tunanetra (dalam kelas inklusif)


(34)

d. Masalah otoritas (Authority

problem)

e. Menyesatkan orang lain

(Misleads others)

f. Mudah disesatkan (Easily

misled)

g. Menjengkelkan orang lain

(Aggravates other)

h. Mudah marah (Easily

angered)

i. Mencuri (Stealing)

j. Masalah alkohol atau obat

(Alcohol or drug problem)

k. Pembohong (Lying) l. Menghadapi (Fronting)

Observasi

Siswa awas (kelas inklusif)

2. Pengu-asaan keteram-pilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif Keterampilan sosial awal:

Mendengarkan (be a good

listener)

Melakukan percakapan

(making conversation) :

memulai percakapan menikmati percakapan Melakukan perkenalan (introducing): memperkenalkan diri memperkenalkan orang lain

Memberi pujian (give

compliments)

Mengajukan pertanyaan Mengucapkan terimakasih

Keterampilan sosial lanjut:

Meminta bantuan Kerjasama

Memberi instruksi Mengikuti instruksi Meminta maaf

Meyakinkan orang lain Menunjukkan empati Kuesioner Observasi Siswa tunanetra (dalam kelas inklusif) Siswa awas (kelas inklusif)


(35)

3. Validitas Instrumen

Kuesioner `Kondisi Interaksi Sosial siswa Tunanetra di sekolah inklusif` Instrumen Penilaian Konselor ahli 4. Validitas Model

Model Hipotetik/ teoretik Model Operasional/ empirik

Instrumen Penilaian Instrumen Penilaian Konselor ahli Konselor Sekolah 5. Kualitas Instrumen Aplikasi

a. Pedoman Pembentukan Kelompok Positive Peer

Culture (PPC)

b. Pedoman operasional Konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture).

c. Tayangan Power Point `Bagaimana sikap kita dalam berinteraksi sosial` dan VCD `Hadapilah masalah`.

Penilaian Konselor Sekolah dan Siswa awas (kelompok PPC + Tim monitor SSR)

Pengembangan alat pengumpul data kuesioner adalah menggunakan skala sikap atau penilaian/pengamatan dengan metode `Likert`s Summated Rating

(LSR)`. Prosedur penskalaan adalah dengan metode rating yang dijumlahkan

(method of summated rating ) dari Likert.

Dalam menentukan nilai skala dengan cara ini, untuk pernyataan bersifat : Favorable Unfavorable

( + ) ( - )

Sangat Sesuai (SS) a nilai 5 a nilai 1 Sesuai (S) b nilai 4 b nilai 2 Ragu-ragu (R) c nilai 3 c nilai 3 Tidak Sesuai (TS) d nilai 2 d nilai 4 Sangat Tidak Sesuai (STS) e nilai 1 e nilai 5


(36)

Bentuk laporan data dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan kemungkinan jawaban sebagai berikut: untuk pernyataan tentang tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra, alternatif jawabannya adalah: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Kuesioner dikembangkan berdasarkan prosedur dan kebakuan alat ukur, yaitu sebagai berikut: (1) menyusun kisi-kisi kuesioner/instrumen awal; (2) menimbang

(judgement) butir-butir pernyataan oleh tiga orang pakar (dua orang Doktor BK dan satu

orang Doktor PLB); (3) uji coba dilapangan sebagai dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang akan digunakan dalam penelitian; dan (4) merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian.

1. Kisi-kisi kuesioner/instrumen awal

Langkah pertama, dengan menyusun kisi-kisi dan merumuskan butir-butir pernyataan

kuesioner awal sejumlah 135 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra`.

2. Penimbangan instrumen (judgement validity)

Langkah kedua, adalah penimbangan instrumen yang dimaksudkan untuk memperoleh

kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator variable yang akan diukur. Dengan penimbangan tersebut diharapkan instrumen penelitian layak dipakai. Untuk keperluan penimbangan instrumen peneliti meminta bantuan kepada dua pakar konseling dan satu pakar pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada Universitas Pendidikan Indonesia, yang berkualifikasi minimal Doktor pada bidangnya.


(37)

Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak, baik mengenai konstruk isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Untuk lebih mendapatkan kevalid-an tentang keterbacaan naskah instrumen, peneliti melakukan uji keterbacaan terhadap setiap butir item pernyataan dengan meminta bantuan kepada satu guru konselor sekolah dan tiga siswa awas.

