32
Merah. Kedua tokoh tersebut merupakan karakter yang sama lemahnya jika dibandingkan dengan Si Iteung.
“Ia memang jelek. Super jelek. Tapi tidakkah melihatnya kau merasa seperti pernah bertemu dengannya? Kurasa ia mengingatkanku kepada perempuan itu. Si
perempuan gila. Rona Merah. Entahlah, tapi kurasa mereka perempuan yang
sama.” Kurniawan, 2014: 239-240
2.3 Struktur Kepribadian Si Iteung
Si Iteung merupakan tokoh tambahan pada novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
. Ia digambarkan sebagai sosok gadis berparas cantik yang juga pandai berkelahi. Keahliannya berkelahi tidak lepas dari latar belakang masa
kecilnya yang pernah mendapatkan tindakan pelecehan seksual. Pengalaman pelecehan seksual ini menjadi trauma
baginya. Sebagai pengalihan trauma miliknya ia ingin terlihat kuat di depan orang lain terutama di depan lelaki.
Pada masa kecilnya, Si Iteung yang masih duduk di bangku sekolah pernah mendapatkan perilaku pelecehan seksual dari gurunya. Gurunya yang bernama
Pak Toto kerap kali melakukan aksi cabul terhadap dirinya setiap pulang sekolah.
“Iteung selalu teringat masa itu, masa ketika lonceng tanda sekolah berakhir berbunyi dan anak-anak ribut berlomba keluar dari kelas. Ia akan menjadi yang
terakhir keluar dari kelas. Bukan semata karena ia tak mau berdesak-desakan dengan mereka, tapi karena Pak Toto, guru dan wali kelas mereka, selalu
memintanya pulang terakhir, untuk membantunya melakukan beberapa pekerjaan
kecil.” Kurniawan, 2014: 160
Sementara Iteung melakukan pekerjaanya, Pak Toto akan melingkarkan tangannya ke pundak Iteung, lalu jari-jemarinya menyentuh dada gadis itu,
dengan sentuhan nakal. Dan Iteung akan menoleh sambil berkata: “Ih, Bapak.
Apa- apaan, sih?” Pak Toto akan tertawa kecil dan berbisik: “Lihat, Iteung.
33
Dadamu mulai tumbuh. Sebentar lagi kamu perlu pakai beha.” Kurniawan, 2014: 160-161
“Pak Toto memegang erat Iteung dari belakang. Lelaki itu duduk di kursi, sementara Iteung duduk di pangkuannya. Satu tangan kiri mendekap dan
menggenggam dada si gadis kecil. Tangan yang lain menerobos ke balik rok. Iteung mencoba melepaskan diri, tapi Pak Toto merengkuhnya semakin erat.
Celana Pak Toto sudah setengah terbuka. Iteung bisa merasakan sesuatu menyodok-nyodok liar menyentuh pantatnya. Kemudian ia merasa ada yang basah
dan lengket. Dan Pak Toto berhenti melakukan gerakan apa pun. Tangannya berhenti. Dengan cepat Iteung berdiri, membebaskan diri. Ia menoleh dan melihat
kemaluan hitam legam terkulai di kursi. Iteung merasa ada yang sakit di celah antara kedua kakinya. Ia mencoba berjalan seperti biasanya tapi ada rasa sakit di
sana.” Kurniawan, 2014: 161-162
Hal ini kemudian menjadi pengalaman traumatisnya. Oleh
ego,
trauma ini kemudian dialihkan dalam bentuk sosok wanita yang dapat dihormati dan dihargai
derajatnya oleh kaum lelaki. Keinginannya masuk ke perguruan silat ini akhirnya ia utarakan kepada ayahnya. Ia beranggapan bahwa sikap lelaki yang ditunjukkan
oleh ayahnya adalah sikap lelaki yang dapat diterimanya sebagai seorang perempuan. Sikap ayahnya yang terbuka, menghormati dan menghargai ibunya
membuatnya merasa nyaman berada di dekatnya.