Setelah divalidasi oleh para pakar kemudian diadakan revisi terhadap item kuesioner, dan ditetapkan sejumlah 131 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi`. Instrumen yang telah di revisi sesuai kesalahan yang ditemukan dan saran-saran perbaikan, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen.

3. Uji coba instrumen

Langkah ketiga, kuesioner diujicobakan dan di hitung bobot nilai skala

pernyataannya, maka diperoleh item pernyataan yang dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah 78 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Langkah-langkah `try out` atau uji coba instrumen di lokasi penelitian adalah sebagai berikut.

a. Lokasi dan Subyek Uji Coba

Uji coba instrumen penelitian berupa kuesioner interaksi siswa tunanetra di sekolah inklusif dan sikap siswa awas terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif diberikan kepada responden siswa dalam kelas inklusif, yaitu 40 siswa yang bersekolah di MAN Maguwoharjo, D.I. Yogyakarta.


(38)

b. Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan

Setelah dilakukan uji coba instrumen berupa pengisian kuesioner oleh siswa, langkah selanjutnya adalah pengujian bobot nilai skala terhadap instrument dalam bentuk skala sikap. Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji ketepatan bobot skala setiap pernyataan, sehingga hasil pengukurannya dapat dipergunakan untuk menilai butir item pernyataan mana yang valid untuk dipergunakan dalam pengumpulan data penelitian, sedangkan butir item pernyataan yang tidak valid harus dibuang atau tidak dipergunakan. Sebagaimana disampaikan oleh Azwar (2008: 139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan, dengan asumsi :

(a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel

(b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Hasil dari pengujian bobot nilai skala pernyataan diperoleh hasil item-item pernyataan yang dinyatakan valid sejumlah 78 butir pernyataan, yaitu item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 32, 35, 36, 37, 38, 40, 43, 45, 47, 50, 52, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 63, 66, 67, 69, 70, 72, 74, 75, 78, 79, 80, 81, 83, 86, 87, 89, 90, 91, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 104, 105, 108, 109, 113, 114, 117, 120, 126, 127, 128, 130, dan 131, sedangkan item pernyataan tidak valid adalah sebanyak 53 item (lihat lampiran tabel penghitungan bobot nilai skala).

Aspek sikap siswa awas terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif untuk pembentukan kelompok PPC dinyatakan valid sejumlah 25 item pernyataan, yaitu item nomor 1, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12, 14, 16, 18, 21, 22, 26, 27,


(39)

30, 31, 32, 36, 37, 38, 39, 40, 43, dan 44, sedangkan pernyataan yang tidak valid sebanyak 20 item.

Rekap analisis butir/item sejumlah 131 butir, jumlah subyek 40, rata-rata 468.65, dan tingkat reliabilitas instrumen 0.58.

4. Merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian.

Interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif memiliki dua aspek variabel, yaitu: tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Tabel 3.2.

Tabel Distribusi Item/ Butir Pernyataan

Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif

Jumlah Item = 78 butir pernyataan.

Komponen Obyek Sikap

Total

1. Tingkah laku siswa tunanetra dalam interaksi sosial di sekolah inklusif

42

2. Keterampilan interaksi social oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif

36

T o t a l 78

Setelah ditetapkan jumlah total item pernyataan untuk instrumen pengumpul data, maka disusunlah kisi-kisi instrumen tentang kondisi interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi.


(40)

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen

Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra pada Sekolah Inklusif

No Komponen

Obyek Sikap Indikator

Nomor Item

Positif Negatif

1. `Problem tingkah laku` siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial pada Sekolah Inklusif

a. Gambaran diri rendah (Low

Self-Image):

4,5 1,2,3,6 6

b. Kurang perhatian pada orang lain (Inconsiderate of

others)

7,9 8,10 4

c. Kurang perhatian pada diri sendiri (Inconsiderate of

self)

11,13 12,14 4

d. Masalah otoritas (Authority

problem)

15,16,18 17 4

e. Menyesatkan orang lain

(Misleads others)

20,22 19,21 4

f. Mudah disesatkan (Easily

misled)

24,25 23 3

g. Menjengkelkan orang lain

(Aggravates other)

27 26,28 3

h. Mudah marah (Easily

angered)

29 30,31 3

i. Mencuri (Stealing) 32 33 2

j. Masalah alkohol atau obat

(Alcohol or drug problem)

35 34 2

k. Pembohong (Lying) 37 36,38 3

l. Menghadapi (Fronting) 39,41 40,42 4

Jumlah 20 22 42

2. Penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra pada sistem pendidikan Inklusif Keterampilan sosial awal:

a. Mendengarkan (be a

good listener) Melakukan

percakapan

(making conversation): b. memulai percakapan c. menikmati

percakapan Melakukan perkenalan 44 45,47 48 43 46 49 2 3 2


(41)

No Komponen

Obyek Sikap Indikator

Nomor Item

Positif Negatif

(introducing):

d. memperkenalkan diri e. memperkenalkan orang

lain

f. Memberi pujian (give

compliments)

g. Mengajukan pertanyaan h. Mengucapkan

terimakasih 50,52 54 56,58 60 62,63,65 51,53 55 57 59,61 64 4 2 3 3 4 Keterampilan sosial lanjut:

i. Meminta bantuan j. Kerjasama

k. Memberi instruksi l. Mengikuti instruksi m. Meminta maaf

n. Meyakinkan orang lain o. Menunjukkan empaty

66 68 70 - 73 - 76,77 67 69 71 72 - 74 75,78 2 2 2 1 1 1 4

Jumlah 19 17 36

Jumlah keseluruhan 39 39 78

Berdasarkan kisi-kisi tersebut, kemudian disusun pernyataan-pernyataan yang terdiri dari pernyataan positif (+) sebanyak 39 butir dan pernyataan negative (-) sebanyak 39 butir. Untuk mengukur problem tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial terdiri 42 pernyataan dan penguasaan keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra terdiri 36 pernyataan. Jumlah keseluruhan item/butir pernyataan dalam kuesioner/instrumen pengumpul data `Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusi` adalah 78 butir pernyataan.


(42)

D. Subyek dan Seting Penelitian

Penelitian dilakukan di sekolah reguler MAN Maguwoharjo Yogyakarta yang menyelenggarakan layanan sekolah inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipilihnya D.I. Yogyakarta sebagai daerah penelitian adalah untuk memperoleh jumlah sampel subyek (Tunanetra klasifikasi low vision berat dan klasifikasi

totally blind) yang memenuhi syarat penelitian. Yogyakarta adalah penyelenggara

layanan sekolah inklusif dengan siswa tunanetra yang cukup banyak.

1. Subyek penelitian meliputi:

a) dua ahli yang memiliki kepakaran bidang konseling dan satu ahli pendidikan anak berkebutuhan khusus yang akan digunakan sebagai validator isi model, minimal bergelar Doktor.

b) konselor sekolah dan Guru Pembimbing Khusus yang akan digunakan sebagai validator empiris model operasional sebanyak dua orang dan uji keterbacaan instrumen sebanyak satu orang.

c) siswa tunanetra (klasifikasi kurang penglihatan berat dan klasifikasi buta total) yang bersekolah di sekolah inklusif, sebanyak sembilan orang.

d) siswa awas yang digunakan dalam uji keterbacaan sebanyak tiga siswa, uji coba kuesioner sebanyak 40 siswa awas dan pengisian kuesioner penelian sebanyak 152 siswa awas.

e) siswa awas dan siswa tunanetra yang tergabung dalam kelompok PPC sebanyak 28 siswa (terdiri empat kelompok dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa) dan kelompok teman sebaya Non PPC sebanyak 21 siswa (terdiri tiga kelompok/kelas dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa).


(43)

f) tim monitor treatmen desain Penelitian Subyek Tunggal, yaitu kelompok siswa yang bertugas mencatat kemajuan hasil treatmen model konseling Positive Peer

Culture pada kegiatan eksperimen Single Subject Research (SSR), sebanyak 7

siswa (satu siswa dalam satu kelas inklusif).

2. Seting penelitian

Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang masuk di sekolah umum/reguler adalah alumni sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang masuk dalam layanan Sekolah Luar Biasa (SLB dan SDLB). Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan baru/lingkungan awas, kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan kemampuan beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola hubungan sosial di sekolah inklusif.