“Papa, aku ingin mengambil les,” “Aku mau belajar berkelahi.” Kurniawan, 2014: 165-166
Ia merupakan satu-satunya anak perempuan dalam perguruan silat itu. Walaupun sempat mendapat berbagai macam bentuk ejekan dari teman-teman
seperguruannya, Si Iteung tetap bertekad untuk menjadi seorang wanita yang ahli dalam bela diri. Hal ini merupakan wujud pengalihan trauma miliknya.
34
“Kenapa kamu ingin belajar berkelahi?” “Aku ingin melindungi ini.” Ia menunjuk satu titik di pangkal kedua pahanya.
Kurniawan, 2014: 168
Di perguruan silat itulah ia belajar banyak teknik berkelahi demi menjaga kehormatannya, dan dari perguruan silat itu juga ia kemudian berkenalan dengan
tokoh bernama Budi Baik. Perilaku dari Budi Baik tidak sebaik namanya. Dari tokoh bernama Budi Baik ini ia juga kerap mendapatkan perilaku pelecehan
seksual.
“Lalu ia merasa sesuatu menyentuh bagian itu. Bagian yang telah menjadi basah. Tangan Budi Baik. Ia membuka mata, ia tak sadar matanya setengah menutup,
dan segera sadar tangan Budi Baik berada di antara pangkal kedua pahanya. Menyentuh celah basah di sana, menyentuh dengan hangat. Ia merasa dirinya
terbang.” Kurniawan, 2014: 171
Ternyata ketika ia berusaha untuk mencari pengalihan dari pengalaman traumatisnya ia masih diingatkan kembali akan pengalaman traumatisnya tersebut.
Pengalaman traumatis Si Iteung semakin kuat, dendam terhadap gurunya semakin
menjadi-jadi. Ketika sudah benar-benar mahir dalam berkelahi ia melakukan aksi balas dendam dengan menghajar gurunya tersebut. Aksi balas dendamnya ia
lakukan dengan cara menggoda gurunya ketika berada di ruang bimbingan konseling. Saat gurunya yang bernama Pak Toto mulai tergoda dan melancarkan
aksi pelecehan seksual Si Iteung tidak segan-segan untuk menghajar gurunya tersebut. Tidak hanya sampai di situ, Si Iteung bahkan menelanjangi gurunya dan
membakar pakaian milik gurunya tersebut di tengah lapangan sekolah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
“Ia hampir menyentuh si gadis, hampir mengisap tubuhnya, tapi gerakan Iteung jauh lebih cepat. Satu tendangan keras mendarat di biji kemaluannya. Pak Toto
memekik. Pekikannya tertahan, sebab satu pukulan menghajar rahangnya. Tendangan lain dan pukulan lain datang tak terelakkan. Hanya dalam beberapa
saat, lelaki itu ambruk di samping kaki kursi, dengan hidung bengkak dan berdarah dan tangan memegangi biji kemaluan. Tergeletak tak sadarkan diri. Di
dekat gerbang sekolah ada drum bekas aspal yang berfungsi sebagai tempat sampah. Ada bara api kecil di dalamnya, sisa pembakaran. Itung melemparkan
kemeja, kaus dalam, celana dan cangcut Pak Toto ke dalam drum bekas aspal tersebut. Perlahan mulai digerog
oti percik api.” Kurniawan, 2014: 172
Setelah aksi balas dendamnya tercapai Si Iteung memutuskan untuk menjadi seorang pengawal pribadi lelaki tua pengusaha tambak ikan bernama Pak Lebe. Ia
juga beranggapan bahwa semua lelaki adalah musuh. Pertemuannya dengan Ajo Kawir yang hendak menghajar Pak Lebe berujung pada perkelahian merupakan
awal dari hubungan cinta keduanya.
Id
Si Iteung yakni hasrat seksualnya mengalami perkembangan yang dapat dibuktikan dari hubungan cintanya dengan
Ajo Kawir. Anggapan bahwa laki-laki adalah musuh berubah membentuk
superego
bahwa laki-laki adalah teman.