MAN Maguwoharjo Yogyakarta mendistribusikan siswa tunanetra dengan menempatkan satu siswa tunanetra pada setiap kelas yang berbeda. Tujuan dari penempatan ini adalah agar siswa tunanetra dan siswa awas di sekolah segera dapat beradaptasi, sehingga harapan menjadi sekolah yang inklusif terwujud. Kondisi lingkungan sekolah dan perilaku siswa awas pada awalnya dirasakan sangat asing bagi siswa tunanetra. Selama sesi konseling dalam penelitian kondisi dan perilaku ini tidak di ubah, karena tujuan diterapkan penelitian model konseling PPC adalah agar siswa tunanetra segera bisa beradaptasi. Siswa awas dalam sekolah inklusif dibimbing untuk dapat menjadi kelompok sebaya positif yang memiliki validitas dan aksebilitas bagi siswa tunanetra. Selama sesi


(44)

penelitian uji model setiap siswa tunanetra didampingi oleh siswa kelompok

postive peer culture (PPC) di kelasnya. Tugas kelompok PPC adalah

memberikan motivasi kepada siswa tunanetra untuk melakukan tugas interaksi sosial, memberi bimbingan dan contoh berinteraksi sosial, memberi semangat dengan ucapan pujian `...naah gitu loooh..., .... naaah ituu baru Brian (nama tunanetra),...` dan sebagainya. Perubahan perilaku yang terjadi selama sesi konseling atau intervensi uji model pada siswa tunanetra akan dicatat dalam catatan kejadian oleh siswa awas pengamat yang duduk sekelas dengan siswa tunanetra.

E. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan model konseling Positive Peer

Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah

inklusif. Prosedur penelitian mendasarkan pada pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development), adalah sebagai proses yang digunakan untuk mengembangkan, memvalidasi produk atau model, dan menguji keefektifan model tersebut (Borg and Gall, 1989). Prosedur R&D digunakan karena kajian ini berangkat dari adanya potensi atau masalah, dilakukan dengan menempuh beberapa langkah : Survey awal Potensi dan Masalah – Pengumpulan Data/ informasi – Merancang Desain Produk – Validasi Desain – Revisi Desain – Ujicoba Terbatas Produk – Revisi Produk – Ujicoba Luas Pemakaian – Revisi Produk – Model Akhir, Diseminasi dan Sosialisasi (Sugiyono, 2007: 409).


(45)

Langkah-langkah penelitian tersebut dapat diringkas ke dalam empat tahap, yaitu: tahap I studi pendahuluan, tahap II pengembangan dan validasi model, tahap III uji lapangan efektifitas model, dan tahap IV diseminasi/ distribusi model, digambarkan dalam skema penelitian sebagai berikut:


(46)

Tahap 1: Studi Pendahuluan

TAHAP I

TAHAP II

TAHAP III

KEGIATAN

KEGIATAN KEGIATAN

HASIL

HASIL

HASIL

Studi Pendahuluan

Uji Lapangan Efektifitas Model

Pengembangan & Validasi Model

Pengenalan Model

Kegiatan: Seminar Nasional, Pembuatan Buku Pedoman

Survey awal, kaji konsep/literatur,

kaji hasil penelitian, Merancang model

Validasi Isi, Validasi Empiris, Revisi Model

Uji Terbatas + Revisi, Uji Efektifitas Model dengan

desain Single Subject Research + Revisi Model

Model

Hipotetik

Model

Operasional

Model

Teruji


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Albert, Paul. 2003. Buildings Inclusive schools. Est Perth: Department of Education and Trainning.

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Aryanto, Yohanes. 2005.Sikap Guru dan Siswa Awas Terhadap Anak Tunanetra

Yang Belajar Di SMU Cicalengka Kabupaten Bandung. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Azwar, Saifudin. 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Boeree, George. 2008. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Borg, W.R. & Gall, M.D. 1989. Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc.

Brannen, Julia, 1997, Mixing Methods : Qualitative and Quantitative Research, Terjemahan N Nuktah Ar. Fawic Kuede, Jakarta : Penerbit Pustaka Pelajar Offset.

Brendtro, L. and M. Mitchell. 1981. Alternative Schools for Troubled Youth:

Bridging the Domains of Education and Treatment. Reston, Va; Council

for Exceptional Children.

Budiyanto. 2008. Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Bukowski, W.M. 1984. Sociometric Status and Friendship Choice. New York: Journal of Developmental Psychology

Carledge, Gwendolyn, and Fellows M. 1992. Teaching Social Skills to Children. New York: Pergamon Press.

Cole, J.D., Dodge, K.A., and Coppoteli, H. 1982. Dimensions of Types of Sosial

Status. New York: Journal of Developmental Psychology.

Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.


(2)

Cowles, E. L. 1982. Report on Positive Peer Culture Treatment Program: 10th

Judicial Circuit, Hannibal, Missouri. Criminal Justice Program,

Northeast Missouri State University: Kirksville, Missouri.

EENET. 2000. Overcoming Resource Barriers, India: ISEC Lessons from the South, Making a Difference “An International Disability and Development Consortium (IDDC) Seminar on Inclusive Education Agra”

Friend & Marilyn. 2005. Special Education. Infusing Sosial skills Instruction in

Daily Activities. Boston: Pearson Education, Inc.

Gargiulo, Richard M. 2006. Special Education in Contemporary Society.Persons

with Visual Impairments. USA: Thomson Learning, Inc.

Garner, H. 1982. Positive Peer Culture Programs in Schools. Baltimore: University Park Press.

Geldard, David and Kathryn. 1998. Basic Personal Counseling:

Solution-approach Counseling. Australia: Cataloguing in publication data.

Goldstein, L. 1972. Behavior View of Counseling. New York: McGraw-Hill. Hackmann, A. 1993. Behavioral and Cognitive Psychotherapies. Supplement

Theories: 1-75.

Hadis, Abdul. 2003. Urgensi Pemberian Layanan B&K untuk Siswa SLB. Jurnal B&K PPS Malang (ISSN 1410-8119) Tahun 10, Nomor 1 Juli 1998. Hadi, Purwaka. 2002. Deskripsi Kemampuan Komunikasi Tunanetra pada

layanan Pendidikan Inklusi. Jurnal `Orthopedagogia` Tahun 2002

Volume I, Makassar

Hall, S. Calvin and Lindzey. 1993. Teori-teori Psikodinamik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hardman, et.al. 1990. Human Exceptionality, Society, School and Family. Boston : Allyn and Bacon.

Harsana, Frans S. 1982. Validasi dan Revalidasi Penyandang Tunanetra. Simposium Kebutaan di UGM tanggal 30 Oktober 1982. Yogyakarta : Pusat Studi dan Perpustakaan IKIP Yogyakarta.

Heijnen, Els. 2005. Kecacatan dan Kebutuhan Pendidikan Khusus. Journal `Eenet Asia Edisi Perdana Juni 2005`.


(3)

Heung, Vivian. 2005. Inklusi melalui Pendekatan Sekolah secara menyeluruh di

Hongkongs. Journal `Eenet Asia Edisi Perdana Juni 2005`.

Heppner, Paul and Bruce Wampold. 2008. Research Design in Counseling:

Single Subject Designs. USA: Thomson Brooks/Cole.

Johnsen, H. Berit. And Skjorten, D. Miriam. 2003. Pendidikan Kebutuhan

Khusus. Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi (Klasik Dan Modern) Jilid I dan 2 , terjemahan Robert MZ Lawang, Jakarta : PT Gramedia.

Jose, Randall T. 1985. Understanding Low Vision. New York : American Foundation for the Blind.

Kinney, D. J. Miller, L. Beier, and S. R. Bohannon. 1978. .Self-Concept,

Delinquency, and Positive Peer Culture. Louis University Press:

Criminology 15.

Lewis, Vicky. 2003. Development and Disability: How do Blind Children

Develop. Australia: Blackwell Publishers.

Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Latipun. 2006. Psikologi Konseling. Malang: UPT Penerbitan Universitas

Muhammadiyah Malang.

Macintyre, Christine. 2002. Play for Children with Special Needs. London: David Fulton Publishers Ltd.

Madanes, Cleo. 1981. Strategic Family Therapy. California: Jossey-Bass Inc, Pub. Martin, Garry and Pear J. 2007. Behavior Modification, What is and How to do it.

New Jersey: Pearson Education, Inc.

Mason, Heather. 1997. Visual Impairment (access to education for children and

young people). London : David Fulton Publishers.

Meiyani, Neni. 2000. Layanan Dasar Bimbingan Untuk Pengembangan

Kemampuan Anak Tunanetra Dalam Bergaul Dan Bekerjasama Dengan Kelompok Sebaya Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Miles, Mathew B. dan Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif : terjemahan Tjetjep Rohendi R., Jakarta : UI Press.


(4)

Myrick, Robert D. 1993. Development Guidance and Counseling: Peer

Facilitator Projects as a Counselor Intervention.. USA: Educational

Media Corporation.

Nurihsan, Juntika Achmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Refika Aditama.

Pernyataan Salamanca Dan Kerangka Aksi Mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus Jakarta 2000

Pietrofesa, J.J. Leonard, G.E. dan Hoose, W.V. 1978. The Authentic Counselor. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.

Regional Bureau for Education .2001. Becoming an inclusive, learning – Friendly Environment, UNESCO : Asia and Pasific

Riley, M.W., 1963, Sociological Research IA Case Approach, New York : Harcourt.