“Kukatakan sekali lagi, aku enggak bisa ngaceng.” “Aku enggak peduli, aku juga mencintaimu.” Kurniawan, 2014: 89
“Aku senang karena kamu berhasil membuatnya kembali menjadi perempuan,” kata calon mertuanya. “Aku sering sedih melihatnya berkelahi. Ia sering
berkelahi. Ia memanjat pohon, ngebut dengan motor, naik gunung. Lalu ia masuk perguruan dan semakin sering berkelahi. Tapi lihat sekarang. Ia ke mana-mana
memakai rok. D
an pagi ini aku melihat ia memoleskan lipstikku ke bibirnya.” Ajo Kawir tersenyum mendengarnya. “Ia benar-benar jatuh cinta kepadamu.”
Kurniawan, 2014: 97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Si Iteung mengalami konsolidasi justru setelah bertemu dengan Ajo Kawir yang ternyata impoten, tetapi di situlah titik baliknya. Rasa aman yang ia dapatkan
dari Ajo Kawir tidak semata-mata karena ia mencintainya melainkan juga karena ia tahu bahwa kemaluan Ajo Kawir tidak bisa berdiri. Ia beranggapan bahwa
lelaki yang kemaluannya tidak bisa berdiri tentu tidak akan dapat menyakitinya. Hal ini membuktikan bahwa trauma miliknya mulai menghilang sedangkan
superego
miliknya mulai dominan.
Superego
dari Si Iteung sendiri juga dapat dibuktikan dari ia yang memutuskan untuk menikah dengan Ajo Kawir meskipun
ia tahu bahwa kemaluan Ajo Kawir tidak bisa berdiri.
“Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang tak bisa ngaceng?” tanya Ajo Kawir. “Aku akan mengawininya.” Kurniawan, 2014: 90
Dalam kehidupan rumah tangga mereka, ia yang merupakan seorang wanita tulen ternyata juga merasakan kerinduan untuk dapat bercinta dengan suaminya
tersebut. Hal ini tentu membuktikan bahwa tokoh Si Iteung mengalami perkembangan
superego
miliknya.
Superego
miliknya yang beranggapan bahwa lelaki adalah teman mulai berkembang. Lelaki seharusnya tidak hanya bisa
melindunginya akan tetapi dapat memberikan keturunan terlebih kepuasan seksual. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Si Iteung yang sering meminpikan dan
membayangkan kemaluan milik suaminya dapat berdiri kembali.
“Iteung selalu berharap ada keajaiban yang akan membuat kemaluan suaminya terbangun. Ia akan berusaha untuk membangunkannya, dan akan menyerah
membiarkan tangan suaminya menyelinap ke selangkangannya yang basah. Ia akan memejamkan mata, dan entah kenapa ia mulai membayangkan burung hitam
37
legam milik Pak Toto. Lain kali ia memikirkan kemaluan milik Budi Baik. Ia tak bisa mengusir bayangan-
bayangan itu. Bahkan setelah ia melenguh panjang.” Kurniawan, 2014: 179
Karena perkembangan
superego
nya mulai dominan menguasai
ego
nya, Si Iteung kemudian mencari Budi Baik yang dianggap dapat memberikannya
kepuasan seksual. Hal ini membuktikan bahwa
ego
perlu direalisasikan.