Roffers, D. W.1975. The Development of a Model for Implementing the Positive

Peer Culture Program. University of Minnesota Press.

Rogow, Sally M. 1988. Helping the Visually Impaired Child with Developmental

Problems. New York and London : Teacher College Press.

Rusch, F.R. 1990. Critical Issues in the Lives of People with Disabilities. Baltimore: Paul H. Brookes Publishing Co.

Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah. Bandung: Rizqi Press.

Saifuddin Azwar, 1995, Sikap Manusia (teori dan pengukurannya), Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Samad, Sulaeman. 2007. Model Konseling Berorientasi Pengalaman Melalui

Permainan di Alam Terbuka. Disertasi. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana

UPI.

Sarlito W. Sarwono,., 1995, Teori Psikologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Shelvin, Mara Sapon.. 2005. Inklusi Pendidikan bukanlah tentang kecacatan atau


(5)

Snell, Martha, and Rachel Janney. 2000.Teacher`s Guides to Inclusive Practices.

Sosial Relationships and Peer Suport. London: Brookes Publishing Co.

Sue, Derald Wing, and David Sue. 2003. Counseling the Culturally Diverse ,

Theory and Practise. Four Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Sunanto, Juang. Koji Takeuchi dan Hideo Nakata. 2005. Penelitian dengan

Subyek Tunggal. Japan: CRICED University of Tsukuba.

Surya, Mohammad. 2003. Teori-teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Suwarjo.2008. Model Konseling Teman Sebaya untuk Pengembangan Daya

Lentur. Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Tarsidi. Didi. 2002. Studi Kasus tentang Hubungan Hubungan Sosial Anak

Tunanetra dengan Sebayanya yang Awas di Lingkungan Sekitar Rumahnya. Tesis. Bandung: Pascasarjana UPI.

Tarsidi. Didi. 2007. Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan

Kompetensi Sosial Anak. Penelitian. Bandung: Universitas Pendidikan

Indonesia.

Thomas, Gary and Mark Vaughan. 2004. Inclusive Education- Readings and

Reflections. Bristol: Centre for Studies in Inclusive Education.

Thompson, Charles L. Rudolph and Henderson. 2004. Counseling Children: Solve

the Problem. USA: Brooks/ Cole – Thomson Learning, Inc.

….. 2005. Inclusion and the Removal of Barriers to Learning. International

Symposium. Bukittinggi, West-Sumatra: 26-29 September 2005.

Utoyo, Sutoyo, Imam. 1998. Prinsip-prinsip Efisiensi Perilaku Individu untuk

hidup sukses. Jurnal B&K PPS Malang (ISSN 1410-8119) Tahun 10,

Nomor 1 Juli 1998.

Vorrath, H. Harry. Brendtro. 1985. Positive Peer Culture. New York: Aldine Publishing Company.

Wasmund, W. C. 1980. The Effects of Positive Peer Culture upon the

Self-Concept of Adolescent Offenders. Worthington, Ohio: United Methodist


(6)

256

Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual- Teori dan Praktek. Bandung: Pascasarjana UPI.

Yeo, Anthony. 2007. Counseling. A Problem-Solving Approach. Singapore: ARMOUR Publishing Pte. Ltd.

Yusuf, Syamsu, LN dan Juntika Nurihsan. 2007. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yusuf, Syamsu,LN, 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Internet :

Centre Study for Inclusive Education. www.inclusion.org.uk

Evaluating of the Teacher Training components to Inclusive Education.

Hanh@scsweden.org.vn.

Form peer learning group. http://www.magragemuthelp.org/peer_group How to Start & college peer Education group.

http://www.baccusgamma.org/starting-a-peer-group.asp Ian Snowley. 2007. Positive peer group Pressure.

http://www.ian_snowleys.weblog/2007.02/positif_peergroup.

Idp-International development partners. www.idp-europe.org

Overcoming Exclusion through Inclusive Approaches in Education.

ie@unesco.org

Pendidikan Inklusif UNESCO. www.unesco.org/education/inclusive Peer Group. http://en.wikipedia.org/wiki/peer_group

Tarsidi: http://d-tarsidi.blogspot.com/2007, 02 Agustus 2007.

Towards Inclusive Education (discussion paper). samina@scfoscar.org.np

UNESCO/Inclusive Education. http://www.unesco.org/education/sne UNICEF.Teachers Talking About Learning. http://unicef.org/teachers