“Ia tahu, tubuhnya tak hanya memerlukan jari tangan yang pandai menari. Ia membayangkan kemaluan hitam legam milik Pak Toto, tapi dengan perasaan jijik
ia tak mungkin memperolehnya. Tapi ia bisa memperoleh kemaluan Budi Baik. Ia pernah memperolehnya, dan yakin bisa memperolehnya kembali. Ia hanya perlu
diam.” Kurniawan, 2014: 179
Perbuatannya dengan Budi Baik berujung pada kehamilan yang menimpa dirinya. Kecemasan dan ketakutannya timbul seketika karena ia tahu bahwa
suaminya pasti akan marah bahkan kecewa terhadap dirinya. Hal ini terbukti dengan Ajo Kawir yang pergi dari rumah dalam keadaan marah setelah
mengetahui dirinya hamil. Kecemasan dan ketakutan yang timbul pada dirinya merupakan cerminan dari
ego
Si Iteung yang kembali muncul. Kehamilan yang menimpanya membuat dirinya kembali teringat akan pengalaman traumatisnya
pelecehan seksual. Anggapan bahwa lelaki merupakan musuh kembali menguat pada dirinya. Untuk menebus kesalahan dan penghianatannya terhadap Ajo Kawir
yakni satu-satunya lelaki yang dianggapnya sebagai teman adalah dengan mengarahkan
ego
nya untuk membunuh Budi Baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
”Iteung segera tahu, Budi Baik sudah sangat lembek. Ia tak kesulitan untuk menghajarnya, membuat bocor hidungnya, membuat robek ujung bibirnya, dan
meremukkan jari-jemarinya. Iteung malas mengatakan apa pun. Ia mengirim tendangan ke rahang Budi Baik. Si bocah terlempar ke sudut rumah, membentur
dinding. Iteung tak ingin memberinya kesempatan untuk lari. Ia mengejar. Ia menjambak rambut Budi Baik, mengangkatnya, lalu dengan deras membenturkan
kepala itu ke dinding. Ia yakin batok kepala bocah itu retak. Budi Baik berhenti menjerit. Ia terdiam. Tubuhnya lemas jatuh ke lantai. Darah mengalir
menggenang di lantai.” Kurniawan, 2014: 236-237
Energi
ego
yang dialami Si Iteung tidak berlangsung lama karena
superego
nya kemudian mulai mendominasi kembali. Hal ini dapat dibuktikan dari sikapnya yang menyerahkan diri kepada polisi untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut.
“Pak Polisi, aku sudah membunuh orang,” kata perempuan itu. Si Polisi masih terpaku. Perempuan itu mengulurkan tangannya, meminta diborgol. Si Polisi
gugup, lalu kelabakan mencari borgol. Setelah menemukan benda itu, akhirnya Si Polisi memborgol tangan Iteung. Kurniawan, 2014: 237
Di dalam penjara ia kerap dikunjungi oleh Paman Gembul dan berbagi banyak informasi, terlebih ia mendapat informasi dari Paman Gembul perihal
kesembuhan penyakit suaminya hanya akan terjadi ketika dapat membunuh dua oknum polisi yang pernah menyuruh suaminya untuk memperkosa Rona Merah.
“Kurasa hanya satu cara untuk merebut kembali kebahagiaan kalian. Aku telah menemukan mereka. Aku sudah memberitahu suamimu. Sial sekali. Penjara dan
burung sialan itu telah banyak mengubah hidupnya. Ia tak ingin membunuh kedua polisi itu. Ia tak ingin membunuh siapa pun. Ia bahkan tak ingin berkelahi dengan
siapa pun.” Kurniawan, 2014: 233 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39 Ego
Si Iteung kembali muncul setelah mendapatkan informasi tersebut dari Paman Gembul. Dorongan
superego
mulai mempengaruhi
ego
untuk dapat membalaskan dendam suaminya. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap Si Iteung
setelah keluar dari penjara. Keluar dari penjara Si Iteung memilih untuk segera mencari kedua oknum polisi tersebut dan membunuh mereka. Ia hanya bisa
sebentar bertemu dengan Ajo Kawir yang memutuskan kembali ke rumah sebelum akhirnya ia sendiri harus kembali masuk ke dalam penjara untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut. “Iteung, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ajo Kawir. “Aku membunuh dua
polisi, Sayang. Dua polisi sahabat baikmu.” Kurniawan, 2014: 242
2.4 Struktur Kepribadian Mono Ompong